Ketika masuk bulan suci Ramadhan, pada hari pertama di
saat tenggelamnya matahari, umat islam berbondong-bondong ke masjid untuk
melaksankan Sholat Tarawih, tiba-tiba saja masjid menjadi ramai, memang sudah
bisa di tebak, kata tarawih itu di maknai sebagi sholat yang lebih menggoda
dari pada sholat Isya sebelumnya. Bagaimana jadinya jika tidak ada sholat tarawih apakah masjid
tetap seramai itu?.
Mungkin
saja, iming-iming pahala yang berlipat ganda menjadi alasan utama yang
mendorong para jama’ah untuk melaksanakan setiap ibadah di bulan Ramadhan, dan
syindrom angka dan jumlah, tiba –tiba saja menyerang umat. Setiap ibadah di
lipat gandakan, dan itu dijumlahkan secara tekstual, hingga ibadah yang bisa di
jumlahkan itulah yang paling menggoda dan yang paling sering di laksanakan.
Seperti misalnya sholat, kita bermain jumlah,
sholat sunnah bisa berlipatganda bahkan menyamai pahala sholat wajib, dan
sholat wajib pahalanya bisa berlipat-lipat ganda dari sholat jama’ah di luar
bulan Ramadhan.
Begitu juga
dengan sedekah dan ibadah-ibadah lainnya. bulan Ramadhan malah berubah menjadi
bulan utilitarianisme. Kita menjalankan ibadah puasa karena sangat berguna
untuk memasukkan kita kedalam surga dan menghindarkan kita dari neraka. Kita sholat
karena pahalanya berlipat ganda. Dan pahala itu bisa menjadi semacam syarat
untuk mendapatkan tiket dan menikmati wahana permainan di Surga. Juga membaca
Al-Qur’an dengan hitungan satu huruf itu 10 pahala tanpa mengetahui arti dan
memahami tafsirannya demi mendapatkan tambahan tiket, sehingga makin banyak
wahana yang dapat di mainkan di dalam Surga.
Apakah Surga hanya sebatas itu. Apakah penjaga Surga itu
atau mungkin salah satu malaikat ada yang di sebut sebagai malaikat kalkulator
untuk menghitung pahala-pahala manusia serta dosa-dosa yang dapat mengurangi
pahala manusia. bagaimana jika ternyata begitu terjadi penjumlahan, pahala kita
lebih banyak selisih satu angka dengan
dosa kita, surga apakah yang akan kita dapatkan. Mungkinkah surga yang yang
letaknya berbatasan langsung dengan neraka. Sehingga kita bisa melihat secara
langsung wahana permainan yang lebih ekstrim di Neraka. Bahkan bisa ikut merasakan panasnya wahana itu.
Saya pikir khayalan tentang Surga dan neraka dan
perhitungan pahala itu adalah khayalan yang begitu nakal dan ngelantur. Tetapi
jika kita masih berpikir bahwa kita bisa bernegosiasi bersama Tuhan dengan
bermodalkan pahala. Maka kita seperti bermain poker “semakin banyak yang kau
pertaruhkan semakin banyak untung yang kau dapatkan” dari pada beribadah dalam
arti yang sesungguhnya tanpa harus memikirkan sudah seberapa banyak sholat dan
bacaan al-Qur’an yang saya baca.
Setidaknya Bulan Ramadhan bisa menjadi bulan yang memberi
kita kesempatan untuk berkontemplasi. Banyak orang-orang suci yang mencapai
pencerahan dengan menempuh puasa yang begitu di siplin tanpa harus sibuk hitung
menghitung. Berkontemplasi dapat mengembalikan diri kita yang mungkin pernah
terculik oleh nasib. Sehingga kita kehilangan kendali. Kita melaksanakan setiap
praktik kehidupan yang bernilai ibadah di bulan Ramdhan semata-mata untuk
mengenal kembali diri kita sendiri.
Selain untuk mengenal Tuhan lewat mengenal diri sendiri
kita juga dapat mengenal lingkungan sekitar kita. Kalau kita memegang keyakinan
bahwa segala sesuatu yang ada di luar diri adalah pengaruh dari diri kita
sendiri. Maka kita bisa bijaksana dengan segala kegiatan yang kita lakukan
sehari-hari. Karena lingkungan yang baik akan ikut mempengaruhi diri yang
beriman.
Permainan marketing pahala untuk orang awam memang lebih
baik dari pada tidak sama sekali. tetapi jauh dari pada itu . berpikir harus menjadi
dasar segalanya. Jika anda yang memiliki daya berpikir di atas orang awam dan
masih terperangkap dengan marketing itu maka kita mungkin akan merugi.