Tafsiran surah al Fatihah
Ada sekian banyak nama yang di sandang oleh surah ini. tidak
kurang dari dua puuh sekian nama. Ada tiga atau empat nama yang di perkenalkan
oleh Rasulullah saw. Yaitu Al Fatihah, Ummul Kitab atau ummul Qur’an dan as-
Sab’ al-Matsani.
v Nama Al
Fatihah
Rasulullah saw
bersabda dalam salah satu hadist dan menyebut nama Al Fatihah. Antara lain :
“tidak ada (tidak sah) shalat bagi yang tidak membaca Fatihah al-Kitab” (HR,
Bukhari, Muslim dan perawi lainnya)
Kata “Fath”
yang menjadi akar kata al Fatihah memiliki arti secara harfiah menyingkirkan
sesuatu yang terdapat pada satu tempat yang akan di masuki. Arti harfiah
ini bisa di artikan bahwa Al-Fatihah terletak pada Awal Al-Qur’an, dan kerena
biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya. Maka kata
Fatihah disini berarti awal al-Qur’an atau bisa juga di sebut pembuka
yang sangat agung bagi segala macam kebaikan.
v Nama as – Sab
al Matsani
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh at Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda. “Demi Tuhan
Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Allah tidak menurunkan di dalam Taurat,
Injil maupun Zabur dan Al-Qur’an suatu surah seperti as-Sab al Matsani”.
Secara etimologi
kata “as-Sab” berarti tujuh, karena surah ini berjumlah
tujuh ayat, sedang kata Matsani adalah bentuk jamak dari Mutsanna atau matsna
yang secara harfiah berarti dua-dua yang bisa di pahami berulang-ulang.
Surah ini di namakan demikian karena ia di baca berulang-ulang dalam shalat
atau di luar sholat. Atau karena kandungan pesan setiap ayatnya terulang-ulang
dalam ayat al-Qur’an yang lain. Maka as-Sab al Matsani bisa disebut sebagai tujuh
ayat yang di baca berulang-ulang.
v Nama Ummul
Kitab atau Ummul Qur’an.
Penamaanya
sebagai ummul Kitab juga bersumber dari hadits bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Siapa yang sholat tanpa membaca Ummu al-Qur’an maka sholatnya Khidaj
(kurang atau tidak sah).
Secara etimologi
kata Umm berarti Induk. Penamaan surah ini dengan induk al-Qur’an
karena ia berada di awal al-Qur’an
sehingga ia bagaikan asal dan sumber, serupa dengan ibu yang disamakan
dengan induk yang datang mendahului anak serta merupakan sumber kelahirannya.
Ia pula di
namakan sebagai Umm, bisa jadi karena ayat-ayat al Fatihah mencakup
kandungan tema-tema pokok semua ayat al-Qur’an. Muhammad Abduh beranggapan
bahwa Al-Fatihah sebenarnya adalah Wahyu yang pertama kali di turunkan bukan
al-Alaq. Melihat kandungan surah al Fatihah yang mencakup tema-tema pokok
al-Qur’an seperti
1.
Tauhid pada ayat
kedua dan kelima.
2.
Janji dan ancaman
pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh
3.
Ibadah yang menghidupkan
Tauhid pada ayat ke lima dan ketujuh
4.
Penjelasan tentang jalan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya. Terdapat pada
setiap ayat.
5.
Sejarah masa lampau
pada ayat terakhir.
Pendapat Abduh
mengenai surah Alfatihah sebagai wahyu yang pertama dengan penjelasan logika
tidak di terima oleh mayoritas ulama. Tetapi kita dapat menerima pendapat
Muhammad Abduh dalam konteks membuktikan kedudukan al-Fatihah sebagai ummul
Qur’an atau untuk menjelaskan mengapa surah al Fatihah di letakkan pada awal
al-Qur’an.
v Asbabun Nuzulnya ?
Ada riwayat yang
menyatakan bahwa ia turun sesudah surah al Muddatsir, ada lagi yang berpendapat
bahkan sesudahnya dan sesudah al Muzammil dan al kalam turun. Ada lagi yang
berkata bahwa ia turun di Madinah. Dan ada pula yang beranggapan bahwa ia turun
dua kali, satu kali di Makkah dan satu kali lagi di Madinah untuk menggambarkan
keagungan surah ini.
Namun pendapat
yang kuat bahwa surah ini tergolong Makkiyah, melihat as-Sab al Matsani telah
di singgung oleh al-Qur’an melalui firman-Nya dalam QS. Al-Hijr 15:87: “Sesungguhnya
Kami telah menganugrahkan kepadamu as Sab al-Matsani dan AlQur’an al-Karim”.
Dan di sepakati oleh para ulama bahwa surah al-Hijr turn ketika Nabi Saw, masih
bermukim di Mekkah. Di tambah lagi bahwa sholat sudah di wajibkan sejak saat
nabi masih bermukim di Makkah, dan nabi pernah bersabda bahwasanya sholat tidak
sah jika tidak membaca al-Fatihah.
v Tema Pokok dan Tujuan nya ?
Menurut Ibrahim
ibn Umar al Biqa’i “nama setiap surah menjelaskan tujuan serta tema umum surah
itu.” Al-Fatihah nama-namanya antara lain adalah
1.
Ummul Kitab (induk
al-Qur’an)
2.
Al-Asas (asas segala
sesuatu)
3.
Al Matsani ( yang di
ulang-ulang)
4.
Al-Kanz ( pembendaharaan)
5.
Asy-syafiah (penyembuh)
6.
Al-Kafiyah ( yang
mencukupi)
7.
Al-Waqiyah ( yang
melindungi)
8.
Ar-Ruqyah (mantra).
9.
Al-Hamd ( pujian)
10. Asy-Syukr ( syukur )
11. Ad-du’a dan as-shalat ( doa ).
Kesemua nama ini
mengandung serta berkisar atas segala sesuatu yang tersembunyi yang dapat
mencukupi segala kebutuhan, yaitu pengawasan yang melekat. Segala sesuatu yang
tidak di buka dengannya tidak akan memiliki nilai. Dia adalah pembuka segala
kebaikan, asas segala makruf, tidak dinilai salah, kecuali bila di ulang-ulang.
Dia adalah pembendaharaan menyangkut segala sesuatu. Dia menyembuhkan segala macam
penyakit, serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan , serta
melindunginya dari segala keburukan dan menjadi mantera untuk menghadapi
kesulitan. Surah inilah yang merupakan ketetapan bagi pujian yang mencakup
segaa sifat kesempurnaan, serta kesyukuran yang mengandung pengagungan terhadap
Allah, pemberi nikmat, dan dia pula yang merupakan inti doa karena doa adalah
menghadapkan diri kepada-Nya sedang doa yang teragung tersimpul di dalam
hakikat sholat. Jika demikian, tujuan
utama dari surah al-Fatihah adalah mentapkan kewajaran Allah swt. Untuk di
hadapkan kepada-Nya segala puian dan sifat-sifat kesempurnaan, dan meyakini
kepemilikan-Nya atas dunia dan akhirat serta kewajaran-Nya untuk di sembah dan
di mohonkan dari Nya pertolongan, dan nikmat menempuh jalan lurus sambil
memohon keterhindaran dari jalan orang yang binasa.
Itulah tujuan dan
tema pokok surah al Fatihah, demikian al-Biqa’i.
TAFSIRAN PER AYAT
v
Ayat 1 Bismillahir rahmani arrahim
(dengan nama Allah yang Rahman lagi Rahim)
Ayat ini di mulai
dengan huruf “Ba” yang berarti dengan. Yang mengandung satu kata atau kalimat
yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan
Basmalah, yaitu kata “memulai”, sehingga Bismillah berarti “ Saya atau Kami
memulai apa yang kami kerjakan ini dengan nama Allah”. Ini menjadi tanda bagi
pengucap bahwa apa yang di kerjakannya selalu di iringi dengan doa atas nama
Allah.
Apabila seseorang
memulai sebuah pekerjaan atas nama Allah maka pekerjaan tersebut akan menjadi
baik atau paling tidak, pengucapnya akan terhindar dari godaan nafsu, dorongan
ambisi atau kepentingan pribadi, sehinggga setiap perbuatannya membawa manfaat
bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya serta kemanusiaan secara
keseluruhan.
Rasulullah saw
bersabda “ Setiap perbuatan yang penting yang tidak di mulai dengan
‘Bismillahirrahmanirrahim’ maka perbuatan tersebut cacat” (HR As-Suyuthi).
Pengucap basmalah
ketika mengaitkan ucapannya dengan kekuasaan dan pertolongan Allah maka seakan
akan ia berkata “ Dengan kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya pekerjaan yang
saya lakukan dapat terlaksana”.
Apapun aktivitas
yang anda lakukan, termasuk menarik dan menghembuskan nafas, makan atau minum,
gerak reflex atau sadar, diam atau bergerak, semuanya tidak dapat terlaksana
tanpa kekuasaan dan pertolongan Allah.
Di sini pengucap
yang menghayati ucapannya akan menyadari kelemahannya di hadap Allah swt.,
tetapi dalam saat yg sama ia memperoleh kekuatan dan rasa percaya diri , karena
ketika itu ia telah menyadarkan diri kepada Allah swt. Sambil memohon
bantuannya.
v
Ayat 2 Alhamdulillahi rabbil alamin ( segala puji
bagi Allah pemelihara seluruh alam).
Ayat ini memiliki
dua sisi makna. Pertama berupa pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan, dan
kedua berupa bentuk perbuatan syukur kepada-Nya . Syukur adalah mengakui dengan
tulus dan penuh hormat, nikmat yang di anugrahkan oleh yang di sykuri itu,
dengan kata-kata maupun dengan perbuatan.
Pujian kepada-Nya
dalam bentuk ucapan merupakan anjuran, apalagi saat mendapatkan anugrah Ilahi. Itu sebabnya Rasulullah
saw. Selalu mengucapkan al-hamdu lillah dalam kondisi dan situasi apapun. baik
bangun tidur dan sebelum tidur Rasulullah saw sering mengucapkan al-hamdu lillah.
Apabila seseorang
sering mengucapkan al-hamdu lillah, maka seterusnya ia akan merasa berada dalam
curahan rahmat dan kasih sayang
Tuhan. Dia akan merasa bahwa Tuhan tidak membiarkannya sendiri. Jika kesadaran
ini telah berbekas dalam jiwanya, maka seandainya sesekali ia mendapatkan
cobaan atau merasakan kepahitan, dia pun akan tetap mengucapkan al-hamdu
lillah. Karena si pengucap sadar bahwa limpahan karunia-Nya sudah demikian banyak,
sehingga cobaan dan malapetaka itu tidak lagi berarti di bandingkan dengan
besar dan banyaknya karunia selama ini. di samping itu akan terlintas pula
dalam pikirannya bahwa pasti ada hikmah di balik cobaan itu, karena semua
perbuatan Tuhan pasti terpuji.
v
Ayat 3 : Ar-Rahman ar- Rahim
Ketika seseorang
membaca ar Rahman atau ar-Rahim maka di harapkan jiwanya akan di
penuhi oleh rahmat dan kasih saying, dan saat itu rahmat dan kasih saying akan
memancar keluar dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Bukankah perbuatan merupakan
cerminan dari gejolak jiwa? Bukankah seseorang yang dirundung kesedihan atau
kesakitan, keindhaan dapat di anggapnya keburukan? Tidakkah kalu ia sedang
mabuk asmara, segalanya akan terlihat indah? Bukankah setiap wadah menumpahkan
isinya? Sebuah gelas yang berisi sirup pasti akan menumpahkan sirup, jangan
berharap selain sirup.
Menurut Al Gazali
buah yang dihasilkan oleh Rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa, “ ia
akan mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersangkutan untuk
mengalihkan mereka dari jalan kelengahan menuju Allah dengan memberinya nasihat
secara lemah lembut- tidak dengan kekerasan- memandang orang-orang berdosa
dengan pandangan kasih sayang
– bukan dengan gangguan-
serta setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap
dirinya, sehingga ia tidak menyisihkan sedikit upaya pun untuk menghilangkannya
sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si
pendurhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya.
Sedang buah ar-Rahim menurut al-Ghazali adalah,
tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali memenuhi kebutuhannya, tidak juga
membiarkan seorang fakir di sekelilingnya atau di negerinya kecuali dia
berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan,
atau berusaha melalui orang ketiga sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua
itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta
menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitannya. Itu semua sebagai
tanda kasih dan sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengannya dalam
kesulitan dan kebutuhan.
Itulah buah yang di harapkan dari bacaan ar-Rahman
dan ar-Rahim, demikian al-Ghazali.
v Ayat 4 : Malikiyaumiddin (pemilik hari pembalasan)
Ayat ke empat diatas menyatakan bahwa Allah adalah
pemilik atau raja hari Kemudian. Paling tidak ada dua makna yang di kandung
oleh penegasan ini yaitu:
Pertama, Allah menentukan dan Dia pula
satu-satunya yang mengetahui kapan tibanya hari tersebut, sebagai mana
firman-Nya “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu ada pada sisi
Tuhanku, tidak satu (makhluk) pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya
kecuali Dia semata”. (QS.al-A’raf 7: 187).
Kedua, Allah menguasai segala sesuatu yang terjadi
dan apapun yang terdapat ketika itu. Kekuasaan-Nya sedemikian besar
sampai-sampai jangankan bertindak atau bersikap menentang-Nya, berbicara pun
harus dengan seizin-Nya.
“Pada hari itu, Ruh (malaikat Jibril) dan para
malaikat (yang lain) berdiri bershaf-shaf. Tidak ada yang berbicara kecuali
yang di izinkan oleh ar-Rahman dan dia mengucapkan kata-kata yang benar”(QS.
An-Naba’ 76:38).
Ayat 5 :
iyyakana’budu wa iyyakanastain ( Hanya kepada-Mu Kami mengabdi dan hanya
kepada-Mu kami meminta pertolongan ).
Banyak sekali
pesan yang di kandung oleh kedua kata terangkai “iyyaka” dan “na’budu”.
Secara tidak
langsung penggalan ayat ini mengecam mereka yang mempertaruhkan atau menyembah
selain Allah, baik masyarakat Arab ketika itu maupun selainnya. Memang banyak
sekali di antara masyarakat Jahiliah yang menyembah berhala, benda-benda langit
atau bahkan binatang-binatang. Dari kalangan masyarakat Arab, kaum Saba’ di
Yaman, demikian juga suku Taim, Ukal dan Dhabbat di Jazirah Arabia menyembah
matahari.
Penggalan ayat
diatas mengecam mereka semua dan mengumandangkan bahwa yang di sembah hanya Dia
Rabb al-alamin, Tuhan sesembahan-sesembahan itu, bahkan Tuhan seru sekalian
alam.
Ketika seorang
menyatakan iyyaka na’budu maka ketika itu tidak sesuatu apapun, baik dalam diri
seseorang maupun yang berkaitan dengannya, kecuali telah dijadikan milik Allah.
Memang, segala aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah kepada-Nya
sedang puncak ibadah adalah ihsan.
Ibadah merupakan
upaya mendekatkan diri kepada Allah, karena itu ia lebih wajar untuk
didahulukan dari pada memintapertolongan-Nya. Bukankah sebaiknya Anda mendekat
sebelum meminta?. Disisi lain ibadah dilakukan oleh yang bermohon sedang
meminta bantuan adalah mengajak pihak lain untuk ikut serta. Memulai dengan
upaya yang di lakukan sendiri, lebih wajar di dahulukan daripada upaya dengan
meminta bantuan pihak lain. Selanjutnya salah satu hal yang di harapkan
bantuan-Nya adalah menyangkut ibadah itu sendiri, sehingga sangat wajar
menyebut ibadah terlebih dahulu yang merupakan azam dan kebulatan tekad si
pemohon baru kemudian memohon agar di bantu antara lain dalam meraih
kesempurnaan ibadah di maksud. Ini dari segi makna, sedang dari segi redaksi
adalah lebih tepat menyebut nasta’in sebagai akhir ayat agar iramanya sama atau
mirip dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Penggalan kata
iyyaka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti pengkhususan mutlak. Tidak di
perkenankan memadukan motivasi ibadah dengan apapun selain Allah, karena kalau
demikian, keikhlasan akan terganti menjadi riya.
v
Ayat 6 : ihdinissaratalmustaqim (
Bimbinglah (antar) lah kami (memasuki) jalan lebar dan luas.)
Ayat keenam ini
dapat di pahami dalam arti sebagai permohonan agar kiranya Allah swt. Menganugrahkan
kepada si pemohon – melalui naluri, panca indra, akal dan agama kemampuan untuk
menggapai jalan lurus lagi luas itu sehingga ash-shirath al-mustaqim tidak
saja di rasakan di dalam naluri atau dilihat, di cium, di dengar dan di raba
oleh panca indra, tetapi juga di benarkan oleh akal, serta dari saat kesaat
memperoleh bimbingan dan pengetahuan yang bersumber dari Allah swt., kemudian
di beri pula kemampuan untuk melaksanakannya.
v
Ayat 7 : ( yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang di
murkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.)
Ada empat kelompok
manusia yang telah mendapat nikmat khusus dari Allah swt. Yaitu “nikmat
keagamaan”, dan jalan kelompok-kelompok itulah yang di mohonkan agar di
telusuri pula oleh pembaca ayat ketujuh surah al-Fatihah ini.
Kelompok pertama,
disebut sebagai kelompok nabi dan rasul yakni kelompok yang mendapatkan
petunjuk langsung dari Allah swt yang di tugasi untuk menuntun manusa kepada
kebenaran ilahi. Mereka adalah klompok yang terpelihara dari dosa atau
pelanggaran apapun.
Kelompok kedua
disebut sebagai para shiddiqin yaitu orang-orang dengan pengertian
apapun selalu benar dan jujur. Mereka juga selalu mendapatkan bimbingan ilahi,
sehingga terpelihara dari sikap yang bertentangan dengan kebenaran ilahi. Tetapi
tingakatannya berada di bawah tingakatan nabi dan rasul.
Kelompok ketigaa
adalah para syuhada yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan melalui
ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawa sekalipun, dan atau
ereka disaksikan kebenaran dan kebajikan oleh Allah swt, para malaikat dan
lingkungan mereka.
Kelompok keempat
adalah orang-orang saleh yakni yang tangguh dalam kebajikan, dan selalu
berusaha mewujudkannya, kalaupun sesekali ia melakukan pelanggaran kecil tidak
berarti dengan kebajikan-kebajikan mereka.
Melalui ayat
ketujuh ini kiranya mereka , siapa, kapan dan dimanapun, menjadi panutan kita
dalam kehidupan ini.
Sedangkan tipe ad
dhallin ialah sebagai berikut.
Pertama,
orang-orang yang memang sama tidak mengenal atau menemukan petunjuk Allah swt
dan agama yang benar. Sehingga terhalang dari mereka berpikir jauh kedepan
tentang kebenaran yang sebenarnya.
Kedua,
orang-orang yang pernah memiliki sedikit pengetahuan agama, sedikit memiliki
keimanan dalam hatinya tetapi pengetahuan itu tidak dikembangkannya, di asah,
sehingga pudar keimanannya. Termausk dalam tipe ini orang-orang yang hanya
mengandalkan akalnya semata-mata dan menjadikannya satu-satunya tolak ukur,
walaupun dalam wilayah yang tidak dapat di pahami oleh akal.
Ketiga,
yang digambarkan oleh QS. Al-Hijr (15) adalah mereka yang berputus asa dari
rahmat Allah swt. Putus asa akan kesembuhan, pencapaian sukses, pengampunan
dosa dan lain-lain yang kesemuanya berakhir pada tidak bersangka baik kepada
Allah swt.
Demikian ayat
terakhir surah al-Fatihah ini mengajarkan manusia agar bermohon kepada Allah,
kiranya ia di beri petunjuk oleh-Nya sehingga mampu menelusuri jalan luas lagi
lurus, jalan yang pernah di tempuh oleh orang yang telah memperoleh sukses
dalam kehidupan ini, bukan jalan orang-orang yang gagal dalam kehidupan ini,
karena tidak mengetahui yang benar, atau mengetahui tetapi enggan untuk
menelusurinya.
v
Amin
Di anjurkan
mengakhiri bacaan surah ini dengan ucapan “Aamiin”walaupun kata ini bukan
bagian dari surah ini.
Terdapat beberapa
makna mengenai kata ini
1.
Ya Allah perkenankanlah! Ini
pendapat mayoritas ulama
2.
Ya Allah ! lakukanlah!
3.
Demikian itu Ya Allah. Maka
semoga engkau mengabulkannya.
4.
Jangan kecewakan kami ya
Allah!
5.
Amin adalah salah satu nama
Alah swt.
Jika pengertian
Amin di kaitkan dengan surah ini kiranya allah memperkenankan dan tidak
mengecewakan pemohon. Jika kita membacanya maka kita bermaksud “perkenankanlah
semua itu ya Allah, jangan kecewakan kami.”
Demikianlah tafsiran
ringkas surah Alfatihah ini, itulah agama yang benar dan itu pulalah seharusnya
kenyataan hidup kita, jalan yang di harapkan itu telah mengantar puluhan ribu
manusia, para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh ketujuan yang
mereka harapkan. Dan semoga kita tergolong salah satu yang berhasil.
Sumber : Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al Mishbah, I . I, Jakarta: Lentera hati, 2006.