Kamis, 24 Desember 2015

menelanjangi Immanuel Kant, membuktikan dan membahasakan Tuhan.



Membuka Kant

Filsafat abad ke 18 di dominasi oleh kaum empiris Inggris. Yang di punggawai oleh Locke,Berkeley dan Hume yang berjiwa Subyektivisme. Pada diri Locke lewat teorinya di beranggapan jika pengetahuan yang didapatkannya adalah  merupakan persepsi kesetujuan dan ketidak setujuan dari dua gagasan. Dia berkeyakinana bahwa ada tiga macam pengetahuan tentang eksistensi riil, yakni intuitif dari diri kita, Demostratif dari Tuhan, dan Sensitif tentang hal-hal yang mengemuka dalam pikiran.
Sedang pada diri Berkeley sebagai upaya mengomentari koleganya. Dia berkeyakinan jika pengetahuan itu tak lebih terperoleh dari pikirannya sendiri tanpa ada peranan Demonstratif dari Tuhan. Namun ia tidak berani melangkkah sejauh itu dengan jubah Pastor dan makhluk yang berjiwa sosial.
Hume sebagai titik tertinggi setiga Empirisme. Lebih banyak mendukung Locke dalam memperoleh pengetahuan. Dia tidak mengakui gagasan sederhana tanpa adanya kesan yang mendahuluinya, dan tidak diragukan lagi, dia membayangkan sebuah “kesan” sebagai kondisi pikiran yangs ecara langsung di sebabkan oleh sesuatu di luar pikiran, namun ia tidak mengakui ini sebagai defenisi “Kesan”, karena dia sendir mempertanyakan apa yang di maksud dengan “Sebab”.
Kritik terhadap pengetahuan yang di lakukan oleh segiitiga Empirisme ini berlanjut kesegitiga Jerman yang lebih canggih. Muncul Kant,Fichte dan Hegel untuk membangun filsafat jenis baru yang di tujukan untuk mengamankan pengetahuan dan kebaikan dari doktrin-doktrin Subversif akhir abad ke-18. Terlebih pada diri Kant sebagai panglima bagi kawannya yang lain dengan bendera sintesis yang berusaha mengawinkan segitiga Rasionalisme dan segitiga empirisme menjadi sebuah bangun Kritisisme yang bergaris sintesis dan apriori.
Dengan ulasan singkat di atas sebagai beranda Kant, kini saatnya kita memulai untuk “Menelanjangi” Kant.
Menelanjangi Epistimologi Kant, sebelum menuju Moralitas Kant dn membahasakan Tuhan

Sebagai manusia yang di komentari sebagai filsuf terbesar abad modern memang tidak terlalu berlebihan, meski ada juga yang tidak sependapat. Namun sangatlah berdosa jika kita berani mengingkari peran pentingnya dalam membangun Filsafat.
Dari lahir(1724) hingga wafat(1804), ia hanya menetap di Konisberg, Prusia timur. Sebagai seorang pecinta Buku ia mendapat didikan Filsafat dari Leibniz dan jatuh cinta dengan filsafat Leibniz versi Wolfian, namun begitu mengenal Roessau dan Hume dengan kritiknya terhadap konsep Kausalitas mendorong hasratnya untuk menyelingkuhi Leibniz. Atau dalam istilahnya sendiri, ia telah terbangun dari tidur Dogmatiknya.
Kant memiliki ciri Filsafat yang kelihatannya lebih mementingkan hati nurani dari pada nalar teoritik yang kaku. Prinsispnya bahwa setiap orang di anggap sebagai tujuan dalam dirinya sendiri merupakan bentuk doktrin tentang Hak Asasi Manusia, dan kecintaannya akan kebebasan di tunjukkan dalam ucapannya bahwa” Tidak ada yang lebih mengerikan di banding jika tindakan seseorang harus tunduk kepada kehendak orang lain”.[1] Inti Filsafat Kant ada pada perkataannya ini, dan perlahan kita akn menuju kesana.
Buku terpenting kant adalah The critique of pure reason. Tujuan dari karya ini adalah untuk membuktikan bahwa pengetahuan yang kita peroleh bukan hanya berdasar pengalaman tetapi mesti ada juga sebagian a priori yang tidak di simpulkan seca induktif dari pengalaman. Dia memsihkan dua pembedaan yang dalam karya Leibniz, bercampur aduk. Di satu sisi, ada pembedaan antara proposisi “analitik” dan “sintetik”, di sisi lain ada pembedaan antara proposisi “a priori” dan “ Empirik”.
Proposisi analitik adalah proposisi yang predikatnya adalah bagian dari subyek. Misalnya “ Pria yang tinggi itu adalah seorang pria, atau “segitiga sama sisi adalah segitiga”. Proposisi semacam itu akan mengikuti hukum kotradiksi. Sedangkan Proposisi “Sintetik” adalah proposisi yang tidak analitik atau semu proposisi yang di dapati dari pengalaman adalah proposisi “Sintetik”, misalnya “hari Desember adalah permulaan musim huja” kita tak dapa menyimpulkan kebenaran semacam ini jika hanya menganalis konsep, di butuhkan pengalam untuk menunjang kesimpulan, itulah proposisi “Sintetik”. Namun Kant berpendaat jika Proposisi “Sintetik” seutuhnya di peroleh lewat pengalaman tetapi menyisakan sebagian apriori murni.
Proposisi Empirik adalah yang tidak dapat kita ketahui kecuali dengan bantuan Indera persepsi, baik milik kita sendiri maupun milik orang lain yang di pat di yakini kesaksiannya, dalam hal ini fakta-fakta sejarah dan geografi termasuk dalam jenis ini, demikian pula dengan hukum ilmu pengetahuan yang di ambil dari data Observasi.
Disisi lain proposisi Apriori adalah yang di pandang manakala kita mengetahuinya, memiliki basis selain dari pengalaman. Seorang anak yang mempelajari Aritmetika mungkin dapat di bantu dengan mengalami atau merasakan  dua butir kelereng dan dua butir kelerang yang lainnya, dan mengamati bahwa kesemuanya dia alami sebagai empat buah kelereng. Namun ketika dia memahami proposisi umum “ Dua dan dua sama dengan empat” dia tidak lagi meminta konfirmasi dengan menggunakan contoh; proposisi ini memiliki kepastian yang tidak dapat di berikan oleh induksi hukum umum. Dalam hal ini, semua proposisi yang murni matematis bersifat a priori.
Inti permasalahan dari the Critique of Pure Reason merupakan jawaban atas pertanyaan Bagaimana penelitian sintesis yang a priori dapat di mungkinkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Kant sebagai seorang yang filsuf yang tegar mesti mempelajari pertanyaan yang di ajukannya sendiri dalam dua belas tahun umurnya demi mendapatkan solusi dari pertanyaannya. Namun dengan kejeniusannya hanya butuh beberapa bulan saja untuk menuliskan teorinya .
Menurut Kant, dunia luar hanya memunculkan materi sensasi, namun perangkat mental kita membentuk konsep-konsep untuk memahami pengalaman.  Sensasi yang di Intuisikan mesti harus berada pada Ruang dan Waktu serta tersaring oleh “Kategori yang kesemuanya adalah perangkat mental yang niscaya tertanam pada diri dan menjadi perangkat mental.
Ruang dan Waktu mesti niscaya di yakini ada pada diri sebagai intuisi yang sifatnya subyektif. Seperti analogi sebuah kaca mata biru yang kita kenakan. Di manapun kita memandang semuanya akan menjadi warna biru. Dalam ruang dan Waktu bila di jadikan sebagai sebuah kaca mata. Maka segala yang kita pandang akan memiliki ruang dan waktu. Yang kita pandang mesti memiliki geometri dan Waktu. Dengan demikian Ilmu Geometri dapat juga di katakan sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya a priori.
Ruang dan Waktu adalah bukan konsep. Keduanya merupakan bentuk Intuisi yang berarti “Anschauung, Memandang”. Yang memiliki konsep-konsep apriori adalah dua belas Kategori yang di peroleh Kant dari bentuk-bentuk Silogisme. Kedua belas kategori itu di bagi menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari tiga kategori:
1.       Kuantitas
a.       Kesatuan (unity)
b.      Kemajemukan (Plurality)
c.       Keseluruhan (Totality)
2.       Kualitas
a.       Realitas
b.      Negasi
c.       Limitasi
3.       Relasi
a.       Substansi dan aksidensi
b.      Sebab-akibat
c.       Timbale balik
4.       Modalitas
a.       Kemungkinan(Possiblity)
b.      Keberadaan(eksistence)
c.       Kepastian(Necessity)
Ke dua belas Kategori ini bersifat Subyektif yang berarti sama dengan Ruang dan Waktu. Dengan kata lain Imanuel Kant mendesain perangkat mental kita untuk selalu sesuai dengan apapun yang kita alami. Namun ada Inkosistensi mengenai penyebab sensasi, dan kemauan bebas olehnya dapat di anggap sebagai penyebab kejadian alam ruang dan waktu. Inkonsistensi ini bukan tampak sebagai kejadian sekilas, ia justru merupakan bagian penting dalam sistemnya Kant.

Membuktikan Tuhan, Metafisika Kant

Dalam bagian the critique of practical Reason. Setelah membaca the Critique of Pure Reason Tuhan tentu saja tak tak dapat tersaring lewat intuisi yang murni Intelektual yang berusaha merasakan eksistensi (keberadaan ) Tuhan. Kant berupaya menghancurkan semua bukti yang sifatnya intelektual. Dan berupaya untuk menyia-nyiakan usaha untuk melihat eksistensi Tuhan lewat Intelektual.
Menurutnya dengan berbekal Rasio Murni kita hanya dapat mengetahui tiga bukti tentang keberadaan Tuhan, yakni bukti Ontologis, bukti Kosmologis, dan bukti fisiko-teologis.
Pada Bukti Ontologis. Kant mendefenisikan Tuhan sebagai Ens Realissimum, dzat yang paling nyata atau Dzat yang paling mutlak[2]. Atau ens Realissimum itu adalah subyek dari semua predikat yang bersifat mutlak. Ketika Tuhan di akui sebagai sesuatu yang bereksistensi dalam arti predikat maka tuhan itu berposisi sebagai eins realissimum sebagai Subyek yang juga bereksistensi, yakni harus eksis. Kant menegaskan bahwa eksistensi itu bukan  sebuah predikat.
Pada bukti Kosmologis. Dia mengatakan, jika segala sesuatu itu ada, maka realitas yang mutlak ada juga harus ada. Sekarang kita mengira bahwa kita ada, maka realitas mutlak harus di niscayai juga ada. Dan inilah yang di sebut sebagai ens Realissimum.
Pada bukti fisiko-teologis menyatakan bahwa jagat raya memperlihatkan keteraturan yang membuktikan adanya sesuatu tujuan atau adanya pengatur di balik keteraturan itu. Argument ini sangat di sukai dan di perlakukan dengan hormat oleh Kant. Tetapi menurutnya bukti hanya dapat membuktikan Tuhan sebagai Arsitek tetapi bukan pencipta, dank arena itu argument ini tidak mampu memberikan konsepsi yang memadai tentang Tuhan. Lalu jika ketiga bukti ini masih lemah maka ia menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan teologis yang memungkinkan ialah yang di dasarkan pada, atau di pandu oleh ketentuan moral.

Selangkah menuju Moral Kant.

Dalam pembahasan the critique of practical reason. Ada “tiga postulat” atau juga di artikan sebagai tiga “gagasan tentang rasio” yang berisi Tuhan, kebebasan (free will) dan keabadiaan (Immortal). Rasio murni memang mendorong kita untuk membentuk gagasan-gagasan ini, namun ia tidak juga mampu dengan sendirinya membuktiakn realitas gagasan-gagasan tersebut. Gagasan –gagasan ini memiliki signifikansi praktis, yakni berkaitan dengan moral. Penggunan Rasio yang murni Intelektual mengarah pada kekeliruan[3], penggunaan yang benar adalah yang di arahkan ke tujuan moral.
Argumentnya ialah bahwa ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni kebahagiaan yang selaras dengan kebajikan. Hanya tuhan yang bisa menjamin hal ini, dan tebukti Dia tidak menjamin hal ini dalam kehidupan sekarang. Karena itulah ada Tuhan dan kehidupan mendatang, dan ada pula kebebasan, karena kalau tidak ada tentu apa yang di sebut kebajikan juga tidak akan ada.

Memasuki Moral Kant, Menghadirkan Tuhan.

System Etika Kant dalam karyanya Metaphysic of Morals mengatakan “Metafisika , moral yang sepenuhnya mandiri, yang tidak bercampur aduk dengan fisik atau hiperfisik teologi manapun, semua moral memiliki konsep yang memiliki tempat dan berasal-muasal secara a priori di dalam rasio. Nilai moral hanya ada selama manusia bertindak  dengan berlandaskan rasa kewajiban. Namun kewajiban itu tidak di artikan sebagai tindakan yang di lakukan sebagai mana wajib dalam arti yang biasanya. Misalnya seseorang yang berprilaku baik karena dorongan kebaikan, tidak bisa serta merta di katakan berbudi. Esensi Moralitas itu sendiri berasal dari konsep hukum. Dan yang mengerti mengenai hukum hanyalah makhluk yang bernalar. Atau makhluk yang memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan gagasan tentang hukum. Rumusan tentang hukum ini di sebut sebagai Imperatif.
Ada dua macam Imperatif : Imperatif hipotesis yang mengarah kepada hipotesis subyektif, yang jika ingin menjadi itu maka harus melakukan ini. Dan imperative Kategoris yang mengarangah kepada obyektif yang apapun tujuaannya tindakan harus bersifat obyketif. Imperative Kategoris bersifat Sintesis dan a priori. Karakternya di tarik, oleh Kant dari konsep Hukum.
Kant mengilustrasikan tentang cara kerja imperative kategoris bahwa meminjam uang adalah salah, karena jika ketika semua berusaha melakukan hal itu maka tidak ada lagi uang yang tersisa untuk di pinjam. Kita dengan cara yang sama, dapat menunjukkan bahwa pencurian dan pembunuhan di kecam oleh Imperatif Kategoris. Namun ada sejumlah tindakan yang oleh Kant di anggap salah, meski tidak bisa di buktikan kesalahannya dengan menggunakan prinsipnya, misalnya dengan bunuh diri, kaidahnya sepertinya member kepastian, namun tanpa criteria yang memadai tentang kebajikan. Dalam hal ini kita harus melihat dampak dari tindakan untuk keluar dari imperative kategoris. Namun Kant mengatakan dengan tegas bahwa kebajikan tidak tergantung pada hasil tindakan yang di kehendaki, namun hanya pada prinsipp di mana ia merupakan hasilnya, dan jika ini di akui, tidak ada yang lebih konkret di banding kaidahnya.
Dengan paham moral Immanuel Kant, otoritas manusia sungguh sangat di hargai dalam menentukan kualitas dirinya. Seseorang yang mampu menjalankan moral adalah orang yang otonom, yang bertindak atas pertanggungjawaban dirinya sendiri. Ia tidak mlemparkan tanggung jawabnya pada oknum lain yang memri perintah dari luar dirinya. Orang semacam itu adalah seorang heteronom, yang tidak dewasa moral. Akan tetapi, otonomi moral tidak boleh juga di artikan sebagai penggunaan kebebasan secara semena-mena, sebab kebebasan moral justru tidak semena-mena, sebab kebebsan moral justru tidak semena-mena. Tindakan manusia, yang pantas di sebut sebagaitindakan moral, menurut Kant justru selalu mengikuti “HUkum Moral,IMperatif Kategoris” yang sudah tertulis di dalam hatinya, sementara ia sadar akan kebebasannya.”Dua hal yang senantiasa menjadi kekaguman tidk habis-habisnya,,, bintang dilangit dan hukum moral di dalam hati.”
Seorang manusia harus bertindak sesuai dengan suara hatinya, bukan dengan suara yang berasal dari luar hatinya. Tetapi suara yang telah memiliki hukum mral di dalam hati nuraninya. Dengan cahya Rasio Praktis. Dia tidak lagi harus mengkhawatirkan apakah kewajiban moralnya bersifat subyektif. Tetapi lewat Rasio praktis Universal, kewajiban moralnya akan di akui oleh yang lain. Karena rasio yang bersifat Universal, maka apa yang mnajdi keputusannya dalam bertindak atas dasar pertimbangan rasio akan sesuai dengan keputusan semua orang lain yang dalam kasus yang sama juga bertindak atas dasar rasio.
Pengaruh ajaran Kant amatlah luas, di satu pihak, mengkritik moral agama yang tradisonal dan kaku, dipihak lain, kant seoalh memnagunkan agama untuk memperbarui ajaran moral mereka atas dasar rasionalitas. Pemikiran Kant ini menyumbangkan pembaharuan terhadap agama yang bertindak sewenang-wenang lewat “Perintah Allah”.
Di sinilah pembahasan kant secara ringkas bersambung, bahwa lewat pembuktian Moral itu. Manusia lewat Imperative Kategoris, bahwa telah ada hukum yang sifatnya Universal yang mengikat diri lewat suara hati, untuk selalu mutlak memilih yang benar apapun tujuannya. Meskipun tidak juga boleh di babi –butakan bahwa suara hati itu adalah suara tuhan, tetapi ke einsrealissimum tuhan, ke realitasan mutlak Tuhan harus ada. Jika tidak suara Hati beserta Tiga postulat itu akan Absurd dan menjadi pembahasan omong kosong.





[1] Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumtenses from the earlis Times to Present Day, terjemahan oleh Sigit Jatmiko dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 921.
[2] Eins Realissimum juga di sebut sebagai realitas mutlak personal yang menjadi dasar segala yang ada di dunia, maka tidak mungkin ada kemampuan maupun kepositifan apa pun di dunia yang tidak dimiliki oleh Tuhan. Lihat ,Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan( Yogyakarta: Kanisius, 2006 ) h. 187.
[3] Rasio yang mengarah pada kekeliruan bukan berarti akan keliru juga pada pengintuisian, kekeliruan itu terjadi jika Tiga Potulat ini berusah untuk di Indrai, sedangkan nalar Rasio hanya mampu mengeluarkan Argument atau mencoba membahasakan sesuatu berdasar dengan apa yang di Indrai atau berdasar pada ruang dan Waktu.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon