Rabu, 08 Juni 2016

Orientalisme dan pengaruhnya terhadap politik Islam

Orientalisme dan pengaruhnya terhadap politik Islam


A.    Orientalisme Mendefenisikan politik Islam sebagai “yang betina” sebuah deskripsi Umum.
Dewasa ini muncul serangan yang begitu besar dan agresif terhadap masyarakat Arab dan Muslim. Menjadi sebuah kenyataan pahit bahwa serangan itu di latar belakangi oleh anggapan buram bahwa masyarakat Arab dan Muslim adalah masyarakat yang terbelakang, yang tidak memiliki sistem Demokrasi yang kukuh dan tidak ramah-cenderung memberangus- hak-hak para perempuannya. Dua “pakar” Orientalis kenamaan seperti Bernard Lewis dan Fouad Ajami menegaskan bahwa hanya baratlah (Amerika) yang bisa memulihkan keterbelakangan itu. Layaknya hanya baratlah yang bisa menyembuhkan “gizi buruk” Timur sebagai “betina” yang seksi dan dapat dimainkan sesuka hati.
Seperti perlakuan Jendral Sharon dari Israel yang pada tahun 1982 memimpin invasi ke Libanon untuk mengubah sistem pemerintahan di sana seraya membunuh sedikitnya 17.000 penduduk sipil. Otak macam Jendral Sharon ini adalah otak penghapus papan tulis. Yang menghapus setiap coretan yang telah ada di papan. Lalu di hapus secara paksa seraya membuat coretan di atas papan tulis yang telah terluka.
Para Sarjana profesional pun di rekrut Amerika Serikat dari Indonesia, Malaysia, pasukan-pasukan Inggris dan India, Mesir, Afrika Barat, Prancis, dan Afrika Utara. Untuk melanggengkan kekuasaan kolonialis sebagai bahasa klise dan justifikasi yang sama lalu di kirim ke timur (Irak) untuk mengisi papan tulis dan mengajarkan coretan papan tulis itu kepada rakyat Irak. Mulai dari pengajaran, penulisan dan pembentukan kembali kehidupan politik Irak.
Tidak hanya di Irak, jauh kebelakang di Mesir seperti yang di tegaskan oleh Balfour dalam pidatonya.
“pertama-tama mari kita melihat fakta-fakta yang ada, bangsa-bangsa Barat-sesaat setelah mereka muncul di atas panggung sejarah- telah memperlihatkan tanda-tanda kemampuannya untuk memerintah diri sendiri karena mereka memiliki nilai-nilai positif..., tetapi cobalah (Anda telusuri bangsa-bangsa Timur, Anda tidak akan pernah menemukan jejak-jejak pemerintahan diri sendiri ( self Goverment). Abad-Abad kebesaran Timur selalu muncul di bawah pemerintahan Tiranisme, pemerintahan absolut. Begitu pula, semua kontribusi mereka yang luar biasa pada peradaban juga di ciptakan dibawah sistem pemerintahan semacam itu. Penakluk-penakluk pun datang silih berganti, dominasi tegak dan runtuh susul menyusul. Akan tetapi , dalam pasang surutnya nasib dan peruntungan mereka. Anda tidak akan pernah melihat satu pun dari bangsa-bangsa tersebut, dengan inisiatif nya sendiri, menegakkan apa yang kita sebut pemerintahan oleh diri sendiri. Ini adalah fakta. Ini bukan masalah superioritas dan inferioritas.....”[1]
Lalu Balfour menegaskan
“ Apakah bangsa-bangsa Timur yang besar ini, akan menerima jika kita yang menyelenggarakn pemerintahan yang absolut itu?.  Saya pikir mereka akan menerimanya. Saya juga berpikir bahwa bagi mereka pemerintahan kita jauh lebih baik di bandingkan dengan pemerintahan yang pernah ada sepanjang sejarah mereka sebelumnya, dan pemerintahan ini tidak hanya bermanfaat bagi mereka sendiri, melainkan juga bagi seluruh dunia barat yang beradab”.[2]
Alroy dengan lebih kasar berusaha membuktikan bahwa orang Arab tak boleh di percaya karena secara psikologis orang Arab memang tak mampu untuk bersikap damai dan tidak dapat menjalankan keadilan yang mengikatnya sehingga tak pantas untuk menjalankan sebuah politik kekuasaan. Lebih baik di perangi saja orang Arab itu seperti memerangi penyakit yang berbahaya. Alroy secara tidak langsung mengatakan bahwa orang Arab belum pantas di katakan sebagai manusia . hanya binatang liar yang lebih cocok menganut sistem hukum alam liar yang menganut asas raja Hutan.
Edwar Said dalam Orientalisme mengatakan bahwa ada tiga hal yang berperan dalam membentuk persepsi politis mengenai bangsa Arab dan Islam. Pertama, sejarah yang membentuk alergi terhadap Arab dan Islam yang menjadi penyakit populer yang langsut terjangkit ke sejarah Orientalisme. Kedua, adanya pergulatan antara orang-orang Arab dengan Zionisme Israel yang berpengaruh terhadap orang-orang Yahudi serta budaya liberal di barat. ketiga, orang Arab dan Islam nyaris tidak memiliki posisi yang strategis di dunia Barat, sehingga kedua kubuh ini selalu saling menduga jika tidak “positif” maka “negatif”.
Para orientalis memang begitu nyaman “menghapus setiap sudut-sudut papan tulis (Timur) dan memberi coretan sesuka hati seraya melakukan rangsangan sebelum melakukan relasi seksual” karena orientalisme memiliki hegemoni seperti yang di identifikasi oleh Gramsci yang memberi kekuatan, keperkasaan dan ketahanan sebagai yang “jantan” bagi Orientalisme sejauh ini. Orientalisme memiliki gagasan kolektif ( gagasan eropa istilah Denys Hay) yang perkasa yang menempatkan Timur sebagai entitas yang berbeda. Sehingga orientalisme bisa melakukan hegemoninya baik secara kultural, politis, dan tekstual terhadap yang lain dari (barat).
Pengetahuan akan selalu memberi kekuasaan. Apalagi semakin tinggi kekuasaan itu maka akan semakin banyak pengetahuan yang di butuhkan. Tujuan dari kajian- yang katanya ilmiah- dilakukan oleh Orientalisme tak lebih sebagai cukong – cukong penguasa yang hendak menguasasi –dalam hal ini Timur dan khususnya Islam.
Orientalisme memang harus di “intip” sebagai bukan semata-mata merupakan elaborasi perbedaan Geografis tetapi juga  mengikutkan sederet kepentingan yang akan mempengaruhi kebijakan politik. Orientalisme akhirnya memang merupakan suatau wacana yang dibentuk oleh politik kekuasaan sistem pemerintahan imperialis dan kolonial, juga intelektual kekuasaan dengan mengikutkan sistem sains dengan kebijakan modern, dan kultur kekuasaan seperti undang-undang ras, bahasa dan nilai-nila serta moral kekuasaan tentang apa yang “kita” lakukan dan apa yang tidak dapat “mereka” lakukan atau pahami seperti yang “kita” lakukan atau “kita” pahami. 
Dengan misi wacana kekuasaan yang di usung oleh “Barat” dengan politik kekuasaan yang berwajah modern akan begitu berpengaruh bagi politik Islam yang pada saat berjumpa dengan Barat, mereka sedang sakit parah, terperangkap dalam lubang yang di gali sendiri dan sedang tertidur pulas dengan mimpi-mimpi yang indah di masa lalu.
B.     Islam sebagai betina yang menerima rangsangan sebuah analisi kritis.
Orientalisme yang datang dengan membawa dan menciptakan sebuah pengetahuan yang berbasis kekuasaan telah merangsang orang –orang Islam yang selama ini menjadi “perawan malu-malu” yang hanya menerima begitu saja setiap fase rangsangan orang-orang Barat. Pengaruh Orientalisme terhadap Timur  memang di ibaratkan dengan skema relasi seksual. Timur yang di ibaratkan dengan perawan yang berposisi sebagai penerima rangsangan hanya menawarkan dirinya untuk di eksplorasi pada setiap titik rangsangan yang di milikinya. Sedang Barat dengan orientalismenya berposisi sebagai yang “ jantan perkasa” yang memiliki pengetahuan untuk berkuasa mengeksplor diri perawan Timur dengan begitu “aktif”. Berbuat begitu saja hingga mencapai klimaks. Sebuah kenikmatan yang di rasakannya sendiri. Dan keperawanan Timur akhirnya lenyap oleh keperkasaan Barat.
Dimulai dari Abad ke 15, ketika Vasco de Gama membuka jalur pelayaran ke India lewat tanjung Harapan. Yang mengawali pelayaran Eropa ke anak benua India bahkan hingga ke Indonesia. Namun selama beberapa Abad. Tak seorang muslim pun yang berupaya terjun ke dalam jasa angkutan niaga baru ini. Dan itu akan berakibat timbal balik karena peniagaan lah yang mengawali keterlibatan politik.
Sebelum Kerajaan Islam “Insyaf”. Perjanjian yang di lakukan orang-orang Eropa dengan penguasa lokal dengan mengirim bala tentara untuk melindungi pos-pos perniagaan. Lalu fase perangsangan mulai di lakukan. Campur tangan lebih jauh di intensifkan maka merebaklah kolonialisme di berbagai kawasan Timur. sekalipun negeri Islam pada saat itu belum merasakan akibat penting proses ini. Namun Dunia Islam telah terperangkap pada “gombalan” sistem Ekonomi Global ciptaan barat.
Kesadaran Eropa sebelumnya telah juga di rangsang oleh kasus serangan –serangan yang di lakukan oleh kesultanan Turki hingga ke Hungaria. Namun menjelang abad ke-17 tiba giliran Eropa untuk balik menyerang sebagai akibat dari keunggulan baru bidang teknologi militer. Sementara itu  hubungan diplomatik politk ekonomi antara Usmani dan orang-orang Eropa mulai berkembang.
Menjelang penghujung abad ke 18 orang-orang Usmani sepenuhnya sadar telah menginsyafi ketertinggalannya dari orang-orang Eropa dalam berbagai masalah praktis dan lingkungan lembaga yang berkuasa muncul sejumlah pribadi yang sangat berhasrat untuk melakukan pembaharuan, karena kejatuhan imperium tersebut akan menghilangkan keseimbangan di dalam suatu kawasan yang luas.
lalu menjelang penghujung abad ke 19, ketika hasil-hasil teknologi dan industri Eropa mulai mudah di peroleh. Para penguasa muslim mulai menyegarkan bala tentara dengan persenjataan modern, serta berbagai fasilitas masyarakat seperti listrik dan air ledeng, lalu mobil juga mulai berjalan di daratan berdebu serta asap pabrik juga mulai mengepul di langit Timur. pada pertengahan abad ke 20 sebagian besar masyarakat Muslim akhirnya sadar sepenuhnya bahwa mereka(barat) telah merenggut keperawanannya dan masyarakat muslim tidak dapat mencegah pembaratan atas sebagian besar aspek kehidupan keseharian mereka.
Namun sebenarnya. Meski perawan “Timur dan khususnya Islam” malu-malu untuk melakukan relasi seksual dan ingin mencegah setiap rangsangan yang di lakukan orang-orang Barat. kaum muslim sendiri juga sebenarnya menghendaki untuk “menerima rangsangan” perkembangan tersebut. orang Barat merayu dengan halus serta sedikit sekali peluang untuk terjadi “pemerkosaan” peradaban (benturan peradaban pada Istilah Samuel Huntington). Penguasa-penguasa Muslimlah yang menghendaki modernisasi negerinya, demikian pula, merupakan kehendak mereka sendiri untuk mengecap kenikmatan-kenikmatan Eropa. Para penguasa muslim bahkan tidak ragu-ragu menyerahkan dirinya dan negeri mereka terbelenggu sebagai penghutang –penghutang yang terjerat pada “rentenir laba-laba” keuangan Dunia. Tidak hanya penguasa Muslim. Masyarakat sipil pun ikut menikmati  kenikmatan-kenikmatan “rangsangan” itu  sampai ikut bernafsu mengenyam standar-standar baru kehidupan materi yang di kembangkan di barat.  maka dari itu sebagian besar ummat muslim ingin mengirim anak-anak mereka dididik dalam sistem pendidikan tipe barat.
Peralihan kebudayaan ini juga semakin memperburuk keadaan dalam negeri Muslim. Tercipta kelas menengah atas yang berpendidikan kebarat-baratan (Westenisasi) serta mengakses produk baru yang datang dari barat. sedangkan sebagaian masyarakat muslim tak ingin lagi tersentuh dengan tangan dan rayuan maut para orientalis dan penguasa Barat. peralihan kebudayaan ini akibatnya menimbulkan  pergolakan sosial yang hebat. Kecemburuan sosial telah menjadi asal mula gerakan kebangkitan Islam.
Sebagai negeri yang terjajah baik secara lahiriah dan batiniah sebagaimana kaum Hindu, budha dan lainnya. Kaum Muslimin menjawab penjajahan dengan menuntut kemerdekaan. Hingga berujung pada akhir perang dunia ke II, sebagian besar negara Islam meraih kemerdekaannya secara lahiriah, tetapi secara Batiniyah sebagian Negara Muslim tetap terperangkap dan terjajah pada sistem politik Global.
C.    Islam sebagai yang “Jantan”.
Menanggapi kebangkitan Islam sebagai lanjutan dari pergolakan sosial atas perkembangan politik, serta akibat dari terjadinya Westernisasi. Muncullah gerakan revivalis di seluruh dunia Islam. Yang paling menyita dan menyentakkan perhatian orang barat adalah berhasilnya Revolusi Iran pada tahun 1979 sebagai kejadian politik yang paling dramatik. Disini peran Agama (Islam) masih mendapat perhatian sebagai motivasi yang begitu kuat untuk menumbangkan Rezim yang telah di tidurkan oleh Barat (Amerika). Keberhasilan Revolusi ini pun juga telah memberi Spirit umat islam yang terlelap untuk bangun menentang Barat dengan seperangkat kebudayaannya yang berwajah Sekuler.
Memang benar bahwa awal kebangkitan Umat muslim di awali dengan gerakan revivalis yang menggelombang. Revolusi Islam Iran memang berhasil menunjukkan bahwa Barat bukanlah sosok monster yang tidak dapat di robohkan. Dan konsekuensi dari keberhasilan itu telah membuat khawatir negeri Barat. bahwa gelombang kebangkitan Islam di Iran itu  itu akan merebak ke negeri negeri Islam lainnya seperti di Mesir, Saudi Arabia, Aljazair, Malaysia dan Indonesia, Pakistan serta negari muslim lainnya.
Tapi apakah sebuah gerakan yang mengatas namakan “kebangkitan islam”. Dapat menjadi sandaran sebagai kebangkitan Universal dengan citra dan muatannya. Karena ketika “Islam” itu di ucapkan maka yang di maksud adalah sesuatu yang Universal yang mempengaruhi segala dimensi komunitas masyarakat Islam.
Karena sebagaian negeri Muslim yang ingin ikut meramaikan gelombang gerakan kebangkitan Islam ini malah terperangkap pada persoalan dalam negeri yang merangsang terjadinya perang dingin di dalam negeri. Sebagai mana Ahmad Syafi’i maarif dalam kata pengantar buku “Politik Kebangkitan Islam”. Bahwa pembunuhan, penindasan, pemusnahan, terhadap golongan tertentu, pemberontakan, sabotase, dan pembelotan, berjalan tanpa batas. alih-alih memimpikan kebangkitan Islam. Kehancuran yang lebih buruk malah menghantui negeri muslim yang terus melakukan kegiatan seperti itu dengan mengatasnamakan “Revolusi demi kesatuan Nasional”. Alih-alih untuk menjadi yang “jantan” negeri Muslim malah semakin membetinakan dirinya.
Sungguh Ironis jika kebangkitan islam di awali dengan gerakan revivalis yang mengarah pada diri lahiriah “Islam” dengan kekerasan,  penumbangan dan pemotongan leher yang tidak sesuai  dan menghalangi misi revolusi.  Krisis sosial, politik, dan ekonomi menjadi alasan dari gerakan ini dan menjadi jawaban bagi krisis yang di timbulkan para Orientalis dengan membawa wajah sekuler yang selama ini mendominasi  kehidupan politik dunia Islam.
Islam sendiri sebagai dirinya yang sebenarnya. Telah memberikan alternatif stuktur-stuktur politik , ideologis, dan ekonomis. Islam merupakan basis bagi norma-norma sosial dan kode-kode moral yang sesuai dengan fungsi masyarakat muslim. Bagaimanapun muslim itu berwajah Barat, terwesternisasikan serta tersekulerkan ia secara mendasar tetap sebagai Muslim.
Dalam artian yang sesungguhnya, Nabi Muhammad juga menghadapi sebuah krisis masyarakat di Makkah. Tetapi pada fase awal Nabi menghadapi krisis itu dengan berusaha memerdekakan manusia itu dari penjajahan secara mental bukan secara lahariah. Seraya perubahan mental itu juga akan mempengaruhi lahiriah bangsa Muslim. Hanya saja Bangsa Muslim telah lupa dan tidak jujur dengan dirinya dan agamanya.
Memang ini terdengar Hegelian. Namun al Qur’an secara optimis telah memberikan perangkat Etika yang begitu Indah untuk hidup damai dan berkeadilan di muka bumi. Oleh karena itu kata “Islam” pada kalimat “kebangkitan Islam” hadir sebagai gerakan pembaharuan moral universal. Yang mewujudkan kehidupan umat yang kemudian menjadi basis yang di teladani kembali oleh umat lain, bahkan menjadi tontonan yang begitu menarik. Menarik yang bukan berarti “Horor”.
Meskipun nantinya gerakan moral itu juga harus memerlukan kekuasaan politik, tetapi kekuasaan politik itu bukan berarti menjadi pengendali sepenuhnya yang mengatasnamakan untuk tujuan “moral” kita harus membersihkan lawan politik yang berbeda visi. Doktrin amar ma’ruf nahi mungkar harus menjadi asas dari bangunan politik Islam serta menjaga “Khairu Ummah” kesatuan umat Islam. Adapun sistem politik yang bergerak dengan bendera “Revolusi Islam” tetapi mempertahankan status quo, korup, membom rakyat sendiri, tidak di ragukan lagi merupakan perbuatan yang lebih jahiliyah.
D.    Kesimpulan
Ringkasnya saat ini. Islam telah terbangun dari tidurnya, negeri Islam telah menyadari bahwa keperawanannya telah di renggut oleh para orientalis sejak lama. Mekanisme seksual para Orientalis telah merangsang umat Islam untuk kembali menjadi yang “Jantan”. Di bawah bendera “kebangkitan Islam”.
Timur dan khususnya Islam harus kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dirinya yang sebenarnya. Dengan al- Qur’an dan Sunnah yang mutawatir itu. Islam menjadikan Barat sebagai objek untuk di teliti. Sebagai Betina yang menerima rangsangan. Karena Al-Qur’an dan As sunnah sebagai kitab yang universal memuat semua masalah keagamaan dan moral yang penting untuk seluruh umat manusia mulai sekarang hingga saat penghabisan.
Sebagaimana Balfour yang begitu pesimistik yang sejalan dengan Malik Bin Nabi bahwa manusia Islam adalah manusia yang bermental terjajah. Sejak terbakarnya Perpustakaan Terbesar di Baghdad pada abad ke 13. Serta hijrahnya manusia Islam dari yang rasional menuju yang apologis Jabariyah. Sehingga Filsafat pasca Ibnu Rusyd menuju pada alam bawah sadar manusia Islam. Menjadi yang tak terpikirkan. Hingga saat ini akhirnya Manusia Islam tetap menjadi mainan Barat.

Referensi


Hannafi, Hassan, Oksidentalisme: SIkap kita terhadap Barat.; ed, Syafiq Hassan. Jakarta: Paramadina, 1999
Hunter T, Shiren. The politics of Islamic Revivalism :Diversity and Unity, di terjemahkan oleh, Ajat Sudrajat, Politik Kebangkitan Islam:keragaman dan kesatuan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2001.
Said W,Edward.  Orientalism, di terjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme: menggugat hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
WM, Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas, di terjemahkan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997.







[1] Edward W Said, Orientalism, di terjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme: menggugat hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h.47
[2] Edward W Said, Orientalism, di terjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme: menggugat hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h.48

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon