Kamis, 08 Februari 2018

Pendidikan dan Tradisi Bapak-isme

Selamat datang pembaca kami yang budiman. Terimakasih masih rela menongkrongi blog sederhana yang sering mati suri ini. semoga anda tidak mudah bosan dengan celoteh dan omongan kami yang masih jauh dari kata mengetahui. terlebih mengetahui secara lengkap yang sedang kami omongkan.
berikut ini adalah salah satu refleksi penulis yang masih sangat lemah dari segi analisa.
mohon tinggalkan kritik dan saran untuk membangun dan menyemangati penulis agar kedepan dapat lebih baik.
guru dosen. pendidikan
Sumber: data:image

TRADISI BAPAK-ISME

Pendidikan dalam Bingkai
Apa itu Pendidikan? Pertama tama kita harus menyatukan definisi dan gambaran tentang Pendidikan. karena perbedaan pandangan tentang pandangan tentang Pendidikan dapat membawa pada perbedaan pendapat yang tidak berujung pangkal.
Pendidikan merupakan elemen kehidupan yang telah mandarah daging dalam sejarah manusia. Pendidikan telah ada bahkan sejak manusia ada, hanya saja Pendidikan tersebut didapati dalam nama yang sederhana dan berbeda beda-misalnya belajar, sekolah, penelitian dan bimbingan. Berawal dari bentuk pengajaran sederhana yang melibatkan interaksi dan dialektika sehingga tercipta jalinan informasi yang saling mengisi sampai pada tataran pengajaran yang mencapai pemapanan pada tingkat insitusi. Demikian pembimbingan, pembelajaran, dan jalinan pertukaran informasi menjadi inti dari sebuah proses pendidikan.
Mengutip dari Wikipedia.org, pedidikan berarti pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan sekelompok orang yang di turunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan dan penelitian. olehnya Pendidikan selalu menemukan keterkaitan dan jalinan yang tiada henti dalam perjalananya. Hakikat Pendidikan merupakan sebuah penyingkapan bahwa peserta didik selalu dalam perjalanan, sebuah kesadaran mengenai selalu hadirnya kemungkinan penjelasan penjelasan dan keterbukaan-keterbukaan baru.[1]
Sehingga teranglah-menurut penulis- bahwa Pendidikan sejatinya merupakan sebuah proses pencarian akan makna, emosional dan spiritual menuju hal-hal baru. Pencarian ini melibatkan berbagai instrumen dan elemen yang memungkinkan di olahnya dan penemuan informasi baru. Elemen  yang di maksudkan penulis dalam hal ini adalah penelitian, pembelajaran, pelatihan dan penelitian.
Sementara instrument Pendidikan berupa tenaga didik, yang di didik serta alat alat penunjang keberlangsungan Pendidikan, sehingga Pendidikan mungkin dapat berlangsung. Bentuk bentuk kemajuan yang tercapai hingga pada zaman milea ini merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran, penelitian dan interaksi ilmu pengetahuan dalam bingkai Pendidikan. hanya dengan melibatkan kedua hal di atas, elemen dan instrument, Pendidikan dapat di langsungkan.
Yang menjadi persoalan adalah ketika tuntutan ideal bagi elemen dan intrumen tidak dapat di penuhi. Memang tidak dapat di pungkiri bahwa selalu ada titik cacat dalam setiap elemen dan intrumen ideal yang di tawarkan. Namun itulah tugas pendidikan untuk menemukan tuntutan ideal sehingga dapa menemukan titik terbaik yang mungkin di terapkan.
Dalam tulisan ini, penulis dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman akan mengajak pembaca mendiskusikan satu sisi intrumen Pendidikan yakni pada pendidik saja. Terkhusus pada ruang lingkup tempat penulis menimba potongan pengetahuan, yaitu di fakultas ushuluddin filsafat dan politik.

Ideal Interaksi Mahasiswa Dan Dosen
            Mahasiswa dan dosen merupakan instrument wajib agar proses Pendidikan dapat berlangsung. Keduanya harus memiliki hubungan yang harmonis dan saling memahami koridor masing masing. Dan yang terpenting menurut penulis, keduanya musti memegang teguh sifat profesionalitas dan integritas. Model ideal ini adalah salah satu cara agar keseimbangan dalam dunia akademik tidak mengalami gap, chaos dan kecemburuan kecemburuan yang tidak perlu.
            Contoh dari ketidakharmonisan telah banyak terpapar dalam dunia kampus. Bahkan, mungkin saja, sejak dunia kampus itu sendiri berdiri. Salah satunya adalah aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa terhadap birokrasi kampus. Chaos seperti ini menandakan adanya sebuah masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan lingkaran musyawarah.
Jika kita berada pada pihak mahasiswa, alasan-alasan demosntrasi memiliki logika rasional yang dipegang teguh oleh pelaku demonstran. Pilihan ini tentu tidak serta merta menjadi jalan untuk menyelesaikan tuntutan. Juga tidak semua pihak-dalam hal ini mahasiswa-menyepakati jalan “radikal” tersebut sebagai solusi. Namun secara psikologis pelaku demonstran justru memandang jalan ini merupakan solusi dan membawa manfaat serta di yakini sebagai jalan yang baik.
Praktisi lapangan tentu saja dalam hal ini mengklain bahwa tidak ada pilihan lain selain demonstrasi. Martha Crenshaw dalam sebuah artikel hasil penelitian tentang psikologi terorisme, menunjukan hal hal yang mendorong terjadinya terorisme secara psikologis. Seperti pula di atas, terorisme lahir dari mereka yang tidak memiliki otoritas yang mapan dan tidak setuju dengan system yang ada. Sehingga memikirkan satu jalan radikal yakni terorisme.
Model demosntrasi dan terorisme memiliki kesamaan prinsip dalam hal mengambil tindakan. Demontrasi merupakan salah satu bentuk tindakan radikal yang menjadi pilihan akhir bagi pihak oposisi ketika suara tidak lagi di dengarkan. Tentu saja pertimbangan dan olah data di lakukan. Ketidakpuasan atas hasil olah data kemudian diwujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi.
Namun demikian tindakan seperti ini banyak juga menuai protes. Dikalangan birokrasi bahkan dikalangan mahasiswa banyak yang tidak menyetujui jalan seperti ini. Mereka ini meyakini bahwa demonstrasi bukanlah satu satunya jalan yang dapat ditempuh ketika suara tidak lagi didengarkan. Selain itu, keberhasilan cara ini tidak benar benar selalu berhasil dan bahkan terkadang menjadi boomerang bagi si pelaku demonstrasi.
Contoh chaos seperti demosntrasi ini adalah salah satu bentuk tertinggi dari ketidakharmonisan interaksi dan dialogis antara mahasiswa dan dosen/birokrasi. Tentu kedua pihak memiliki logika tersendiri dalam mempertahankan status dan tuntutan masing-masing. System birokrasi kampus misalnya menurunkan aturan-aturan yang banyaj tidak disepakati oleh mahasiswa. Demikian pula banyak tindakan mahasiswa yang tidak disukai oleh birokrasi.
Maka pola dialogis lah yang harus mulai dibangun. Interaksi yang aktif dan saling menjelaskan posisi masing masing dalam satu meja dapat menjadi salah satu alternative menghindari chaos.
Bentuk ideal lainya yang dapat di tawarkan telah berserakan dimana-mana. Baik ideal menurut satu pihak, maupun pihak lain. Yang terjadi adalah praktik yang tidak sejalan dengan ide ide ideal tersebut. Ketiakmauan menerima satu sama lain adalah masalah utama dalam praktik konsep ideal tersebut.
Mahasiswa seharusnya, menurut penulis, harus menerima aturan yang telah di tetapkan oleh system birokrasis. Demikian dengan birokrasi harus membentuk aturan aturan yang masuk akal dan berkaitan erat dengan proses intelektualitas.

Bapak-isme 
Sumberpuisi.co
Lantas bagaimana dengan system yang terdapat difakultas ushuluddin filsafat dan politik?. Menurut penulis, hubungan profesionalitas antara dosen dan mahasiswa tidaklah terjalin dengan baik. Dosen dengan logika birokrasi dan mahasiswa dengan logika kemahasiswaanya.[2]
Sejauh yang penulis amati, bahwa beberapa dosen tidaklah benar benar professional dalam menjalankan tugas sebagai dosen. Hubungan dosen dan mahasiswa cenderung terikat oleh hubungan emosional yang berlebihan. Ini dapat dilihat dikelas dengan adanya diskriminasi yang terjadi dikelas yang mana dosen menonjolkan yang lain dan merendahkan yang lain.
Atau dengan cara lain, misalnya dalam hal nilai, mahasiswa yang tidak memiliki kedekatan emosional yang baik akan mendapatkan porsi yang berbeda dari mahasiswa yang memiliki ikatan emosinal yang lebih baik dengan dosen. Atau misalnya ada yang cerdas namun memiliki penampilan tidak disukai oleh dosen lantas nilainya di urungkan, namun yang berpenampilan di sukai namun memiliki kecerdasan yang tidak terlalu memadai mendapatkan nilai yang bagus.
Hubungan ini mengandalkan kedekatan emosional, kepatuhan atau mungkin kekeluargaan sehingga menempuh jalan yang lebih mudah. Yang semestinya adalah hubungan ini terjalin dalam bingkai profesionalitas tanpa memandang persoalan aksidental seperti demikian.
Istilah bapakisme merupakan istilah yang penulis buat sendiri untuk menggambarkan salah satu sifat guru/dosen seperti yang penulis gambarkan di atas. Bapakisme mengacu pada sifat kekeluargaan yang masih digiring hingga dunia akademik. Yakni sifat dimana ketika dosen tidak dituruti, maka hukuman secar psikologi tidaklah perlu di lakukan. Namun haruslah di hokum secara akademik pula.
Jika sifat bapak-isme ini dapat ditanggalkan, maka tidak ada dosen yang membenci mahasiswa secara psikologis sekaligus akademik. Sekalipun si mahasiswa tidak disukai secara pribadi, namun itu tidak berimbas pada nilai akademik mahasiswa tersebut.
Cara ini seakan akan seperti ayah yang pemarah memperlakukan mahasiswa seperti anak. Si ayah akan sangat kecewa ketika si anak tidak menuruti kemauanya. Konsekuensinya uang jajan di anak dipotong di tambah pula omelan juga cubitan. Tapi bukan seperti itu cara kerja dunia akademik. Ikatan yang terjalin di sana musti terbangun dalam profesionalitas yang mapan.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, beberapa pelaku pengajaran justru mengimbaskan kekecewaan pribadinya terhadap persoalan akademik. Beberapa mahasiswa menuai kemarahan yang berlebihan, memberlakukan hukuman yang tidak masuk akal, sampai ada yang kena-bombe’. Tindakan seperti itu sangat tidak perlukan dalam memelihara keharmonisan akademik. Tekanan psikologi seperti itu dapat tumbuh menjadi kebencian pada dosen yang bersangkutan. Yang mungkin awalnya di pandang sebagai sebuah kewajaran, tetapi lambat laun menjadi sebuah sumber kebencian.
Pemahaman akan hak hak dan kewajiban musti lebih sering di gaungkan. Agar kesalahpahaman yang berujung pada tindakan pemutusan sepihak dapat di hindarkan. Ruang ruang diskusi terbuka yang memberi ruang antara kedua belah pihak untuk bernegosiasi haruslah di gelar.
Itulah yang penulis lihat dalam atmosfer akademik fakultas ushuluddin. Tidak adanya ruang diskusi antara mahasiswa dan dosen. Dosen dan mahasiswa tidak pernah mencoba melingkar dan bercerita kemauan dan pemahan atas masing masing. Birokrasi sibuk mengeluarkan aturan, mahasiswa sibuk menentang keputusan keputusan birokrasi.
Olehnya perlulah pemetaan garis demarkasi antara mahasiswa dan birokrasi agar kesalahpahaman yang terjadi dapat di atasi.



[1] Zuprulkhan, Filsafat Umum dan Sebuah Pendekatan Tematik (Jakarta: Grafindo persada, 2013) h. 290
[2] Perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak mengacu pada semua pelaku system birokrasi. Tapi hanya beberapa saja, menurut yang penulis alami dan carita yang dari rekan rekan mahasiswa yang tingkat kesepahaman pandangan terhadap birokrasi mencapai taraf hampir sama atau melebihi penulis.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon