Saat Ayyub
secara tragis mengikuti permainan Tuhan. Atau itu adalah pertaruhan Tuhan dan
lawan politiknya. Sebuah judi spritual bahwa Ayyub adalah manusia yang
substansial. Permainan itu mencabut seribu domba di pekarangan rumput hijau
yang luas. Ayyub menyaksikannya dan ia
bersabar. Lalu Rumah yang megah menjadi gubuk yang lalu tertiup angin dan
akhirnya mereka beratapkan langit dan kesengsaraan. Ayyub tetap Sabar. Lalu
anak-anak yang muda kembali kerumahnya tapi rumah itu telah tiada maka
anak-anaknya itu juga tiada. Ayyub tetap bersyukur. Lalu kulitnya yang bersih dan tampan itu
menjadi rumah ulat yang ramah bertamu dengan rakus. Dan Ayyub sebagai penjamu
ketika melihat ulat terjatuh dari kulitnya. Dengan mulia mengembalikan ulat itu
ke tempatnya dan ulat itu berpesta di kulitanya yang sudah borok memperlihatkan
tulangnya. Sampai kemudian ia di tinggalkan oleh permaisurinya kecuali satu
yang hampir putus asa. Ayyub lewat kesengsaraan dari permainan Tuhan itu
menjalani Hidup seraya membayangkan Nirwana dan taman bunga yang
membahagiakannya berharap dari kesabaran itu ia berkata Cinta kepada Tuhanku
adalah segalanya. Dan rasa sakit ini tak sebanding dengannya. sampai di sini ia
menjadi Nabi. Manusia yang paripurna dari kesengsaraan dari sebuah ketragisan dan
sebab yang sepele yaitu “menguji”.
Dan di sana di
Transelvenia, ada manusia yang kalah dari permainan yang berjudul “menguji”
itu. Tak seperti Ayyub yang di desain sebagai manusia yang berhati baja.
Pangeran Dracula menyaksikan kesengsaraan dirinya dengan teriakan proklamasi
memberontak terhadap permainan Tuhan. Ia sampai kepada keputusan itu setelah di
pertontonkan sebuah tragedi dari sandiwara para penghuni langit. Di saat ia
ingin melindungi anaknya dengan kebijaksanaannya. Musuh membunuh anak yang lain.
Dan ia peka. Saat ia ingin melindungi warganya yang tersisa dengan segenap daya
kekuatannya istri tercinta malah meninggalkannya. Padahal ia sedang dalam
posisi membela kemanusiaan. Lalu proklamator itu membahana dan mendidihkan
darahnya. Menjadi naga yang menantang langit seraya menjadi penghisap darah
yang terus kehausan. Dialah Dracula sang naga yang ingin menggoyahkan langit.
Sampai disini
paradoks itu muncul. Dan Tuhan terserang pertanyaan radikal. Adakah Dia pernah
memahami sang Dracula seperti ia memahami Ayyub?. Dracula hanya korban dari ke
utopisannya terhadap manusia yang lemah. Ia memilih kemerdekaan sebagai manusia
yang kuat. Manusia yang menantang Tuhan. Sedang Ayyub hanya manusia yang
menunggu kebebasan dari jeruji tutup botol seraya Tuhan datang membuka tutup
botol itu. Tetapi Dracula meledakkan botol dan ia menumpahkan air dari
botolnya.
Dracula
menghisap darah korbannya dengan perlahan seraya ia ingin mengerti bagimana Tuhan
itu mematikan istrinya. Dan ia tahu kematian itu sangatlah menyakitkan. Ia
menjadi Dracula karena manantang kematian dan ingin menjadi manusia yang abadi.
Ayyub dan
Dracula adalah manusia pengingat paradoks antara manusia yang menekan akal dan
manusia yang membebaskan akal. Tetapi
apakah ini benar? Ayyub selalu berusaha untuk selalu mengedepankan iman. Dan
Tuhan yang ia imani menempatkan dirinya sebagai aktor protagonis yang menjadi
manusia yang merasakan happy ending dari sandiwara yang pilu itu. Dan Dracula yang
selalu merasionalkan ketragisan yang di hadapinya lalu memlih untuk menjadi
idealis antagonis dan seorang utopian tingkat tinggi yang memiliki keimanan
yang melewati iman. Sebuah keimanan terhadap ketidak gunaan “Iman, Agama, Cinta
dan Tuhan”. Seraya ia menyerahkan dirinya dalam kesabaran. Yakni kesabaran untuk
menjadi manusia yang jahat, yang di benci, yang siap untuk di bunuh oleh manusai
pendendam dan punggawa Tuhan yang menegakkan kebenaran dari Sandiwara Tuhan
yang statis. Dracula ikhlas menjadi model Dewa yang sewenang wenang itu.
Apakah kita
harus menyalahkan sang Dracula?. Dan kita setuju bahwa kesabaran di sayang
Tuhan?. Ayyub telah menjadi nabi. Dan
Sang Dracula telah menjadi pemberontak Tuhan yang rela menjadi karikatur dari
pembunuhan diri. keduanya hanya menjadi korban dari Tuhan yang memiliki otoritas
sebagai Sutradara dari sandiwara Tragedi.
Ayyub adalah
model bunga dengan warna yang cerah. Yang menggoda perempuan untuk menghirup
bau harumnya. Sebuah bunga yang memanjakan mata dan perempuan menikmati bunga
itu dengan senyuman mereka yang begitu menggoda. Sedang Dracula tahu menjadi
Bunga yang bermekaran dalam kegelapan. Tak ada perempuan yang melihat mekarnya.
Tapi perempuan itu mencium bau busuk. Dan ia memilih menghindar dengan wajah
jijik yang tak menyenangkan. Padahal Ayyub dan Dracula adalah dua bunga yang
sama bermekaran. Tetapi perempuan itu terlena dengan apa yang hanya di atas
bayang.
Ayyub menjadi manusia yang katanya menang karena telah ingat
mengikuti hukum alam. Ia ingat bahwa Hukum alam tak berperikemanusiaan karena
ia adalah alam dan manusia tunduk kepadanya. Dracula sudah lupa dengan aturan
alam itu. Bahwa manusia memang pasti akan mati. manusia dalam bentuk apapun itu
akan terpisahkan dari alamnya. Sang Dracula juga lupa bahwa Istri yang di
sayanginya masih dapat ia peluk dan warganya masih dapat ia cintai.
Tetapi sang
Dracula telah menunjukkan kemirisan dari sandiwara hidup ini. Ketika apa yang
kita anggap adalah musik yang merdu malah menjadi musik horor yang menakutkan. Tetapi
pertunjukan itu terus berjalan dan muncullah Ayyub yang terus menjadi dan sang
Dracula yang terus menjadi. Dan paradoks dari dua manusia ini serta segala
bentuknya mengalami kesenjangan yang dalam. Dan apakah kita patut mengadili
mereka. Sedang kita pun tak tahu di posisi manakah kita berperan di dalam drama
tragedi ini.
Ayyub adalah
manusia yang mulia yang melihat kesengsaraan dengan kaca mata transendental dan
imanen. Sedang Dracula adalah manusia utopis yang berusaha menghilangka segala
kesengsaraan hidup ini. Tetapi ia tak sadar bahwa ia telah keluar dari dunia
itu dan berdiri pongah di luarnya seraya membacakan sebuah revolusi dan
tekadnya untuk menjadi Sutradara yang mandiri.
Dracula hanya
lupa bahwa Agama memang tak selamanya memuaskan. Tuhan memang seringkali
mempermainkan, dan Cinta seringkali membingungkan. Tetapi selalu ada tempat
untuk bersyukur. Kesyukuran memang kadang menjadi ilusi. Ilusi yang begitu
menghadirkan keindahan dramatis. Bagi manusia yang sinis dan skeptis pemberani.
Bagi suatu logika yang pedih dan getir. Dan bagi manusia yang telah bercerai
dengan keyakinan dan harapan. Syukur memang hanyalah sebuah ilusi yang tidak
akan bisa mengatasi kematian.
Tapi lihatlah
dan luaskan lah matamu Dracula. Bahwa tak selamanya jika A itu adalah
kesengsaraan maka tidak selamanya B,C,D menjadi kesengsaraan pula. Lihatlah
angin yang menyeka segala getir pohon yang tabah menghadapi matahari. Lihatlah
pantai yang sabar mengahadapi ombak laut yang ribut. Dan lihatlah air terjun
itu memilih kebawah. Tapi bagi sang proklamator yang penuh dengan hasrat
antagonis itu. Isyarat alam tak lebih dari sebuah ilusi. Dan di sanalah
paradoks yang tragis dan menyedihkan ini begitu kentara. Dan kita tetap tak
dapat menjadi manusia yang mengadili. Dracula dan Ayyub adalah manusia yang
beriman dengan imannya. Mereka adalah manusia yang penuh dengan kejujuran.
Drama paradoks ini telah menampar topeng yang
menghalangi wajah kita. Yang terus berpura pura menjadi remaja yang pubertas.
Belum juga ingin beranjak dari kelabilan peran. Untuk menjadi manusi Dewasa dan
menjadi penghadap kejujuran. Apakah ingin jujur dan berperan di bawah cahaya
seraya telanjang di depannya. atau menjadi manusia jujur yang berperan di
belakang bayang kegelapan. Berteriak dengan jujur menjadi pemberontak
kemanusiaan yang menghamba.
Demikianlah.
Titik terakhir dari sebuah mistar yang selalu di abaikan sebagai bagian yang
terlupakan dari mistar. Mata hanya tertuju pada titik tengah. Dan yang pinggir
menjadi terpinggirkan. Padahal dari pinggirlah kita menuju ke tengah. Titik
pinggir sebuah mistar adalah bagian dari mistar. Dan marilah kita mengukur
kehidupan.