Tampilkan postingan dengan label Filsafat Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat Islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Oktober 2017

Tanam Apel Sebelum Beriman - Segalanya Tentang Iman

IMAN. Jujur saja, tulisan ini dilandasi oleh seorang gadis. Mungkin penulis akan sedikit bercerita tentang gadis itu. Tapi tentu, kita akan tetap focus pada topik kita kali ini. Penulis memberinya ke kategori filsafat agama dan juga opini bukan tanpa alasan. Alasan paling sederhana, Karena topic ini adalah perkara iman dan tentunya ini hanya pemikiran bebas dari penulis (sebuah essay/opini).

Pemikiran bebas, tentu penulis tau tata kramanya. Mungkin kalian tahu, ini adalah kedai filsafat, dimana kalian bebas memesan menu apa saja, tanpa paksaan dan dorongan dari kami para penulis di web ini. Kami hanya menyodorkan menu, kalian yang memutuskan untuk menikmatinya. Tapi ingat, dimana-mana sesuatu yang berbauh filsafat itu, susah ditolak oleh akal. Bahkan ucapan memungkiri, namun akal akan sibuk memikirkannya. Tapi coba sedikit berbagilah dengan hati, semua akan menjadi tenang dan damai. Penulis serius.

Tenang saja, penulis akan menyajikan filsafat yang super rumit (Kata orang luar sana) dengan gaya bahasa sederhana dan seo friendly.

Ok kita lanjut. Ada baiknya kita buka dengan sebuah definisi, berikut adalah definisi dari iman itu sendiri.

Bolehkah mempertanyakan keimanan

Apa itu IMAN?


Adakalanya kita harus merujuk terlebih dahulu kewebsite dengan prioritas tinggi, berikut adalah definisi iman yang penulis kutip dari Wikipedia.

"Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. Atau juga pandangan dan sikap hidup."

Bukan berarti Wikipedia adalah landasan Kebenaran.

Hemat penulis tentang iman itu. Iman adalah keselerasan rasio dan pengalaman. Misalnya, jika kita mempunyai pengetahuan “Menanam bibit jagung, maka yang tumbuh kelak adalah jagung”, setelah kita mengetahui itu, kemudian mencobanya dan ternyata yang tumbuh adalah jagung seperti yang kita ketahui, maka pengetahuan atau pengalaman itu menjadi suatu kepercayaan (Keseimbangan mengetahui dan merasakan). Nah itu pemikiran penulis tentang iman itu sendiri. (Mungkin diantara pembaca ada yang bisa menambahkannya)

Mengapa Beriman?


Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita akan menggunakan kata “Mengapa”. Karena mengapa akan menghasilkan sebuah jawaban yang berbentuk “Alasan” (Mendasar)

Dari segi pengamatan penulis, masih banyak orang yang beragama melakukan ibadah tanpa mengetahui alasannya. Paling umum terjadi karena factor keturunan, ikut-ikutan dan lain sebagainya. Tentunya mereka semua tidak salah. (Pengamatan ini bisa saja salah)

Dari kecil penulis melakukan hal yang sama, penulis disuruh sholat. Yah, penulis sholat, dan tentunya waktu itu penulis tidak bertanya “Mengapa harus sholat?”, kenapa penulis tidak bertanya? Penulis masih kecil, dan mungkin belum bisa berpikir dengan baik. Jadi, hal itu wajar.

Yang tidak wajar, adalah melakukan hal itu terus menerus, hingga menjadi kebiasaan dan lupa mempertanyakan “mengapa?”. Mengapa saya melakukan ibadah? Jadi, sampai disini apakah kalian sudah mempunyai alasan sendiri? Tanpa iming-iming surga, neraka, ketakutan, kenikmatan atau hanya sebatas DOKTRIN? (Kita akan membahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya)

Dan tentunya, Tuhan akan lebih senang. Yah, penulis yakin, Tuhan yang penulis percayai akan senang akan hal itu (Islam), karena setidaknya penulis beribadah bukan karena sebatas keturunan, doktrin atau hanya takut dengan neraka, atau hanya karena menginginkan surga, atau apapun itu yang di iming-imingkan didalam wahyu. Akan tetapi ibadah karena memang dorongan sendiri, alasan sendiri dan pilihan sendiri, toh ini adalah hubungan pribadi kita dengan TUHAN.

Hemat penulis, Kenapa beriman? Karena kita punya masing-masing alasan. Itu jawaban dari penulis. So, apa alasan penulis beriman? Hal ini sebenarnya hal pribadi, tapi tak apalah. Alasan penulis sederhana, hingga sampai saat ini penulis tidak menjumpai alasan bahwa Tuhan itu tidak ada. Baik dari segi logika ataupun dari pengalaman. Untuk pengalaman, penulis akan menjelaskannya pada sub bab berikutnya.

Apakah boleh mempertanyakan iman itu kembali?


Sebetulnya, ini adalah hal yang dasar. Sebagai manusia tentu kita akan menghadapi yang namanya pasang surut keimanan. Dan tentu keimanan itu boleh direvisi.

Jika dilihat secara sekilas, ini adalah perbuatan yang mungkin melanggar ajaran agama.Tetapi tentu, mungkin kita semua sepakat ilmu agama itu bukan hanya selembar kertas, akan tetapi ada jutaan kertas lainnya. So, kita harus belajar ilmu agama secara menyeluruh.

Lanjut pembahasan, lalu apa jawaban penulis soal pertanyaan pada bab ini? Jawabannya boleh, kenapa?

Semua agama melarang, dan merupakan dosa paling besar ialah keluar dari agama alias murtad, betul atau benar? Penulis kira betul dan benar. Ini pengetahuan umum.

Berangkat dari pernyataan diatas, saat ini penulis beragama islam. Anggap saja dua bulan yang lalu penulis beragama X (Agama selain islam). Dimana agama X tentu ajarannya kurang lebih dari Islam yaitu melarang keras untuk keluar Agama.

Kira-kira, andai kata penulis tidak mempertanyaan iman dua bulan yang lalu tentang Agama X, saat ini penulis memeluk islam tidak? Jawabannya tidak. So, boleh mempertanyakan iman. Karena jikalau memang apa yang kita percayai adalah sebuah kebenaran, berapa kalipun kita mempertanyakan (Merevisinya), hasilnya pasti tetap Kebenaran. Begitupun sebaliknya. Kalian tidak maukan, apa yang kalian percayai adalah hal yang salah. Atau kurang benar. TIDAK MAU.

“Tapi islam itu beda bro, islam itu adalah kebenaran paling mutlak yang tidak boleh lagi dipertanyakan” Nah itu adalah penyangkalan beberapa orang yang mengaku islam.

Penulis kutip dari kata mereka diatas “… Islam itu adalah kebenaran paling mutlak…” Jika memang itu yang mereka percayai dan yakini bahwa islam adalah kebenaran mutlak, kenapa takut, kenapa tidak boleh dipertanyakan, toh seperti kata penulis “Jika memang hal itu adalah KEBENARAN, tentunya berapa kalipun kita mempertanyakannya, hasilnya tetap sebuah KEBENARAN”

Dan yang paling penting dari mempertanyakan kembali sebuah keimanan adalah menambah keimanan jika memang itu adalah KEBENARAN. Karena kepercayaan takan hadir tanpa sebuah keraguan, kekaguman dan keheranan.

# Ceritanya seperti ini:


Dari kecil, kalian telah diajari bahwa “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, setiap hari orang tua dan lingkungan selalu mengatakan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, kesekolah “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”.

Kemudian kalian beranjak dewasa berumur 21 tahun, tentunya kalian mengaku beriman tentang “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel” karena kepercayaan sudah menjadi mindset, dan jika kalian berpikir “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah semangka”, kalian akan merasa berbeda, kalian merasa ada yang salah, kalian akan menyanngkal dan berkata “Haha mana mungkin tanam apel tumbuh semangka”. Kenapa seperti itu? Itu karena kalian tumbuh bersama dengan kepercayaan bahwa “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, Kepercayaan itu bagi kalian adalah saudara, karena kalian tumbuh bersama.

Anggap saja, kepercayaan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel” sudah 21 tahun kalian percayai. Kemudian datanglah seseorang yang mengatakan “Tanam bibit Apel, tidak akan tumbuh apa-apa”. Bagaimana tanggapan kalian? MARAH dan MURKA adalah kemungkinan yang akan kalian lakukan.

Manusia mana yang tidak marah jika “Saudara”nya yang ia sudah temani selama 21 tahun, tiba-tiba ada yang menghinanya, mencacinya? Jujur penulis, penulis marah yah.

Hari demi hari berlalu. Kemudian suatu hari, kalian merasa curiga dan ragu akan kepercayaan kalian itu, pastinya kalian akan merasa sedikit berdosa dan rasa-rasa pengaruh psikologi lainnya. Suatu hari keraguan kalian menjadi-jadi.

Setelah kalian cukup ragu untuk melepaskan kepercayaan itu, Satu sisi kalian sedikit merasa bersalah karena kepercayaan itu seperti saudara kalian. Dimana melepasnya sama saja membunuhnya. Akhirnya kalian memutuskan untuk menelitinya sendiri.

Esok hari, kalian membuat percobaan sendiri. Sekarang kalian menanam bibit apel, 1 minggu kemudian tidak tumbuh apa-apa. Kalian mulai berkata “Haha, ternyata memang orang-orang disekitarku semua salah, buktinya tidak tumbuh apa-apa”, 1 bulan kemudian, masih saja tidak ada reaksi apapun. “Haha, dasar ternyata saya sudah salah selama 21 tahun lalu” kalian merasa bebas dari kepercayaan yang salah itu. TIba-tiba esok hari kemudian kalian bangun memeriksa penelitian kalian lagi. “Nampaknya bibit itu mengeluarkan benih-benih tumbuhan”. Apa yang kalian rasakan saat itu?

Bergetar, Seperti kilat menghambat jantung yang berdetak. Waktu dan ruang seakan menyatu, daun-daun yang jatuh berhenti. Kalian seperti tertampar, tetapi tamparan itu adalah sebuah kenikmatan. Kalian merinding, takjub, terpanah dan jujur saja, penulis kwalahan menggambarkan perasaan itu dengan kata-kata. Kemudian kalian terdiam tak dapat lagi berkata-kata.

Kalian diam dalam kepercayaan. 1 bulan kemudian akhirnya bibit apel itu sepenuhnya sudah menjadi Pohon apel yang memberikan kalian buah apel. Kalian semakin diam. Diam dalam keimanan. Tanpa kata, tanpa nama dan tanpa keraguan lagi.

Begitulah yang penulis rasakan, ketika melihat rumah yang selama ini penulis tinggal didalamnya. Rumah itu hampir terlahap oleh api, akibat arus listrik yang koslet pada rumah tetangga. Kalian tau, saat itu penulis berlari menjauh dari rumah, dan berbalik melihat rumah itu. Saat itu, penulis hanya diam. Diam dalam diam. Tapi rasanya aneh, didalam diri ini, seperti memanggil, berharap, memohon kepada sesuatu yang lain… seperti bercakap dengan sesuatu. Nyatanya orang-orang saat itu sedang ramai, namun penulis merasa hanya sendiri, tenang dan damai.

Kalian tahu, itu bukan suatu trauma, bukannya penulis ketakutan karena rumah penulis akan terbakar. Bukan itu yang penulis maksud dengan “TERDIAM”.

Saat itu penulis adalah seorang Mahasiswa “Filsafat”, 1-2 tahun yang lalu. Dimana 1-2 tahun lalu penulis mencoba memungkiri Tuhan itu ada, penulis mulai curiga dengan kepercayaan penulis, penulis mulai mempertanyakan dan merivisi kepercayaan yang ada sejak dari kecil. Penulis membaca buku-buku filsafat, yang ujung-ujungnya adalah pemikiran ATHEIS. Penulis bangga akan hal itu. Karena kala itu adalah kebenaran.

Kalian tahu? Saat peristiwa itu, dimana penulis TERDIAM, penulis yang merasa angkuh, pintar dan punya pemikiran yang luas, tiba-tiba terhantam jatuh… tiba-tiba penulis merasa menjadi makhluk kecil yang tak terlihat dibanding alam semesta, tata surya dan sebagainya. Penulis merasa seperti ADA. Ada TUHAN.

“Apa ini?” Tanyaku kala itu. Hingga sampai saat ini, jika penulis mengingat kejadian itu. Rasanya seperti penulis bisa merasakan “sesuatu itu”. Serius, penulis kesusahan menejelaskannya dengan kata-kata. Haha. Jujur saja pada saat penulis menceritakan kejadian ini sambil mengeti, hal itu membuat penulis merinding.

Nah, inilah yang terjadi, penulis rasa hubungan dengan Tuhan atau “sesuatu itu” merupakan hubungan pribadi atau personal.

Lanjut cerita tentang kepercayaan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”. Setelah kalian mengalami hal tersebut. 1 Minggu kemudian, datanglah seseorang yang mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya, yaitu “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”. Setelah mendengar hal tersebut, kita-kira apa yang akan kalian katakan? Penulis yakin kalian akan menjabnya dengan cukup bijak. Kenapa cukup bijak? Karena kalian telah mengalami sebuah pengalaman spiritual, dimana hal itu membuat kalian menjadi lebih paham yang namanya sebuah kepercayaan, sebuah iman.

Iman itu, pilihan atau takdir?


Jika kita bertanya, iman itu pilihan atau takdir? Bagaimana menurut kalian? Ok, disini penulis tidak akan memberikan sebuah jawaban. Baiknya kita akan membuat konsekuensi antara Takdir dan Pilihan, sebaiknya kita mulai dengan Iman itu Takdir.

Iman itu takdir, maka yang akan terjadi “Tuhan tidak adil”, mengapa penulis mengatakan hal tersebut. Anggap saja penulis ditakdirkan beragama X (Agama selain X), dan kebenaran yang ada bahwa ISLAM adalah kebenaran. Kemudian datanglah hari penghakiman. Dengan jelas dan berani saya akan mengatakan kepada Tuhan bahwa “e tuhan kamu punya otak gak sih?” haha. Ok jangan diambil hati bro/sis.

Anggap saja tuhan adalah Sutradara yang telah menentukan semua, termasuk penulis sendiri. Penulis ditakdirkan beragama X, kemudian penulis juga sudah ditakdirkan masuk neraka. Pertanyaan yang muncul adalah, Penulis tidak pernah memilih Agama, dan pada akhirnya penulis harus masuk neraka karena beragama X. Ini adalah hal yang tidak masuk akal sama sekali. Anggap saja penulis ditakdirkan untuk membunuh, pada akhirnya penulis harus dihukum karena sudah membunuh. Kok tuhan tidak adil yah? Dia sendiri yang menyuruh atau mentakdirkan penulis untuk membunuh dan pada akhirnya setelah penulis melaksanakan tugas tersebut, penulis malah dihukum. Letak keadilan tuhan dimana?

Yaps. Sudah tentu Tuhan tidak adil jika iman atau kepercayaan adalah takdir. Kalau menurut penulis, penulis hanya mendapatkan beberapa jawaban yang paling pasti, yang mana yang dikatakan takdir. Takdir itu seperti sunnatullah (Hukum Alam) misalnya, Api itu panas dan sebagainya. Dan untuk manusia sendiri, misalnya penulis tidak pernah memilih menjadi laki-laki, penulis tidak pernah memilih mempunyai hidung yang tinggi, penulis tidak pernah memilih terlahir gagah, haha. Serius. Penulis tidak pernah tuh mengajukan proposal kepada tuhan tentang apa yang penulis peroleh saat ini. Oleh karenanya Takdir itu hanya dapat diterima dan disyukuri.

So, iman itu adalah pilihan. Lalu apa konsekuensi dari Iman itu pilihan? Tentu semua pilihan punya konsekuensi, berbeda dengan takdir, tidak ada konsekuensi sama sekali, misalnya kalian terlahir cacat atau ditakdirkan cacat, kalian tidak akan mendapatkan dosa atau dihukum karena terlahir cacat, karena itu adalah takdir, karena itu kalian tidak memilih untuk cacat.

Lalu bagaimana jika iman itu pilihan? Misalnya seperti ini, anggap saja didepan kalian ada dua jalan, kalian harus menentukannya sendiri. Tentunya jalan apapun yang kalian pilih, resikonya kalian tanggung sendiri. Penulis memilih jalan A, dan kemudian pada ujung jalan A tersebut adalah jalan buntu, resikonya penulis harus kembali lagi, karena itu adalah pilihan penulis sendiri.

Jadi, islam itu pilihan. Agama selain itu adalah pilihan. Namun yang jadi masalah disini adalah, Anggap saja islam itu adalah agama yang memang paling benar. Kemudian penulis terlahir dari keluarga islam, lingkungan islam dan Negara yang dominan masyarakatnya beragama islam. Penulis berarti orang yang beruntung dong. Penulis enak dong. Dan sebagainya. Jadi penulis tidak perlu berjuang terlalu keras karena dasarnya penulis sudah beragama islam.

Solusi dari masalah ini adalah terlahir dari agama islam maupun terlahir dari agama X, semua sama saja kecuali didalam hidup ini, kita pernah atau benar-benar sadar memilih sendiri. Memilih sendiri untuk beragama islam, mencari kebenaran sendiri tanpa pengaruh dari luar kemudian menentukan sendiri pilihan tersebut. Dengan kata lain, kita menemukan sebuah ALASAN.

Kesimpulan


Penulis kira manusia itu bukan robot, yang sepenuhnya dikendalikan oleh sesuatu, disini kita punya kehendak untuk memilih. Yang perlu kita lakukan hanya menemukan alasan akan apa yang kita pilih selama ini.

Jangan sampai kita hanya merasa beriman namun belum pernah mencoba untuk beriman. Jangan sampai kita hanya mengetahui namanya namun belum bisa menentukan pemilik sang nama. Jangan sampai kita memilih dengan mata yang buta, jangan sampai otak kita mubasir karena tidak digunakan untuk berfikir dalam menentukan sebuah pilihan.

Kesadaran beragama akan muncul jika kita mengerti akan alasan untuk beragama. Hingga saat ini penulis hanya terus belajar, penulis bukan ahli ibadah, penulis hanya mencoba menjadi seperti itu. Penulis bukan ahli pemikiran, namun penulis mencoba menjadi seperti itu.

Sedikit berbicara tentang gadis itu, gadis itu sudah penulis perhatikan 4 tahun yang lalu, kemudian pada tahun ini, ada perubahan yang terjadi seketika pada dirinya. Jujur saja sebenarnya penulis perhatikan tentu punya maksud yang lain, penulis kagum dengan dia, ingat hanya sebatas kagum.

Yang namanya perubahan tentu cukup mudah, tapi mempertahankan sebuah perubahan itulah yang sulit. Sama halnya ketika kita memilih sebuah kepercayaan, memilih kepercayaan itu cukup mudah, namun konsekuensi yang kita terima setelah memilih, itulah yang sulit.

Sekali lagi penulis katakan, tulisan ini hanya sebuah pemikiran bebas.
Read More

Jumat, 29 April 2016

Filsafat dan Sains ( Drama Malin Kundang )

Ringkasan bab 2 “ Haidar Bagir, buku saku Filsafat Islam”
Oleh : Ma’ruf Nurhalis




Di eropa sejak adanya semangat Renaisance, para filsuf pada saat itu rajin untuk mempertanyakan sejauh mana agama itu bermanfaat bagi kehidupan empiris manusia. lahirlah dualisme Cartesian dari Rene Descartes yang menjadi awal perpisahan filsafat dan sains di barat. Filsafat dengan kebenaran koheren nya dianggap tidak sesuai dengan verifikasi-(empiris)eksperimen korespondensi Sains. Pemisahan keduanya akhirnya terbukti menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan , krisis ekologi, krisis keyakinan yang melahirkan keterasingan pada diri sendiri. Fritjof Capra salah satu yang ingat, seorang ahli fisika merasa terpanggil untuk kembali menggali kebijaksanaan Timur (Taoisme) yang telah lama terkubur di bawah kaki Sains yang congkak dengan korespondensinya.

Lalu bagaimana dengan Islam. HB menuliskan “ Di dunia Islam pelepasan Sains dari Filsafat ini bahkah berakibat lebih buruk lagi”.

Ukuran sebuah peradaban dapat di lihat dari sejauh manakah Filsafatnya berguna bagi eksistensi manusia. Bertrand Russel sedikit menyindir dengan mengatakan “ seandainya di dalam Spesies Dinausaurus ada seekor saja dinausaurus yang menjadi filosof atau setidaknya sedikit saja berfilsafat , maka mereka bisa selamat dari kepunahan”. Dan itulah yang terjadi dalam hemat saya, bahwa Umat Islam setelah semangat abad peripatetik Islam, Filsosofnya semakin sedikit dan setiap kemunculannya selalu mendapatkan tantangan dari manusia yang anti Filsafat. dan bila ini terus terjadi. Umat Islam bukanlah mustahil akan punah mengikuti Dinausaurus.

 Prof Osman Bakar dalam sebuah konfrensi Sains di Yogyakarta berpendapat bahwa “ permusuhan terhadap filsafat di negara-negara muslim menjadi biang kerok dari krisis modernisme ini”. Ketika terjadi persentuhan dengan barat di abad 18-19 muncul semangat pembaharuan yang Westernisasi ( mengikuti Barat sepenuhnya tanpa kebijaksanaan) dan Fundamentalisme (menolak Barat tetapi juga menolak Filsafat ) dan sangat sedikit yang menjadi pembaharu yang kritis ( melihat barat dan mempertahankan ke Tradisonalan kebijaksanaan).
Para filosof Peripatetik seperti Ibn Sina, Al razi, Al Farabi dan ilmuwan macam al Biruni, ibn Hayyan mengaplikasikan Fisika sebagai anak dari ibu Filsafat itu. Dengan menjadikan alam Empiris Al-Qur’an sebagai motivasi untuk kritis dan analitis membaca kosmologi. Iqbal menunjukkan anti klasik al Qur’an ini telah terbukti menjadi kekuatan luar biasa dalam pengembangan sains. Bahwa para mujahid Intelektual ini dengan otak Qur’aninya telah membawa Islam kepada masa keemasan.
Namun ketika kebijaksanaan para mujahid intelektual ini tidak lagi memiliki nilai jual dalam kehidupan umat muslim. Maka pada  abad ke-15 kebijaksanaan itu perlahan hijrah ke Barat. Hingga Barat juga mencapai kejayaannya sedangkan Timur menjadi gelap. Tetapi dalam perkembangannya kemudian. Keadaan Filsafat di barat pelan pelan bercerai dengan Sains. Pada masa Renaisance itulah muncul metode ilmiah yang di gawangi oleh Descartes dan Bacon. Hingga Sains meninggalkan metode spekulatif koheren dari Filsafat. Filsafat dan Sains berpisah karena konflik semacam Malin Kundang dan ibunya.
Ada tiga hal yang perlu di perhatikan.
Pertama, apa yang terjadi ketika Sains berpisah dengan Filsafat. Maka kekayaan kebijaksanaan Filsafat ikut terlepas. Sains akan jalan sendiri dan kemanusiawiannya tidak menjadi bahan ukur. Yang terpenting jika objek itu sah secara korespondensi dan telah di falsifikasi maka itulah kebenaran. Tak penting apa dampak penemuan itu bagi lingkungan. misalnya ketika Kamasutra sebuah kitab yang menerangkan peraturan bercinta yang dikarang oleh Vatsayana. Di terjemahkan kedalam bahasa barat. Bagian filosofis dari Kamasutra tidak ikut di terjemahkan. Maka kehidupan Seksual masyarakat barat akhirnya menuju pada pergaulan bebas dan liar. Padahal Kamasutra memiliki nilai filosofis yang kaya.
Kedua, sains tidak pernah bisa tuntas dalam pengembaraannya. Bahwa metafisika akan menjadi pertanyaan yang sulit untuk di jawab. Sains berlaih atau mengalihkan metafisika yang sifatnya Transendental menuju metafisika yang sifatnya Saintifik dan dalam banyak hal sekuler.
Ketiga, Sains selain kehilangan metafisika juga akan miskin epistimologi, dari kemiskinan Epistimologi ini. Penghayatan terhadap sebuah objek akan kehilangan estetikanya. Saintifik seperti Capra dan Oppenheimer bahwa Sains telah kehilangan kesempatan bagi pengembangan fakultas atau daya intuitif.
Akibatnya ketika Sains telah menjadi “Malin Kundang” dan tidak lagi memperhatikan kebijaksanaan Filsafat sebagai “Ibunya” maka akan terjadi krisis dalam berbagai segi kehidupan, pada krisis Ekologi misalnya. Jika hanya berpandangan sains maka akan terjadi eksploitasi lingkungan yang tidak terkendalikan. Sebagaimana Arne Naess pada apa yang disebut Gerakan ekologi dalam mengaskan bahwa posisi lingkungan alam semesta tergantung sebagaimana harmonisnya hubungan manusia dengan lingkungannya. Jika dalam diri manusia mengalami krisis epistimologi apalagi krisis diri maka kerusakan lingkungan akan terus berkembang biak. Akhirnya Sains sebagai “Malin Kundang” akan membawa manusia  pada kutukan batu.

Disinilah letak peran kedua kajian Filsafat, yaitu mendekonstruksi paradigm modernism sedimikian seraya mengembalikan nilai transcendental dan holistic. Filsafat sebagai “Ibu” harus memecahkan masalah anaknya, seraya trus menasihati dan merumuskan sebuah kebijaksanaan yang dapat mengintegrasikan hubungannya dengan “Malin kundang” secara utuh dan tanpa dikotomi antara visi ilai dan visi manusiawi. 
Read More

Sabtu, 19 Desember 2015

Suhrawardi Dan Iluminasi, Kembali Ke Orient.


SUHRAWARDI DAN ILUMINASI
Kembali Ke Orient.
oleh Ma'ruf Nurhalis pada Tugas Filsafat Mistik 
Dosen : Prof Qasim Mathar. MA


Sebelum Iluminasi.
Berawal dari terbukanya pintu gerbang emas peradaban islam dan menyambut tamu terhormat dari luar. Kemajuan lalu menyentuh setiap nadi kegiatan intelektualitas. Al Kindi  dengan slogan kebijaksanaannya yang tidak ingin malu mengakui kebenaran dan bersumber dari mana dan siapapun sekalipun ia di bawa generasi baru dan orang asing.[1] Dari semangat itulah al- Kindi amat berjasa dalam membuka pintu gerbang emas itu dengan banyak menerjemahkan buku-buku dari luar menjadi berbahasa Arab, menjadi awal dari mega proyek filsafat yang bercorak islam dan lebih elaborate bercorak peripatetic.
Amat panjang sejarah filsafat islam yang telah di mulai dari penerjemahan bijak itu. Filsafat peripatetic sendiri akhirnya berpuncak pada diri Ibnu Sina. Lalu setelah itu Filsafat Islam seolah kehilangan hasrat dan martabat setelah serangan yang bertubi-tubi datang menerpanya. Sempat matahari kembali timbul dari diri Ibnu Rusyd. Tapi setelah kematian Ibnu Rusyd. Filsafat Islam juga ikut terancam untuk di kuburkan. Tetapi matahari yang lebih terang kembali terbit. Iluminasi atau Isyraqi dari ajaran Suhrawardi membuka kembali keagungan puncak Filsafat Islam. Maka dari itu amat perlu di ketahui seperti apakah keindahan filsafat Iluminasi Suhrawardi. Seterang apakah Israqi pada filsafat Suhrawardi.


Sekilas mengenai Suhrawardi.
Nama lengkap Suhrawardi adalah abu al futuh Yahya bin Habasy bin Amirak as Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M. di Iran pada sebuah kampung bernama Suhraward.[2] Ia menerima pendidikan awalnya dari Majd al-Din al Jili di Maragha. Dan melanjutkannya di Isfahan. Kehidupan kesufiannya di mulai sejak ia merampungkan pendidikan formalnya dan melancong ke Persia. Di sana ia banyak menemui guru-guru Sufi, dan membuatnya tertarik. Kenyataanya sejak fase kehidupannya inilah ia memasuki jalan sufi dan menghabiskan periode lama dalam pengasingan Spritual (khalwat) dan menenggelamkan diri dalam dzikir dan meditasi.[3]
Akar pemikiran Suhrawardi sangat unik dan mendasar. Dia berusaha mencari pengetahuan hingga mencapai dasarnya. Dia adalah manusia yang berpikir secara radikal hingga melacak sumber kebenaran yang ada pada beragam kepercayaan. Menurutnya hikmah kebenaran itu satu, abadi dan tidak terbagi-bagi. Maka ia pun menyebut dirinya sebagai pengumpul kebijaksanaan, al hikmah al laduniyyah.[4]
Ada banyak sumber pemikiran Suhrawardi, diantara yang paling awal adalah Hermetisme yang mengacu pada sosok Hermes. Hermes mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Suhrawardi. Kekaguman Suhrawardi terhadap Hermes barangkali terkait dengan tugas yang di embannya sebagai penyampai pesan ketuhanan kepada umat manusia. Dalam menyampaikan pesan sang dewa Hermes memiliki bahasa yang mudah di terima oleh manusia sebagai pesan langit[5]. Pengaruh selanjutnya datang dari ajaran Persia kuno, dari seorang Nabi Zoroaster yang mengajarkan Zoroastereanisme dengan dua doktrin dasar. Pertama, ada hukum di dalam alam, kedua ada konflik di dalam hukum alam. Sehingga memunculkan persoalan bagaimana mempersatukan kejahatan dan kebaikan abadi Tuhan. Dalam menjelaskannya Zoroaster menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan sejati yakni Ahuramazda. Tuhan yang terang meski pun pula roh Ahriman tetap ada.  Hubungan Zoroater dengan suhrawardi ada pada ajaran Zoroaster untuk melawan roh Ahriman untuk menyucikan diri agar bisa merasakan Cahaya Ahuramazda.
Sedangkan pengaruh falsafah Yunani terhadap pemikiran Suhrawardi berasal dari filsafat Platon, Aristoteles, dan Plotinus yang disebutnya sebagai Filsafat peripatetic. Sedangkan dari filosof Islam , Alfarabi dan Ibnu Sina adalah dua tokoh filsuf yang ide-idenya sangat mewarnai pemikiran Suhrawardi, sekalipun nantinya, Suhrawardi mengkritik kedua filosof Islam ini.
Bagi Suhrawardi, Filsafat tidak bermula dari Plato dan Aristoteles, namun justru berakhir pada mereka, Aristotels yang meletakkan kearifan dalam baju rasionalis telah mnyempitkan cakrawala dan telah memisahkan dari kearifan tentang keperpaduan yang di miliki oleh para empu kebijakan di zaman purbakala..[6]
Isi  Iluminasi.
Iluminasi dalam bahasa Arab itu sendiri di sebut Isyraq. Isyraq berarti cahaya (Light) pertama pada saat pagi hari, seperti cahaya Matahari yang terbit dari timur (Syarq). Timur dalam pandangan Suhrawardi bukanlah Timur secara letak geografis. Tapi Timur adalah bahasa Simbol dari keter awal an cahaya. Seperti matahari yang terbit dari timur. Filsafat israqiyah berarti “ketimuran” dan “iluminatif”. Ia memancar karena ia adalah timur dan ia timur karena ia memancar ia adalah pengetahuan dengan pertolongan, yang manusia dapat menyesuaikan dirinya sendiri dalam alam semesta dan akhirnya menjangkau bahwa timur adalah tempat kediaman yang azali, sementara bayangan kegelapan diri manusia berada di bumi bagian “barat”.[7]
 Sedangkan Menurut Al Jurjani, Timur dalam bahasa isyraqiyah juga di artikan sebagai kutub bagi para Filosof di mana Plato yang menjadi rajanya. Sementara Abd Razaq al-Kasyani menyebut timur sebagai kumpulan pengikut Orang suci (Seth) yang menurut sumber-sumber muslim adalah pendiri sekelompok ahli dan dari mereka keahlian itu berasal, yang terkait erat dengan Hermetisme. Sedangkan pendapat lain yang menyebut Isyraqi seperti Ibnu Wahsyiah. Mengatakan bahwa Isyraqi adalah kelompok orang-orang suci Mesir yang merupakan anak-anak Saudarai Hermes.[8]
Iluminasi, menurut Suhrawardi merupakan suatu fase yang menentukan perkembangan pemikiran yang seolah-olah tersembunyi di lautan pemikiran Islam sebagai produk logika yang di kembangkan oleh madzhab Ibnu Sina. Filsafat iluminasi ini dapat di rasakan sebagai hasil dari perkawinan antara latihan intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme. Dari perkawinan ini pengetahuan tertinggi yang ia anggap iluminasi, sekaligus mentransformasikan keberadaan dan melimpahnya pengetahuan seseorang.[9]
Sang Guru iluminasi ini menegaskan bahwa sejak semula telah ada suatu “ Olahan Abadi” yang tidak ada sesuatu pun melainkan adalah kebijaksanaan abadi. Olahan abadi itu di samarkan dalam diri Substansial manusia yang siap “di olah” dan di aktualisasikan melalui latihan intelektual dan penyucian hati.[10] Untuk hal tersebut filsafat iluminasi tidak bisa di ajarkan oleh dan kepada setiap orang.[11]
Teori Emanasi yang di perkenalkan oleh Alfarabi dan Ibnu Sina di jadikan sebagai dasar epistimologi Suhrawardi,.[12] Namun Suhrawardi mememiliki pendapat mandiri mengenai akal actual yang menurutnya tidak terbatas pada akal Sepuluh, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama Cahaya dari cahaya-cahaya terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada di bawahnya.[13]
Cahaya di atas cahaya yang merupakan cahaya Absolut dan tidak terbatas diatas dan di belakang semua sianar yang memancar. Semua tingkat realitas, bagaimana pun, juga adalah derajat dan tingkat intensitas dan kelemahannya dengan tak sesuatupun melainkan cahaya. Karena, kenyataannya, tak ada sesuatupun dalam alam semesta yang luas ini melainkan cahaya. Dari Cahaya di atas segala cahaya ada suatu hierarki cahaya, vertical maupun longitudinal, cahaya-cahaya yang terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi universal dan suatu tatanan horizontal atau latitudinal yang berisi pola dasar atau idea-idea platonic tentang segala sesuatu yang kelihatan di bawah sebagai objek atau barang, cahaya-cahaya ini tidak lain dari pada apa yang dalam bahasa agama sebagai malaikat-malaikat.[14]
Dengan teori Iluminasi Suhrawardi yakin bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia indrawi dan materi bersama orang-orang yang terjebak di dunia materi. Yang lebih tepat baginya adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia penanggalan keinginan duniawi dan penyaksian langsung, kemudian naik ke maqam orang-orang yang bercahaya, bergaul bersama mereka, dan menyaksikan mereka dari dekat. Ia berkata, “ Bicaralah kepada dirimu sendiri bila engkau orang yang punya harkat. Sandarkan dirimu pada rahasia batinmu. Terimalah kenikmatan hidup dalam ketiadaan. Langkahkan kedua kakimu seraya berkata, ‘Sudahkah aku mengarungi ilmu-ilmu yang di serukan oleh penyeru dari keterlenaan orang-orang yang lalai.
Secara lebih sederhana, konsep Istisyraq di jelaskan Suhrawardi kepada kita bahwa jiwa berasal dari yang maha Pencipta dan dari berbagai Substansi yang terpisah-pisah. Maka  sampai kepadaNya atau sampai pada diri Substansi amatlah sulit jika manusia tidak mampu melepasakan diri ragawi menundukkan ular naga bathin yang berupa nafsu nurani. Dan tidak melakukan latihan Spritual yang tepat.
Kemudian Suhrawardi menjadikan ungkapan Plato yang sangat indah untuk menjadi argumentasinya. Ia mengatakan “ Seorang Teolog ulung, Plato, mengisahkan pengalaman dirinya. Ia menyatakan sebuah ungkapan yang artinya : Aku seringkali melakukan khalwat dan kontemplasi diri. Kutanggalkan tubuh jasmaniku di sampingku. Aku menjadi seolah-olah tanpa badan dan telanjang dari baju tabiat kemanusiaan dan lepas dari badan ragawi. Aku masuk kedalam jiwaku dan kutinggalkan segala sesuatu. Kulihat kedalam diriku suatu yang sangat indah, berkilau, bersinar, bercahaya terang benderang, dan mengagetkan, sampai aku terkagum-kagum. Aku pun mengetahui bahwa diriku adalah bagian dari alam yang luhur dan mulia.
Filsafat Isyraqiyah melukiskan, dalam sebuah bahasa simbolik secara imanen, suatu dunia yang sangat luas berdasarkan pada simbolisme cahaya dan “ Timur”, yang memutuskan batas-batas kosmologi Aristotelian dan juga batas-batas rasio yang di definisikan oleh Aristotelian. Suhrawardi mampu menciptakan suatu metafisika Cahaya secara esensialistik dengan kosmologi, yang jarang tertandingi kemuliaan dan keindahannya, yang menghadapkan pencari yang benar melalui ruangan kosmik dan membimbingnya kepada kenyataan cahaya sejati, yang tidak lain adalah kebenaran Timur. Dalam perjalanan ini, sekaligus bersifat filsafat dan spiritual, manusia di pimpin oleh suatu pengetahuan yang merupakan cahayanya sendiri, menurut sabda Nabi saw., yang menyatakan; al-ilm nur ( Knowledge is light ). Itulah mengapa filsafat ini, menurut wasiat dan keinginan Suhrawardi yang terakhir pada karyanya, Hikmat al-Isyraq, tidak bisa diajarkan kepada setiap orang, untuk hal tersebut jiwa manusia harus di latih dengan latihan-latihan yang bersifat filosofis secara tepat dan jiwanya harus di sucikan melalui usaha batin, untuk menundukkan ular naga batin yang berupa nafsu ruhani. Bagi orang-orang tertentu.
Ajaran Isyraqiyah adalah ajaran bathin yang mengantarkan manusia untuk kembali kepada kediaman cahayanya, kediamana azalinya. Dimana di sanalah ia memulai kemusafiran kosmiknya. Atau dalam bahasa Plato kembali kedunia Idea.
Sebuah puisi dari pribadi untuk gambaran Filsafat Isyraqiyah kiranya dapat memperindah cahaya ketimuran Suhrawardi.
Puisi : Kembali ke Orient
Aku terhempas secara Vertikal
dan aku terasing pada kosmik Horisontal.
Terperangkap pada kegelapan gua barat.
Membelakangi matahari di Orient.
Aku Musafir yang melupakan kediaman azali.
Yang di hancurkan ular naga dalam diri.
Dan olahan Absolut membeku pada titik diri Substansial.
Puzzle-puzle platonic menjadi enigma kosmik mirokosmos.
Agaknya aku butuh ekstase, maqam yang menuju teosofi Timur.
Mengawinkan intelektual dan bathin.
Bermandikan pancaran cahaya, cahaya di atas cahaya.
Berhubungan di taman-taman malaikat. Bernostalia pada rumah Cahaya.
Tapi siapkah aku terasing?
Siapkah aku menjadi manusia teka teki?
Lalu di kejami dan di hancurkan?
Tapi semakin terasing, semakin sulit, di kejami dan di hancurkan.
Di sanalah aku dapat kembali ke Orient.

Daftar pustaka

Drajat ,Amroeni, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik. I, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Hilal , Ibrahim, At-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din wa al-Falsafah, terjemahan oleh Ija Suntana dan E Kusdian, Tasawuf antara Agama dan FIlsafat sebuah kritik metodologis.  I, Bandung:  Pustaka Hidayah, 2002.
Hossein Nasr , Seyyed, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam. Jogjakarta, Ircisod, 2006.
Hossein Nasr,  Seyyed, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Masataka Tekeshita, Ibn Araby’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History, terejemahan oleh Moh. Hefni Mr, Manusia Sempurna menurut konsepsi Ibnu Arabi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Sabri, Muhammad Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik . I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011.
Suseno, Frans Magnis Menalar Tuhan . Yogyakarta: Kanisius, 2006.





[1] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 33.
[2] Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 29
[3] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, ( Jogjakarta, Ircisod, 2006), h. 104.
[4] Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 40.
[5] Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 42.
[6] Muhammad Sabri, Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik ( I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011), h. 72.
[7] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 73.
[8] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, ( Jogjakarta, Ircisod, 2006), h.114.  sedangkan Dalam pandangan Suhrawardi, Hermes tak lain adalah Nabi Idris yang menjai cikal bakal filsafat setelah menerima wahyu dari Allah swt. Menurutnya, ia di ilhami dari serangkaian ahli bijak dari Yunani, persia kuno, dan akhirnya pada Islam yang menyatukan kearifan peradaban sebelumnya kedalam rahim peradabannya. Lihat Muhammad Sabri, Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik ( I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011), h. 72
[9] Ajaran ini juga di sebut sebagai Teosofi dalam bahasa Jakob Boehme. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 69.
[10] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.71.
[11] Agaknya yang di maksud” Olahan Abadi” adalah bahwa dalam diri subtansial manusia ada imanensi yang meresapkan Tuhan, dan lewat “Olahan Abadi” itu. Tuhan yang Transendensi dapat terasakan cahayanya. Yang sangat dekat dengan diri. sebagaimana Agustinus pernah merumuskan ini juga dengan sangat indah, Allah adalah “intimior intimo meo, superior summo meo” (Allah lebih dekat dengan diriku dari pada aku sendiri, Allah lebih agung dari pada segala keagunganku. Makin besar persatuan, maki besar perbedaan, maka makin imanen yang Ilahi dalam dunia, makin Transenden juga yang Ilahi terhadap Dunia. Lihat Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 201 dan 202. Atau dalam bahasa Plato” Olahan Abadi itu adalah suatu Materi pertama tak berbentuk yang sudah di beri bentuk oleh idea-idea, menjadi realitas yang kita kenal. Lihat Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 204.
[12] Ibnu Arabi Sendiri mendefenisikan Epistimologinya sebagai berikut: Sekarang kami terlebih dahulu mengatakan bahwa ilmu pengetahuan berarti sebuah relaitas dalam jiwa ( nafs), yaitu sebuah realitas yang menghubungkan dirnya, baik pada sebuah non eksisten mapun pada sebuah eksisten. Berkenaan dengan realitasnya di atas, di mana ia ada( dalam hal sebuah non eksisten), ia masuk kedalam eksisten. Maka realitas ini adalah ilmu pengetahuan. Lihat Masataka Tekeshita, Ibn Araby’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History, terejemahan oleh Moh. Hefni Mr, Manusia Sempurna menurut konsepsi Ibnu Arabi ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 76.
[13] Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din wa al-Falsafah, terjemahan oleh Ija Suntana dan E Kusdian, Tasawuf antara Agama dan FIlsafat sebuah kritik metodologis, ( I, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 115.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.73.
Read More

Al Hikmat Al Masyrikiyyah ( Filsafat Ketimuran ) Ibnu Sina

Tentang Al hikmat al Masrikiyyah Ibnu Sina.
Oleh Ma’ruf Nurhalis.


Buku yang berjudul al hikmat al masrikiyyah adalah salah satu buku terbaik yang pernah di buat oleh Ibnu Sina. Buku ini banyak di bicarakan karena ketidak jelasan judul dan tema di dalamnya, apalagi masih ada naskah tambahan berisi pelajaran logika yang di hubungkan dengan naskah sebelumnya . Ada pendapat yang mengatakan jika buku ibnu sina ini berjudul al hikmah al masyrikiyyah, yakni berisi filsafat ketimuran, pendapat ini di dukung oleh carlos Nillino. Ada juga yang mengatakan buku ini berisi uraian tentang pemikiran mistik Ibnu sina.
Ibnu Sina merupakan filosof yang beraliran peripatetik. Di dalam buku yang berjudul Suhrawardi kritik falsafah peripatetik. Di dalam akhir hayatnya , Ibnu Sina melawan dirinya sendiri, yakni filsafat peripatetiknya sendiri, ia beranggapan bahwa pemikirannya dahulu hanyalah di tujukan bagi orang awwam. Lantas Ibnu Sina lalu merumuskan pemikiran mistisnya yang di tujukan kepada golongan Khawwash. Pemikiran mistisnya ini tertulis dalam buku The “logic of the orientals, atau al mantiq al Masyriqiyyin atau logika orang-orang Timur. Sebuah buku yang berisi kajian mistis pada akhir dari aktivitas penalaran Ibnu Sina. Teori Tasawuf-mistis Ibnu sina pada buku al Mantiq al Masriqiyyin ini lalu terangkum pada Trilogi karya mistisnya: Hayy bn Yaqsan, Risalah fi at Thair dan Salaman wa Absal.
Pada umumnya para peneliti, menganggap bahwa Trilogi ini merupakan pintu gerbang yang luas bagi kemunculan filsafat Illluminasi Suhrawardi, meski ada pula yang beranggapan bahwa buku al hikmah al Masyriqiyyah bukan sebagai buku mistis dan tasawuf. Misalnya Carlos Nillino lebih melabeli karya ibnu Sina sebagai hasil karya seorang filosof yang berfilsafat atau lebih lanjut ia mengatakan . al hikmah al masriqiyyah adalah filsafat ketimuran.
Abed al Jabiri pada buku berjudul Ibnu Tufail, Penamaan filsafat ketimuran pada al hikmah al masriqiyyah di latar belakangi dari pembacaan Ibnu Sina atas filsafat filosof-filosof dahulu dari guru kedua yakni Al Farabi. Dari pembacaan itu kemudian lahir sebuah kekhasan pemikiran yang berbau ketimuran sehingga di sebutlah hasil pembacaan Ibnu Sina sebagai filsafat ketimuran, ( al Hikmah al Masyriqiyyah).
Isi dari filsafat ketimuran itu sendiri adalah trilogy cerita filsosofi. Pada cerita Hayy bin Yaqzan ibnu sina memposisikan diri sebagai jiwa rasional. Sedangkan teman-temannya di posisikan sebagai gambaran indra-indra manusia. Sedangkan “Akal Aktif” di wakili oleh tokoh tua bernama hay bin Yaqzan. Yang juga di gambarkan sebagai manusia yang memiliki sprit manusia super. Dalam buku ini Ibnu Sina mengisahkan dirinya melakukan sebuah perjalanan bersama teman-temannya. Untuk berjalan kesebuah kota. Dalam perjalanan itu Ia berjumpa dengan hay bin Yaqzan. Lalu Ibnu Sina berkata padanya. Bahwa ia meminta hay bin Yaqzan untuk menemani dirinya melakukan perjalanan panjang. Tetapi Hay bin Yaqzan mengatakan. “ Selama Anda tidak mampu meninggalkan teman-teman Anda. Maka Anda akan mustahil untuk melakukan perjalanan panjang”.
Sementar dalam kisah yang lain yakni dalam cerita Salaman wa Absal. Ibnu Sina memposisikan Salaman sbagai ruh Rasional, Absal sebagai nalar teoritis sedangkan istri alam sebagai bentuk jasad, sebagai bentuk keduniawian, dan pemuja nafsu. Di kisahkan pada saat Absal ingin maju ke medan perang untuk melawan hasrat jahat yang di sebabkan oleh istri kakaknya. Absal mengumpulkan pasukan namun di tengah peperangan itu. Absal kehilangan pasukan akibat dari politik istri Salaman. Hingga Absal kalah tapi ia di selamatkan oleh seekor Rusa menuju pedalaman hutan. Di sanalah Absal memulihkan diri. Hingga ia lalu datang kembali menantang istri Salaman. Namun istri Salaman yang tahu akan rencana Absal. Lalu memilih untuk meracuni Absal dan cara itu berhasil. Absal mati dan hancur.
Kematian Absal ini lalu tercium oleh Salaman. Dia amat sedih atas meninggalnya Absal. Ia lalau memilih jalan pertapa untuk menghibur hatinya. Dalam pertapaan itu Salaman bertemu dengan seorang mistikus. Yang memberi tahukan dirinya bahwa istri salamanlah yang telah membunuh Absal. Lewat penjelasan mistikus itu. Salaman lalu membunuh istrinya dan semua kaki tangannya.
Dalam kisah yang lain yakni kisah Risalah at Thair. Di kisahkan bawa jiwa manusia itu ibarat burung yang tertangkap oleh pemburu, yang di mana pemburu itu lalu membawa hasil tangkapannya kedalam sangkar. Burung itu lalu terperangkap di dalam sangkar itu. Karena lama di dalam sangkar, burung itu lalu lupa dengan asalnya. Baru kesadarannya muncul kembali saat ia di datangi oleh teman-temannya. Dia pun meminta teman-temannya untuk melepaskan dirinya dari sangkar ini. Teman-temannya lalu memberi tahukan dirinya. Bahwa untuk melepaskan diri dari sangkar adalah hal yang sangat sulit, di butuhkan niat yang sangat kuat untuk melepasakan diri dari sangkar itu. Karena dalam upaya untuk melepaskan diri dari sangkar itu ia akan menemui banyak cobaan dan ujian.
Dari trilogy kisah inilah filsafat ketimuran Ibnu sina terbentuk dengan menghadirkan kisah dalam bentuk metafora yang menerangkan perjalanan manusia dari menuju dunia bayangan menuju dunia hakekat.

Bentuk lanjut filsafat ketimuran Ibnu Sina sendiri di lanjutkan oleh Suhrawardi dalam bentuk al hikmah al isyraqiyyah dan Suhrawardi sendiri lah yang mengakuinya.
Read More