Ringkasan bab
2 “ Haidar Bagir, buku saku Filsafat Islam”
Oleh : Ma’ruf
Nurhalis
Di eropa sejak adanya semangat Renaisance, para
filsuf pada saat itu rajin untuk mempertanyakan sejauh mana agama itu
bermanfaat bagi kehidupan empiris manusia. lahirlah dualisme Cartesian
dari Rene Descartes yang menjadi
awal perpisahan filsafat dan sains di barat. Filsafat dengan kebenaran koheren
nya dianggap tidak sesuai dengan verifikasi-(empiris)eksperimen korespondensi Sains. Pemisahan keduanya
akhirnya terbukti menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan , krisis ekologi, krisis keyakinan yang melahirkan
keterasingan pada diri sendiri. Fritjof Capra salah satu yang ingat, seorang
ahli fisika merasa terpanggil untuk kembali menggali kebijaksanaan Timur
(Taoisme) yang telah lama terkubur di bawah kaki Sains yang congkak dengan
korespondensinya.
Lalu bagaimana dengan Islam. HB menuliskan “ Di
dunia Islam pelepasan Sains dari Filsafat ini bahkah berakibat lebih buruk
lagi”.
Ukuran sebuah peradaban dapat di lihat dari sejauh
manakah Filsafatnya berguna bagi eksistensi manusia. Bertrand Russel sedikit
menyindir dengan mengatakan “ seandainya di dalam Spesies Dinausaurus ada seekor saja dinausaurus yang
menjadi filosof atau setidaknya sedikit saja berfilsafat , maka mereka bisa
selamat dari kepunahan”. Dan itulah
yang terjadi dalam hemat saya, bahwa Umat Islam setelah semangat abad
peripatetik Islam, Filsosofnya semakin sedikit dan setiap kemunculannya selalu
mendapatkan tantangan dari manusia yang anti Filsafat. dan bila ini terus
terjadi. Umat Islam bukanlah mustahil akan punah mengikuti Dinausaurus.
Prof Osman
Bakar dalam sebuah konfrensi Sains di Yogyakarta berpendapat bahwa “ permusuhan
terhadap filsafat di negara-negara muslim menjadi biang kerok dari krisis
modernisme ini”. Ketika terjadi persentuhan dengan barat di abad 18-19 muncul
semangat pembaharuan yang Westernisasi ( mengikuti Barat sepenuhnya tanpa
kebijaksanaan) dan Fundamentalisme (menolak Barat tetapi juga menolak Filsafat
) dan sangat sedikit yang menjadi pembaharu yang kritis ( melihat barat dan
mempertahankan ke Tradisonalan kebijaksanaan).
Para filosof
Peripatetik seperti Ibn Sina, Al razi, Al Farabi dan ilmuwan macam al Biruni,
ibn Hayyan mengaplikasikan Fisika sebagai anak dari ibu Filsafat itu. Dengan
menjadikan alam Empiris Al-Qur’an sebagai motivasi untuk kritis dan analitis
membaca kosmologi. Iqbal menunjukkan anti klasik al Qur’an ini telah terbukti
menjadi kekuatan luar biasa dalam pengembangan sains. Bahwa para mujahid
Intelektual ini dengan otak Qur’aninya telah membawa Islam kepada masa
keemasan.
Namun ketika
kebijaksanaan para mujahid intelektual ini tidak lagi memiliki nilai jual dalam
kehidupan umat muslim. Maka pada abad ke-15
kebijaksanaan itu perlahan hijrah ke Barat. Hingga Barat juga mencapai kejayaannya
sedangkan Timur menjadi gelap. Tetapi dalam perkembangannya kemudian. Keadaan Filsafat
di barat pelan pelan bercerai dengan Sains. Pada masa Renaisance itulah muncul
metode ilmiah yang di gawangi oleh Descartes dan Bacon. Hingga Sains meninggalkan
metode spekulatif koheren dari Filsafat. Filsafat dan Sains berpisah karena
konflik semacam Malin Kundang dan ibunya.
Ada tiga hal
yang perlu di perhatikan.
Pertama, apa
yang terjadi ketika Sains berpisah dengan Filsafat. Maka kekayaan kebijaksanaan
Filsafat ikut terlepas. Sains akan jalan sendiri dan kemanusiawiannya tidak
menjadi bahan ukur. Yang terpenting jika objek itu sah secara korespondensi dan
telah di falsifikasi maka itulah kebenaran. Tak penting apa dampak penemuan itu
bagi lingkungan. misalnya ketika Kamasutra sebuah kitab yang menerangkan
peraturan bercinta yang dikarang oleh Vatsayana. Di terjemahkan kedalam bahasa
barat. Bagian filosofis dari Kamasutra tidak ikut di terjemahkan. Maka
kehidupan Seksual masyarakat barat akhirnya menuju pada pergaulan bebas dan
liar. Padahal Kamasutra memiliki nilai filosofis yang kaya.
Kedua, sains
tidak pernah bisa tuntas dalam pengembaraannya. Bahwa metafisika akan menjadi
pertanyaan yang sulit untuk di jawab. Sains berlaih atau mengalihkan metafisika
yang sifatnya Transendental menuju metafisika yang sifatnya Saintifik dan dalam
banyak hal sekuler.
Ketiga, Sains
selain kehilangan metafisika juga akan miskin epistimologi, dari kemiskinan
Epistimologi ini. Penghayatan terhadap sebuah objek akan kehilangan
estetikanya. Saintifik seperti Capra dan Oppenheimer bahwa Sains telah
kehilangan kesempatan bagi pengembangan fakultas atau daya intuitif.
Akibatnya
ketika Sains telah menjadi “Malin Kundang” dan tidak lagi memperhatikan
kebijaksanaan Filsafat sebagai “Ibunya” maka akan terjadi krisis dalam berbagai
segi kehidupan, pada krisis Ekologi misalnya. Jika hanya berpandangan sains
maka akan terjadi eksploitasi lingkungan yang tidak terkendalikan. Sebagaimana
Arne Naess pada apa yang disebut Gerakan ekologi dalam mengaskan bahwa posisi
lingkungan alam semesta tergantung sebagaimana harmonisnya hubungan manusia
dengan lingkungannya. Jika dalam diri manusia mengalami krisis epistimologi
apalagi krisis diri maka kerusakan lingkungan akan terus berkembang biak. Akhirnya
Sains sebagai “Malin Kundang” akan membawa manusia pada kutukan batu.
Disinilah
letak peran kedua kajian Filsafat, yaitu mendekonstruksi paradigm modernism
sedimikian seraya mengembalikan nilai transcendental dan holistic. Filsafat
sebagai “Ibu” harus memecahkan masalah anaknya, seraya trus menasihati dan
merumuskan sebuah kebijaksanaan yang dapat mengintegrasikan hubungannya dengan
“Malin kundang” secara utuh dan tanpa dikotomi antara visi ilai dan visi
manusiawi.