Membuka Kant
Filsafat abad ke
18 di dominasi oleh kaum empiris Inggris. Yang di punggawai oleh Locke,Berkeley
dan Hume yang berjiwa Subyektivisme. Pada diri Locke lewat teorinya di
beranggapan jika pengetahuan yang didapatkannya adalah merupakan persepsi kesetujuan dan ketidak
setujuan dari dua gagasan. Dia berkeyakinana bahwa ada tiga macam pengetahuan
tentang eksistensi riil, yakni intuitif dari diri kita, Demostratif dari Tuhan,
dan Sensitif tentang hal-hal yang mengemuka dalam pikiran.
Sedang pada diri
Berkeley sebagai upaya mengomentari koleganya. Dia berkeyakinan jika
pengetahuan itu tak lebih terperoleh dari pikirannya sendiri tanpa ada peranan
Demonstratif dari Tuhan. Namun ia tidak berani melangkkah sejauh itu dengan
jubah Pastor dan makhluk yang berjiwa sosial.
Hume sebagai
titik tertinggi setiga Empirisme. Lebih banyak mendukung Locke dalam memperoleh
pengetahuan. Dia tidak mengakui gagasan sederhana tanpa adanya kesan yang
mendahuluinya, dan tidak diragukan lagi, dia membayangkan sebuah “kesan”
sebagai kondisi pikiran yangs ecara langsung di sebabkan oleh sesuatu di luar
pikiran, namun ia tidak mengakui ini sebagai defenisi “Kesan”, karena dia
sendir mempertanyakan apa yang di maksud dengan “Sebab”.
Kritik terhadap
pengetahuan yang di lakukan oleh segiitiga Empirisme ini berlanjut kesegitiga
Jerman yang lebih canggih. Muncul Kant,Fichte dan Hegel untuk membangun filsafat
jenis baru yang di tujukan untuk mengamankan pengetahuan dan kebaikan dari
doktrin-doktrin Subversif akhir abad ke-18. Terlebih pada diri Kant sebagai
panglima bagi kawannya yang lain dengan bendera sintesis yang berusaha
mengawinkan segitiga Rasionalisme dan segitiga empirisme menjadi sebuah bangun
Kritisisme yang bergaris sintesis dan apriori.
Dengan ulasan
singkat di atas sebagai beranda Kant, kini saatnya kita memulai untuk
“Menelanjangi” Kant.
Menelanjangi
Epistimologi Kant, sebelum menuju Moralitas Kant dn membahasakan Tuhan
Sebagai manusia
yang di komentari sebagai filsuf terbesar abad modern memang tidak terlalu
berlebihan, meski ada juga yang tidak sependapat. Namun sangatlah berdosa jika
kita berani mengingkari peran pentingnya dalam membangun Filsafat.
Dari lahir(1724)
hingga wafat(1804), ia hanya menetap di Konisberg, Prusia timur. Sebagai
seorang pecinta Buku ia mendapat didikan Filsafat dari Leibniz dan jatuh cinta
dengan filsafat Leibniz versi Wolfian, namun begitu mengenal Roessau dan Hume
dengan kritiknya terhadap konsep Kausalitas mendorong hasratnya untuk
menyelingkuhi Leibniz. Atau dalam istilahnya sendiri, ia telah terbangun dari
tidur Dogmatiknya.
Kant memiliki
ciri Filsafat yang kelihatannya lebih mementingkan hati nurani dari pada nalar
teoritik yang kaku. Prinsispnya bahwa setiap orang di anggap sebagai tujuan
dalam dirinya sendiri merupakan bentuk doktrin tentang Hak Asasi Manusia, dan
kecintaannya akan kebebasan di tunjukkan dalam ucapannya bahwa” Tidak ada yang
lebih mengerikan di banding jika tindakan seseorang harus tunduk kepada
kehendak orang lain”.[1]
Inti Filsafat Kant ada pada perkataannya ini, dan perlahan kita akn menuju
kesana.
Buku terpenting
kant adalah The critique of pure reason. Tujuan dari karya ini adalah untuk
membuktikan bahwa pengetahuan yang kita peroleh bukan hanya berdasar pengalaman
tetapi mesti ada juga sebagian a priori yang tidak di simpulkan seca induktif
dari pengalaman. Dia memsihkan dua pembedaan yang dalam karya Leibniz,
bercampur aduk. Di satu sisi, ada pembedaan antara proposisi “analitik” dan
“sintetik”, di sisi lain ada pembedaan antara proposisi “a priori” dan “
Empirik”.
Proposisi
analitik adalah proposisi yang predikatnya adalah bagian dari subyek. Misalnya
“ Pria yang tinggi itu adalah seorang pria, atau “segitiga sama sisi adalah
segitiga”. Proposisi semacam itu akan mengikuti hukum kotradiksi. Sedangkan
Proposisi “Sintetik” adalah proposisi yang tidak analitik atau semu proposisi
yang di dapati dari pengalaman adalah proposisi “Sintetik”, misalnya “hari Desember
adalah permulaan musim huja” kita tak dapa menyimpulkan kebenaran semacam ini
jika hanya menganalis konsep, di butuhkan pengalam untuk menunjang kesimpulan,
itulah proposisi “Sintetik”. Namun Kant berpendaat jika Proposisi “Sintetik”
seutuhnya di peroleh lewat pengalaman tetapi menyisakan sebagian apriori murni.
Proposisi
Empirik adalah yang tidak dapat kita ketahui kecuali dengan bantuan Indera
persepsi, baik milik kita sendiri maupun milik orang lain yang di pat di yakini
kesaksiannya, dalam hal ini fakta-fakta sejarah dan geografi termasuk dalam
jenis ini, demikian pula dengan hukum ilmu pengetahuan yang di ambil dari data
Observasi.
Disisi lain proposisi
Apriori adalah yang di pandang manakala kita mengetahuinya, memiliki basis
selain dari pengalaman. Seorang anak yang mempelajari Aritmetika mungkin dapat
di bantu dengan mengalami atau merasakan
dua butir kelereng dan dua butir kelerang yang lainnya, dan mengamati
bahwa kesemuanya dia alami sebagai empat buah kelereng. Namun ketika dia
memahami proposisi umum “ Dua dan dua sama dengan empat” dia tidak lagi meminta
konfirmasi dengan menggunakan contoh; proposisi ini memiliki kepastian yang
tidak dapat di berikan oleh induksi hukum umum. Dalam hal ini, semua proposisi
yang murni matematis bersifat a priori.
Inti
permasalahan dari the Critique of Pure Reason merupakan jawaban atas pertanyaan
Bagaimana penelitian sintesis yang a priori dapat di mungkinkan?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, Kant sebagai seorang yang filsuf yang tegar mesti mempelajari
pertanyaan yang di ajukannya sendiri dalam dua belas tahun umurnya demi
mendapatkan solusi dari pertanyaannya. Namun dengan kejeniusannya hanya butuh
beberapa bulan saja untuk menuliskan teorinya .
Menurut Kant,
dunia luar hanya memunculkan materi sensasi, namun perangkat mental kita
membentuk konsep-konsep untuk memahami pengalaman. Sensasi yang di Intuisikan mesti harus berada
pada Ruang dan Waktu serta tersaring oleh “Kategori yang kesemuanya adalah
perangkat mental yang niscaya tertanam pada diri dan menjadi perangkat mental.
Ruang dan Waktu
mesti niscaya di yakini ada pada diri sebagai intuisi yang sifatnya subyektif.
Seperti analogi sebuah kaca mata biru yang kita kenakan. Di manapun kita
memandang semuanya akan menjadi warna biru. Dalam ruang dan Waktu bila di jadikan
sebagai sebuah kaca mata. Maka segala yang kita pandang akan memiliki ruang dan
waktu. Yang kita pandang mesti memiliki geometri dan Waktu. Dengan demikian
Ilmu Geometri dapat juga di katakan sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya a
priori.
Ruang dan Waktu
adalah bukan konsep. Keduanya merupakan bentuk Intuisi yang berarti
“Anschauung, Memandang”. Yang memiliki konsep-konsep apriori adalah dua belas
Kategori yang di peroleh Kant dari bentuk-bentuk Silogisme. Kedua belas
kategori itu di bagi menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari tiga
kategori:
1.
Kuantitas
a.
Kesatuan (unity)
b.
Kemajemukan (Plurality)
c.
Keseluruhan (Totality)
2.
Kualitas
a.
Realitas
b.
Negasi
c.
Limitasi
3.
Relasi
a.
Substansi dan aksidensi
b.
Sebab-akibat
c.
Timbale balik
4.
Modalitas
a.
Kemungkinan(Possiblity)
b.
Keberadaan(eksistence)
c.
Kepastian(Necessity)
Ke dua belas
Kategori ini bersifat Subyektif yang berarti sama dengan Ruang dan Waktu.
Dengan kata lain Imanuel Kant mendesain perangkat mental kita untuk selalu
sesuai dengan apapun yang kita alami. Namun ada Inkosistensi mengenai penyebab
sensasi, dan kemauan bebas olehnya dapat di anggap sebagai penyebab kejadian
alam ruang dan waktu. Inkonsistensi ini bukan tampak sebagai kejadian sekilas,
ia justru merupakan bagian penting dalam sistemnya Kant.
Membuktikan
Tuhan, Metafisika Kant
Dalam bagian the
critique of practical Reason. Setelah membaca the Critique of Pure Reason Tuhan
tentu saja tak tak dapat tersaring lewat intuisi yang murni Intelektual yang
berusaha merasakan eksistensi (keberadaan ) Tuhan. Kant berupaya menghancurkan
semua bukti yang sifatnya intelektual. Dan berupaya untuk menyia-nyiakan usaha
untuk melihat eksistensi Tuhan lewat Intelektual.
Menurutnya
dengan berbekal Rasio Murni kita hanya dapat mengetahui tiga bukti tentang
keberadaan Tuhan, yakni bukti Ontologis, bukti Kosmologis, dan bukti
fisiko-teologis.
Pada Bukti
Ontologis. Kant mendefenisikan Tuhan sebagai Ens Realissimum, dzat yang paling
nyata atau Dzat yang paling mutlak[2].
Atau ens Realissimum itu adalah subyek dari semua predikat yang bersifat
mutlak. Ketika Tuhan di akui sebagai sesuatu yang bereksistensi dalam arti
predikat maka tuhan itu berposisi sebagai eins realissimum sebagai Subyek yang
juga bereksistensi, yakni harus eksis. Kant menegaskan bahwa eksistensi itu
bukan sebuah predikat.
Pada bukti
Kosmologis. Dia mengatakan, jika segala sesuatu itu ada, maka realitas yang
mutlak ada juga harus ada. Sekarang kita mengira bahwa kita ada, maka realitas
mutlak harus di niscayai juga ada. Dan inilah yang di sebut sebagai ens
Realissimum.
Pada bukti
fisiko-teologis menyatakan bahwa jagat raya memperlihatkan keteraturan yang
membuktikan adanya sesuatu tujuan atau adanya pengatur di balik keteraturan itu.
Argument ini sangat di sukai dan di perlakukan dengan hormat oleh Kant. Tetapi
menurutnya bukti hanya dapat membuktikan Tuhan sebagai Arsitek tetapi bukan
pencipta, dank arena itu argument ini tidak mampu memberikan konsepsi yang
memadai tentang Tuhan. Lalu jika ketiga bukti ini masih lemah maka ia
menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan teologis yang memungkinkan ialah yang di
dasarkan pada, atau di pandu oleh ketentuan moral.
Selangkah menuju Moral Kant.
Dalam pembahasan
the critique of practical reason. Ada “tiga postulat” atau juga di artikan
sebagai tiga “gagasan tentang rasio” yang berisi Tuhan, kebebasan (free will)
dan keabadiaan (Immortal). Rasio murni memang mendorong kita untuk membentuk
gagasan-gagasan ini, namun ia tidak juga mampu dengan sendirinya membuktiakn
realitas gagasan-gagasan tersebut. Gagasan –gagasan ini memiliki signifikansi
praktis, yakni berkaitan dengan moral. Penggunan Rasio yang murni Intelektual
mengarah pada kekeliruan[3],
penggunaan yang benar adalah yang di arahkan ke tujuan moral.
Argumentnya
ialah bahwa ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni kebahagiaan yang selaras
dengan kebajikan. Hanya tuhan yang bisa menjamin hal ini, dan tebukti Dia tidak
menjamin hal ini dalam kehidupan sekarang. Karena itulah ada Tuhan dan
kehidupan mendatang, dan ada pula kebebasan, karena kalau tidak ada tentu apa
yang di sebut kebajikan juga tidak akan ada.
Memasuki
Moral Kant, Menghadirkan Tuhan.
System Etika
Kant dalam karyanya Metaphysic of Morals mengatakan “Metafisika , moral yang
sepenuhnya mandiri, yang tidak bercampur aduk dengan fisik atau hiperfisik
teologi manapun, semua moral memiliki konsep yang memiliki tempat dan
berasal-muasal secara a priori di dalam rasio. Nilai moral hanya ada selama
manusia bertindak dengan berlandaskan
rasa kewajiban. Namun kewajiban itu tidak di artikan sebagai tindakan yang di
lakukan sebagai mana wajib dalam arti yang biasanya. Misalnya seseorang yang
berprilaku baik karena dorongan kebaikan, tidak bisa serta merta di katakan
berbudi. Esensi Moralitas itu sendiri berasal dari konsep hukum. Dan yang
mengerti mengenai hukum hanyalah makhluk yang bernalar. Atau makhluk yang
memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan gagasan tentang hukum. Rumusan
tentang hukum ini di sebut sebagai Imperatif.
Ada dua macam
Imperatif : Imperatif hipotesis yang mengarah kepada hipotesis subyektif, yang
jika ingin menjadi itu maka harus melakukan ini. Dan imperative Kategoris yang
mengarangah kepada obyektif yang apapun tujuaannya tindakan harus bersifat
obyketif. Imperative Kategoris bersifat Sintesis dan a priori. Karakternya di
tarik, oleh Kant dari konsep Hukum.
Kant mengilustrasikan
tentang cara kerja imperative kategoris bahwa meminjam uang adalah salah,
karena jika ketika semua berusaha melakukan hal itu maka tidak ada lagi uang
yang tersisa untuk di pinjam. Kita dengan cara yang sama, dapat menunjukkan
bahwa pencurian dan pembunuhan di kecam oleh Imperatif Kategoris. Namun ada
sejumlah tindakan yang oleh Kant di anggap salah, meski tidak bisa di buktikan
kesalahannya dengan menggunakan prinsipnya, misalnya dengan bunuh diri,
kaidahnya sepertinya member kepastian, namun tanpa criteria yang memadai
tentang kebajikan. Dalam hal ini kita harus melihat dampak dari tindakan untuk
keluar dari imperative kategoris. Namun Kant mengatakan dengan tegas bahwa
kebajikan tidak tergantung pada hasil tindakan yang di kehendaki, namun hanya
pada prinsipp di mana ia merupakan hasilnya, dan jika ini di akui, tidak ada
yang lebih konkret di banding kaidahnya.
Dengan paham
moral Immanuel Kant, otoritas manusia sungguh sangat di hargai dalam menentukan
kualitas dirinya. Seseorang yang mampu menjalankan moral adalah orang yang
otonom, yang bertindak atas pertanggungjawaban dirinya sendiri. Ia tidak
mlemparkan tanggung jawabnya pada oknum lain yang memri perintah dari luar
dirinya. Orang semacam itu adalah seorang heteronom, yang tidak dewasa moral. Akan
tetapi, otonomi moral tidak boleh juga di artikan sebagai penggunaan kebebasan
secara semena-mena, sebab kebebasan moral justru tidak semena-mena, sebab
kebebsan moral justru tidak semena-mena. Tindakan manusia, yang pantas di sebut
sebagaitindakan moral, menurut Kant justru selalu mengikuti “HUkum
Moral,IMperatif Kategoris” yang sudah tertulis di dalam hatinya, sementara ia
sadar akan kebebasannya.”Dua hal yang senantiasa menjadi kekaguman tidk
habis-habisnya,,, bintang dilangit dan hukum moral di dalam hati.”
Seorang manusia
harus bertindak sesuai dengan suara hatinya, bukan dengan suara yang berasal
dari luar hatinya. Tetapi suara yang telah memiliki hukum mral di dalam hati
nuraninya. Dengan cahya Rasio Praktis. Dia tidak lagi harus mengkhawatirkan
apakah kewajiban moralnya bersifat subyektif. Tetapi lewat Rasio praktis
Universal, kewajiban moralnya akan di akui oleh yang lain. Karena rasio yang
bersifat Universal, maka apa yang mnajdi keputusannya dalam bertindak atas
dasar pertimbangan rasio akan sesuai dengan keputusan semua orang lain yang
dalam kasus yang sama juga bertindak atas dasar rasio.
Pengaruh ajaran
Kant amatlah luas, di satu pihak, mengkritik moral agama yang tradisonal dan
kaku, dipihak lain, kant seoalh memnagunkan agama untuk memperbarui ajaran
moral mereka atas dasar rasionalitas. Pemikiran Kant ini menyumbangkan
pembaharuan terhadap agama yang bertindak sewenang-wenang lewat “Perintah Allah”.
Di sinilah
pembahasan kant secara ringkas bersambung, bahwa lewat pembuktian Moral itu. Manusia
lewat Imperative Kategoris, bahwa telah ada hukum yang sifatnya Universal yang
mengikat diri lewat suara hati, untuk selalu mutlak memilih yang benar apapun
tujuannya. Meskipun tidak juga boleh di babi –butakan bahwa suara hati itu
adalah suara tuhan, tetapi ke einsrealissimum tuhan, ke realitasan mutlak Tuhan
harus ada. Jika tidak suara Hati beserta Tiga postulat itu akan Absurd dan
menjadi pembahasan omong kosong.
[1]
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with
Political and social Circumtenses from the earlis Times to Present Day,
terjemahan oleh Sigit Jatmiko dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya
dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (III,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 921.
[2] Eins
Realissimum juga di sebut sebagai realitas mutlak personal yang menjadi dasar
segala yang ada di dunia, maka tidak mungkin ada kemampuan maupun kepositifan
apa pun di dunia yang tidak dimiliki oleh Tuhan. Lihat ,Frans Magnis Suseno,
Menalar Tuhan( Yogyakarta: Kanisius, 2006 ) h. 187.
[3] Rasio
yang mengarah pada kekeliruan bukan berarti akan keliru juga pada
pengintuisian, kekeliruan itu terjadi jika Tiga Potulat ini berusah untuk di
Indrai, sedangkan nalar Rasio hanya mampu mengeluarkan Argument atau mencoba
membahasakan sesuatu berdasar dengan apa yang di Indrai atau berdasar pada
ruang dan Waktu.