Jumat, 29 April 2016

Filsafat dan Sains ( Drama Malin Kundang )

Ringkasan bab 2 “ Haidar Bagir, buku saku Filsafat Islam”
Oleh : Ma’ruf Nurhalis




Di eropa sejak adanya semangat Renaisance, para filsuf pada saat itu rajin untuk mempertanyakan sejauh mana agama itu bermanfaat bagi kehidupan empiris manusia. lahirlah dualisme Cartesian dari Rene Descartes yang menjadi awal perpisahan filsafat dan sains di barat. Filsafat dengan kebenaran koheren nya dianggap tidak sesuai dengan verifikasi-(empiris)eksperimen korespondensi Sains. Pemisahan keduanya akhirnya terbukti menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan , krisis ekologi, krisis keyakinan yang melahirkan keterasingan pada diri sendiri. Fritjof Capra salah satu yang ingat, seorang ahli fisika merasa terpanggil untuk kembali menggali kebijaksanaan Timur (Taoisme) yang telah lama terkubur di bawah kaki Sains yang congkak dengan korespondensinya.

Lalu bagaimana dengan Islam. HB menuliskan “ Di dunia Islam pelepasan Sains dari Filsafat ini bahkah berakibat lebih buruk lagi”.

Ukuran sebuah peradaban dapat di lihat dari sejauh manakah Filsafatnya berguna bagi eksistensi manusia. Bertrand Russel sedikit menyindir dengan mengatakan “ seandainya di dalam Spesies Dinausaurus ada seekor saja dinausaurus yang menjadi filosof atau setidaknya sedikit saja berfilsafat , maka mereka bisa selamat dari kepunahan”. Dan itulah yang terjadi dalam hemat saya, bahwa Umat Islam setelah semangat abad peripatetik Islam, Filsosofnya semakin sedikit dan setiap kemunculannya selalu mendapatkan tantangan dari manusia yang anti Filsafat. dan bila ini terus terjadi. Umat Islam bukanlah mustahil akan punah mengikuti Dinausaurus.

 Prof Osman Bakar dalam sebuah konfrensi Sains di Yogyakarta berpendapat bahwa “ permusuhan terhadap filsafat di negara-negara muslim menjadi biang kerok dari krisis modernisme ini”. Ketika terjadi persentuhan dengan barat di abad 18-19 muncul semangat pembaharuan yang Westernisasi ( mengikuti Barat sepenuhnya tanpa kebijaksanaan) dan Fundamentalisme (menolak Barat tetapi juga menolak Filsafat ) dan sangat sedikit yang menjadi pembaharu yang kritis ( melihat barat dan mempertahankan ke Tradisonalan kebijaksanaan).
Para filosof Peripatetik seperti Ibn Sina, Al razi, Al Farabi dan ilmuwan macam al Biruni, ibn Hayyan mengaplikasikan Fisika sebagai anak dari ibu Filsafat itu. Dengan menjadikan alam Empiris Al-Qur’an sebagai motivasi untuk kritis dan analitis membaca kosmologi. Iqbal menunjukkan anti klasik al Qur’an ini telah terbukti menjadi kekuatan luar biasa dalam pengembangan sains. Bahwa para mujahid Intelektual ini dengan otak Qur’aninya telah membawa Islam kepada masa keemasan.
Namun ketika kebijaksanaan para mujahid intelektual ini tidak lagi memiliki nilai jual dalam kehidupan umat muslim. Maka pada  abad ke-15 kebijaksanaan itu perlahan hijrah ke Barat. Hingga Barat juga mencapai kejayaannya sedangkan Timur menjadi gelap. Tetapi dalam perkembangannya kemudian. Keadaan Filsafat di barat pelan pelan bercerai dengan Sains. Pada masa Renaisance itulah muncul metode ilmiah yang di gawangi oleh Descartes dan Bacon. Hingga Sains meninggalkan metode spekulatif koheren dari Filsafat. Filsafat dan Sains berpisah karena konflik semacam Malin Kundang dan ibunya.
Ada tiga hal yang perlu di perhatikan.
Pertama, apa yang terjadi ketika Sains berpisah dengan Filsafat. Maka kekayaan kebijaksanaan Filsafat ikut terlepas. Sains akan jalan sendiri dan kemanusiawiannya tidak menjadi bahan ukur. Yang terpenting jika objek itu sah secara korespondensi dan telah di falsifikasi maka itulah kebenaran. Tak penting apa dampak penemuan itu bagi lingkungan. misalnya ketika Kamasutra sebuah kitab yang menerangkan peraturan bercinta yang dikarang oleh Vatsayana. Di terjemahkan kedalam bahasa barat. Bagian filosofis dari Kamasutra tidak ikut di terjemahkan. Maka kehidupan Seksual masyarakat barat akhirnya menuju pada pergaulan bebas dan liar. Padahal Kamasutra memiliki nilai filosofis yang kaya.
Kedua, sains tidak pernah bisa tuntas dalam pengembaraannya. Bahwa metafisika akan menjadi pertanyaan yang sulit untuk di jawab. Sains berlaih atau mengalihkan metafisika yang sifatnya Transendental menuju metafisika yang sifatnya Saintifik dan dalam banyak hal sekuler.
Ketiga, Sains selain kehilangan metafisika juga akan miskin epistimologi, dari kemiskinan Epistimologi ini. Penghayatan terhadap sebuah objek akan kehilangan estetikanya. Saintifik seperti Capra dan Oppenheimer bahwa Sains telah kehilangan kesempatan bagi pengembangan fakultas atau daya intuitif.
Akibatnya ketika Sains telah menjadi “Malin Kundang” dan tidak lagi memperhatikan kebijaksanaan Filsafat sebagai “Ibunya” maka akan terjadi krisis dalam berbagai segi kehidupan, pada krisis Ekologi misalnya. Jika hanya berpandangan sains maka akan terjadi eksploitasi lingkungan yang tidak terkendalikan. Sebagaimana Arne Naess pada apa yang disebut Gerakan ekologi dalam mengaskan bahwa posisi lingkungan alam semesta tergantung sebagaimana harmonisnya hubungan manusia dengan lingkungannya. Jika dalam diri manusia mengalami krisis epistimologi apalagi krisis diri maka kerusakan lingkungan akan terus berkembang biak. Akhirnya Sains sebagai “Malin Kundang” akan membawa manusia  pada kutukan batu.

Disinilah letak peran kedua kajian Filsafat, yaitu mendekonstruksi paradigm modernism sedimikian seraya mengembalikan nilai transcendental dan holistic. Filsafat sebagai “Ibu” harus memecahkan masalah anaknya, seraya trus menasihati dan merumuskan sebuah kebijaksanaan yang dapat mengintegrasikan hubungannya dengan “Malin kundang” secara utuh dan tanpa dikotomi antara visi ilai dan visi manusiawi. 

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon