Pada garis
horizon di ufuk timur. selambat mungkin matahari melukis cahaya di permukaan
bumi yang berputar mengelilinginya. Ketika ayam berkokok dan seekor jangkrik
terakhir kehabisan bunyinya. Manusia-Manusia KIMA terbangun dari mimpi panjang
dan lelahnya.
Di dalam otak
kecil mereka, adalah bersiap untuk tepat waktu dan menanti akhir pekan kapan
datangnya?. Ibuku adalah salah satu budak waktu. Aku liat wajah cantik
rupawannya pekat setelah tidur
panjangnya. Pagi ini setelah sholat subuh di ujung malam, dapat kutebak ibuku
akan bergelut kembali dengan pekerjaan di dapur demi mengisi perut dua lelaki
yang ia sayangi. Aku dan ayahku. Jika ibuku tidak di cundangi oleh waktu ia
sempatkan diri untuk memoles lantai dengan terburu-buru. Segala pekerjaan yang
ia sempat kerjakan pagi ini tidak boleh di ambil alih dengan tersirat. Tapi
kadang aku memaksa melihat matanya yang sayu. Sebelum melewati batas dayanya.
Aku mengambil alih kesibukannya. Sedangkan sang kepala rumah tangga menyibuki
diri dengan segala objek yang menganggu di luar rumah.
Wajah matahari
yang sudah tampak dengan jelas. Mengisyaratkan tidak ada waktu lagi bagi siswa
SD-SMA untuk berada diluar gerbang sekolah. Mereka sudah harus duduk di dalam
kelas dan tertunduk oleh kurikulum yang tidak masuk di akal para siswa yang
sering memanjat pagar.
Pada waktu yang
bertepatan, ibuku sudah cantik dengan bedak tipisnya dan gincu merah yang
berusaha memudakan umurnya di luar sana, di pinggir jalan raya Segala jenis kendaraan
telah membawa manusia kepada tujuannya. Ada yang terburu-buru karena gerbang
perusahaan hampir tertutup. Ada yang sedang mengejar sayur dan ikan yang masih
segar di pasar Daya. Ada yang sangat santai karena tak punya pekerjaan atau
menjadi manusia yang bebas atau mereka adalah PNS yang nakal.
Jalan kapasa
raya, adalah jalan pertunjukan drama manusia-manusia yang bersandiwara. Jika
anda sempat memperhatikannya, semua manusia telah memiliki peranan yang harus
mereka mainkan. Jika tidak di mainkan maka ia harus hancur secara sosiologis
ekonomis. KIMAsisasi adalah panggung sandiwara mereka yang resmi di mulai dari
suara sirine panjang di pagi hari dan berakhir pada suara sirine kedua di sore
hari. Jika Sandiwara itu memiliki banyak aktor yang tak kenal lelah maka akan
terus berlangsung tanpa ada hentinya. Panggung Sandiwara yang terus berputar
mengikuti putaran Bumi yang Heliosentris. Bumi yang juga kalah oleh putaran
panggung kecil ini. Bumi yang berlubang oleh perang manusia berlubang.
Dengan baju kerja
yang cantik dan rapi yang berasal dari tiga bulan bekerja, dan hasil
keberuntungan kocokan arisan. Ibuku berjalan ke tempat kerjanya. Kata terlambat
dan kata lima menit lagi adalah kata-kata yang begitu sakral untuk di langgar.
Kedisiplinan sebagai manusia yang di pekerjakan oleh orang Indonesia KW itu
juga akhirnya menjadi kurikulum pendidikan kanak-kanak dari orang tuaku. Jam
dinding yang terletak di tiang pusat rumah. Adalah pusat eksistensi keluarga
ini. Telah kami tetapkan kapan harus
berangkat dan kapan harus makan dan kapan sinetron kesukaan kami di tayangkan.
Putaran pada jam itu, putaran pada panggung KIMA dan putaran pada Bumi adalah
putaran yang paling bertanggung jawab pada urat nadi eksistensi keluarga ini.
Sebelum suara
sirine setiap perusahaan berbunyi. Ibuku sudah Cheklog di pos Security. Biasanya
lima belas menit sebelum ibuku menjadi robot. Ada moment di mana para tukang
ojek sibuk berlalu lalang. Ada di mana pula wanita paruh bayah dengan baju
sederhananya berkumpul dan berjalan bersama menuju tempat kerjanya. Dan ada
banyak wajah yang dengan tatapan kosong menunjukkan sebuah kelelahan fisik dan
batin. Seolah wajah itu berkata “adakah sehari sebelum kiamat aku bisa menjadi
orang kaya”. Kehidupan ini sungguh miris.
Apabila anda
pula menyempatkan diri untuk melebarkan iris mata, melihat kesibukan peranan di
panggung KIMA dan sekitarnya. Anda akan menyadari bagaimana pergerakan kita di
atur begitu rapi oleh Dollar. Mereka sibuk dan menghabiskan waktu produktifnya
untuk memperolah tanda yang jelas, tetapi di sana pada cita-cita itu. Kemiskinan
diri juga menjadi cita- cita di bawah bayang otak. Hingga tak terpikirkan.
Hingga terjadilah kesenjangan diri dan di lema amnesia yang tidak di sengaja.
Apakah ibuku
juga korbannya? Setelah suara sirine berbunyi ibuku kembali duduk di kursi
pesakitannya, di dalam ruang penjara yang berjeruji dan memikirkan nasib
pekerja lainnya. Harus kujawab bahwa ibuku juga adalah korbannya. Dan nasib
buruk itu berdampak kepadaku. Aku lah tokoh kausalitas utama pada tragedi eksistensi
ibuku. Setelah di lahirkan ke bumi. Ibuku sebab ingin menghidupi, merawat, dan melihat
anaknya berpenghasilan tinggi. Akibatnya bekerja di perusahaan kayu adalah
pilihan yang paling kejam untuk di pilih. Tak ada selain itu saat ini. Seraya berdoa
kesialan tidak menghampirinya.
Di manakah sang
Suami? Ayahku tercinta. Beliau adalah manusia yang kalah dari perputaran setan
mata uang Dollar. Belasan Tahun yang lalu kebebasan yang tragis di perolehnya.
Namun beliau tahu bahwa kebebasan itu adalah isyarat dari sebuah pertanggung
jawaban untuk menjalani peranan yang lebih berat dan menyakitkan. Seingatku.
Selama aku tumbuh sebagai manusia. aku menyadari Ayahku sering berganti peranan
yag menuntutnya untuk selalu tepat waktu. Aku tumbuh lewat ajaran dan
perjuangannya yang tak kenal lelah itu. Ketakutan yang artinya lebih dekat
kepada rasa Hormat telah tertanam dan terbentuk sebagai suara hati. Aku lebih
takut kepada Ayahku dari pada setan yang bergentayangan di akal manusia yang
penakut. Sebuah kekecewaan dan wajah yang sedih adalah kiamat dan pencabutan
nyawa untukku. Dengan kerja serabutan dan waktu yang sudah mulai di
tebak-tebaknya kapan habis. Ayahku menjadi kini bekerja sebagai konsultan
keluarga kami. Sebetuan Konsultan itu
adalah sebutan yang paling bijak.
Dengan kenyataan
itu, peranan yang kumainkan akan penuh dengan resiko yang memang telah muncul di
setiap tulang yang berkembang di dalam tubuhku. Tulang tanggung jawab pada
keluarga bisa patah kapan saja. tetapi kisah ini akan terus berlanjut.
Perputaran setan ini akan terus di mainkan. Dan panggung Sandiwara terus
menghegemonikan kehidupan di bawah langit KIMA yang berlubang.