cerpen
LAYANG-LAYANG TAPPU’.
Siang yang begitu menyiksa baru saja terlewati.
Matahari entah mungkin lagi mengalami keresahan hubungan percintaan dengan wanitanya
si bulan, hingga kekesalan hatinya dilampiaskan kepada bumi. Dari jam satu
hingga kepukul tiga tiada yang berani untuk keluar dari rumahnya tanpa
pelindung. Apalagi nekad untuk bertelanjang dada. Pasti akan mendidih.
Setelah waktu Ashar terlewati. Emosi keresahan matahari
mulai menurun, mungkin planet Mars sudah memberikannya hiburan dengan
pertunjukan kolosal sirkus meteor yang saling bertabrakan menghancurkan dua
hati yang sedang galau. Atau matahari mendapat teguran cinta dari black hole
yang bisa saja mengisap semua kekecewaan hati.
Atau bulan meminta maaf dan kembali mengitari poros-poros di cakrawala angkasa cinta . Atau planet lain
menjadi orbit nadi –nadi perdamaian antara matahri dan bulan. Entahlah.
Sore hari yang begitu indah disebuah desa yang
diberi nama Bontojai. Anak-anak yang berwajah lugu dan polos dalam artian penuh
dengan lumpur bercampur dengan kotoran. Entah kotoran tai ayam atau yang lebih
ekstrim adalah kotoran tai kerbau. Panas yang tadi begitu mencekam tak jadi
masalah bagi mereka, sejak pagi tadi mereka sudah melanglang persawahan,
berlari melompati tingkasa (pematang) sawah, berenang pula melewati kali
perairan demi mengejar layang-layang tappu. Siapa yang paling banyak
mendapatkan layang-layang ditambah dengan tasi gallasa (benang) yang tergulung
menutupi semua tangannya. Maka dialah yang akan menjadi rajanya. Padahal harga
layang-layang digadde-gadde ( warung) cuman seharga 500 rupiah maksimal 2000
dengan tasinya. Tetapi ego untuk menjadi seorang yang dipuji-puji menjadi
sensasi tersendiri.
Hari ini yang menjadi calon rajanya adalah i Aco.
Seorang anak yang berkulit gosong dan baunya kayak kuaci harga 500 an. Rambutnya
sudah tak beraturan bagai jalanan adipura yang selalu macet. bajunya sudah
dipenuhi dengan lumpur. Wajahnya begitu cu’mala dan menco. Aco bagaikan baru
saja bertempur didalam hutan amazon yang lebat tiga hari tiga malam tanpa makan
tanpa minum juga tanpa bernafas. Tapi senyumannya begitu mempesona dan begitu
sombong, dengan bangganya dia berdiri diatas sebuah bukit sambil
mempersembahkan dirinya dihadapan semua teman-temannya yang menjadi pecundang
hari itu. Tiga layang-layang jumbo, dua layang layang plastik, empat
layang-layang merah putih terlilit didadanya. Dan tangannya sudah dipenuhi
dengan tasi gallasa kualitas silet. Si
Aco benar- benar merasa dirinya sudah menjadi maestro layang-layang tappu dan
semua teman-temannya yang nasib tubuhnya tak lebih baik dari pada Aco hanya
bisa menjadi pecundang yang memuji muji sang pemenang.
Tapi ada satu hal lagi yang harus dilalui Aco
untuk menjadi raja yang sebenarnya. Yaitu wawancara sesama pengejar
layang-layang tappu. Yang paling banyak mendapatkan layang-layang harus
menjawab satu pertanyaan dari yang kalah. Jika sang pemenang bisa menjawabnya
maka sahlah dia menjadi seorang raja yang berkuasa selama tiga hari. tapi apabila sang pemenang tak bisa
menjawabnya maka semua layang layangnya harus diberikan kepada sang penanya dan
sang calon raja batal menjadi raja. Namun peraturannya sang pemenang berhak menunjuk
sendiri penanya yang akan mengajukan pertanyaan kepadanya.
Aco sudah mempercayakan dirinya pasti bisa
menjawab pertanyaan apapun dan dari siapapun. Dan pertanyaan sesusah apa yang
akan muncul dari otak lugu anak-anak umuran 12 tahun kebawah. Aco sudah melirik
satu persatu wajah jelek kawan-kawannya. Dan dia tertarik dengan wajah kawannya
yang bernama Ambo te’ne. Dari sekawanan pengejar layang-layang Bontojai,
nampaknya Ambo te’nelah yang paling payah, ia tak pernah sedikitpun pernah
mendapatkan layang layang selama seabad lebih. Kecepatan larinya setara dengan
siput tanpa cangkang. Aco menggambarkannya sebagi anak kecil yang memiliki
kualitas IQ yang paling rendah dari semua temannya. Dan Aco percaya diri Ambo
te’ne tidak akan menyusahkannya.
“ Baiklah Aku memilih Ambo te’ne” ucap Aco sambil
menunjuk kerah Ambo’ te’ne yang sedang sibuk mengupil. Bagi sebuah efek domino
semua mata tertuju kearah Ambo te’ne. Dan Ambo te’ne hanya tersenyum dengan
senyumannya yang sangat menyebalkan memperlihatkan giginya yang begitu hancur.
“ baiklah Ambo te’ne silahkan kau ajukan
pertanyaan?”
Sambil menutup mata dengan memukul bibirnya dengan
jari telunjuknya bekas tambang mengupil hidung . Ambo te’ne mencari sebuah
pertanyaan. Agak lama ia mencari sebuah pertanyaan. Wajah jelek disekelilingnya
sudah mulai bosan. Dan Aco semakin sombongnya tersenyum. Karena ia sudah tahu
Ambo te’ne yang tolol itu tidak akan mendapatkan sebuah pertanyaan apapun.
“ apa yang kita ingat didalam sholat, mengapa kita
harus mengingat Allah. Dan Allah itu siapa?” Pertanyaan yang begitu mempesona
dari keluguan Ambo te’ne. membuat semua temannya mengagah sambil membelalakkan
matanya. Apa lagi Aco yang sangat kaget mendengarnya, hampir saja dia mendapatkan
serangan jantung. Dia tak mengira akan diberikan sebuah pertanyaan yang begitu
gila. Bagaimanapun kerasnya Aco berpikir dia tidak bisa mendapatkan sebuah
jawaban. Namun pertanyaan sudah terlanjur terpaparkan, dan dia harus menjawab.
Ambo te’ne terus saja tersenyum dengan polosnya, memandang kepolosan itu Aco
semakin stress. Dan tidak ada satupun kalimat yang ia dapatkan untuk menjawab
pertanyaan itu.
“bagaimana saudara Aco apakah anda bisa
menjawabnya? Kami sudah lama menunggumu” ucap salah satu anak. Membuat Aco
semakin tertekan. Waktu semakin berlari kencang. Dan teman-teman Aco sudah semakin
ribut mendesaknya membuat Aco semakin tersudut, semakin kehilangan asah
mendapatkan sebuah jawaban yang masuk akal. Tapi dia harus mencoba dari pada
harus kehilangan semua layang-layang tappu’nya.
“ yang kita ingat didalam Sholat adalah Allah.
Kita harus ingat dengan Allah karena dia tuhanta’. Dan Allah itu adalah
tuhanta’, itumi jawabanku” Aco mengucapkannya dengan keras.
“bagaimana Ambo te’ne apakah anda puas?” ucap
salah seorang yang menjadi moderator.
Dengan senyuman menakutkannya Ambo te’ne berucap “
kalau memang Allah lah yang harus di ingat dalam sholat mengapa beberapa
jama’ah ada yang mengantuk saat sholat. Apakah Allah menceritakan sebuah
dongeng yang sangat membosankan ketika orang sholat. Dan beberapa jamaah juga
sering menggaruk pantatnya saat sholat. Apakah dia mengibaratkan tuhan adalah
seekor kutu? Apakah seperti itu persepsi pemikiran umat muslim saat
menggambarkan tuhan dalam ingatannya. Dan saya akan kembali kepada pertanyaan
dasarnya, mengapa harus Allah yang kita ingat dalam sholat?”
Semua mulut kembali menganga. Semua mata kembali
membelalak Dan Aco hanya bisa berucap.
“ ngga kuat, ngga kuat, aku menyerah, aku
menyerah. Ambilmi semua layang-layangku, ambil semuami Ambo te’ne. Mengakuma,
kaumo jadi rajana”.
Malampun membungkus kejadian luar biasa tadi
sekaligus mengherankan. Persawahan sudah gelap gulita, Aco dan Ambo te’ne sudah
lama kembali kerumahnya. Wajahnya sudah kembali seperti manusia. Dan sekarang
mereka sibuk mempersiapkan segala perlengkapan untuk sekolah besok. Tapi bagi
Aco kekalahan telak tadi tidak bisa dia lupakan. Pertanyaan Ambo te’ne terus
terngiang dikepalanya. Dan pertanyaan itu sudah mengganggu nuraninya
menimbulkan penasaran yang begitu menggelora didalam hatinya. Dia ingin tahu
jawaban yang paling tepat dari pertanyaan itu.
Setelah ayahnya Aco baru pulang dari masjid. Aco
memutuskan untuk menyakan pertanyaan Ambo te’ne kepada ayahnya.
“ bapak ada mau kutanyakanki” ucapnya dengan
sangat sopan sambil tersenyum.
“apa nak, bertanya’ moko?”
“ Siapa sebenarnya itu Allah. Kenapa haruski
diingat kalau shalatki orang bapak?”
“ oooooh,
amma’na kesurupangi anaknu, ambilkangi cepat air dingin, na kusapuangi di
muka’na.” Mata ayahnya membelalak, seolah baru saja melihat sebuah penampakan
yang begitu menyeramkan. Dan ibu Aco dengan paniknya berlari sambil menggenggam
segelas air dingin. Dan pertanyaan itu berakhir dengan dugaan Aco baru saja
terserang roh halus alias kesurupan. Dan Aco tidak ingin lagi membahas
pertanyaan itu dengan ayah dan ibunya.
Tak beda jauh nasibnya di sekolah. Aco sudah
dipandang sebagi anak yang aneh. Terakhir kali ia bertanya kepada seorang guru
agamanya. Jawaban yang ia dapatkan adalah.
“tobatko anak, sering-seringki baca ayat kursi
kalau mauki tidurnah. Jangki lagi bertanya seperti itu. Dosaki itu.” Dan itu
sebuah jawaban yang jelas tidak memuaskannya.
Pencaharian akan rasa penasaran itu terus
menggodanya. Hampir sebulan sudah dia memikirkannya, membuatnya harus vakum
dari pengejaran layang-layang tappu’. Bagaimana mau mengejar kalau semangat
sudah tidak ada lagi. Hampir sebulan sudah dia menahan untuk berbicara dengan
Ambo te’ne. Egonya masih terlalu besar dari pada kemurahan hatinya. Jadilah dia
tersiksa hampir sudah sebulan dia dianggap sudah menjadi anak yang autis. Dan sudah
beberapa kali dia dibawah oleh orang tuanya ke para sandro (orang pintar).
Karena ayah dan ibunya mengira anaknya dimasuki oleh jin yang sangat kuat.
Hingga di suatu hari yang begitu panas. Matahari
kembali bertengkar dengan bulan. Aco berjalan dengan mata yang kosong menuju
camp persawahan untuk ngunjung(menerbangkan) layang layang. Unjungannya sudah
begitu seimbang. Dan layang layang itu dengan mudahnya terbang dibawah angin.
Layang layang itu sudah menari-nari diatas awan. Semakin diolor layang layang
itu semakin tinggi. Dan Aco terus mengawasi layang layang itu dengan tajam dan
begitu dalam, sangking dalamya muncullah bayang wajah menyebalkan Ambo’te’ne
dihadapannya. Namun ia segera menyadarkan dirinya. Kemudian muncullah lagi
pertanyaan Ambo te’ne dikepalanya. Namun kembali ia menyadarkan drinya. Setelah lama tersiksa Aco seolah mendapatkan
sesuatu yang membuatnya sangat senang. Dia dengan tiba-tiba berdiri dan berlari
meninggalkan layang-layangnya yang terbang liar.
Ternyata Aco berlari kerah rumah Ambo te’ne.
Setelah sampai dipintu rumah kawannya itu. Aco berteriak.
“ Amboooo, oooooo, ambooo” sambil mengetuk
pintunya.
Dengan senyuman yang selalu menyebalkan dan selalu
mengupil dengan jari telunjuk kanannya. Ambo te’ne membuka pintunya. Dan dengan
polosnya ia berkata “ ada apa kau kemari Aco” dan kembali tertawa kecil lagi.
“ aku kemari ingin mengambil kembali layang-layang
yang telah kau rebut dariku?” ucap Aco dengan semangat kemerdekaan.
“ hehehehe. Kalau kau menginginkan layang-layangmu
kembali, maka jawablah pertanyaanku dulu. Mengapa Allah harus diingat ketika
kita sholat.” Lalu Ambo te’ne tertawa kecil lagi.
“ setelah kupikirkan begitu lama tertanyata
pertanyaanmu begitu mudah. Jawabannya adalah super subyektif.” Aco dengan
percaya dirinya menyusun kalimat-kalimatnya.
“ hehehe mengapa bisa super subyektif”
“masing masing orang memiliki jawaban tersendiri
ketika diberikan pertanyaan seperti itu. Dan semua jawaban pasti akan benar.
Karena ini adalah masalah persepsi pribadi individu.”
“hehehehe lalu bagaimana persepsimu saudara Aco”
“tiada lain yang harus diingat ketika sholat
selain Allah. Begitu juga ketika kita bermain layang-layang tiada yang harus
diingat keculai fokus menaikkan layang- layang. Karena ketika kita tidak fokus
saat menaikkan layang-layang. Maka layang-layang itu tidak akan pernah terbang.
Begtu pula dengan sholat ketika kita tidak fokus mengingat Allah maka secara hakikatnya kita tidak sholat.”
“hehehehe lalu mengapa harus Allah yang diingat?”
“karena Sholat adalah pemberian Allah makanya
hanya dia yang harus diingat ketika sholat. analoginya seperti ini. Ketika aku
memberikanmu sebuah layang-layang Jumbo berwarna emas pasti kau akan senang.
Maka ketika aku sudah tiada tetapi layang layang pemberianku masih kau miliki
maka ketika kau melihat layang layang itu yang akan kau ingat adalah diriku.
Seperti itu.”
“hehehe hehehe hehehe “ sungguh tawa ini sangat
menyebalkan. Lalu Ambo te’ne berlari masuk kedalam rumahnya dan kembali membawa
semua layang-layang yang sudah diambilnya dari Aco. Termasuk tasi gallsa’nya. Dengan
tersenyum mereka berdua , berpelukan. Seperti teletubies.
Kemudian cerita selanjutnya Aco dan Ambo te’ne
menikah. Dan hidup sakinah mawaddah warahmah. Luarbiasa kan endingnya, hancur.
Tapi ngga usah ambil ceritanya tapi
sama-sama kita ambil hikmahnya. Dan hikmahnya adalah Ambo te’ne adalah seorang
perempuan ternyata. Hikmah sesungguhnya lebih baik tidak usah dipaparkan.
Seorang filosof selalu tau makna yang tersirat. Asyik.