Jumat, 24 Juni 2016

Puisi Filsafat : Hening


Waktu itu shubuh. Ada kapal yang berlabuh.
Senja yang perlahan kelabu. Aku bersama awan yang tabuh.
Sudah kulewati garis hening. Batas-batas yang membuatku terkoyak.
Semilir angin yang bermain dengan kelopak bunga.
Derita jiwa yang mendatangkan gerimis.
Kupanjat doa tertambal, mabuk, pasrah, dan hening lagi.
Gurauan alam ini, keagungan serta kebesaran Nya.
Mungkin dalam waktu yang lama.
Membuatku terkucil, semakin terkucil.
Seperti semut yang berenang di lautan.
Seperti semut hitam, yang bersantai pada gelap dan batu hitam.
Aku terkucil. dan aku hening lagi.
Dapat kubaca. Kata-kata langit.
Tarian angin serta awan bersama bintang dan galaksi.
Dan makhluk yang menjadi di telan gravitasi.
Kadang kita harus menjadi arus yang tenang.
Agar kita dapat melihat pantulan di permukaan.
Serta kita harus menjadi air yang hening.
Biar kita dapat melihat ke kedalaman.
Biarkan matamu terpejam.
Agar kau melihat kegelapan.
Biarkan matamu mekar.
Agar kau tahu arti sebuah cahaya.
Ada cahaya di atas cahaya. Dan kita butuh banyak mata mekar.
Dan hening lagi. Aku kembali dalam doa yang terkoyak.
Aku kembali dalam doa yang tertambal.
Dalam mimpi aku ingin menjadi kebenaran.
Tapi aku kembali terbangun. Dan aku hening lagi.

Kamis, 23 Juni 2016 ( malam ke 18 Ramadhan ) 22;37
berharap bisa hening.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon