Senin, 18 April 2016

cerpen Tragedi jalan beraspal "se ekor kucing yang berfilsafat"




Pada pagi yang cerah. Josi masih saja bersandar di ujung tembok. Di bawah bercak warna cat tembok yang terkelupas. Sedang ayam bangkok tetangga sudah bermain dengan nada yang naik turun mencoba menghibur betina-betinanya. Di sebalah kanan pekarangan. Bacca dengan dada telanjangnya yang di ciumi oleh matahari pagi sudah siap lagi menggiring sapi yang kulitnya sama sama kecoklatan. Sapi berwarna seperti itu karena memang bawaan alamnya. Tetapi Bacca berwarna kulit seperti itu karena terlalu ramah menjamu sinar matahari sepanjang bertahta di atas langit. Ia tak ingin bersekolah baginya alamlah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.



“hey Josi bangunlah!” Nisa sang gadis kecil menyeru dengan suara keras agar Josi bangun dan berhenti bermalas-malasan.

“Dia kelelahan nak, biarkan saja dia begitu, jangan diganggu”. Seru Ibu Nisa yang mengerti kalau Josi sejak tadi malam memutar otaknya karena berkonflik dengan tikus cerdas yang selalu saja tahu sudut mati yang menjadi kelemahan Josi, si kucing rumahan yang krisis identitas.

Lain lagi dengan Daeng Said, yang berpakaian dinas coklat. Seperti warna alam sapi –sapi Bacca yang sudah sejak tadi berangkat untuk bekerja menghidupi ulat-ulat di perutnya. Sapi-sapi itu juga punya pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang menuntut disiplin kerja yang tinggi. Menjadi seekor sapi bukanlah hal gampang. Anda harus tahu menggunakan bahasa cambuk atau Bunyi “huh” dari pengembala. Jika salah saja sedikit dan anda menjadi sapi yang bandel. Kalau tidak dicambuk mati-matian mungkin akan berakhir di atas mangkuk Coto Makassar.

Tidak ada bedanya dengan tuntutan kerja bapak Said sebagai PNS, bapak Said harus tahu bahasa etik dan peraturan pegawai. Dan harus tahu bahasa komando saat upacara. Kalau salah sedikit saja menerjemahkan bahasa itu. Tingkatan level akan semakin susah untuk menaik. Menjadi pegawai rendahan sudah syukur-syukur dapat pensiunan hari menua. Bisa di pecat dan jadi mantan pegawai di negeri para pegawai. Jadi hal yang paling memalukan. Jadi malu karena kalah di siplin dari rombongan Sapi atau Bacca si pengembala.

Dan Josi juga menjadi binatang yang paling disiplin dalam bermalas-malasan. Barulah ia meregangkan tubuhnya saat seekor kucing betina putih meraung kecil di sampingnya yang menatap dengan tatapan tajam khas kucing yang lagi kesal. Josi mengerti dengan tatapan itu. Tapi apalah arti membagi perhatian di dunia perkucingan. Individualisme adalah ideologi yang di pakai dalam dunia perkucingan. Siapa duluan dan jeli dialah yang dapat. Maka tatapan kucing betina cantik itu tak ada artinya. Josi bangun dan meregangkan tubuhnya untuk bersiap mencari makan untuk dirinya sendiri. Sedang kucing betina itu mencari makan untuk dirinya sendiri. Seperti individualisme sederhana diantara interaksisosiologi para kucing. Tapi bagi Josi sikucing Rumahan, Jika tak dapat makan dari pemilik rumah atau pemilik rumah lupa untuk memberi makan maka insting kucing untuk mencari makan akan datang juga. Seperti hari ini, Ibu Nisa lupa mengisi mangkuk Josi karena Nisa si gadis kecil akan mengikuti lomba cerdas cermat di masjid kompleks.

Josi terbangun juga, ia menggetarkan suaranya kearah kucing betina. Dan kucing betina itu lari dengan perasaan bingung tak tahu apa-apa. Ia hanya menuntut pertanggung jawaban Josi yang sudah menghamilinya dengan dua ekor anak kucing yang kini terlantar. Tapi sudahlah, dunia kucing mana tahu dengan hukum moral. Biarlah alam yang bertanggung jawab. Mungkin seperti itulah logika di kepala Josi. tapi apakah Kucing juga berlogika?.

Josi lalu berjalan mendekati dapur dan mengendus bau makanan, tidak ada bau yang menyengat, ada sih, tetapi bau itu berasal dari lantai WC yang baru saja di sikat. Tetapi itu bukan bau yang mengeyangkan. Kucing itu lalu berlari ke belakang rumah nama lain dari meja makan Josi. tapi mangkuk pribadinya juga kosong, tak ada makanan kucing kemasan halal di mangkuk itu.

“ waktu aku masih kanak-kanak, aku masih ingat bagaimana mangkuk ini tak pernah kosong dengan makanan, mulai dari kemasan yang tergambar model kucing yang cantik, sampai susu yang baik untuk tulang tulangku, dan makanan dari hasil masakan pemilik rumah yang spesial penuh cinta dan kasih sayang. Tapi waktu selalu saja pintar membuat lupa dan malas. Sejarah dan masa kini seringkali berparadoks”. Mungkin seperti itulah yang di pikirkan Josi ketika memainkan mangkuk kosong berwarna kuning cerah itu. Secerah sinar mentari yang menyorot jalan raya yang sudah penuh dengan manusia dan suara bising kendaraan.

Di luar rumah mungkin ada sisa makanan. Josi mengarah kesana, tetapi pekarangan rumah bersih dan rapi. Di tempat sampah mungkin?, tetapi pengangkut sampah sudah mengambil isi tong sampah. Josi kalah cepat. Kucing betina memeong dengan nada seperti menertawai Josi. Kucing betina itu memamerkan tulang ikan dari tempat sampah restoran yang masih penuh tadi saat Josi memainkan mangkuk kosongnya sambil mengingat sejarah masa jayanya.

Ia berjalan dari tempat sampah satu ketempat sampah lainnya. Insting perut laparnya memerintahkan ia berpetualang di sekitar tempat sampah. Dan ia tidak sadar sampai ketempat sampah di pinggir jalan raya poros besar. di tempat sampah rumah berwarna coklat itu juga kosong. Dan Josi si kucing gemuk dengan bulu kuning itu keluar dari tempat sampah. Dan alat komunikasi kucingnya tiba-tiba menerjemahkan radar bahaya. Dan ia sadar kalau selangkah lagi ia memasuki daerah rawan dan terlarang. Yakni daerah yang penuh dengan ban karet pencabut nyawa. Mulai dari ukuran paling kecil hingga yang terbesar menjadi alat pembasmi kucing lapar yang tak tahu apa-apa mengakhiri hidupnya di tengah jalan. Padahal seorang bijak yang mungkin pecinta kucing sudah mewanti-wanti “ menabrak kucing akan membawa petaka “ tetapi bagi si pengendara ban karet itu juga punya kata-kata bijak “ kehilangan duit itulah baru di bilang membawa petaka”.

Dari jarak 10 meter dengan jarak pandang terbatas seekor kucing di siang bolong. Josi melihat seekor tikus yang tadi malam selalu memantatinya. Dan ia melihat pantat itu kini tidak lagi bersama badannya. Tikus cerdas itu ternyata terlindas dan mengakhiri hidupnya. Dari bentuk jasad tikus itu. Kelihatannya. Ban karet jenis motor bebek iritlah yang bertanggung jawab. Tapi siapa yang mau meminta pertanggung jawaban. Adakah Sarjana hukum dari bangsa tikus yang mau menuntut. Padahal kasus tikus dan ban karet sudah seharusnya menjadi perkara di persidangan. Tapi adakah pula Hakim yang mau menyelesaikan perkara ini. Padahal hakim itu sendiri juga lagi perang kimia dengan tikus-tikus yang sering memakan kabel-kabel listrik, gabah, dan membuat lubang di sudut-sudut rumah.

Dan lihat ban mobil yang lagi parkir di depan supermarket itu. Ada kepala ayam yang tersenyum  menempel di peleknya, kelihatannya ayam itu sadar sedetik ketika ia akan terlindas, waktu sedetik yang di manfaatkannya untuk tersenyum biar kelihatan keren diakhir hayatnya. Lalu lihat banyak bulu putih di body mobilnya.dan kepala ayam yang lebih banyak lagi. Kelihatannya mobil ini memang mobil malaikat pencabut nyawa di jurusan nyawa bangsa ayam. Mobil yang bertuliskan “Ayam potong” itu menegaskan identitasnya.

“Dan lihat hei, itu Boy si anjing pergudangan memandang kearahmu Josi” aku bermaksud memperingati Josi. tetapi Josi apalah tahu dengan isi cerita ini. Anjing jenis penjaga pergudangan. Adalah anjing yang galak. Josi dan anjing pergudangan yang bernama Boy itu sudah lama melakukan perang dingin. Pemilik rumah Josi bekerja di gudang itu. Dan Josi di pelukan pemiliknya selalu aman untuk menertawakan nasib Boy yang selalu terikat dengan rantainya. Tetapi kali ini tak ada rantai di lehernya. Boy bebas untuk membalaskan dendamnya. Dan Josi tidak menyadarinya.

“Piiiiiiiippppppp” dan suara decitan dan bau karet menyengat menjadi situasi setelah deskripsi menganai Boy dan Josi yang singkat barusan. Apa yang terjadi?. Lagi-lagi Ban karet pencabut nyawa itu kembali mewarnai jalan beraspal dengan warna merah dari darah Boy yang begitu singkat ceritanya di dalam cerita ini. Josi ikut menoleh. Dan ia mendapati mayat Boy yang tidak lagi beraturan. Josi menatap dengan tatapan kucing yang bersedih yang bercampur aduk dengan perut lapar dan sebuah di lema kenyataan nasib para binatang yang dekat kehidupannya dengan eksistensi manusia yang semakin menggila. Josi bersedih mendapati dua musuh bebuyutannya mengakhiri hidup di jalan beraspal yang begitu kejam dengan warna hitam dan kelam itu.

Josi lalu berfilsafat. Bahwa puncak pemangsa atau raja hutan kini beralih kepada raja Jalanan. Raja abal –abalan yang menaiki takhtanya tanpa melewati perjuangan alam dan konflik suku yang berdarah-darah. Siapa saja yang punya kendaraan bermesin maka itulah raja jalanan. Raja hutan di sini tak berlaku wibawanya. Sekali tabrak dengan kecepatan 80 km/jam maka habislah masa jabatannya. Ban karet dan manusia pemburu duit raja jalanan abal-abalan itulah pemangsa yang paling di takuti. Karena di negeri yang berkembang ini. Apalah artinya nyawa binatang macam bangsa anjing, kucing ,apalagi tikus apalagi bangsa serangga macam kecoa yang nasibnya terstigma sebagai bangsa rendahan menjijikkan di kepala manusia kebanyakan.

Apalah arti nyawa kucing dan Boy si anjing gudang itu di kepala manusia yang fokus dengan warna hijau. Yang artinya jalan terus sehingga tatapannya hanya di penuhi dengan warna hijau (Dollar) kami yang selain warna hijau tidak lagi di lirik. Mati atau hidup kami bukan jadi persoalan mereka, yang jadi persoalan makan atau tidak makan itulah yang ada di kepala mereka. Para manusia lapar mana mungkin memperhatikan banga di luar spesiesnya. spesies sendiri saja ikut di makannya. Manusia lapar di tambah Kanibal mana bisa menjadi raja pelindung kami.

Dan aku pernah mendengar. Pertengkaran manusia karena kasus kecelakaan yang menewaskan anak kambing. Pertengkaran antara pemilik kambing dan pengendara mobil pribadi. Kasus itu runyam. Karena pemilik kambing menuntut ganti rugi dengan logika yang ketat yang sampai menuntut ganti rugi akibat masa depan anak kambingnya yang ikut tercabut. Anak kambing yang berjenis kelamin betina itu bisa saja menjadi betina yang subur. Begitulah logikanya. Karena tidak mau saling berkeadilan maka kasus itu menjadi perkara di pengadilan.

Tapi apakah itu bentuk perhatian mereka untuk bangsa kambing. Tidak saudaraku semakhluk seciptaan Tuhan. Kambing itu mendapat perhatian. Karena pemilik kambing melihatnya sebagai pundi-pundi emas. Kalau itu menghasilkan uang barulah di bela habis-habisan. Sampai di bawa kepengadilan saudara. Lihatlah bagaimana norma dan moral manusia itu kini bukan lagi di bentuk oleh suara Tuhan tapi di bentuk oleh kepentingan Ego manusia itu sendiri. Benar-benar tak bermoral.

Padahal kami selalu berada di sekitaran mereka. Ada sih hukum moral di dalam rumah orang kaya dan pecinta binatang. Itupun hanya sebatas bagi binatang yang di anggap bersahabat dan berwajah lucu dan imut yang bisa di pakaikan baju –baju aneh yang merendahkan martabat hewan yang tidak mau disamakan dengan manusia lapar tadi. Bulu dan kulit kami adalah hasil alam yang paling berestetika, dan kami puas dengan alam. Sangat sedikit manusia yang mencintai binatang bukan karena dirinya dan common sense (apa yang di katakan masyarakat umum). Hanya ada secuil manusia yang berkepribadian Tarzan di muka bumi ini. Dan itulah raja kami yang sebenarnya. Lupakan Sulaiman. Yang seringkali kalian ceritakan sebagai raja kami. Beliau hanya tahu bahasa kami dan itu keuntungannya. Seandainya ia tidak di karuniai otak yang bisa menerjemahkan bahasa binatang. Mungkin saja kerajaan semut itu akan hancur lebur. Tapi Tarzan sebelum masuk kota mengerti kami lewat insting kehewaniannya. Serasa dan sehati. Meski tanpa harus mengertii bahasa kami. Kami merindukan Tarzan-Tarzan dari kota yang menyelematkan kami dari manusia-manusia lapar dan tak berperikemanusiawian.

Tapi hey. Josi si kucing rumahan yang lagi lapar ini tak mungkin berfilsafat. Manusia yang punya sel otak kritis itulah yang mampu berfilsafat. Kebijaksanaan adalah universal yang melewati ruang spesies dan genus. Josi adalah salah satu binatang yang mewakili binatang-binatang yang selama ini jarang hadir di kepala manusia yang katanya berakal dan beriman. Mereka telah menjadi pendamping hidup dan mereka sedang mengalami krisis identitas dan sedang berproses menyesuaikan diri.


Lalu kemanakah Josi kini mencari makan. Ternyata pemandangan jalan tragis itu membuatnya kehilandagan nafsu makan kekucingannya. Kehilangan sahabat-sahabatnya membuat kenyang dengan perasaan sedih. Ia lalu pulang kerumah dan kembali tidur di susudt rumah di bawah cat yang terkelupas.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon