Selasa, 17 Oktober 2017

Tanam Apel Sebelum Beriman - Segalanya Tentang Iman

IMAN. Jujur saja, tulisan ini dilandasi oleh seorang gadis. Mungkin penulis akan sedikit bercerita tentang gadis itu. Tapi tentu, kita akan tetap focus pada topik kita kali ini. Penulis memberinya ke kategori filsafat agama dan juga opini bukan tanpa alasan. Alasan paling sederhana, Karena topic ini adalah perkara iman dan tentunya ini hanya pemikiran bebas dari penulis (sebuah essay/opini).

Pemikiran bebas, tentu penulis tau tata kramanya. Mungkin kalian tahu, ini adalah kedai filsafat, dimana kalian bebas memesan menu apa saja, tanpa paksaan dan dorongan dari kami para penulis di web ini. Kami hanya menyodorkan menu, kalian yang memutuskan untuk menikmatinya. Tapi ingat, dimana-mana sesuatu yang berbauh filsafat itu, susah ditolak oleh akal. Bahkan ucapan memungkiri, namun akal akan sibuk memikirkannya. Tapi coba sedikit berbagilah dengan hati, semua akan menjadi tenang dan damai. Penulis serius.

Tenang saja, penulis akan menyajikan filsafat yang super rumit (Kata orang luar sana) dengan gaya bahasa sederhana dan seo friendly.

Ok kita lanjut. Ada baiknya kita buka dengan sebuah definisi, berikut adalah definisi dari iman itu sendiri.

Bolehkah mempertanyakan keimanan

Apa itu IMAN?


Adakalanya kita harus merujuk terlebih dahulu kewebsite dengan prioritas tinggi, berikut adalah definisi iman yang penulis kutip dari Wikipedia.

"Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. Atau juga pandangan dan sikap hidup."

Bukan berarti Wikipedia adalah landasan Kebenaran.

Hemat penulis tentang iman itu. Iman adalah keselerasan rasio dan pengalaman. Misalnya, jika kita mempunyai pengetahuan “Menanam bibit jagung, maka yang tumbuh kelak adalah jagung”, setelah kita mengetahui itu, kemudian mencobanya dan ternyata yang tumbuh adalah jagung seperti yang kita ketahui, maka pengetahuan atau pengalaman itu menjadi suatu kepercayaan (Keseimbangan mengetahui dan merasakan). Nah itu pemikiran penulis tentang iman itu sendiri. (Mungkin diantara pembaca ada yang bisa menambahkannya)

Mengapa Beriman?


Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita akan menggunakan kata “Mengapa”. Karena mengapa akan menghasilkan sebuah jawaban yang berbentuk “Alasan” (Mendasar)

Dari segi pengamatan penulis, masih banyak orang yang beragama melakukan ibadah tanpa mengetahui alasannya. Paling umum terjadi karena factor keturunan, ikut-ikutan dan lain sebagainya. Tentunya mereka semua tidak salah. (Pengamatan ini bisa saja salah)

Dari kecil penulis melakukan hal yang sama, penulis disuruh sholat. Yah, penulis sholat, dan tentunya waktu itu penulis tidak bertanya “Mengapa harus sholat?”, kenapa penulis tidak bertanya? Penulis masih kecil, dan mungkin belum bisa berpikir dengan baik. Jadi, hal itu wajar.

Yang tidak wajar, adalah melakukan hal itu terus menerus, hingga menjadi kebiasaan dan lupa mempertanyakan “mengapa?”. Mengapa saya melakukan ibadah? Jadi, sampai disini apakah kalian sudah mempunyai alasan sendiri? Tanpa iming-iming surga, neraka, ketakutan, kenikmatan atau hanya sebatas DOKTRIN? (Kita akan membahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya)

Dan tentunya, Tuhan akan lebih senang. Yah, penulis yakin, Tuhan yang penulis percayai akan senang akan hal itu (Islam), karena setidaknya penulis beribadah bukan karena sebatas keturunan, doktrin atau hanya takut dengan neraka, atau hanya karena menginginkan surga, atau apapun itu yang di iming-imingkan didalam wahyu. Akan tetapi ibadah karena memang dorongan sendiri, alasan sendiri dan pilihan sendiri, toh ini adalah hubungan pribadi kita dengan TUHAN.

Hemat penulis, Kenapa beriman? Karena kita punya masing-masing alasan. Itu jawaban dari penulis. So, apa alasan penulis beriman? Hal ini sebenarnya hal pribadi, tapi tak apalah. Alasan penulis sederhana, hingga sampai saat ini penulis tidak menjumpai alasan bahwa Tuhan itu tidak ada. Baik dari segi logika ataupun dari pengalaman. Untuk pengalaman, penulis akan menjelaskannya pada sub bab berikutnya.

Apakah boleh mempertanyakan iman itu kembali?


Sebetulnya, ini adalah hal yang dasar. Sebagai manusia tentu kita akan menghadapi yang namanya pasang surut keimanan. Dan tentu keimanan itu boleh direvisi.

Jika dilihat secara sekilas, ini adalah perbuatan yang mungkin melanggar ajaran agama.Tetapi tentu, mungkin kita semua sepakat ilmu agama itu bukan hanya selembar kertas, akan tetapi ada jutaan kertas lainnya. So, kita harus belajar ilmu agama secara menyeluruh.

Lanjut pembahasan, lalu apa jawaban penulis soal pertanyaan pada bab ini? Jawabannya boleh, kenapa?

Semua agama melarang, dan merupakan dosa paling besar ialah keluar dari agama alias murtad, betul atau benar? Penulis kira betul dan benar. Ini pengetahuan umum.

Berangkat dari pernyataan diatas, saat ini penulis beragama islam. Anggap saja dua bulan yang lalu penulis beragama X (Agama selain islam). Dimana agama X tentu ajarannya kurang lebih dari Islam yaitu melarang keras untuk keluar Agama.

Kira-kira, andai kata penulis tidak mempertanyaan iman dua bulan yang lalu tentang Agama X, saat ini penulis memeluk islam tidak? Jawabannya tidak. So, boleh mempertanyakan iman. Karena jikalau memang apa yang kita percayai adalah sebuah kebenaran, berapa kalipun kita mempertanyakan (Merevisinya), hasilnya pasti tetap Kebenaran. Begitupun sebaliknya. Kalian tidak maukan, apa yang kalian percayai adalah hal yang salah. Atau kurang benar. TIDAK MAU.

“Tapi islam itu beda bro, islam itu adalah kebenaran paling mutlak yang tidak boleh lagi dipertanyakan” Nah itu adalah penyangkalan beberapa orang yang mengaku islam.

Penulis kutip dari kata mereka diatas “… Islam itu adalah kebenaran paling mutlak…” Jika memang itu yang mereka percayai dan yakini bahwa islam adalah kebenaran mutlak, kenapa takut, kenapa tidak boleh dipertanyakan, toh seperti kata penulis “Jika memang hal itu adalah KEBENARAN, tentunya berapa kalipun kita mempertanyakannya, hasilnya tetap sebuah KEBENARAN”

Dan yang paling penting dari mempertanyakan kembali sebuah keimanan adalah menambah keimanan jika memang itu adalah KEBENARAN. Karena kepercayaan takan hadir tanpa sebuah keraguan, kekaguman dan keheranan.

# Ceritanya seperti ini:


Dari kecil, kalian telah diajari bahwa “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, setiap hari orang tua dan lingkungan selalu mengatakan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, kesekolah “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”.

Kemudian kalian beranjak dewasa berumur 21 tahun, tentunya kalian mengaku beriman tentang “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel” karena kepercayaan sudah menjadi mindset, dan jika kalian berpikir “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah semangka”, kalian akan merasa berbeda, kalian merasa ada yang salah, kalian akan menyanngkal dan berkata “Haha mana mungkin tanam apel tumbuh semangka”. Kenapa seperti itu? Itu karena kalian tumbuh bersama dengan kepercayaan bahwa “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, Kepercayaan itu bagi kalian adalah saudara, karena kalian tumbuh bersama.

Anggap saja, kepercayaan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel” sudah 21 tahun kalian percayai. Kemudian datanglah seseorang yang mengatakan “Tanam bibit Apel, tidak akan tumbuh apa-apa”. Bagaimana tanggapan kalian? MARAH dan MURKA adalah kemungkinan yang akan kalian lakukan.

Manusia mana yang tidak marah jika “Saudara”nya yang ia sudah temani selama 21 tahun, tiba-tiba ada yang menghinanya, mencacinya? Jujur penulis, penulis marah yah.

Hari demi hari berlalu. Kemudian suatu hari, kalian merasa curiga dan ragu akan kepercayaan kalian itu, pastinya kalian akan merasa sedikit berdosa dan rasa-rasa pengaruh psikologi lainnya. Suatu hari keraguan kalian menjadi-jadi.

Setelah kalian cukup ragu untuk melepaskan kepercayaan itu, Satu sisi kalian sedikit merasa bersalah karena kepercayaan itu seperti saudara kalian. Dimana melepasnya sama saja membunuhnya. Akhirnya kalian memutuskan untuk menelitinya sendiri.

Esok hari, kalian membuat percobaan sendiri. Sekarang kalian menanam bibit apel, 1 minggu kemudian tidak tumbuh apa-apa. Kalian mulai berkata “Haha, ternyata memang orang-orang disekitarku semua salah, buktinya tidak tumbuh apa-apa”, 1 bulan kemudian, masih saja tidak ada reaksi apapun. “Haha, dasar ternyata saya sudah salah selama 21 tahun lalu” kalian merasa bebas dari kepercayaan yang salah itu. TIba-tiba esok hari kemudian kalian bangun memeriksa penelitian kalian lagi. “Nampaknya bibit itu mengeluarkan benih-benih tumbuhan”. Apa yang kalian rasakan saat itu?

Bergetar, Seperti kilat menghambat jantung yang berdetak. Waktu dan ruang seakan menyatu, daun-daun yang jatuh berhenti. Kalian seperti tertampar, tetapi tamparan itu adalah sebuah kenikmatan. Kalian merinding, takjub, terpanah dan jujur saja, penulis kwalahan menggambarkan perasaan itu dengan kata-kata. Kemudian kalian terdiam tak dapat lagi berkata-kata.

Kalian diam dalam kepercayaan. 1 bulan kemudian akhirnya bibit apel itu sepenuhnya sudah menjadi Pohon apel yang memberikan kalian buah apel. Kalian semakin diam. Diam dalam keimanan. Tanpa kata, tanpa nama dan tanpa keraguan lagi.

Begitulah yang penulis rasakan, ketika melihat rumah yang selama ini penulis tinggal didalamnya. Rumah itu hampir terlahap oleh api, akibat arus listrik yang koslet pada rumah tetangga. Kalian tau, saat itu penulis berlari menjauh dari rumah, dan berbalik melihat rumah itu. Saat itu, penulis hanya diam. Diam dalam diam. Tapi rasanya aneh, didalam diri ini, seperti memanggil, berharap, memohon kepada sesuatu yang lain… seperti bercakap dengan sesuatu. Nyatanya orang-orang saat itu sedang ramai, namun penulis merasa hanya sendiri, tenang dan damai.

Kalian tahu, itu bukan suatu trauma, bukannya penulis ketakutan karena rumah penulis akan terbakar. Bukan itu yang penulis maksud dengan “TERDIAM”.

Saat itu penulis adalah seorang Mahasiswa “Filsafat”, 1-2 tahun yang lalu. Dimana 1-2 tahun lalu penulis mencoba memungkiri Tuhan itu ada, penulis mulai curiga dengan kepercayaan penulis, penulis mulai mempertanyakan dan merivisi kepercayaan yang ada sejak dari kecil. Penulis membaca buku-buku filsafat, yang ujung-ujungnya adalah pemikiran ATHEIS. Penulis bangga akan hal itu. Karena kala itu adalah kebenaran.

Kalian tahu? Saat peristiwa itu, dimana penulis TERDIAM, penulis yang merasa angkuh, pintar dan punya pemikiran yang luas, tiba-tiba terhantam jatuh… tiba-tiba penulis merasa menjadi makhluk kecil yang tak terlihat dibanding alam semesta, tata surya dan sebagainya. Penulis merasa seperti ADA. Ada TUHAN.

“Apa ini?” Tanyaku kala itu. Hingga sampai saat ini, jika penulis mengingat kejadian itu. Rasanya seperti penulis bisa merasakan “sesuatu itu”. Serius, penulis kesusahan menejelaskannya dengan kata-kata. Haha. Jujur saja pada saat penulis menceritakan kejadian ini sambil mengeti, hal itu membuat penulis merinding.

Nah, inilah yang terjadi, penulis rasa hubungan dengan Tuhan atau “sesuatu itu” merupakan hubungan pribadi atau personal.

Lanjut cerita tentang kepercayaan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”. Setelah kalian mengalami hal tersebut. 1 Minggu kemudian, datanglah seseorang yang mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya, yaitu “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”. Setelah mendengar hal tersebut, kita-kira apa yang akan kalian katakan? Penulis yakin kalian akan menjabnya dengan cukup bijak. Kenapa cukup bijak? Karena kalian telah mengalami sebuah pengalaman spiritual, dimana hal itu membuat kalian menjadi lebih paham yang namanya sebuah kepercayaan, sebuah iman.

Iman itu, pilihan atau takdir?


Jika kita bertanya, iman itu pilihan atau takdir? Bagaimana menurut kalian? Ok, disini penulis tidak akan memberikan sebuah jawaban. Baiknya kita akan membuat konsekuensi antara Takdir dan Pilihan, sebaiknya kita mulai dengan Iman itu Takdir.

Iman itu takdir, maka yang akan terjadi “Tuhan tidak adil”, mengapa penulis mengatakan hal tersebut. Anggap saja penulis ditakdirkan beragama X (Agama selain X), dan kebenaran yang ada bahwa ISLAM adalah kebenaran. Kemudian datanglah hari penghakiman. Dengan jelas dan berani saya akan mengatakan kepada Tuhan bahwa “e tuhan kamu punya otak gak sih?” haha. Ok jangan diambil hati bro/sis.

Anggap saja tuhan adalah Sutradara yang telah menentukan semua, termasuk penulis sendiri. Penulis ditakdirkan beragama X, kemudian penulis juga sudah ditakdirkan masuk neraka. Pertanyaan yang muncul adalah, Penulis tidak pernah memilih Agama, dan pada akhirnya penulis harus masuk neraka karena beragama X. Ini adalah hal yang tidak masuk akal sama sekali. Anggap saja penulis ditakdirkan untuk membunuh, pada akhirnya penulis harus dihukum karena sudah membunuh. Kok tuhan tidak adil yah? Dia sendiri yang menyuruh atau mentakdirkan penulis untuk membunuh dan pada akhirnya setelah penulis melaksanakan tugas tersebut, penulis malah dihukum. Letak keadilan tuhan dimana?

Yaps. Sudah tentu Tuhan tidak adil jika iman atau kepercayaan adalah takdir. Kalau menurut penulis, penulis hanya mendapatkan beberapa jawaban yang paling pasti, yang mana yang dikatakan takdir. Takdir itu seperti sunnatullah (Hukum Alam) misalnya, Api itu panas dan sebagainya. Dan untuk manusia sendiri, misalnya penulis tidak pernah memilih menjadi laki-laki, penulis tidak pernah memilih mempunyai hidung yang tinggi, penulis tidak pernah memilih terlahir gagah, haha. Serius. Penulis tidak pernah tuh mengajukan proposal kepada tuhan tentang apa yang penulis peroleh saat ini. Oleh karenanya Takdir itu hanya dapat diterima dan disyukuri.

So, iman itu adalah pilihan. Lalu apa konsekuensi dari Iman itu pilihan? Tentu semua pilihan punya konsekuensi, berbeda dengan takdir, tidak ada konsekuensi sama sekali, misalnya kalian terlahir cacat atau ditakdirkan cacat, kalian tidak akan mendapatkan dosa atau dihukum karena terlahir cacat, karena itu adalah takdir, karena itu kalian tidak memilih untuk cacat.

Lalu bagaimana jika iman itu pilihan? Misalnya seperti ini, anggap saja didepan kalian ada dua jalan, kalian harus menentukannya sendiri. Tentunya jalan apapun yang kalian pilih, resikonya kalian tanggung sendiri. Penulis memilih jalan A, dan kemudian pada ujung jalan A tersebut adalah jalan buntu, resikonya penulis harus kembali lagi, karena itu adalah pilihan penulis sendiri.

Jadi, islam itu pilihan. Agama selain itu adalah pilihan. Namun yang jadi masalah disini adalah, Anggap saja islam itu adalah agama yang memang paling benar. Kemudian penulis terlahir dari keluarga islam, lingkungan islam dan Negara yang dominan masyarakatnya beragama islam. Penulis berarti orang yang beruntung dong. Penulis enak dong. Dan sebagainya. Jadi penulis tidak perlu berjuang terlalu keras karena dasarnya penulis sudah beragama islam.

Solusi dari masalah ini adalah terlahir dari agama islam maupun terlahir dari agama X, semua sama saja kecuali didalam hidup ini, kita pernah atau benar-benar sadar memilih sendiri. Memilih sendiri untuk beragama islam, mencari kebenaran sendiri tanpa pengaruh dari luar kemudian menentukan sendiri pilihan tersebut. Dengan kata lain, kita menemukan sebuah ALASAN.

Kesimpulan


Penulis kira manusia itu bukan robot, yang sepenuhnya dikendalikan oleh sesuatu, disini kita punya kehendak untuk memilih. Yang perlu kita lakukan hanya menemukan alasan akan apa yang kita pilih selama ini.

Jangan sampai kita hanya merasa beriman namun belum pernah mencoba untuk beriman. Jangan sampai kita hanya mengetahui namanya namun belum bisa menentukan pemilik sang nama. Jangan sampai kita memilih dengan mata yang buta, jangan sampai otak kita mubasir karena tidak digunakan untuk berfikir dalam menentukan sebuah pilihan.

Kesadaran beragama akan muncul jika kita mengerti akan alasan untuk beragama. Hingga saat ini penulis hanya terus belajar, penulis bukan ahli ibadah, penulis hanya mencoba menjadi seperti itu. Penulis bukan ahli pemikiran, namun penulis mencoba menjadi seperti itu.

Sedikit berbicara tentang gadis itu, gadis itu sudah penulis perhatikan 4 tahun yang lalu, kemudian pada tahun ini, ada perubahan yang terjadi seketika pada dirinya. Jujur saja sebenarnya penulis perhatikan tentu punya maksud yang lain, penulis kagum dengan dia, ingat hanya sebatas kagum.

Yang namanya perubahan tentu cukup mudah, tapi mempertahankan sebuah perubahan itulah yang sulit. Sama halnya ketika kita memilih sebuah kepercayaan, memilih kepercayaan itu cukup mudah, namun konsekuensi yang kita terima setelah memilih, itulah yang sulit.

Sekali lagi penulis katakan, tulisan ini hanya sebuah pemikiran bebas.
Read More