Selasa, 29 Maret 2016

Goyang Itik di depan Pancasila yang Tabah.



Sudah kudengar lima sila itu ketika kepala sekolah yang sudah tua berdiri di terka matahari pagi saat Indonesia raya berkumandang di senin pagi. Lewat pengeras suara yang seringkali Bassnya membuat suara serak kepala sekolahku terdengar beribawa. Maka pembacaan pancasila ini berjalan begitu hikmat dan meriah.



Dari sila satu, Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan ( biasanya ada jeda disini ) dalam permusyarwatan perwakilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam urutan upacara senin. Pembacan Pancasila menjadi yang paling ribut dan meriah. Karena setiap sila wajib mengulangi pembacaan kepala sekolah. Suara kita memekik karena ini ajang juga pembuktian bahwa kami siswa siswi Sd Bontojai telah hapal Pancasila.

Namun seperti yang anda tahu maupun tidak anda sadari. Penyebitan Pancasila sacra berjamaah di upacara Hari senin itu hanya menjadi perias upacara agar meriah atau menjadi formalitas agar  di anggap telah menjadi Indonesia. Teriakan kami untuk menyebut satu-persatu sila yang berkemanusiawian itu. Tidak lah semeriah dalam aktualisasi kehidupan terhadap diri , Tuhan dan sesama.

Setelah teriakan setiap senin itu. Kita mendiamkan Pancasila yang seharusnya tertancap secara imanen dalah hati nurani sebagai Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga tidak hanya teriakan tapi kekaleman dalam perbuatan sebagaimana Kemanusian yang adil dan beradab. Juga dalam interaksi dan silaturahim melalui kebhinnekaan ciri, status dan paradigma kita tetap ika dalam persatuan Indonesia. sehingga kita menempatkan diri pada otonom diri dan otoritas pada Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyarawatan perwakilan. Pada nantinya tak ada lagi kesenjangan dan keterjauhan atau kesayonaran terhadap keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tapi saudara-saudara se bhinneka dan se Ika. Pancasila sejak pertama kali di rumuskan dengan hati nurani yang bersih oleh para peletak dasar bangunan Indonesia yang megah ini. Belum juga menjadi Indonesia dalam keindonesiaannya. Begitu banyak yang durhaka terhadapnya. Tuna Behaviour para petinggi negara serta bintang-bintang film bisu politik yang menggoyang itikkan Pancasila semakin menambah ketulian anak Ibu pertiwi terhadap Pancasila. Lalu aku dan mereka bergoyang itik di depan pancasila yang tabah.

Yang terbaru dan lagi panas adalah artis Ibu kota yang begitu polos berbicara mengenai Pancasila, yang kemudian membuka borok moral para manusia yang tidak hafal dan memang mungkin sering datang terlambat pada upacara hari senin. Atau memang tidak pernah ikut upacara bendera.

Tetapi kasus ini hanyalah setetes nanah dari luka Moral setiap manusia Indonesia yang berusaha Menggoyang itikkan Pancasila secara tidak sadar. Tetapi bagaimana dengan pemerkosaan Pancasila secara berjamaah oleh para Koruptor dan yang akan menjadi Koruptor. Dan yang secara terang-terangan berteriak manusia yang mengakui Pancasila adalah Kafir.

Artis ibu kota itu hanyalah korban dari Pancasila yang termisteriuskan. Kesalahan dan keluguan dalam mengartikan Pancasila dengan guyonan dengan niat menghibur juga sebenarnya adalah keliru dan di akui secara tidak sadar terucap seperti itu tetapi nasi telah menjadi bubur , perkataan yang menyalahi UUD memamng harus di adilkan. Dia hanyalah bersalah dalam kepolosan, tetapi mereka yang memang secara Jelas meninju Pancasila hingga babak belur apakah sepolos itu juga. Yang memang jelas Pancasila di artikan sebagai petunjuk yang mensesatkan. Atau mereka yang tidak jelas berteriak tetapi memperkosa Pancasila lewat perbuatan.  Adakah yang berusaha menuntut mereka?.

Sesungguhnya Pancasila telah lama menjadi pemanis kata kata manusia yang bermulut buaya, telah lama menjadi tameng bagi manusia yang berlibido kekuasaan. Dan telah menjadi songkok haji bagi para polisi swasta. Cinta pancasila yang bertepuk pedih sebelah tangan oleh bangsanya sendiri.

Pancasila yang di goyang itikkan, sudah harus menghentikan musik yang semakin membuat kita tertidur dalam pusaran kelupaan sejarah. Pancasila adalah harga mati bagi bendera Merah putih. Lima sila yang memang wajib di suarakan di setiap upacara bendera. Tetapi tidak hanya sebatas itu. Pancasila harus di suarakan dalam hati Nurani dan di hadapan para penjahat moral yang Mungkar.


Lewat Pancasila, kita menyingkirkan keUtopiaan Indonesia sebagai negara yang makmur dan berperadaban dalam berbagai sisi kehidupan. Pancasila yang di goyang itikkan menjadi stimulus untuk menyeka segala noda yang betah di pintu hati umat Indonesia agar cinta Pancasila dapat menjatuh cintakan kita. Sehingga kita dapat menyayangi dan mencintai Pancasila lewat akal dan iman. Lima sila itu dapat tersakralkan secara imanen disetiap dada kita bersama Tuhan Esa yang tidak identik.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon