Senin, 07 Desember 2015

Manusia adalah Pecandu

Aku duduk diam dalam renungan. Hari telah banyak berganti, tetapi aku belum juga berarti. Siang ini, aku menemukan sebuah surat. Entah dari mana datangnya. Akupun mulai membaca.

"Dalam dan semakin dalam aku memuja-Mu. Hingga begitu kecil Bumi yang kudiami ini. Sangat kecil. Aku pun tahu, Badai-Mu laksana belaian lembut yang menyentuh jiwaku. Sudah bolehkah aku berada di sisi-Mu?
Aku merasakan terasing sekarang. Bagai serpih-serpihan dedaunan di tengah lautan. Asing yang teramat damai. Apakah Engkau melihatku sekarang, Tuhan? Apakah Engkau ikut membaca apa yang aku tuliskan ini?
Damai-Mu begitu Maha Akbar dibandingkan dengan euforia Bumi ini, Tuhan. Tak dipungkiri lagi, Engkau adalah Maha Esa. Aku merasakannya. Jelas terasa, satu persatu langkah menuju kerajaan-Mu. Tuhan, aku tiada malu untuk kembali datang pada-Mu. Aku telah belajar untuk mengingat. Aku telah belajar untuk mencari. Aku telah belajar untuk menggali. Aku telah belajar untuk tahu lebih banyak tentang-Mu."

"Tuhan, sore ini tiada apa-apa. Hanya ada nafas yang masih setia menghembuskan nama-Mu. Badai-Mu masih terasa menghempaskan tubuh ini, namun janganlah menjadikan aku lupa, Tuhan.
Pertama kali aku datang, tangis pecah membahana menghantam dinding-dinding Bumi. Aku menangis karena aku lupa tentang hakikat kehidupan. Di sebagian makhluk-Mu, langkah-langkah mereka terus tersusun menuju rumah abadi, sebagian lagi hengkang dan berupaya menjadi penghuni abadi Bumi. Mereka terjebak. Tipuan dan rayuan Bumi sebenarnya tidaklah hebat, cuma dada saja yang belum beriman. Sujud, rukuk, sembah, ritual dan ibadah telah menjadi sebuah cara untuk menghindari azab saja, bukan lagi untuk takjub pada-Mu."

"Damai dan bebas. Sebuah kebahagiaan yang sebenar dan seutuhnya di rumah abadi nantinya. Perang di Bumi pun mengajarkan kita untuk mendambakan damai lebih dari segalanya. Damai adalah kebahagiaan yang tidak terkira. Sebagian kecil dari kita telah bersuara untuk kedamaian karena kita tahu itu adalah media mencicipi aura surga. Sebagian besar terus beringas membunuh jiwa dengan perang yang disulut oleh gila kuasa dan harta."

"Tuhan, doktrin iblis telah menyebar ke dalam alur-alur sel otak manusia. Mereka menawarkan damai dan bebas buatan yang dipasang harga beberapa lembaran uang. Mereka yang terjebak, terus memburu lembaran ilusi itu untuk mendapatkan kebahagiaan buatan. Lalu, apakah bedanya manusia yang gila uang, harta dan jabatan dengan manusia pecandu narkoba? Hampir dari kita semua adalah pecandu. Benar bukan?
Hampir semua dari kita saat ini adalah pecandu. Kita memburu lembaran uang, harta dan jabatan untuk sebuah ilusi. Kesederhanaan kenyataan tidak tampak lagi. Padahal itu adalah kesederhanaan tentang kehidupan yang sebenarnya. Hidup di Bumi adalah sebuah kesederhaan. Simpel, namun candu telah membutakan. Hampir dari kita di Bumi ini telah menjadi pecandu!"

"Berapa hebatnya sebuah kelezatan makanan yang dikejar teramat bernafsu oleh kaum-kaum materialistis? Lidah mereka telah diracuni. Padahal hanya sampai tenggorokan saja, namun kita rela untuk menghalalkan segala cara. Memburu lembaran di setiap detik yang bergulir statis. Lidah yang teracuni telah menjadi lupa. Kita terjebak."

Aku membaca tulisan itu dengan sangat syahdu merasuk ke dalam sanubari. Aku menemukannya di sore yang tenang ini. Tak sengaja tulisan dalam secarik kertas itu kutemukan saat aku benar-benar telah merasa asing dan mengasingkan diri dari kehidupan khalayak.

Aku bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh terkenal atau musisi rock yang diburu oleh para fansnya. Beberapa tahun lalu memang ada keinginan untuk menjadi itu, tapi saat ini sudah memudar. Entah, mungkin karena ketertarikanku untuk menempuh perjalanan spiritual.

Aku seniman dan aku tetap berkarya. Menciptakan musik, lukisan, tulisan hingga apapun yang menurutku adalah berkarya, terus aku gerakkan setiap harinya. Di sudut kota ini aku memutar segenap pikiran dan jiwa untuk terus berkarya dan khusyuk menyembah-Mu.

Aku mulai bertanya, tulisan siapa yang baru saja aku baca? Di sini aku sendiri, tanpa ada siapa-siapa. Tulisan siapa ini? Apakah ada yang mengirimkannya ke rumah ini? Atau ini adalah sebuah tulisan yang telah ada sejak berpuluh-puluh tahun lalu dan baru saja aku temukan?
6 Mei 2015. Hah?! Tulisan itu baru saja lahir. Siapa yang telah menuliskannya? Apakah ada seseorang selain aku di rumah ini? Tidak mungkin! Aku terasing di sini. Tak ada satupun orang di rumah ini.
Aku mencoba menyusuri setiap ruang di rumah ini. Siapa tahu orang yang menulis surat itu masih berada di sini. Atau mungkin saja dia adalah penghuni gaib rumah ini. Satu persatu ruang aku susuri. Nihil.
Surat kedua kutemukan. Masih dalam tanggal yang sama. Aku segera membacanya.

"Begitu hebat sang iblis. Kaum mereka memasang perangkap untuk menjebak lima indera manusia. Mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan hebatnya, mereka menciptakan candu untuk lima indera tersebut. Saat candu sudah memenjarakan fungsi indera, seketika bermacam rayuan dan surga-surga buatan pun disebar ke setiap penjuru Bumi. Manusia yang telah berubah menjadi pecandu pun tak lagi pikir panjang. Candu adalah surga. Satu persatu manusia masuk jebakan. Mereka menjadi terlupa.
Peradaban semakin maju. Bumi tergolek dalam kekakuan. Apakah Tuhan saat ini menyaksikan? Apakah yang dirasakan Tuhan saat makhluk Bumi ciptaanNya bersatu padu menciptakan Tuhan-Tuhan lainnya? Agama dipecah menjadi beratus-ratus ritual dan ketetapan. Apakah Sang Pencipta melihat di Bumi ini telah diciptakan sejumlah Tuhan baru? Indera kita telah ditutup rapat oleh peradaban. Kita yang saat ini merasa telah benar-benar beragama apakah telah benar-benar beriman? Apakah saat ini kita benar-benar telah benar? Atau, saat ini lima indera kita sedang ditutup rapat oleh para iblis? Kita beribadah tapi buta, tuli, mati rasa dan terlena dengan Bumi."

"Dengan keadaan yang telah jauh dari ketetapan ini, ada satu rahasia yang ingin aku ungkapkan. Ada satu indera yang menjadi tameng kuat untuk kembali menawarkan segala candu yang meracuni lima indera manusia. Dia ada di jiwa. Saat ini para iblis terus mencari cara untuk membunuh jiwa. Berbagai cara digerakkan dan dilancarkan untuk menjadikan manusia tanpa jiwa. Jika ruang di jiwa telah kosong, lima indera akan benar-benar mati. Overdosis!"

"Seni dan kecerdasan spiritual adalah obat untuk menguatkan kembali bunga-bunga jiwa manusia. Dua hal ini telah mulai dilumpuhkan oleh iblis. Seni? lihat saja saat ini, seni berada di puncak sekarat. Para bedebah yang merupakan pengikut iblis meramu seni berbalut kebodohan, lalu mereka menjualnya dengan suntik-suntikan candu. Semakin lama, tidak lagi ada seni. Seni diubah menjadi bentuk hiburan belaka tanpa ada ramuan untuk jiwa. Semakin lama, seni semakin terkikis sangat dalam. Sebagian dari kita pun hanya menjadi jiwa-jiwa kosong. Kita telah dituntun untuk menjadi robot seutuhnya."

"Tak jauh beda dengan seni, spiritual dibuat melenceng sesuai dengan ketetapan terdahulu. Hanya sedikit yang coba mencari tahu, dan selebihnya hanya menonton sambil mencibir ke arah kaum minoritas yang khusyuk menggali tentang Ketuhanan, alam semesta dan jiwa. Lalu, apakah arti Bumi ini jika manusia di beberapa tahun kedepan hanyalah sebuah rombongan robot-robot dan manusia-manusia pecandu? Aku ingat Al-Ghuraba'. Ya, ajaran tuhan pada awalnya adalah suatu hal yang asing, dan pada akhirnya itu akan kembali pada keterasingan di tengah peradaban yang semakin menjulang tinggi dan bergerak maju dalam hal penciptaan Tuhan Dunia dan candu. Sebaliknya, hal yang sejogjanya dikejar dalam mencari jalan pulang menuju rumah abadi , tidak diperdulikan. Kita benar-benar dalam kemunduran dan teramat jahiliyah."

Ah! Aku masih terus bertanya. Siapa yang masuk ke rumah ini dan menuliskan tulisan-tulisan ini? "Heyy!! Tampakkan wujudmu!! Apa maksud semua ini?! Jangan permainkan aku, tunjukkan wujudmu!" aku berteriak geram.

Setiap sudut kamar kususuri. Dari ujung ke ujung aku perhatikan, dan tak ada siapa-siapa. Hey, siapa yang membuat tulisan ini? Aku mulai kesal. Dua lembaran kertas itu aku bawa ke teras. Emosiku tersulut. Sejenak kemudian surat itu kubakar.

Bogor, 6 Mei 2015 



Oleh : Wahyu Alhadi

Facebook Komentar
2 Blogger Komentar

2 komentar

tulisan yang mengagumkan, dan terpesona lara hatiku.
kami menunggu coretan selanjutnya

Terima kasih Pak Ma'ruf Nurhalis..


EmoticonEmoticon