Latar belakang.
Sebelum menguraikan tema hangat
mengenai peranan dan tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi. Perlu kiranya
pemakalah memilih untuk mendekskripsikan sebuah historis singkat mengenai
sebuah perang dingin antara Agama dan Sains yang telah menjadi pembentuk
kebundalan Dunia sebagai latar belakang makalah ini.
Ada sebuah kurun
Waktu yang panjang di mana berlangsung sebuah anggapan bahwa Newton dan Galileo
memperbaharui ilmu pengatahuannya tanpa dukungan dan pengaruh dari faktor-faktor
lainnya.[1]
Sehingga
terbentuklah sebuah persepsi kemandirian Sains, bahwa para ilmuwan mengandalkan
kemandiriannya tanpa pengaruh dari faktor-faktor dari sisi terdalam dirinya.
Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah mereka sesempurna itu
tanpa melakukan kesalahan. Sehingga setiap penemuan Sains selalu terjadi
independensi kontras dengan Agama.
Dalam kisahnya
Galileo yang mengemukakan teori tentang Heliosentris yang terinspirasi dari
copernicus secara aktualnya benar-benar Kontras dengan teori Geosentris
Ptolomeus yang di dukung oleh teks Kitab Bible. Dan faktanya ilmu pengetahuan
menang, namun
otoritas Geraja berusaha untuk memonopoli kebenaran itu dengan kekerasan secara
Verbal maupun fisik. Sehingga independensi kontras antara Agama dan Sains menimbulkan
konflik. Agama lalu kehilangan kewibawaanya lewat hasil eksperimental
observatif sains.
Memang telah
menjadi cerita lama jika Agama dan Sains selalu sombong dengan kubuhnya
masing-masing. Pada perputaran Dunia Yunani Kuno. Agama dan Sains sudah memulai
peperangannya. Dan dizaman
Renaiance. Agama benar-benar teradili dengan Sekularisme “ God is dead”.
Di mulai dari
Heraklitus dan Leukippus. Materialisme memenuhi dunia pada diri Aristoteles dan memuncak lewat
ilmuwan-ilmuwan yang mengemukakan teorinya dengan pembuktian logis dan
eksperimental sebagai sebuah Ideologi Induk. Lewat falsifikasi yang terus
menerus. Sains kemudian terbukti kuat adanya. Namun jika Agama yang berusaha
untuk di falsifikasi dengan pertanyaan apakah Tuhan itu Ada. lewat pembuktian
negatif bahwa Tuhan itu tidak ada. namun alat bukti bahwa Tuhan itu Tidak ada
juga amat sulit untuk di buktikan. Maka kesimpulannya Agama dengan teksnya tidak
memiliki keabsahan, hanya sekedar spekulatif belaka.
Iman menjadi yang tertuduh menghalang halangi
perkembangan Ilmiah dan membuat orang beriman bersikap curiga terhadap sains
dan penerapan-penerapan teknologi dan kadang kadang penemuan-penemuan ilmiah di
pergunakan untuk membantah iman.[2]
Namun di sinilah
awal kejatuhan manusia dari makhluk spritual menjadi makhluk material, lewat
corong Renaisans dan “suara keras Cartesian” muncul humanisme yang
mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Humanisme
menfigurkan manusia sebagai titik sentral alam yang bergerak ke arah pengukuhan
manusia sebagai superman.[3]
Lalu timbullah
kemudian pertanyaan. Apakah Agama telah kehilangan kewibawaanya sebagai
sandaran manusia. apakah benar jika Agama dalam dunia Modern ini menjadi
tertradisionalkan dan manusia mengalami pemisahan antara manusia agama
dan manusia sains. Apakah benar Agama tidak memiliki peranan dalam
penemuan-penemuan Sains. Bahwa Galileo misalnya menarik kesimpulan ilmiahnya
tidak berdasarkan Agama dan keimanan padahal dalam faktanya yang menarik.
Galileo melakukan ekperimen-eksperimennya itu di maksudkan untuk mendukung
kesimpulan yang telah di buatnya terlebih dahulu secara Apriori yang menjadi
cara yang sama yang di gunakan dalam Agama.
Rumusan Masalah.
-
Bagaimankah
perjumpaan Agama , Sains dan Teknologi?
-
Bagaimanakah
krisis yang di timbulkan Sains dan Teknologi terhadap perkembangan dunia
modern.?
Jawaban.
Jawaban pertama .
Sains dalam kehidupan Agama.
Tidak mudah merumuskan agama di tengah-tengah
kemajuan modernitas sains dan teknologi. Dan juga tidak mudah merumuskan sains
di tengah-tengah kampanye nilai-nilai spritual keagamaan.
Dalam pandagan Prof. Dr Louis Leahy,
Secara umum sains bisa di dekskripsikan sesuai dengan dogma rasionalis, yang
memandang intelegensi
manusia sebagai ukuran seluruh inteligibitas, sains membatasi rasionalisme
tersebut dalam batas-batas ilmu pengetahuan saja. hanya ilmu positiflah (kimia,
fisika, astronomi, dll) yang mampu memecahkan segala masalah dan memberikan
jawaban yang memuaskan kepada segala
tuntutan manusia akan inteligibitas. Itulah suatu pendapat yang
menyamakan seluruh realitas dengan hal yang dapat di mengerti secara ilmiah[4].
Lewat inilah kemudian segala metafisika menghadapi pengingkaran pada disiplin
obyektivisme sintetis aposteriori sains.
Dinegara-negara marxis, sains rupanya
secara sistematis di pergunakan untuk membuktikan kebenaran rezim dan sekaligus
kehampaan iman. Sebelum Darwin menulis Origin of the Species, Francisco Redi
dan Louis Pasteur telah membuktikan kemustahilan maklhluk hidup berasal dari
zat mati. Prinsip ini disebut sebagai biogenesis, setiap jenis kehidupan harus
dari sel yang telah ada. [5] tidak ada penyebutan Tuhan dalam
penemuan asal makhluk hidup.
Misalnya Evolusi Janin dalam kandungan Ibu, yang seabad yang lalu
masih menjadi sebuah
misteri sekarang terkuak. Telur dan jenis hewan di olah, kromosom-kromosom yang
merupakan pendukung sifat-sifat keturunan , di olah untuk mengubah
spesies-spesies biologis atau menampakkan pelbagai anomali. Sarjana Italia
Petruci pernah melakukan suatu percobaan yang berani. Di dalam laboratorium dia
telah berhasil menyuburkan sebuah sel telur dengan dengan sebuah spermatozoid
dan mempertahankan perkembangan janin manusia selama dua puluh sembilan hari. [6]
Sains maju dari penemuan ke penemuan
baru. Walaupun para ilmuwan besar melihat bahwa bidang yang di kenal itu
semakin bertambah besar, namun para penyusun karangan sains populer tidak
serendah hati itu dan orang awam mudah sekali percaya bahwa sains terus-menerus
menyingkirkan iman dengan mengungkapkan dasar manusiawi dan alami.
Ketika terlihat pemandangan pelangi di
langit. Manusia awam dahulu menganggap bahwa bidadari Tuhan sedang turun mandi
di sungai. Namun lewat pengetahuan ilmiah. Teori tentang pembiasan cahaya dan
air hujan sehingga membentuk warna-warna pelangi lebih di terima oleh akal
budi.
Dari sinilah pengaruh kemajuan sains
telah mengurangi peran Tuhan dalam kehidupan aktual manusia. kita akan setuju
jika bukan karena Doa lah yang berseru-seru yang akan menyelamatkan kita dari
kelaparan dan penyakit melainkan alat-alat kedokteran dan teknologi panganlah
yang membebaskan manusia dari masalah hidupnya. Sehingga timbullah sebuah
keyakinan empiris bahwa manusia adalah penguasa bagi keselamatannya sendiri.
Para ilmuwan teknologi kini bisa menjadi
penentu kehidupan. Dan pergerakan bumi. Bahkan lewat merekalah. Dunia ini bisa
kiamat kapan saja tanpa membutuhkan Malaikat untuk meniupkan sangkakalanya.
Nasib pendefenisian Agama di tengah arus penguasaan manusia
tekno mengalami kesialan besar. Yang paling populer adalah pembatalan teori
geosentris Ptolomeus yang menjadi keabsahan pengetahuan pada Abad 16. Yang lalu
kemudian dalam peneropongan yang di lakukan Galileo-Galilei menimbulkan
pertentangan antara Sains dan Agama.[7]
Kristus dengan menjelmakan diri pada bumi ini, dengan mati dan bangkit kembali
di planet kita ini, telah menembus segenap alam semesta , sebab bumi ini di
angap pusat tetap alam semsta itu. Tapi tiba-tiba saja Galileo menghapuskan
“kepastian” yang begitu terang dan sempurna itu. Bisa di mengerti kegelisahan
yang dialami oleh para ahli agama yang melihat suatu aspek penyelamatan telah
di pertanyakan.[8]
Sekarang haruslah di akui bahwa ketika
Agama menawarkan diri menghadapi sains , iman yang samar-samar bisa bersikap
curiga. Seperti halnya ketika manusia agamais modern yang terlalu fundamental masih
menganggap bahwa. “jika kamu mengakui teori Evolusi Darwin maka kamu adalah
orang-orang yang termasuk kafir.”
Teknologi dan kehidupan Agama.
Teknologi menurut Takdir Alisjahbana
adalah kecakapan manusia melipat gandakan tenaga dan kemungkinannya dengan
memakai tenaga-tenaga dan kemungkinan-kemungkinan alam yang tiada berhingga
besarnya. [9]
Roda adalah penemuan manusia yang
pertama untuk menghentikannya menempuh perjalanan dengan kakinya. lewat
kemajuan Teknologi Roda kemudian dapat di gerakkan oleh mesin uap, yang semakin
mempercepat daya tempuh. Bahkan dengan pesawat, jarak yang dulunya mustahil
untuk di tempuh dalam beberapa jam saja kini sudah tidak mustahil lagi.
Seiring dengan kemajuan sains dan
teknologi di barat nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga bergeser
bahkan bersebrangan dengan ilmu. Manusia modern sudah beranggapan bahwa jika
ingin maju , agama tidak boleh lagi mengurusi masalah-masalah yang berkaitan
dengan dunia, seperti politik dan sains. Seperti yang di kemukakan oleh Hendrik Kamer bahwa
semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat mendalam.
Setiap orang di zaman kita yang melihat dan mengamati kehidupan serta
perkembangan agama dengan bermaca-macam alirannya, kesangsiannya dan
pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tak dapat dengan jujur berkata
lain dari pada itu.
Persoalan kedua
Bagaimanakah krisis yang di timbulkan .....
Ketika pertanyaan “Gnouti seauto”
bergema di seantero atmosfir bumi yang mengakibatkan gaya gravitasi logis yang
kuat dalam akal budi manusia. tercatat setelah di mualainya eksistensi manusia
pertanyaan “kenalilah dirimu” menjadi pertanyaan yang mengakibatkan kemajuan
dalam perkembangan zaman di dunia.
Namun dalam pengeluaran Argumentasi
manusia ketika menjawab pertanyaan ini malah semakin menjauhkan manusia dari
pengenalan dirinya sehingga menimbulkan krisis diri. manusia yang merasa unggul
dengan penemuan sains dan teknologi lewat otaknya yang brilian. Misalnya ketika
Descartes menjawab “Gnouti Seauoto” terjadi perpisahan antara tubuh dan ruh (spirit)
yang kini di kenal dengan istilah Cartesian Dualism bahwa antara ruh dan dan
jasad memiliki sifat-sifat yang saling bertentangan secara mendalam. Dan
barat memilih jasad sebagai defenisi manusia.
Sebagai konsekuensi logis kekeliruan paradigma pemikiran barat modern
diatas, berbagai permasalahan kemanusiaan universal yang muncul dewasa ini , di
antaranya krisis spiritual, krisis moral dan krisis lingkungan.
a. Krisis Spritual.
Ketika Descartes mengemukakan Dualismenya pada permukaan dunia barat yang
mereduksi tubuh manusia menjadi roh ataupun roh menjadi tubuh. Namun karena
peradaban barat itu lebih cenderung kepada saintisisme dan mekanisasi, maka
pada akhirnya yang di singkirkan adalah roh. Hasilnya adalah makhluk manusia
menjadi robot yaitu mesin yang harus terus di awasi dan di manipulasi seperti
mesin lainnya dengan menggunakan kekuatan fisik kimiawi dan alat-alat
teknologis. Yang menjunjung tinggi nilai-nilai material dan menyingkirkan
nilai-nilai Spritual.[10]
Dalam prosesenya ketika manusia modern melihat dunia dengan kaca mata
materialism maka akan terjadi keterasingan diri spirit yang kemudian
menyebabkan tubuh profan mengungguli tubuh sacral. C.A. Qadir misalnya
menyebutkan bahwa wawasan tentang yang kudus telah hilang dari konsep barat
tentang pengetahuan, yang dulu menjadi titik sentral pengetahuan dalam Islam.
Keterhilangan diri spirit ini menyebabkan manusia teralienasi yang menyebabakan
kekacauan dan ketidak seimbangan pada kehidupan actual manusia. Sebagaimana
Seyyed Hossein Nasr yang menyatakan bahwa realitas pengetahuan hampir
seluruhnya mengalami eksternalisasi dan
desakralisasi, terutama di kalangan sebagian umat manusia yang sudah mengalami perubahan
karena proses modernisasi.[11]
Maka saat diri manusia di bungkus oleh titik hitam materialism
kapitalisme yang mengembangkan teknologi dengan mengedepankan penglupaan
terhadap spiritual akan menggiring manusia kepada krisis yang makin dalam.
Ketika manusia mengalami krisis dalam dirinya maka akan terjadi ketidak
seimbangan dan penghancuran secara tidak sadar terhadap luar dirinya.
Persaingan yang tidak sehat akan terjadi karena manusia telah kehilangan tujuan
kebenaran yang sebenarnya. Maka berubahlah manusia menjadi Robot penghancur
yang menghancurkan dirinya, orang lain, alam dan Tuhan.
Krisis Moral
Saat manusia telah mengalami krisis Spritual maka seperti wabah demam
berdarah. Krisis itu kemudian menyebar keberbagai Aspek pada diri manusia.
Termasuk dalam krisis Moral. Moral merupakan Identitas atau jati diri seseorang
yang dapat menentukan dan menempatkan pada level mana dia berada. Tinggi
rendahnya moral seseorang dapat di ukur dari bagaimana dia berbuat dan
bertingkah laku di masyarakat. Zakiah Drajat mengartikan moral itu sebagai
kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat , yang
timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang di sertai pula oleh rasa
tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Dan dalam ajaran Agama maka
moral adalah suatu hal yang penting bahkan terpenting, di dalamnya terkandung
kejujuran kebenaran, keadilan dan pengabdian.
Ketika manusia menjadi manusia informasi yang oleh para ahli Futurolog
sebagai Era informasi dan Globalisasi. Sehingga pada zaman ini pepatah hukum
rimba berubah menjadi Hukum Informasi, bahwa bukanlagi siapa yang kuat dialah
yang akan menang tetapi siapalah yang dapat menguasai informasi maka dialah
yang akan menang. Kekuatan manusia pada zaman ini telah di artikan sebagai
kecerdasan informasi.
Namun dari konsekuensi kekeliruan
logis dari cara pandang ilmuwan
barat di abad modern yang menganggap manusia sebagai pusat segala-galanya
hingga mengabaikan nilai-nilai spritualitas yang juga berdampak pada nilai
moral manusia. Penguasaan teknologi Informasi yang berpusat di Amerika dengan
pola pikir sekularisme tadi berdampak negative pada pendidikan, politik,
ekonomi dan sebagainya.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia misalnya. Tempat duduk DPR sebenarnya
di duduki oleh manusia –manusia yang pintar secara akademik. Namun Indonesia
belum beranjak dari tingkat paling teratas terjadinya kesialan penyakit
korupsi. Yang kebanyakan di lakukan oleh pejabat Negara. Ini bukan karena
mereka tidak ahli dalam menjalankan tugasnya namun mereka tidak memliki nilai
moral untuk menahan godaan untuk memainkan uang yang di kelola untuk
kepentingan pribadi dan memisahkan uang untuk Rakyat.
Sekali lagi ini diakibatkan oleh cara pandang etika dan epistimologi yang
keliru.
Krisis Lingkungan.
Menurut H Hikmat Trimendi, krisis lingkungan yang terjadi saat ini
sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamentalis filosofis dalam pemahaman
atau cara pandang manusia terhadap dirinya , alam dan tempat manusia dalam
keseluruhan ekosistem. Kesalahan itu menyebabkan kesalahan pola prilaku
manusia, terutama dalam berhubungan dengan alam. Aktivitas produksi dan
perilaku konsumtif gila-gilaan melahirkan sikap dan pola prilaku ekploitatif.[12]
Sehingga dari kesalahan kekeliruan yang amat tragis itu menyebabkan kerusakan
lingkungan yang parah.
Ketika manusia berpikir seperti cara berpikir Newton yang percaya setelah
alam tercipta, alam semesta bergerak
seperti sebuah mesin dan di atur oleh hukum-hukum deterministic, dan
Tuhan tidak diperlukan lagi kehadiranNya dalam kosmos ini. Maka akan terjadi
ekploitasi alam dan hasrat manusia untuk kepentingan ekonomi menjadi tak
terbatas. Pohon-pohon menjadi aspal dan bangunan permanent yang sangat
membahayakan manusia itu sendiri.
Bencana Lapindo Brantas di Jawa Timur menjadi contoh terkuaknya keterhilangan manusia dari dirinya yang
sebenarnya. Manusia yang serakah lewat misi materialismenya akan merugikan
orang lain lalu memakan korban. Ketika manusia terus mengalami keterculikan
diri maka manusia akan berubah menjadi monster pemakan jiwa. Entah melahap jiwa manusia, alam sendiri hingga
jiwa dirinya sendiri.
Namun melihat lingkungan sekitar yang semakin lama semakin
kehilangan eloknya dalam artian hancur-sehancurnya. Dapat kembali
membangunkan manusia dari tidur amnesia dirinya. Nasr mengatakan “bahwa dia baru menyadari
krisis spiritual yang mengancam batinnya melalui krisis lingkungan alam di sekeliling
dirinya”[13]
lebih lanjut lagi Nasr mengatakan bahwa
upaya – upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan alam makin sering di lakukan
tiga dekade
yang lalu tampaknya belum menyentuh inti persoalan. Itulah sebabnya krisis
ekologis yang akut dan bahaya dapat mengancam masa depan kehidupan manusia tetap tidak teratasi.
Karena usaha manusia untuk “hidup dengan roti semata-mata” atau untuk “membunuh
Semua Tuhan” dan untuk menyatakan kemerdekaanya dari kekuatan Surgawi.[14]
[1] Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan,
( Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), h. 19.
[2] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah,
masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h. 115.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1998) h.12.
[4] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah,
masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h. 114.
[5] W Steanley Heath, Sains ,Iman dan
Teknologi ,manakah yang benar Firman Allah ataukah Sains Modern, ( Yogyakarta:
Yayasan Andi, 1997). h. 93.
[6] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah,
masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h. 120.
[7] W Steanley Heath, Sains ,Iman dan
Teknologi ,manakah yang benar Firman Allah ataukah Sains Modern, ( Yogyakarta:
Yayasan Andi, 1997). h. 89.
[8] Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah,
masalah Ketuhanan Dewasa Ini, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), h.
[9] Alisjahbana, pemikiran Islam dalam
menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, ( Jakarta : Dian
Rakyat,1992), h. 10.
[10]
Muhammad Sabri, Muhammad Saleh Tadjuddin, Wahyudin Halim, Buku Daras Filsafat
Ilmu,( Makassar: Alauddin pers, 2009). h.70
[11]
Seyyed Hoessin Nasr, “Tentang Tradisi” dalam perennialisme: melacak jejak
filsafat Abadi ( ed. Ahmad Norma Pratama), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1996)
h. 143.
[12]
H. Hikmat Trimendi, Islam dan Penyelamatan Lingkungan,(Bandung: Q Tab,2007),
h.1.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Flight of Modern Man (Islam dan Nestapa
Manusia Modern), terj. Anas Mahyuddin (Bandung:Pustaka, 1983), h. 86.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, Man and nature the Spritual Crisis of Modern Man (London:
Unwin Paperback,1976), h.8-9 dikutip dari Wahyudin Halim, Sufisme dan Krisis
Spritual Manusia Modern, studi atas pemikiran metafisika sufistik Seyyed
Hossein Nasr, ( Makassar: Alauddin University pers, 2011) h. 156.