Sudah kudengar
lima sila itu ketika kepala sekolah yang sudah tua berdiri di terka matahari
pagi saat Indonesia raya berkumandang di senin pagi. Lewat pengeras suara yang
seringkali Bassnya membuat suara serak kepala sekolahku terdengar beribawa.
Maka pembacaan pancasila ini berjalan begitu hikmat dan meriah.
Dari sila satu,
Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan ( biasanya ada
jeda disini ) dalam permusyarwatan perwakilan. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dalam urutan
upacara senin. Pembacan Pancasila menjadi yang paling ribut dan meriah. Karena
setiap sila wajib mengulangi pembacaan kepala sekolah. Suara kita memekik
karena ini ajang juga pembuktian bahwa kami siswa siswi Sd Bontojai telah hapal
Pancasila.
Namun seperti
yang anda tahu maupun tidak anda sadari. Penyebitan Pancasila sacra berjamaah
di upacara Hari senin itu hanya menjadi perias upacara agar meriah atau menjadi
formalitas agar di anggap telah menjadi
Indonesia. Teriakan kami untuk menyebut satu-persatu sila yang berkemanusiawian
itu. Tidak lah semeriah dalam aktualisasi kehidupan terhadap diri , Tuhan dan
sesama.
Setelah teriakan
setiap senin itu. Kita mendiamkan Pancasila yang seharusnya tertancap secara
imanen dalah hati nurani sebagai Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga tidak hanya
teriakan tapi kekaleman dalam perbuatan sebagaimana Kemanusian yang adil dan
beradab. Juga dalam interaksi dan silaturahim melalui kebhinnekaan ciri, status
dan paradigma kita tetap ika dalam persatuan Indonesia. sehingga kita
menempatkan diri pada otonom diri dan otoritas pada Kerakyatan yang di pimpin
oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyarawatan perwakilan. Pada nantinya tak ada
lagi kesenjangan dan keterjauhan atau kesayonaran terhadap keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tapi
saudara-saudara se bhinneka dan se Ika. Pancasila sejak pertama kali di
rumuskan dengan hati nurani yang bersih oleh para peletak dasar bangunan
Indonesia yang megah ini. Belum juga menjadi Indonesia dalam keindonesiaannya.
Begitu banyak yang durhaka terhadapnya. Tuna Behaviour para petinggi negara
serta bintang-bintang film bisu politik yang menggoyang itikkan Pancasila
semakin menambah ketulian anak Ibu pertiwi terhadap Pancasila. Lalu aku dan
mereka bergoyang itik di depan pancasila yang tabah.
Yang terbaru dan
lagi panas adalah artis Ibu kota yang begitu polos berbicara mengenai
Pancasila, yang kemudian membuka borok moral para manusia yang tidak hafal dan
memang mungkin sering datang terlambat pada upacara hari senin. Atau memang
tidak pernah ikut upacara bendera.
Tetapi kasus ini
hanyalah setetes nanah dari luka Moral setiap manusia Indonesia yang berusaha
Menggoyang itikkan Pancasila secara tidak sadar. Tetapi bagaimana dengan
pemerkosaan Pancasila secara berjamaah oleh para Koruptor dan yang akan menjadi
Koruptor. Dan yang secara terang-terangan berteriak manusia yang mengakui
Pancasila adalah Kafir.
Artis ibu kota
itu hanyalah korban dari Pancasila yang termisteriuskan. Kesalahan dan keluguan
dalam mengartikan Pancasila dengan guyonan dengan niat menghibur juga
sebenarnya adalah keliru dan di akui secara tidak sadar terucap seperti itu
tetapi nasi telah menjadi bubur , perkataan yang menyalahi UUD memamng harus di
adilkan. Dia hanyalah bersalah dalam kepolosan, tetapi mereka yang memang
secara Jelas meninju Pancasila hingga babak belur apakah sepolos itu juga. Yang
memang jelas Pancasila di artikan sebagai petunjuk yang mensesatkan. Atau
mereka yang tidak jelas berteriak tetapi memperkosa Pancasila lewat
perbuatan. Adakah yang berusaha menuntut
mereka?.
Sesungguhnya
Pancasila telah lama menjadi pemanis kata kata manusia yang bermulut buaya,
telah lama menjadi tameng bagi manusia yang berlibido kekuasaan. Dan telah
menjadi songkok haji bagi para polisi swasta. Cinta pancasila yang bertepuk
pedih sebelah tangan oleh bangsanya sendiri.
Pancasila yang
di goyang itikkan, sudah harus menghentikan musik yang semakin membuat kita
tertidur dalam pusaran kelupaan sejarah. Pancasila adalah harga mati bagi
bendera Merah putih. Lima sila yang memang wajib di suarakan di setiap upacara
bendera. Tetapi tidak hanya sebatas itu. Pancasila harus di suarakan dalam hati
Nurani dan di hadapan para penjahat moral yang Mungkar.
Lewat Pancasila,
kita menyingkirkan keUtopiaan Indonesia sebagai negara yang makmur dan
berperadaban dalam berbagai sisi kehidupan. Pancasila yang di goyang itikkan
menjadi stimulus untuk menyeka segala noda yang betah di pintu hati umat
Indonesia agar cinta Pancasila dapat menjatuh cintakan kita. Sehingga kita
dapat menyayangi dan mencintai Pancasila lewat akal dan iman. Lima sila itu
dapat tersakralkan secara imanen disetiap dada kita bersama Tuhan Esa yang
tidak identik.