Orientalisme dan pengaruhnya terhadap politik
Islam
A. Orientalisme Mendefenisikan politik Islam
sebagai “yang betina” sebuah deskripsi Umum.
Dewasa ini muncul serangan yang begitu besar
dan agresif terhadap masyarakat Arab dan Muslim. Menjadi sebuah kenyataan pahit
bahwa serangan itu di latar belakangi oleh anggapan buram bahwa masyarakat Arab
dan Muslim adalah masyarakat yang terbelakang, yang tidak memiliki sistem
Demokrasi yang kukuh dan tidak ramah-cenderung memberangus- hak-hak para
perempuannya. Dua “pakar” Orientalis kenamaan seperti Bernard Lewis dan Fouad
Ajami menegaskan bahwa hanya baratlah (Amerika) yang bisa memulihkan
keterbelakangan itu. Layaknya hanya baratlah yang bisa menyembuhkan “gizi
buruk” Timur sebagai “betina” yang seksi dan dapat dimainkan sesuka hati.
Seperti perlakuan Jendral Sharon dari Israel
yang pada tahun 1982 memimpin invasi ke Libanon untuk mengubah sistem
pemerintahan di sana seraya membunuh sedikitnya 17.000 penduduk sipil. Otak
macam Jendral Sharon ini adalah otak penghapus papan tulis. Yang menghapus
setiap coretan yang telah ada di papan. Lalu di hapus secara paksa seraya
membuat coretan di atas papan tulis yang telah terluka.
Para Sarjana profesional pun di rekrut Amerika
Serikat dari Indonesia, Malaysia, pasukan-pasukan Inggris dan India, Mesir,
Afrika Barat, Prancis, dan Afrika Utara. Untuk melanggengkan kekuasaan kolonialis
sebagai bahasa klise dan justifikasi yang sama lalu di kirim ke timur (Irak)
untuk mengisi papan tulis dan mengajarkan coretan papan tulis itu kepada rakyat
Irak. Mulai dari pengajaran, penulisan dan pembentukan kembali kehidupan
politik Irak.
Tidak hanya di Irak, jauh kebelakang di Mesir
seperti yang di tegaskan oleh Balfour dalam pidatonya.
“pertama-tama mari kita melihat fakta-fakta
yang ada, bangsa-bangsa Barat-sesaat setelah mereka muncul di atas panggung
sejarah- telah memperlihatkan tanda-tanda kemampuannya untuk memerintah diri
sendiri karena mereka memiliki nilai-nilai positif..., tetapi cobalah (Anda
telusuri bangsa-bangsa Timur, Anda tidak akan pernah menemukan jejak-jejak
pemerintahan diri sendiri ( self Goverment). Abad-Abad kebesaran Timur selalu
muncul di bawah pemerintahan Tiranisme, pemerintahan absolut. Begitu pula,
semua kontribusi mereka yang luar biasa pada peradaban juga di ciptakan dibawah
sistem pemerintahan semacam itu. Penakluk-penakluk pun datang silih berganti,
dominasi tegak dan runtuh susul menyusul. Akan tetapi , dalam pasang surutnya
nasib dan peruntungan mereka. Anda tidak akan pernah melihat satu pun dari
bangsa-bangsa tersebut, dengan inisiatif nya sendiri, menegakkan apa yang kita
sebut pemerintahan oleh diri sendiri. Ini adalah fakta. Ini bukan masalah
superioritas dan inferioritas.....”[1]
Lalu Balfour menegaskan
“ Apakah bangsa-bangsa Timur yang besar ini,
akan menerima jika kita yang menyelenggarakn pemerintahan yang absolut
itu?. Saya pikir mereka akan
menerimanya. Saya juga berpikir bahwa bagi mereka pemerintahan kita jauh lebih
baik di bandingkan dengan pemerintahan yang pernah ada sepanjang sejarah mereka
sebelumnya, dan pemerintahan ini tidak hanya bermanfaat bagi mereka sendiri,
melainkan juga bagi seluruh dunia barat yang beradab”.[2]
Alroy dengan lebih kasar berusaha membuktikan
bahwa orang Arab tak boleh di percaya karena secara psikologis orang Arab memang
tak mampu untuk bersikap damai dan tidak dapat menjalankan keadilan yang
mengikatnya sehingga tak pantas untuk menjalankan sebuah politik kekuasaan. Lebih
baik di perangi saja orang Arab itu seperti memerangi penyakit yang berbahaya.
Alroy secara tidak langsung mengatakan bahwa orang Arab belum pantas di katakan
sebagai manusia . hanya binatang liar yang lebih cocok menganut sistem hukum alam liar yang menganut asas raja Hutan.
Edwar Said dalam Orientalisme mengatakan bahwa
ada tiga hal yang berperan dalam membentuk persepsi politis mengenai bangsa
Arab dan Islam. Pertama, sejarah yang membentuk alergi terhadap Arab dan Islam
yang menjadi penyakit populer yang langsut terjangkit ke sejarah Orientalisme.
Kedua, adanya pergulatan antara orang-orang Arab dengan Zionisme Israel yang
berpengaruh terhadap orang-orang Yahudi serta budaya liberal di barat. ketiga,
orang Arab dan Islam nyaris tidak memiliki posisi yang strategis di dunia
Barat, sehingga kedua kubuh ini selalu saling menduga jika tidak “positif” maka
“negatif”.
Para orientalis memang begitu nyaman
“menghapus setiap sudut-sudut papan tulis (Timur) dan memberi coretan sesuka
hati seraya melakukan rangsangan sebelum melakukan relasi seksual” karena
orientalisme memiliki hegemoni seperti yang di identifikasi oleh Gramsci yang
memberi kekuatan, keperkasaan dan ketahanan sebagai yang “jantan” bagi
Orientalisme sejauh ini. Orientalisme memiliki gagasan kolektif ( gagasan eropa
istilah Denys Hay) yang perkasa yang menempatkan Timur sebagai entitas yang
berbeda. Sehingga orientalisme bisa melakukan hegemoninya baik secara kultural,
politis, dan tekstual terhadap yang lain dari (barat).
Pengetahuan
akan selalu memberi kekuasaan. Apalagi semakin tinggi kekuasaan itu maka akan
semakin banyak pengetahuan yang di butuhkan. Tujuan dari kajian- yang katanya
ilmiah- dilakukan oleh Orientalisme tak lebih sebagai cukong – cukong penguasa
yang hendak menguasasi –dalam hal ini Timur dan khususnya Islam.
Orientalisme memang harus di “intip” sebagai bukan semata-mata merupakan elaborasi
perbedaan Geografis tetapi juga
mengikutkan sederet kepentingan yang akan mempengaruhi kebijakan
politik. Orientalisme akhirnya memang merupakan suatau wacana yang dibentuk
oleh politik kekuasaan sistem pemerintahan imperialis dan kolonial, juga
intelektual kekuasaan dengan mengikutkan sistem sains dengan kebijakan
modern, dan kultur kekuasaan seperti undang-undang ras, bahasa dan
nilai-nila serta moral kekuasaan tentang apa yang “kita” lakukan dan apa
yang tidak dapat “mereka” lakukan atau pahami seperti yang “kita” lakukan atau
“kita” pahami.
Dengan misi wacana kekuasaan yang di usung
oleh “Barat” dengan politik kekuasaan yang berwajah modern akan begitu
berpengaruh bagi politik Islam yang pada saat berjumpa dengan Barat, mereka
sedang sakit parah, terperangkap dalam lubang yang di gali sendiri dan sedang tertidur
pulas dengan mimpi-mimpi yang indah di masa lalu.
B.
Islam
sebagai betina yang menerima rangsangan sebuah analisi kritis.
Orientalisme
yang datang dengan membawa dan menciptakan sebuah pengetahuan yang berbasis
kekuasaan telah merangsang orang –orang Islam yang selama ini menjadi “perawan
malu-malu” yang hanya menerima begitu saja setiap fase rangsangan orang-orang Barat. Pengaruh
Orientalisme terhadap Timur memang di
ibaratkan dengan skema relasi seksual. Timur yang di ibaratkan dengan perawan
yang berposisi sebagai penerima rangsangan hanya menawarkan dirinya untuk di
eksplorasi pada setiap titik rangsangan yang di milikinya. Sedang Barat dengan orientalismenya
berposisi sebagai yang “ jantan perkasa” yang
memiliki pengetahuan untuk berkuasa mengeksplor diri perawan Timur dengan
begitu “aktif”. Berbuat begitu saja hingga mencapai klimaks. Sebuah kenikmatan
yang di rasakannya sendiri. Dan keperawanan Timur akhirnya lenyap oleh
keperkasaan Barat.
Dimulai
dari Abad ke 15, ketika Vasco de Gama membuka jalur pelayaran ke India lewat
tanjung Harapan. Yang mengawali pelayaran Eropa ke anak benua India bahkan
hingga ke Indonesia. Namun selama beberapa Abad. Tak seorang muslim pun yang
berupaya terjun ke dalam jasa angkutan niaga baru ini. Dan itu akan berakibat
timbal balik karena peniagaan lah yang mengawali
keterlibatan politik.
Sebelum Kerajaan Islam “Insyaf”. Perjanjian
yang di lakukan orang-orang Eropa dengan penguasa lokal dengan mengirim bala
tentara untuk melindungi pos-pos perniagaan. Lalu fase perangsangan mulai di
lakukan. Campur tangan lebih jauh di intensifkan maka merebaklah kolonialisme
di berbagai kawasan Timur. sekalipun negeri Islam pada saat itu belum merasakan
akibat penting proses ini. Namun Dunia Islam telah terperangkap pada “gombalan”
sistem Ekonomi Global ciptaan barat.
Kesadaran Eropa sebelumnya telah juga di
rangsang oleh kasus serangan –serangan yang di lakukan oleh kesultanan Turki
hingga ke Hungaria. Namun menjelang abad ke-17 tiba giliran Eropa untuk balik
menyerang sebagai akibat dari keunggulan baru bidang teknologi militer.
Sementara itu hubungan diplomatik politk
ekonomi antara Usmani dan orang-orang Eropa mulai berkembang.
Menjelang penghujung abad ke 18 orang-orang
Usmani sepenuhnya sadar telah menginsyafi ketertinggalannya dari orang-orang
Eropa dalam berbagai masalah praktis dan lingkungan lembaga yang berkuasa
muncul sejumlah pribadi yang sangat berhasrat untuk melakukan pembaharuan,
karena kejatuhan imperium tersebut akan menghilangkan keseimbangan di dalam
suatu kawasan yang luas.
lalu menjelang penghujung abad ke 19, ketika
hasil-hasil teknologi dan industri Eropa mulai mudah di peroleh. Para penguasa
muslim mulai menyegarkan bala tentara dengan persenjataan modern, serta
berbagai fasilitas masyarakat seperti listrik dan air ledeng, lalu mobil juga
mulai berjalan di daratan berdebu serta asap pabrik juga mulai mengepul di
langit Timur. pada pertengahan abad ke 20 sebagian besar masyarakat Muslim
akhirnya sadar sepenuhnya bahwa mereka(barat) telah merenggut keperawanannya
dan masyarakat muslim tidak dapat mencegah pembaratan atas sebagian besar aspek
kehidupan keseharian mereka.
Namun sebenarnya. Meski perawan “Timur dan
khususnya Islam” malu-malu untuk melakukan relasi seksual dan ingin mencegah
setiap rangsangan yang di lakukan orang-orang Barat. kaum muslim sendiri juga
sebenarnya menghendaki untuk “menerima rangsangan” perkembangan tersebut. orang
Barat merayu dengan halus serta sedikit sekali peluang untuk terjadi
“pemerkosaan” peradaban (benturan peradaban pada Istilah Samuel Huntington).
Penguasa-penguasa Muslimlah yang menghendaki modernisasi negerinya, demikian
pula, merupakan kehendak mereka sendiri untuk mengecap kenikmatan-kenikmatan
Eropa. Para penguasa muslim bahkan tidak ragu-ragu menyerahkan dirinya dan
negeri mereka terbelenggu sebagai penghutang –penghutang yang terjerat pada
“rentenir laba-laba” keuangan Dunia. Tidak hanya penguasa Muslim. Masyarakat sipil
pun ikut menikmati kenikmatan-kenikmatan
“rangsangan” itu sampai ikut bernafsu
mengenyam standar-standar baru kehidupan materi yang di kembangkan di barat. maka dari itu sebagian besar ummat muslim
ingin mengirim anak-anak mereka dididik dalam sistem pendidikan tipe barat.
Peralihan kebudayaan ini juga semakin
memperburuk keadaan dalam negeri Muslim. Tercipta kelas menengah atas yang
berpendidikan kebarat-baratan (Westenisasi) serta mengakses produk baru yang
datang dari barat. sedangkan sebagaian masyarakat muslim tak ingin lagi
tersentuh dengan tangan dan rayuan maut para orientalis dan penguasa Barat. peralihan kebudayaan ini akibatnya menimbulkan pergolakan sosial yang hebat. Kecemburuan
sosial telah menjadi asal mula gerakan kebangkitan Islam.
Sebagai negeri yang terjajah baik secara
lahiriah dan batiniah sebagaimana kaum Hindu, budha dan lainnya. Kaum Muslimin
menjawab penjajahan dengan menuntut kemerdekaan. Hingga berujung pada akhir
perang dunia ke II, sebagian besar negara Islam meraih kemerdekaannya secara
lahiriah, tetapi secara Batiniyah sebagian Negara Muslim tetap terperangkap dan
terjajah pada sistem politik Global.
C. Islam sebagai yang “Jantan”.
Menanggapi kebangkitan Islam sebagai lanjutan dari pergolakan sosial
atas perkembangan politik, serta akibat dari terjadinya Westernisasi. Muncullah
gerakan revivalis di seluruh dunia Islam. Yang paling menyita dan menyentakkan
perhatian orang barat adalah berhasilnya Revolusi Iran pada tahun 1979 sebagai
kejadian politik yang paling dramatik. Disini peran Agama (Islam) masih
mendapat perhatian sebagai motivasi yang begitu kuat untuk menumbangkan Rezim
yang telah di tidurkan oleh Barat (Amerika). Keberhasilan Revolusi ini pun juga
telah memberi Spirit umat islam yang terlelap untuk bangun menentang Barat
dengan seperangkat kebudayaannya yang berwajah Sekuler.
Memang benar bahwa awal kebangkitan Umat
muslim di awali dengan gerakan revivalis yang menggelombang. Revolusi Islam
Iran memang berhasil menunjukkan bahwa Barat bukanlah sosok monster yang tidak
dapat di robohkan. Dan konsekuensi dari keberhasilan itu telah membuat khawatir
negeri Barat. bahwa gelombang kebangkitan Islam di Iran itu itu akan merebak ke negeri negeri Islam
lainnya seperti di Mesir, Saudi Arabia, Aljazair, Malaysia dan Indonesia,
Pakistan serta negari muslim lainnya.
Tapi apakah sebuah gerakan yang mengatas
namakan “kebangkitan islam”. Dapat menjadi sandaran sebagai kebangkitan
Universal dengan citra dan muatannya. Karena ketika “Islam” itu di ucapkan maka
yang di maksud adalah sesuatu yang Universal yang mempengaruhi segala dimensi
komunitas masyarakat Islam.
Karena sebagaian negeri Muslim yang ingin ikut
meramaikan gelombang gerakan kebangkitan Islam ini malah terperangkap pada
persoalan dalam negeri yang merangsang terjadinya perang dingin di dalam
negeri. Sebagai mana Ahmad Syafi’i maarif dalam kata pengantar buku “Politik
Kebangkitan Islam”. Bahwa pembunuhan, penindasan, pemusnahan, terhadap golongan
tertentu, pemberontakan, sabotase, dan pembelotan, berjalan tanpa batas. alih-alih
memimpikan kebangkitan Islam. Kehancuran yang lebih buruk malah menghantui
negeri muslim yang terus melakukan kegiatan seperti itu dengan mengatasnamakan
“Revolusi demi kesatuan Nasional”. Alih-alih untuk menjadi yang “jantan” negeri
Muslim malah semakin membetinakan dirinya.
Sungguh Ironis jika kebangkitan islam di awali
dengan gerakan revivalis yang mengarah pada diri lahiriah “Islam” dengan
kekerasan, penumbangan dan pemotongan
leher yang tidak sesuai dan menghalangi
misi revolusi. Krisis sosial, politik,
dan ekonomi menjadi alasan dari gerakan ini dan menjadi jawaban bagi krisis
yang di timbulkan para Orientalis dengan membawa wajah sekuler yang selama ini
mendominasi kehidupan politik dunia
Islam.
Islam sendiri sebagai dirinya yang sebenarnya.
Telah memberikan alternatif stuktur-stuktur politik , ideologis, dan ekonomis.
Islam merupakan basis bagi norma-norma sosial dan kode-kode moral yang sesuai
dengan fungsi masyarakat muslim. Bagaimanapun muslim itu berwajah Barat,
terwesternisasikan serta tersekulerkan ia secara mendasar tetap sebagai Muslim.
Dalam artian yang sesungguhnya, Nabi Muhammad
juga menghadapi sebuah krisis masyarakat di Makkah. Tetapi
pada fase awal Nabi menghadapi krisis itu dengan berusaha
memerdekakan manusia itu dari penjajahan secara mental bukan secara lahariah.
Seraya perubahan mental itu juga akan mempengaruhi lahiriah bangsa Muslim.
Hanya saja Bangsa Muslim telah lupa dan tidak jujur dengan dirinya dan
agamanya.
Memang ini terdengar Hegelian. Namun al Qur’an
secara optimis telah memberikan perangkat Etika yang begitu Indah untuk hidup
damai dan berkeadilan di muka bumi. Oleh karena itu kata “Islam” pada kalimat
“kebangkitan Islam” hadir sebagai gerakan pembaharuan moral
universal. Yang mewujudkan kehidupan umat yang kemudian
menjadi basis yang di teladani kembali oleh umat lain, bahkan menjadi tontonan
yang begitu menarik. Menarik yang bukan berarti “Horor”.
Meskipun nantinya gerakan moral itu juga harus
memerlukan kekuasaan politik, tetapi kekuasaan politik itu bukan berarti
menjadi pengendali sepenuhnya yang mengatasnamakan untuk tujuan “moral” kita
harus membersihkan lawan politik yang berbeda visi. Doktrin amar ma’ruf nahi
mungkar harus menjadi asas dari bangunan politik Islam serta menjaga “Khairu
Ummah” kesatuan umat Islam. Adapun sistem politik yang bergerak dengan bendera
“Revolusi Islam” tetapi mempertahankan status quo, korup, membom rakyat
sendiri, tidak di ragukan lagi merupakan perbuatan yang lebih jahiliyah.
D. Kesimpulan
Ringkasnya saat ini. Islam telah terbangun
dari tidurnya, negeri Islam telah menyadari bahwa keperawanannya telah di
renggut oleh para orientalis sejak lama. Mekanisme seksual para Orientalis
telah merangsang umat Islam untuk kembali menjadi yang “Jantan”. Di bawah
bendera “kebangkitan Islam”.
Timur dan khususnya Islam harus kembali pada
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dirinya yang sebenarnya. Dengan al- Qur’an dan
Sunnah yang mutawatir itu. Islam menjadikan Barat sebagai objek untuk di
teliti. Sebagai Betina yang menerima rangsangan. Karena Al-Qur’an dan As sunnah
sebagai kitab yang universal memuat semua masalah keagamaan dan moral yang
penting untuk seluruh umat manusia mulai sekarang hingga saat penghabisan.
Sebagaimana
Balfour yang begitu pesimistik yang sejalan dengan Malik Bin Nabi bahwa manusia
Islam adalah manusia yang bermental terjajah. Sejak terbakarnya Perpustakaan
Terbesar di Baghdad pada abad ke 13. Serta hijrahnya manusia Islam dari yang
rasional menuju yang apologis Jabariyah. Sehingga Filsafat pasca Ibnu Rusyd
menuju pada alam bawah sadar manusia Islam. Menjadi yang tak terpikirkan.
Hingga saat ini akhirnya Manusia Islam tetap menjadi mainan Barat.
Referensi
Hannafi, Hassan, Oksidentalisme: SIkap kita
terhadap Barat.; ed, Syafiq Hassan. Jakarta: Paramadina, 1999
Hunter T, Shiren. The politics of Islamic
Revivalism :Diversity and Unity, di terjemahkan oleh, Ajat Sudrajat, Politik
Kebangkitan Islam:keragaman dan kesatuan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
2001.
Said W,Edward. Orientalism,
di terjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme: menggugat hegemoni Barat
dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
WM, Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas, di
terjemahkan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997.
[1]
Edward W Said, Orientalism, di terjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme:
menggugat hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h.47
[2]
Edward W Said, Orientalism, di terjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme:
menggugat hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h.48