Rabu, 08 Juni 2016

Peranan dan tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi.

 Latar belakang.

Sebelum menguraikan tema hangat mengenai peranan dan tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi. Perlu kiranya pemakalah memilih untuk mendekskripsikan sebuah historis singkat mengenai sebuah perang dingin antara Agama dan Sains yang telah menjadi pembentuk kebundalan Dunia sebagai latar belakang makalah ini.
Ada sebuah kurun Waktu yang panjang di mana berlangsung sebuah anggapan bahwa Newton dan Galileo memperbaharui ilmu pengatahuannya tanpa dukungan dan pengaruh dari faktor-faktor lainnya.[1]
Sehingga terbentuklah sebuah persepsi kemandirian Sains, bahwa para ilmuwan mengandalkan kemandiriannya tanpa pengaruh dari faktor-faktor dari sisi terdalam dirinya. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah mereka sesempurna itu tanpa melakukan kesalahan. Sehingga setiap penemuan Sains selalu terjadi independensi kontras dengan Agama.
Dalam kisahnya Galileo yang mengemukakan teori tentang Heliosentris yang terinspirasi dari copernicus secara aktualnya benar-benar Kontras dengan teori Geosentris Ptolomeus yang di dukung oleh teks Kitab Bible. Dan faktanya ilmu pengetahuan menang, namun otoritas Geraja berusaha untuk memonopoli kebenaran itu dengan kekerasan secara Verbal maupun fisik. Sehingga independensi kontras antara Agama dan Sains menimbulkan konflik. Agama lalu kehilangan kewibawaanya lewat hasil eksperimental observatif sains.
Memang telah menjadi cerita lama jika Agama dan Sains selalu sombong dengan kubuhnya masing-masing. Pada perputaran Dunia Yunani Kuno. Agama dan Sains sudah memulai peperangannya. Dan dizaman Renaiance. Agama benar-benar teradili dengan Sekularisme “ God is dead”.
Di mulai dari Heraklitus dan Leukippus. Materialisme memenuhi dunia pada diri Aristoteles dan memuncak lewat ilmuwan-ilmuwan yang mengemukakan teorinya dengan pembuktian logis dan eksperimental sebagai sebuah Ideologi Induk. Lewat falsifikasi yang terus menerus. Sains kemudian terbukti kuat adanya. Namun jika Agama yang berusaha untuk di falsifikasi dengan pertanyaan apakah Tuhan itu Ada. lewat pembuktian negatif bahwa Tuhan itu tidak ada. namun alat bukti bahwa Tuhan itu Tidak ada juga amat sulit untuk di buktikan. Maka kesimpulannya Agama dengan teksnya tidak memiliki keabsahan, hanya sekedar spekulatif belaka.
 Iman menjadi yang tertuduh menghalang halangi perkembangan Ilmiah dan membuat orang beriman bersikap curiga terhadap sains dan penerapan-penerapan teknologi dan kadang kadang penemuan-penemuan ilmiah di pergunakan untuk membantah iman.[2]
Namun di sinilah awal kejatuhan manusia dari makhluk spritual menjadi makhluk material, lewat corong Renaisans dan “suara keras Cartesian” muncul humanisme yang mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Humanisme menfigurkan manusia sebagai titik sentral alam yang bergerak ke arah pengukuhan manusia sebagai superman.[3]
Lalu timbullah kemudian pertanyaan. Apakah Agama telah kehilangan kewibawaanya sebagai sandaran manusia. apakah benar jika Agama dalam dunia Modern ini menjadi tertradisionalkan dan manusia mengalami pemisahan antara manusia agama dan manusia sains. Apakah benar Agama tidak memiliki peranan dalam penemuan-penemuan Sains. Bahwa Galileo misalnya menarik kesimpulan ilmiahnya tidak berdasarkan Agama dan keimanan padahal dalam faktanya yang menarik. Galileo melakukan ekperimen-eksperimennya itu di maksudkan untuk mendukung kesimpulan yang telah di buatnya terlebih dahulu secara Apriori yang menjadi cara yang sama yang di gunakan dalam Agama.
Rumusan Masalah.
-          Bagaimankah perjumpaan Agama , Sains dan Teknologi?
-          Bagaimanakah krisis yang di timbulkan Sains dan Teknologi terhadap perkembangan dunia modern.?

 Jawaban.
Jawaban pertama .
Sains dalam kehidupan Agama.

Tidak mudah merumuskan agama di tengah-tengah kemajuan modernitas sains dan teknologi. Dan juga tidak mudah merumuskan sains di tengah-tengah kampanye nilai-nilai spritual keagamaan.
Dalam pandagan Prof. Dr Louis Leahy, Secara umum sains bisa di dekskripsikan sesuai dengan dogma rasionalis, yang memandang intelegensi manusia sebagai ukuran seluruh inteligibitas, sains membatasi rasionalisme tersebut dalam batas-batas ilmu pengetahuan saja. hanya ilmu positiflah (kimia, fisika, astronomi, dll) yang mampu memecahkan segala masalah dan memberikan jawaban yang memuaskan kepada segala  tuntutan manusia akan inteligibitas. Itulah suatu pendapat yang menyamakan seluruh realitas dengan hal yang dapat di mengerti secara ilmiah[4]. Lewat inilah kemudian segala metafisika menghadapi pengingkaran pada disiplin obyektivisme sintetis aposteriori sains.
Dinegara-negara marxis, sains rupanya secara sistematis di pergunakan untuk membuktikan kebenaran rezim dan sekaligus kehampaan iman. Sebelum Darwin menulis Origin of the Species, Francisco Redi dan Louis Pasteur telah membuktikan kemustahilan maklhluk hidup berasal dari zat mati. Prinsip ini disebut sebagai biogenesis, setiap jenis kehidupan harus dari sel yang telah ada. [5] tidak ada penyebutan Tuhan dalam penemuan asal makhluk hidup.
Misalnya Evolusi Janin dalam kandungan Ibu, yang seabad yang lalu masih menjadi sebuah misteri sekarang terkuak. Telur dan jenis hewan di olah, kromosom-kromosom yang merupakan pendukung sifat-sifat keturunan , di olah untuk mengubah spesies-spesies biologis atau menampakkan pelbagai anomali. Sarjana Italia Petruci pernah melakukan suatu percobaan yang berani. Di dalam laboratorium dia telah berhasil menyuburkan sebuah sel telur dengan dengan sebuah spermatozoid dan mempertahankan perkembangan janin manusia selama dua puluh sembilan hari. [6]
Sains maju dari penemuan ke penemuan baru. Walaupun para ilmuwan besar melihat bahwa bidang yang di kenal itu semakin bertambah besar, namun para penyusun karangan sains populer tidak serendah hati itu dan orang awam mudah sekali percaya bahwa sains terus-menerus menyingkirkan iman dengan mengungkapkan dasar manusiawi dan alami.
Ketika terlihat pemandangan pelangi di langit. Manusia awam dahulu menganggap bahwa bidadari Tuhan sedang turun mandi di sungai. Namun lewat pengetahuan ilmiah. Teori tentang pembiasan cahaya dan air hujan sehingga membentuk warna-warna pelangi lebih di terima oleh akal budi.
Dari sinilah pengaruh kemajuan sains telah mengurangi peran Tuhan dalam kehidupan aktual manusia. kita akan setuju jika bukan karena Doa lah yang berseru-seru yang akan menyelamatkan kita dari kelaparan dan penyakit melainkan alat-alat kedokteran dan teknologi panganlah yang membebaskan manusia dari masalah hidupnya. Sehingga timbullah sebuah keyakinan empiris bahwa manusia adalah penguasa bagi keselamatannya sendiri.
Para ilmuwan teknologi kini bisa menjadi penentu kehidupan. Dan pergerakan bumi. Bahkan lewat merekalah. Dunia ini bisa kiamat kapan saja tanpa membutuhkan Malaikat untuk meniupkan sangkakalanya.
Nasib pendefenisian Agama di tengah arus penguasaan manusia tekno mengalami kesialan besar. Yang paling populer adalah pembatalan teori geosentris Ptolomeus yang menjadi keabsahan pengetahuan pada Abad 16. Yang lalu kemudian dalam peneropongan yang di lakukan Galileo-Galilei menimbulkan pertentangan antara Sains dan Agama.[7] Kristus dengan menjelmakan diri pada bumi ini, dengan mati dan bangkit kembali di planet kita ini, telah menembus segenap alam semesta , sebab bumi ini di angap pusat tetap alam semsta itu. Tapi tiba-tiba saja Galileo menghapuskan “kepastian” yang begitu terang dan sempurna itu. Bisa di mengerti kegelisahan yang dialami oleh para ahli agama yang melihat suatu aspek penyelamatan telah di pertanyakan.[8]
Sekarang haruslah di akui bahwa ketika Agama menawarkan diri menghadapi sains , iman yang samar-samar bisa bersikap curiga. Seperti halnya ketika manusia agamais modern yang terlalu fundamental masih menganggap bahwa. “jika kamu mengakui teori Evolusi Darwin maka kamu adalah orang-orang yang termasuk kafir.”

Teknologi dan kehidupan Agama.

Teknologi menurut Takdir Alisjahbana adalah kecakapan manusia melipat gandakan tenaga dan kemungkinannya dengan memakai tenaga-tenaga dan kemungkinan-kemungkinan alam yang tiada berhingga besarnya. [9]
Roda adalah penemuan manusia yang pertama untuk menghentikannya menempuh perjalanan dengan kakinya. lewat kemajuan Teknologi Roda kemudian dapat di gerakkan oleh mesin uap, yang semakin mempercepat daya tempuh. Bahkan dengan pesawat, jarak yang dulunya mustahil untuk di tempuh dalam beberapa jam saja kini sudah tidak mustahil lagi.
Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di barat nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Manusia modern sudah beranggapan bahwa jika ingin maju , agama tidak boleh lagi mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia, seperti politik dan sains. Seperti yang di kemukakan oleh Hendrik Kamer bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat mendalam. Setiap orang di zaman kita yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermaca-macam alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tak dapat dengan jujur berkata lain dari pada itu.

Persoalan kedua
Bagaimanakah krisis yang di timbulkan .....
Ketika pertanyaan “Gnouti seauto” bergema di seantero atmosfir bumi yang mengakibatkan gaya gravitasi logis yang kuat dalam akal budi manusia. tercatat setelah di mualainya eksistensi manusia pertanyaan “kenalilah dirimu” menjadi pertanyaan yang mengakibatkan kemajuan dalam perkembangan zaman di dunia.
Namun dalam pengeluaran Argumentasi manusia ketika menjawab pertanyaan ini malah semakin menjauhkan manusia dari pengenalan dirinya sehingga menimbulkan krisis diri. manusia yang merasa unggul dengan penemuan sains dan teknologi lewat otaknya yang brilian. Misalnya ketika Descartes menjawab “Gnouti Seauoto” terjadi perpisahan antara tubuh dan ruh (spirit) yang kini di kenal dengan istilah Cartesian Dualism bahwa antara ruh dan dan jasad memiliki sifat-sifat yang saling bertentangan secara mendalam. Dan barat memilih jasad sebagai defenisi manusia.
Sebagai konsekuensi logis kekeliruan paradigma pemikiran barat modern diatas, berbagai permasalahan kemanusiaan universal yang muncul dewasa ini , di antaranya krisis spiritual, krisis moral dan krisis lingkungan.

a.      Krisis Spritual.

Ketika Descartes mengemukakan Dualismenya pada permukaan dunia barat yang mereduksi tubuh manusia menjadi roh ataupun roh menjadi tubuh. Namun karena peradaban barat itu lebih cenderung kepada saintisisme dan mekanisasi, maka pada akhirnya yang di singkirkan adalah roh. Hasilnya adalah makhluk manusia menjadi robot yaitu mesin yang harus terus di awasi dan di manipulasi seperti mesin lainnya dengan menggunakan kekuatan fisik kimiawi dan alat-alat teknologis. Yang menjunjung tinggi nilai-nilai material dan menyingkirkan nilai-nilai Spritual.[10]
Dalam prosesenya ketika manusia modern melihat dunia dengan kaca mata materialism maka akan terjadi keterasingan diri spirit yang kemudian menyebabkan tubuh profan mengungguli tubuh sacral. C.A. Qadir misalnya menyebutkan bahwa wawasan tentang yang kudus telah hilang dari konsep barat tentang pengetahuan, yang dulu menjadi titik sentral pengetahuan dalam Islam. Keterhilangan diri spirit ini menyebabkan manusia teralienasi yang menyebabakan kekacauan dan ketidak seimbangan pada kehidupan actual manusia. Sebagaimana Seyyed Hossein Nasr yang menyatakan bahwa realitas pengetahuan hampir seluruhnya  mengalami eksternalisasi dan desakralisasi, terutama di kalangan sebagian umat manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses modernisasi.[11]
Maka saat diri manusia di bungkus oleh titik hitam materialism kapitalisme yang mengembangkan teknologi dengan mengedepankan penglupaan terhadap spiritual akan menggiring manusia kepada krisis yang makin dalam. Ketika manusia mengalami krisis dalam dirinya maka akan terjadi ketidak seimbangan dan penghancuran secara tidak sadar terhadap luar dirinya. Persaingan yang tidak sehat akan terjadi karena manusia telah kehilangan tujuan kebenaran yang sebenarnya. Maka berubahlah manusia menjadi Robot penghancur yang menghancurkan dirinya, orang lain, alam dan Tuhan.

Krisis Moral

Saat manusia telah mengalami krisis Spritual maka seperti wabah demam berdarah. Krisis itu kemudian menyebar keberbagai Aspek pada diri manusia. Termasuk dalam krisis Moral. Moral merupakan Identitas atau jati diri seseorang yang dapat menentukan dan menempatkan pada level mana dia berada. Tinggi rendahnya moral seseorang dapat di ukur dari bagaimana dia berbuat dan bertingkah laku di masyarakat. Zakiah Drajat mengartikan moral itu sebagai kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat , yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang di sertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Dan dalam ajaran Agama maka moral adalah suatu hal yang penting bahkan terpenting, di dalamnya terkandung kejujuran kebenaran, keadilan dan pengabdian.
Ketika manusia menjadi manusia informasi yang oleh para ahli Futurolog sebagai Era informasi dan Globalisasi. Sehingga pada zaman ini pepatah hukum rimba berubah menjadi Hukum Informasi, bahwa bukanlagi siapa yang kuat dialah yang akan menang tetapi siapalah yang dapat menguasai informasi maka dialah yang akan menang. Kekuatan manusia pada zaman ini telah di artikan sebagai kecerdasan informasi.
Namun dari konsekuensi kekeliruan  logis  dari cara pandang ilmuwan barat di abad modern yang menganggap manusia sebagai pusat segala-galanya hingga mengabaikan nilai-nilai spritualitas yang juga berdampak pada nilai moral manusia. Penguasaan teknologi Informasi yang berpusat di Amerika dengan pola pikir sekularisme tadi berdampak negative pada pendidikan, politik, ekonomi dan sebagainya.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia misalnya. Tempat duduk DPR sebenarnya di duduki oleh manusia –manusia yang pintar secara akademik. Namun Indonesia belum beranjak dari tingkat paling teratas terjadinya kesialan penyakit korupsi. Yang kebanyakan di lakukan oleh pejabat Negara. Ini bukan karena mereka tidak ahli dalam menjalankan tugasnya namun mereka tidak memliki nilai moral untuk menahan godaan untuk memainkan uang yang di kelola untuk kepentingan pribadi dan memisahkan uang untuk Rakyat.
Sekali lagi ini diakibatkan oleh cara pandang etika dan epistimologi yang keliru.

Krisis Lingkungan.

Menurut H Hikmat Trimendi, krisis lingkungan yang terjadi saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamentalis filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia terhadap dirinya , alam dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan itu menyebabkan kesalahan pola prilaku manusia, terutama dalam berhubungan dengan alam. Aktivitas produksi dan perilaku konsumtif gila-gilaan melahirkan sikap dan pola prilaku ekploitatif.[12] Sehingga dari kesalahan kekeliruan yang amat tragis itu menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
Ketika manusia berpikir seperti cara berpikir Newton yang percaya setelah alam tercipta, alam semesta bergerak  seperti sebuah mesin dan di atur oleh hukum-hukum deterministic, dan Tuhan tidak diperlukan lagi kehadiranNya dalam kosmos ini. Maka akan terjadi ekploitasi alam dan hasrat manusia untuk kepentingan ekonomi menjadi tak terbatas. Pohon-pohon menjadi aspal dan bangunan permanent yang sangat membahayakan manusia itu sendiri.
Bencana Lapindo Brantas di Jawa Timur menjadi contoh terkuaknya keterhilangan manusia dari dirinya yang sebenarnya. Manusia yang serakah lewat misi materialismenya akan merugikan orang lain lalu memakan korban. Ketika manusia terus mengalami keterculikan diri maka manusia akan berubah menjadi monster pemakan jiwa. Entah melahap jiwa manusia, alam sendiri hingga jiwa dirinya sendiri.
Namun melihat lingkungan sekitar yang semakin lama semakin kehilangan  eloknya dalam artian hancur-sehancurnya. Dapat kembali membangunkan manusia dari tidur amnesia dirinya. Nasr mengatakan “bahwa dia baru menyadari krisis spiritual yang mengancam batinnya melalui krisis lingkungan alam di sekeliling dirinya”[13] lebih lanjut lagi Nasr  mengatakan bahwa upaya – upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan alam makin sering di lakukan tiga dekade yang lalu tampaknya belum menyentuh inti persoalan. Itulah sebabnya krisis ekologis yang akut dan bahaya dapat mengancam masa depan kehidupan manusia tetap tidak teratasi. Karena usaha manusia untuk “hidup dengan roti semata-mata” atau untuk “membunuh Semua Tuhan” dan untuk menyatakan kemerdekaanya dari kekuatan Surgawi.[14]






[1] Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan, ( Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), h. 19.
[2] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah, masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h. 115.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1998) h.12.
[4] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah, masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h. 114.
[5] W Steanley Heath, Sains ,Iman dan Teknologi ,manakah yang benar Firman Allah ataukah Sains Modern, ( Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997). h. 93.
[6] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah, masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h. 120.
[7] W Steanley Heath, Sains ,Iman dan Teknologi ,manakah yang benar Firman Allah ataukah Sains Modern, ( Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997). h. 89.
[8] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah, masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h.
[9] Alisjahbana, pemikiran Islam dalam menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, ( Jakarta : Dian Rakyat,1992), h. 10.
[10] Muhammad Sabri, Muhammad Saleh Tadjuddin, Wahyudin Halim, Buku Daras Filsafat Ilmu,( Makassar: Alauddin pers, 2009). h.70
[11] Seyyed Hoessin Nasr, “Tentang Tradisi” dalam perennialisme: melacak jejak filsafat Abadi ( ed. Ahmad Norma Pratama), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1996) h. 143.
[12] H. Hikmat Trimendi, Islam dan Penyelamatan Lingkungan,(Bandung: Q Tab,2007), h.1.
[13] Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Flight of Modern Man (Islam dan Nestapa Manusia Modern), terj. Anas Mahyuddin (Bandung:Pustaka, 1983), h. 86.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Man and nature the Spritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperback,1976), h.8-9 dikutip dari Wahyudin Halim, Sufisme dan Krisis Spritual Manusia Modern, studi atas pemikiran metafisika sufistik Seyyed Hossein Nasr, ( Makassar: Alauddin University pers, 2011) h. 156.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon