Minggu, 06 Desember 2015

Falsafah dan Agama

Falsafah yang dinilai masyarakat sebagai biang keladi problematika agama, terbukti tidak ada pertentanganbahkan terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan antara keduanya.

Kata dinilai” adalah kata pasif dari kata aktif “menilai”. “Menilai” berarti memberikan suatu anggapan –beranggapan- terhadap sesuatu tertentu. Kata “beranggapan” sangat cenderung pada subjektivitas. Karena kata “beranggapan” sangat dimungkinkan melahirkan hasil yang subjektif, kata menilai pun juga demikian, cenderung pada subjektivitas. Untuk menghindari subjektivitas, suatu penilaian harus dilandaskan pada ukuran-ukuran penilaian yang telah disepakati bersama.

Dalam matematika, ukuran penilaian tersebut ialah rumus. Rumus itu sendiri disebut juga suatu hukum matematika. Seseorang yang mengerjakan soal sesuai dengan rumus, maka dinilai benar dan berlaku sebaliknya. Dalam fisika ukuran penilaian ialah hukum alam, misalnya hukum grafitasi, intensitas cahaya dll. Sedangkan dalam agama dan falsafah, ukuran penilaiannya juga ada pada hukum keduanya.

Agama juga memunyai hukum yang berbeda dengan hukum falsafah. Hukum adalah suatu pernyataan yang diterima banyak manusia karena keabsahannya sudah diuji sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan landasanyang kokoh. Untuk menilai ada tidaknya suatu pertentangan –yang nanti dianggap melahirkan problematika- dalam dua disiplin yang berbeda, penilai harus menganalisis kedua hukum tersebut. Kalau nanti antara kedua hukum itu terdapat suatu pertentangan yang menabrak salah satu hukum tersebut, maka memang benar bahwa salah satu dari keduanya dapat dinilai sebagai sumber prombematika terhadap disiplin yang satunya. Tetapi kalau tidak ada, maka keduanya saling mendukung bahkan saling menguatkan.

Oleh karena itu, untuk menilai filsafat berdasarkan hukum agama, diharuskan memahami keduanya. Sehingga hasil dari penilaian tersebut memunyai ukuran yang jelas, objektif, dapat diterima semua kalangan dan tidak menyesatkan. Tetapi dalam kesempatan kali ini, penulis lebih fokus pada argumen falsafah sebagai disiplin ilmu yang tidak bertentangan dengan agama.

Falsafah adalah salah satu pengetahuantentang kebenaran hakiki. Tujuan falsafah ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Puncak dari kebenaran hakiki yang dimaksud ialah Allah dan kebaikan berasal dariNya, demikian juga dengan agama.

Kajian tentang ketuhanan itu disebut ilmu teologi. Teologi merupakan bagian dari falsafah dan menjadi bagian dari agama yang disebut dengan ilmu tauhid. Muslim diwajibkan untuk belajar teologi (tauhid) sebagai dasar utama dalam beragama Islam. Kewajiban ini tampak sekali pada kalimat syahadat yang diwajibkan untuk dilafadzkan dan dihayati bagi mereka yang masuk Islam.

Di sini tampak terdapat suatu keselarasan yang mendasar antara agama dan falsafah. Agama, di samping wahyu, mempergunakan akal dan falsafah juga menggunakan akal. Dalam pembahasan tentang Allah, falsafah tidak beranjak sendiri tanpa agama. Falsafah tetap menjadikan agama sebagai argumen dasar dari teori tentang ketuhanan. Teori ketuhanan falsafah tidak untuk menghancurkan teori ketuhanan yang diusung agama, tetapi justru berfungsii untuk menguatkan argumen ketuhanan agama.

Seseorang yang belajar falsafah tidak menjadikannyajauh dari Allah, tetapi akan semakin menguatkan keyakinannya akan realitasNya. Falsafah menyumbangkan argumen rasional yang akan mendukung dan memperkuat teori ketuhanan agama.

Allah bagi failasuf, tidak termasuk dalam benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta yang wajib ada. Ia juga tidak tersusun dalam materi dan bentuk. Karena Allah tidak termasuk alam, maka ia tidak merupakan genusatau species.Konsep ini yang dikenal dengan teologi negatif. Dialah yang awal dan yang akhir. Dialah asal dan tempat kembali segala yang ada. Tidak ada Realitas yang sejati kecuali Allah.

Selain wajib al wujūd (Allah), terdapat mumkin al wujūd yang berupa potensi. Mumkin al wujud ini adalah kosmos. Sebagai potensi, kosmos hanya bisa diaktualkan oleh yang wajib adanya, Allah. Tetapi juga ada yang mumtani’ al wujūd yang tidak bisa dibayangkan keberadaannya.

Teori ketuhanan falsafah juga digunakan Asy’ariyah untuk menguatkan argumen teologisnya tentang Allah sebagai sebab langsung dari segala kejadian di alam. Menurutnya, alam terdiri atas atom-atom. Tetapi atom tersebut hanya bertahan satu-dua saat, lalu musnah. Untuk mempertahankan keberadaan alam ini, maka Allah harus menciptakan atom-atom sejenis setiap kali atom yang lama musnah. Toeri ini dikenal dengan teori atom. Demikian ungkap Prof. Mulyadi Kartanegara dalam buku Studi Pengantar Islam.

Falsafah adalah argumen terhebat untuk menjelaskandengan sangat rasional tentang isi al-Qur’an yang membingungkan umat islam.Al-Qur’an sendiri telah menyebutkan tentang urgensi bepikir secara mendalam tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Allah. Berpikir secara mendalam berarti berfalsafah. Dengan demikian al-Qur’an memerintah muslim dan umat manusia untuk berfalsafah. Kalimat yang menunjukkan hal ini di antaranya ialah la âyâtin liulil albâbafalâ yatadabbarûnafalâ yandzurûní´tabirû, dan afalâ ya’lamûn.

Masih banyak argumen-argumen lain yang bisa kita utarakan, tetapi untuk kali ini cukuplah argumen di atas untuk menunjukan keselarasan antara agama dengan falsafah serta sumbangan falsafah terhadap agama yang begitu besar.Oleh karena itu, pemeluk agama –lebih-lebih tokoh agama- seharusnya belajar falsafah dengan baik (bukan malah mengharamkan falsafah), untuk menyempurnakan agama dan melindungi ajarannya dari serangan pemikiran lain yang rasional dan bertentangan bahkan memudarkan ajaran agamanya.

Oleh Hairus Saleh

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon