SUHRAWARDI DAN ILUMINASI
Kembali Ke Orient.
oleh Ma'ruf Nurhalis pada Tugas Filsafat Mistik
Dosen : Prof Qasim Mathar. MA
Sebelum Iluminasi.
Berawal
dari terbukanya pintu gerbang emas peradaban islam dan menyambut tamu terhormat
dari luar. Kemajuan lalu menyentuh setiap nadi kegiatan intelektualitas. Al
Kindi dengan slogan kebijaksanaannya
yang tidak ingin malu mengakui kebenaran dan bersumber dari mana dan siapapun
sekalipun ia di bawa generasi baru dan orang asing.[1]
Dari semangat itulah al- Kindi amat berjasa dalam membuka pintu gerbang emas
itu dengan banyak menerjemahkan buku-buku dari luar menjadi berbahasa Arab,
menjadi awal dari mega proyek filsafat yang bercorak islam dan lebih elaborate
bercorak peripatetic.
Amat
panjang sejarah filsafat islam yang telah di mulai dari penerjemahan bijak itu.
Filsafat peripatetic sendiri akhirnya berpuncak pada diri Ibnu Sina. Lalu
setelah itu Filsafat Islam seolah kehilangan hasrat dan martabat setelah
serangan yang bertubi-tubi datang menerpanya. Sempat matahari kembali timbul
dari diri Ibnu Rusyd. Tapi setelah kematian Ibnu Rusyd. Filsafat Islam juga
ikut terancam untuk di kuburkan. Tetapi matahari yang lebih terang kembali
terbit. Iluminasi atau Isyraqi dari ajaran Suhrawardi membuka kembali keagungan
puncak Filsafat Islam. Maka dari itu amat perlu di ketahui seperti apakah
keindahan filsafat Iluminasi Suhrawardi. Seterang apakah Israqi pada filsafat
Suhrawardi.
Sekilas mengenai Suhrawardi.
Nama
lengkap Suhrawardi adalah abu al futuh Yahya bin Habasy bin Amirak as
Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M. di Iran pada sebuah
kampung bernama Suhraward.[2]
Ia menerima pendidikan awalnya dari Majd al-Din al Jili di Maragha. Dan
melanjutkannya di Isfahan. Kehidupan kesufiannya di mulai sejak ia merampungkan
pendidikan formalnya dan melancong ke Persia. Di sana ia banyak menemui
guru-guru Sufi, dan membuatnya tertarik. Kenyataanya sejak fase kehidupannya
inilah ia memasuki jalan sufi dan menghabiskan periode lama dalam pengasingan
Spritual (khalwat) dan menenggelamkan diri dalam dzikir dan meditasi.[3]
Akar
pemikiran Suhrawardi sangat unik dan mendasar. Dia berusaha mencari pengetahuan
hingga mencapai dasarnya. Dia adalah manusia yang berpikir secara radikal
hingga melacak sumber kebenaran yang ada pada beragam kepercayaan. Menurutnya
hikmah kebenaran itu satu, abadi dan tidak terbagi-bagi. Maka ia pun menyebut
dirinya sebagai pengumpul kebijaksanaan, al hikmah al laduniyyah.[4]
Ada
banyak sumber pemikiran Suhrawardi, diantara yang paling awal adalah Hermetisme
yang mengacu pada sosok Hermes. Hermes mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap pemikiran Suhrawardi. Kekaguman Suhrawardi terhadap Hermes barangkali
terkait dengan tugas yang di embannya sebagai penyampai pesan ketuhanan kepada
umat manusia. Dalam menyampaikan pesan sang dewa Hermes memiliki bahasa yang
mudah di terima oleh manusia sebagai pesan langit[5].
Pengaruh selanjutnya datang dari ajaran Persia kuno, dari seorang Nabi
Zoroaster yang mengajarkan Zoroastereanisme dengan dua doktrin dasar. Pertama,
ada hukum di dalam alam, kedua ada konflik di dalam hukum alam. Sehingga
memunculkan persoalan bagaimana mempersatukan kejahatan dan kebaikan abadi
Tuhan. Dalam menjelaskannya Zoroaster menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan
sejati yakni Ahuramazda. Tuhan yang terang meski pun pula roh Ahriman tetap
ada. Hubungan Zoroater dengan suhrawardi
ada pada ajaran Zoroaster untuk melawan roh Ahriman untuk menyucikan diri agar
bisa merasakan Cahaya Ahuramazda.
Sedangkan
pengaruh falsafah Yunani terhadap pemikiran Suhrawardi berasal dari filsafat
Platon, Aristoteles, dan Plotinus yang disebutnya sebagai Filsafat peripatetic.
Sedangkan dari filosof Islam , Alfarabi dan Ibnu Sina adalah dua tokoh filsuf
yang ide-idenya sangat mewarnai pemikiran Suhrawardi, sekalipun nantinya,
Suhrawardi mengkritik kedua filosof Islam ini.
Bagi Suhrawardi, Filsafat tidak bermula
dari Plato dan Aristoteles, namun justru berakhir pada mereka, Aristotels yang
meletakkan kearifan dalam baju rasionalis telah mnyempitkan cakrawala dan telah
memisahkan dari kearifan tentang keperpaduan yang di miliki oleh para empu
kebijakan di zaman purbakala..[6]
Isi Iluminasi.
Iluminasi
dalam bahasa Arab itu sendiri di sebut Isyraq. Isyraq berarti cahaya (Light) pertama pada saat pagi
hari, seperti cahaya Matahari yang terbit dari timur (Syarq). Timur dalam
pandangan Suhrawardi bukanlah Timur secara letak geografis. Tapi Timur adalah
bahasa Simbol dari keter awal an cahaya. Seperti matahari yang terbit dari
timur. Filsafat israqiyah berarti “ketimuran” dan “iluminatif”. Ia memancar
karena ia adalah timur dan ia timur karena ia memancar ia adalah pengetahuan
dengan pertolongan, yang manusia dapat menyesuaikan dirinya sendiri dalam alam
semesta dan akhirnya menjangkau bahwa timur adalah tempat kediaman yang azali,
sementara bayangan kegelapan diri manusia berada di bumi bagian “barat”.[7]
Sedangkan Menurut Al Jurjani, Timur dalam
bahasa isyraqiyah juga di artikan sebagai kutub bagi para Filosof di mana Plato
yang menjadi rajanya. Sementara Abd Razaq al-Kasyani menyebut timur sebagai
kumpulan pengikut Orang suci (Seth) yang menurut sumber-sumber muslim adalah
pendiri sekelompok ahli dan
dari mereka keahlian itu berasal, yang terkait erat dengan Hermetisme.
Sedangkan pendapat lain yang menyebut Isyraqi seperti Ibnu Wahsyiah. Mengatakan
bahwa Isyraqi adalah kelompok orang-orang suci Mesir yang merupakan anak-anak
Saudarai Hermes.[8]
Iluminasi,
menurut Suhrawardi merupakan suatu fase yang menentukan perkembangan pemikiran
yang seolah-olah tersembunyi di lautan pemikiran Islam sebagai produk logika
yang di kembangkan oleh madzhab Ibnu Sina. Filsafat iluminasi ini dapat di
rasakan sebagai hasil dari perkawinan antara latihan intelektual teoritik
melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme. Dari perkawinan ini
pengetahuan tertinggi yang ia anggap iluminasi, sekaligus mentransformasikan
keberadaan dan melimpahnya pengetahuan seseorang.[9]
Sang
Guru iluminasi ini menegaskan bahwa sejak semula telah ada suatu “ Olahan
Abadi” yang tidak ada sesuatu pun melainkan adalah kebijaksanaan abadi. Olahan
abadi itu di samarkan dalam diri Substansial manusia yang siap “di olah” dan di
aktualisasikan melalui latihan intelektual dan penyucian hati.[10]
Untuk hal tersebut filsafat iluminasi tidak bisa di ajarkan oleh dan kepada
setiap orang.[11]
Teori
Emanasi yang di perkenalkan oleh Alfarabi dan Ibnu Sina di jadikan sebagai
dasar epistimologi Suhrawardi,.[12]
Namun Suhrawardi mememiliki pendapat mandiri mengenai akal actual yang
menurutnya tidak terbatas pada akal Sepuluh, tetapi terus beremanasi pada akal
yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama Cahaya dari cahaya-cahaya
terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada di
bawahnya.[13]
Cahaya
di atas cahaya yang merupakan cahaya Absolut dan tidak terbatas diatas dan di
belakang semua sianar yang memancar. Semua tingkat realitas, bagaimana pun,
juga adalah derajat dan tingkat intensitas dan kelemahannya dengan tak
sesuatupun melainkan cahaya. Karena, kenyataannya, tak ada sesuatupun dalam
alam semesta yang luas ini melainkan cahaya. Dari Cahaya di atas segala cahaya
ada suatu hierarki cahaya, vertical maupun longitudinal, cahaya-cahaya yang
terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi universal dan suatu tatanan horizontal
atau latitudinal yang berisi pola dasar atau idea-idea platonic tentang segala
sesuatu yang kelihatan di bawah sebagai objek atau barang, cahaya-cahaya ini
tidak lain dari pada apa yang dalam bahasa agama sebagai malaikat-malaikat.[14]
Dengan
teori Iluminasi Suhrawardi yakin bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia
indrawi dan materi bersama orang-orang yang terjebak di dunia materi. Yang
lebih tepat baginya adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia penanggalan
keinginan duniawi dan penyaksian langsung, kemudian naik ke maqam orang-orang
yang bercahaya, bergaul bersama mereka, dan menyaksikan mereka dari dekat. Ia
berkata, “ Bicaralah kepada dirimu sendiri bila engkau orang yang punya harkat.
Sandarkan dirimu pada rahasia batinmu. Terimalah kenikmatan hidup dalam
ketiadaan. Langkahkan kedua kakimu seraya berkata, ‘Sudahkah aku mengarungi
ilmu-ilmu yang di serukan oleh penyeru dari keterlenaan orang-orang yang lalai.
Secara
lebih sederhana, konsep Istisyraq di jelaskan Suhrawardi kepada kita bahwa jiwa
berasal dari yang maha Pencipta dan dari berbagai Substansi yang
terpisah-pisah. Maka sampai kepadaNya
atau sampai pada diri Substansi amatlah sulit jika manusia tidak mampu
melepasakan diri ragawi menundukkan ular naga bathin yang berupa nafsu nurani.
Dan tidak melakukan latihan Spritual yang tepat.
Kemudian
Suhrawardi menjadikan ungkapan Plato yang sangat indah untuk menjadi
argumentasinya. Ia mengatakan “ Seorang Teolog ulung, Plato, mengisahkan
pengalaman dirinya. Ia menyatakan sebuah ungkapan yang artinya : Aku seringkali
melakukan khalwat dan kontemplasi diri. Kutanggalkan tubuh jasmaniku di
sampingku. Aku menjadi seolah-olah tanpa badan dan telanjang dari baju tabiat
kemanusiaan dan lepas dari badan ragawi. Aku masuk kedalam jiwaku dan
kutinggalkan segala sesuatu. Kulihat kedalam diriku suatu yang sangat indah,
berkilau, bersinar, bercahaya terang benderang, dan mengagetkan, sampai aku
terkagum-kagum. Aku pun mengetahui bahwa diriku adalah bagian dari alam yang
luhur dan mulia.
Filsafat
Isyraqiyah melukiskan, dalam sebuah bahasa simbolik secara imanen, suatu dunia
yang sangat luas berdasarkan pada simbolisme cahaya dan “ Timur”, yang
memutuskan batas-batas kosmologi Aristotelian dan juga batas-batas rasio yang
di definisikan oleh Aristotelian. Suhrawardi mampu menciptakan suatu metafisika Cahaya secara
esensialistik dengan kosmologi, yang jarang tertandingi kemuliaan dan
keindahannya, yang menghadapkan pencari yang benar melalui ruangan kosmik dan
membimbingnya kepada kenyataan cahaya sejati, yang tidak lain adalah kebenaran
Timur. Dalam perjalanan ini, sekaligus bersifat filsafat dan spiritual, manusia
di pimpin oleh suatu pengetahuan yang merupakan cahayanya sendiri, menurut sabda Nabi saw., yang
menyatakan; al-ilm nur ( Knowledge is light ). Itulah mengapa filsafat ini,
menurut wasiat dan keinginan Suhrawardi yang terakhir pada karyanya, Hikmat
al-Isyraq, tidak bisa diajarkan kepada setiap orang, untuk hal tersebut jiwa
manusia harus di latih dengan
latihan-latihan yang bersifat filosofis secara tepat dan jiwanya harus di sucikan melalui usaha batin, untuk
menundukkan ular naga batin yang berupa nafsu ruhani. Bagi orang-orang
tertentu.
Ajaran
Isyraqiyah adalah ajaran bathin yang mengantarkan manusia untuk kembali kepada
kediaman cahayanya, kediamana azalinya. Dimana di sanalah ia memulai
kemusafiran kosmiknya. Atau dalam bahasa
Plato kembali kedunia Idea.
Sebuah
puisi dari pribadi untuk gambaran Filsafat Isyraqiyah kiranya dapat memperindah
cahaya ketimuran Suhrawardi.
Puisi : Kembali ke Orient
Aku terhempas secara Vertikal
dan aku terasing pada kosmik
Horisontal.
Terperangkap pada kegelapan gua
barat.
Membelakangi matahari di Orient.
Aku Musafir yang melupakan kediaman
azali.
Yang di hancurkan ular naga dalam
diri.
Dan olahan Absolut membeku pada
titik diri Substansial.
Puzzle-puzle platonic menjadi enigma
kosmik mirokosmos.
Agaknya aku butuh ekstase, maqam
yang menuju teosofi Timur.
Mengawinkan intelektual dan bathin.
Bermandikan pancaran cahaya, cahaya
di atas cahaya.
Berhubungan di taman-taman malaikat.
Bernostalia pada rumah Cahaya.
Tapi siapkah aku terasing?
Siapkah aku menjadi manusia teka
teki?
Lalu di kejami dan di hancurkan?
Tapi semakin terasing, semakin
sulit, di kejami dan di hancurkan.
Di sanalah aku dapat kembali ke
Orient.
Daftar pustaka
Drajat ,Amroeni, Suhrawardi kritik Falsafah
Peripatetik. I, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Hilal , Ibrahim, At-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din
wa al-Falsafah, terjemahan oleh Ija Suntana dan E Kusdian, Tasawuf antara
Agama dan FIlsafat sebuah kritik metodologis.
I, Bandung: Pustaka Hidayah,
2002.
Hossein Nasr , Seyyed, Three Muslim Sages,
Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam.
Jogjakarta, Ircisod, 2006.
Hossein Nasr, Seyyed, Theologi, Philospohy and
Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual
Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Masataka Tekeshita, Ibn
Araby’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History, terejemahan
oleh Moh. Hefni Mr, Manusia Sempurna menurut konsepsi Ibnu Arabi .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Sabri,
Muhammad Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik .
I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011.
Suseno, Frans Magnis Menalar Tuhan . Yogyakarta: Kanisius, 2006.
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan
oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan
Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 33.
[2]
Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta:
Lkis, 2005), h. 29
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun
Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, ( Jogjakarta, Ircisod,
2006), h. 104.
[4]
Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta:
Lkis, 2005), h. 40.
[5]
Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta:
Lkis, 2005), h. 42.
[6] Muhammad Sabri, Mistisisme dan Hal-Hal
Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik ( I, Makassar: Alauddin
Universty Press, 2011), h. 72.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan
oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan
Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 73.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun
Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, ( Jogjakarta, Ircisod,
2006), h.114. sedangkan Dalam pandangan Suhrawardi, Hermes
tak lain adalah Nabi Idris yang menjai cikal bakal filsafat setelah menerima
wahyu dari Allah swt. Menurutnya, ia di ilhami dari serangkaian ahli bijak dari
Yunani, persia kuno, dan akhirnya pada Islam yang menyatukan kearifan peradaban
sebelumnya kedalam rahim peradabannya. Lihat Muhammad Sabri, Mistisisme dan
Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik ( I, Makassar:
Alauddin Universty Press, 2011), h. 72
[9] Ajaran ini juga di sebut sebagai Teosofi
dalam bahasa Jakob Boehme. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Theologi,
Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual
Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 69.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan
oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan
Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.71.
[11] Agaknya yang di maksud” Olahan Abadi”
adalah bahwa dalam diri subtansial manusia ada imanensi yang meresapkan Tuhan,
dan lewat “Olahan Abadi” itu. Tuhan yang Transendensi dapat terasakan
cahayanya. Yang sangat dekat dengan diri. sebagaimana Agustinus pernah merumuskan
ini juga dengan sangat indah, Allah adalah “intimior intimo meo, superior summo
meo” (Allah lebih dekat dengan diriku dari pada aku sendiri, Allah lebih agung
dari pada segala keagunganku. Makin besar persatuan, maki besar perbedaan, maka
makin imanen yang Ilahi dalam dunia, makin Transenden juga yang Ilahi terhadap
Dunia. Lihat Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Kanisius, 2006),
h. 201 dan 202. Atau dalam bahasa Plato” Olahan Abadi itu adalah suatu Materi
pertama tak berbentuk yang sudah di beri bentuk oleh idea-idea, menjadi
realitas yang kita kenal. Lihat Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan (
Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 204.
[12] Ibnu Arabi Sendiri mendefenisikan
Epistimologinya sebagai berikut: Sekarang kami terlebih dahulu mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan berarti sebuah relaitas dalam jiwa ( nafs), yaitu sebuah
realitas yang menghubungkan dirnya, baik pada sebuah non eksisten mapun pada
sebuah eksisten. Berkenaan dengan realitasnya di atas, di mana ia ada( dalam
hal sebuah non eksisten), ia masuk kedalam eksisten. Maka realitas ini adalah
ilmu pengetahuan. Lihat Masataka Tekeshita, Ibn Araby’s Theory of Perfect
Man and Its Place in Islamic History, terejemahan oleh Moh. Hefni Mr, Manusia
Sempurna menurut konsepsi Ibnu Arabi ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
h. 76.
[13]
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din wa al-Falsafah, terjemahan
oleh Ija Suntana dan E Kusdian, Tasawuf antara Agama dan FIlsafat sebuah kritik
metodologis, ( I, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 115.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan
oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan
Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.73.