Selasa, 11 Juli 2017

Aku ingin menjadi cepat


Aku dan ke-dia-anku

Silahkan menikmati secangkir filsafatku.


Sebagai manusia yang bereksistensi, kita terlempar pada ruang dan waktu yang selalu bereproduksi. Keterlemparan itu menyebabkan banyakya serpihan aku yang meluber, sehingga perlu untuk mengumpulkan kembali serpihan-serpihan esensi itu. tetapi  sungai waktu terus dan begitu cepat mengalir, sehingga masa lalu telah begitu jauh dari gapaian kita.  Untuk itu Al gazali menyebut jarak yang paling tidak mungkin di tempuh adalah masa lalu. Meskipun dunia digital ( rekaman suara, video, foto, dll) bisa mempertunjukkan sosok kita di masa lalu, tetapi kita di dalam dunia digital itu bukan lagi aku, tetapi aku telah menjadi “dia” “ke-dia-anku”, dalam arti, bahwa keakuan kita tidak lagi ada pada ke- dia-an sosok di dunia digital itu. Aku pada waktu sekarang akan menjadi dia di waktu yang telah lalu untuk diri saya sendiri( sedetik kemudian kalimat ini juga telah menjadi tulisan dia untuk keakuanku pada saat saya mengetik (.)”titik” ). Untuk itu, pada waktu yang bereproduksi, “mungkin” saja Al gazali benar, bila kita selalu baharu, maksudnya waktu itu akan selalu mereproduksi ke aku an ku untuk menjadi aku-aku yang baru. Tetapi dengan kemampuan memori manusia di otaknya, kita mampu untuk mengajak ke-dia-an kita berdialog, untuk kualitas aku yang baru.

Masalah yang bisa timbul dari teori ini akan sangat banyak, salah satunya persoalan moral. Jika kita bertumpu kepada waktu yang bereproduksi, dan menjadikan ke-aku-an ku menjadi dia. Bagaimana dengan seseorang yang berbuat jahat di masa lalu. Apakah orang itu sah untuk membela dirinya bahwa orang yang berbuat jahat di masa lalu itu adalah orang lain?. Saya rasa itu tidak mungkin terjadi, karena ke-dia-an kita ini berasal dari keakuan kita. Maka ke aku an kita sebagai aku primer mempertanggung jawabkan dia sebagai yang berasal dari aku primer. Untuk itu, kita tidak bisa lepas dari masu lalu kita, apa yang di perbuat ke-dia-an kita di masa lalu berdampak pada aku yang baru. Karena waktu itu bereproduksi bukan menciptakan, maka ia akan menjadikan ke akuan kita yang telah lewat, sebagai bahan reproduksi. Sehingga kejahatan orang yang dilakukan di masa lalu akan selalu menjadi tanggung jawabnya setiap kali baru.

Karena rupanya kita bereksistensi di tengah eksistensi sosial dan ekologi atau kita yang bergerak di tengah gerak-gerak, maka kejahatan itu juga harus dipertanggung jawabkan secara sosial dan ekologi. Untuk itu ada hukum yang mengatur lalu lintas gerak eksistensial kita di tengah gerak sosial dan ekologi itu. Hukum itu idealnya tidak boleh fana, tetapi ia tetap dan tidak boleh bergerak, hukum harus adalah ruang. Dan karena ia ruang, kosmos bergerak di dalamnya. Hukum meliputi dan selalu elastis menampakkan nilainya di segala ruang, medium waktu ke-aku-an ku menjadi baru.

Tetapi rupanya pada perkembangannya, gerak manusia itu tergolongkan antara gerak anggota ekologi lainnya, ditambah manusia adalah makhluk yang sadar, manusia membuat penggolongan diri dari gerak makhluk dan ekologi lainnya, ini menyebabkan hukum itu menjadi kompleks dan dipaksa untuk bergerak atau digerakkan oleh manusia. Sehingga hukum itu juga mengelompok. Ada hukum yang di buat oleh manusia untuk manusia  dan hukum yang mengatur manusia dan ekologi. Pada akhirnya manusia terperangkap pada hukum yang berpotensial. Atau hukum yang digerakkan oleh manusia yang bergerak. Maka kemudian hukum itu tidak elastis melainkan dikendalikan oleh aku yang bereproduksi sehingga hukum itu juga mengalami reproduksi dan hukum itu mengalami kebaharuan untuk kepentingan manusia.

 Lalu bagaimana hukum yang ideal itu?.

Hukum itu harus tetap dan selalu mendahului gerak,  dan yang bergerak, bergerak pada hukum yang tentu mendahului gerak. Hukum seperti ini, masih dijaga dengan baik dan sakral oleh alam. Secara tidak sadar manusia masih memiliki tubuhnya yang menjaga dengan baik hukum ini. beserta alam makrokosmos dan dunia binatang. Sebutlah hukum itu sebagai hukum alam, yang tidak mungkin ramah terhadap perbuatan jahat terhadap alam. Seperti seseorang yang melukai tubuhnya dan tubuh orang lain. maka alam akan dengan sendirinya menghukum orang itu tanpa persidangan. Seperti persidangan meja hijau ala manusia.

 Tetapi hukum alam itu sendiri rupanya bukanlah hukum yang tidak bergerak, tetapi hukum ini bergerak bersama dengan alam itu sendiri. Alam rupanya juga bereproduksi dan manusia baru di tengah alam yang juga baru di waktu. Itu berarti alam juga di liputi oleh ruang, maka hukum alam yang universal itu juga tunduk pada hukum yang lebih tinggi, hukum yang mengatur lalu lintas alam. Yakni hukum tetap, keadilan tertinggi, keabadian, tujuan dari gerak manusia.

Karena hukum ideal itu tidak bergerak maka ia tidak ada dimana-mana dan tidak akan kemana-mana. Tetapi karena tetap, hukum itu ada. Tetapi apabila hukum itu tidak bergerak bagaimana ia mengatur setiap gerak yang berwaktu dan pada ruang.

Hukum itu berupa pusat juga poros, seperti geraknya seorang pelaut atau penjelajah yang bertumpu pada sistem arah yang berpusat di kutub utara, Matahari, bintang, arah angin, dsb. Karena hukum itu mendahului pengalaman dan menjadi akhir dari sebuah pengalaman maka hukum itu harus tetap, independen juga apriori.

Dalam tradisi ontologis. Kita bisa menyebut hukum itu sebagai hukum Ada yang mengatur gerak berada-nya ada yang mengada menuju Ada yang berada pada dirinya sendiri. Maka hukum itu tak lain adalah wajib hukum yang berada pada berbagai dimensi, karena dalam mediumnya, manusia mengada di dalam ada yang mengada pada dirinya sendiri. Subjek siapapun dan apapun itu, tunduk kepada hukum Ada.

 Tetapi bagaimana kita bisa menyadari hukum itu?.

Hukum itu sebenarnya selalu nampak kepada kita setiap kali berada pada mengada di waktu sekarang dan ruang di sini. Dalam setiap pengalaman dan proses empiris, hukum itu menampak kepada kita sebelum hitungan/durasi waktu mengada. Kita selalu di arahkan kemana seharunya dan sebaiknya memilih pertanggung jawaban moral dan hukum yang adil. Tetapi karena hukum itu menampak kepada kita dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Maka sesungguhnya hanya  manusia yang bisa begitu cepat yang mampu menyadari penampakan itu. Manusia yang cepat adalah manusia yang melunturkan dirinya dari dosa ( tindakan yang melemahkan diri ) dengan tobat lalu mengarahkan dirinya pada ke zuhudan terhadap yang duniawi( baca : buatan) yang membuat manusia menjadi lambat dan hanya menyadari hukum itu lewat penyesalan setelah pengalaman.

Maka hanya manusia yang menyadari dirinya sebagai Aku ( aku yang berfilsafat) yang mampu menyadari berbagai hal yang abstrak dan utuh seperti hukum tersebut. Sedangkan ke-dia-an kita adalah aku yang dulu yang telah mengalami serpihan hukum-hukum yang menampak kepada kita. Sungguh, alangkah ruginya orang-orang yang tidak bercengkrama dengan ke-dia-an nya.

Aku yang berfilsafat adalah aku yang bebas. Kebebasan itu adalah paham hukum ideal yang mampu diraih bila aku lepas dari kecemasan aksidental ( cemasnya aku karena akan baru dan lupa juga senjang dengan aku yang dulu). Maka Aku yang berfilsafat akan berkesempatan untuk menjadi paham dengan segala sesuatunya.

Read More