Selasa, 05 April 2016

Menenonton Drama Paradoks Nabi Ayyub dan Count Dracula.


Saat Ayyub secara tragis mengikuti permainan Tuhan. Atau itu adalah pertaruhan Tuhan dan lawan politiknya. Sebuah judi spritual bahwa Ayyub adalah manusia yang substansial. Permainan itu mencabut seribu domba di pekarangan rumput hijau yang luas.  Ayyub menyaksikannya dan ia bersabar. Lalu Rumah yang megah menjadi gubuk yang lalu tertiup angin dan akhirnya mereka beratapkan langit dan kesengsaraan. Ayyub tetap Sabar. Lalu anak-anak yang muda kembali kerumahnya tapi rumah itu telah tiada maka anak-anaknya itu juga tiada. Ayyub tetap bersyukur.  Lalu kulitnya yang bersih dan tampan itu menjadi rumah ulat yang ramah bertamu dengan rakus. Dan Ayyub sebagai penjamu ketika melihat ulat terjatuh dari kulitnya. Dengan mulia mengembalikan ulat itu ke tempatnya dan ulat itu berpesta di kulitanya yang sudah borok memperlihatkan tulangnya. Sampai kemudian ia di tinggalkan oleh permaisurinya kecuali satu yang hampir putus asa. Ayyub lewat kesengsaraan dari permainan Tuhan itu menjalani Hidup seraya membayangkan Nirwana dan taman bunga yang membahagiakannya berharap dari kesabaran itu ia berkata Cinta kepada Tuhanku adalah segalanya. Dan rasa sakit ini tak sebanding dengannya. sampai di sini ia menjadi Nabi. Manusia yang paripurna dari kesengsaraan dari sebuah ketragisan dan sebab yang sepele yaitu “menguji”.


Dan di sana di Transelvenia, ada manusia yang kalah dari permainan yang berjudul “menguji” itu. Tak seperti Ayyub yang di desain sebagai manusia yang berhati baja. Pangeran Dracula menyaksikan kesengsaraan dirinya dengan teriakan proklamasi memberontak terhadap permainan Tuhan. Ia sampai kepada keputusan itu setelah di pertontonkan sebuah tragedi dari sandiwara para penghuni langit. Di saat ia ingin melindungi anaknya dengan kebijaksanaannya. Musuh membunuh anak yang lain. Dan ia peka. Saat ia ingin melindungi warganya yang tersisa dengan segenap daya kekuatannya istri tercinta malah meninggalkannya. Padahal ia sedang dalam posisi membela kemanusiaan. Lalu proklamator itu membahana dan mendidihkan darahnya. Menjadi naga yang menantang langit seraya menjadi penghisap darah yang terus kehausan. Dialah Dracula sang naga yang ingin menggoyahkan langit.

Sampai disini paradoks itu muncul. Dan Tuhan terserang pertanyaan radikal. Adakah Dia pernah memahami sang Dracula seperti ia memahami Ayyub?. Dracula hanya korban dari ke utopisannya terhadap manusia yang lemah. Ia memilih kemerdekaan sebagai manusia yang kuat. Manusia yang menantang Tuhan. Sedang Ayyub hanya manusia yang menunggu kebebasan dari jeruji tutup botol seraya Tuhan datang membuka tutup botol itu. Tetapi Dracula meledakkan botol dan ia menumpahkan air dari botolnya.

Dracula menghisap darah korbannya dengan perlahan seraya ia ingin mengerti bagimana Tuhan itu mematikan istrinya. Dan ia tahu kematian itu sangatlah menyakitkan. Ia menjadi Dracula karena manantang kematian dan ingin menjadi manusia yang abadi.

Ayyub dan Dracula adalah manusia pengingat paradoks antara manusia yang menekan akal dan manusia yang membebaskan akal.  Tetapi apakah ini benar? Ayyub selalu berusaha untuk selalu mengedepankan iman. Dan Tuhan yang ia imani menempatkan dirinya sebagai aktor protagonis yang menjadi manusia yang merasakan happy ending dari sandiwara yang pilu itu. Dan Dracula yang selalu merasionalkan ketragisan yang di hadapinya lalu memlih untuk menjadi idealis antagonis dan seorang utopian tingkat tinggi yang memiliki keimanan yang melewati iman. Sebuah keimanan terhadap ketidak gunaan “Iman, Agama, Cinta dan Tuhan”. Seraya ia menyerahkan dirinya dalam kesabaran. Yakni kesabaran untuk menjadi manusia yang jahat, yang di benci, yang siap untuk di bunuh oleh manusai pendendam dan punggawa Tuhan yang menegakkan kebenaran dari Sandiwara Tuhan yang statis. Dracula ikhlas menjadi model Dewa yang sewenang wenang itu.

Apakah kita harus menyalahkan sang Dracula?. Dan kita setuju bahwa kesabaran di sayang Tuhan?. Ayyub telah menjadi nabi.  Dan Sang Dracula telah menjadi pemberontak Tuhan yang rela menjadi karikatur dari pembunuhan diri. keduanya hanya menjadi korban dari Tuhan yang memiliki otoritas sebagai Sutradara dari sandiwara Tragedi.

Ayyub adalah model bunga dengan warna yang cerah. Yang menggoda perempuan untuk menghirup bau harumnya. Sebuah bunga yang memanjakan mata dan perempuan menikmati bunga itu dengan senyuman mereka yang begitu menggoda. Sedang Dracula tahu menjadi Bunga yang bermekaran dalam kegelapan. Tak ada perempuan yang melihat mekarnya. Tapi perempuan itu mencium bau busuk. Dan ia memilih menghindar dengan wajah jijik yang tak menyenangkan. Padahal Ayyub dan Dracula adalah dua bunga yang sama bermekaran. Tetapi perempuan itu terlena dengan apa yang hanya di atas bayang.

Ayyub menjadi  manusia yang katanya menang karena telah ingat mengikuti hukum alam. Ia ingat bahwa Hukum alam tak berperikemanusiaan karena ia adalah alam dan manusia tunduk kepadanya. Dracula sudah lupa dengan aturan alam itu. Bahwa manusia memang pasti akan mati. manusia dalam bentuk apapun itu akan terpisahkan dari alamnya. Sang Dracula juga lupa bahwa Istri yang di sayanginya masih dapat ia peluk dan warganya masih dapat ia cintai.

Tetapi sang Dracula telah menunjukkan kemirisan dari sandiwara hidup ini. Ketika apa yang kita anggap adalah musik yang merdu malah menjadi musik horor yang menakutkan. Tetapi pertunjukan itu terus berjalan dan muncullah Ayyub yang terus menjadi dan sang Dracula yang terus menjadi. Dan paradoks dari dua manusia ini serta segala bentuknya mengalami kesenjangan yang dalam. Dan apakah kita patut mengadili mereka. Sedang kita pun tak tahu di posisi manakah kita berperan di dalam drama tragedi ini.

Ayyub adalah manusia yang mulia yang melihat kesengsaraan dengan kaca mata transendental dan imanen. Sedang Dracula adalah manusia utopis yang berusaha menghilangka segala kesengsaraan hidup ini. Tetapi ia tak sadar bahwa ia telah keluar dari dunia itu dan berdiri pongah di luarnya seraya membacakan sebuah revolusi dan tekadnya untuk menjadi Sutradara yang mandiri.

Dracula hanya lupa bahwa Agama memang tak selamanya memuaskan. Tuhan memang seringkali mempermainkan, dan Cinta seringkali membingungkan. Tetapi selalu ada tempat untuk bersyukur. Kesyukuran memang kadang menjadi ilusi. Ilusi yang begitu menghadirkan keindahan dramatis. Bagi manusia yang sinis dan skeptis pemberani. Bagi suatu logika yang pedih dan getir. Dan bagi manusia yang telah bercerai dengan keyakinan dan harapan. Syukur memang hanyalah sebuah ilusi yang tidak akan bisa mengatasi kematian.

Tapi lihatlah dan luaskan lah matamu Dracula. Bahwa tak selamanya jika A itu adalah kesengsaraan maka tidak selamanya B,C,D menjadi kesengsaraan pula. Lihatlah angin yang menyeka segala getir pohon yang tabah menghadapi matahari. Lihatlah pantai yang sabar mengahadapi ombak laut yang ribut. Dan lihatlah air terjun itu memilih kebawah. Tapi bagi sang proklamator yang penuh dengan hasrat antagonis itu. Isyarat alam tak lebih dari sebuah ilusi. Dan di sanalah paradoks yang tragis dan menyedihkan ini begitu kentara. Dan kita tetap tak dapat menjadi manusia yang mengadili. Dracula dan Ayyub adalah manusia yang beriman dengan imannya. Mereka adalah manusia yang penuh dengan kejujuran.

 Drama paradoks ini telah menampar topeng yang menghalangi wajah kita. Yang terus berpura pura menjadi remaja yang pubertas. Belum juga ingin beranjak dari kelabilan peran. Untuk menjadi manusi Dewasa dan menjadi penghadap kejujuran. Apakah ingin jujur dan berperan di bawah cahaya seraya telanjang di depannya. atau menjadi manusia jujur yang berperan di belakang bayang kegelapan. Berteriak dengan jujur menjadi pemberontak kemanusiaan yang menghamba.


Demikianlah. Titik terakhir dari sebuah mistar yang selalu di abaikan sebagai bagian yang terlupakan dari mistar. Mata hanya tertuju pada titik tengah. Dan yang pinggir menjadi terpinggirkan. Padahal dari pinggirlah kita menuju ke tengah. Titik pinggir sebuah mistar adalah bagian dari mistar. Dan marilah kita mengukur kehidupan.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon