Selamat datang pembaca kami yang budiman. Terimakasih masih rela menongkrongi blog sederhana yang sering mati suri ini. semoga anda tidak mudah bosan dengan celoteh dan omongan kami yang masih jauh dari kata mengetahui. terlebih mengetahui secara lengkap yang sedang kami omongkan.
berikut ini adalah salah satu refleksi penulis yang masih sangat lemah dari segi analisa.
mohon tinggalkan kritik dan saran untuk membangun dan menyemangati penulis agar kedepan dapat lebih baik.
Sumber: data:image |
TRADISI BAPAK-ISME
Pendidikan dalam
Bingkai
Apa itu Pendidikan? Pertama tama kita
harus menyatukan definisi dan gambaran tentang Pendidikan. karena perbedaan
pandangan tentang pandangan tentang Pendidikan dapat membawa pada perbedaan
pendapat yang tidak berujung pangkal.
Pendidikan merupakan elemen kehidupan
yang telah mandarah daging dalam sejarah manusia. Pendidikan telah ada bahkan
sejak manusia ada, hanya saja Pendidikan tersebut didapati dalam nama yang
sederhana dan berbeda beda-misalnya belajar, sekolah, penelitian dan bimbingan.
Berawal dari bentuk pengajaran sederhana yang melibatkan interaksi dan
dialektika sehingga tercipta jalinan informasi yang saling mengisi sampai pada
tataran pengajaran yang mencapai pemapanan pada tingkat insitusi. Demikian pembimbingan,
pembelajaran, dan jalinan pertukaran informasi menjadi inti dari sebuah proses
pendidikan.
Mengutip dari Wikipedia.org,
pedidikan berarti pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan
sekelompok orang yang di turunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui pengajaran, pelatihan dan penelitian. olehnya Pendidikan selalu
menemukan keterkaitan dan jalinan yang tiada henti dalam perjalananya. Hakikat
Pendidikan merupakan sebuah penyingkapan bahwa peserta didik selalu dalam perjalanan,
sebuah kesadaran mengenai selalu hadirnya kemungkinan penjelasan penjelasan dan
keterbukaan-keterbukaan baru.[1]
Sehingga teranglah-menurut penulis-
bahwa Pendidikan sejatinya merupakan sebuah proses pencarian akan makna,
emosional dan spiritual menuju hal-hal baru. Pencarian ini melibatkan berbagai
instrumen dan elemen yang memungkinkan di olahnya dan penemuan informasi baru. Elemen yang di maksudkan penulis dalam hal ini
adalah penelitian, pembelajaran, pelatihan dan penelitian.
Sementara instrument Pendidikan
berupa tenaga didik, yang di didik serta alat alat penunjang keberlangsungan
Pendidikan, sehingga Pendidikan mungkin dapat berlangsung. Bentuk bentuk
kemajuan yang tercapai hingga pada zaman milea ini merupakan hasil dari sebuah
proses pembelajaran, penelitian dan interaksi ilmu pengetahuan dalam bingkai
Pendidikan. hanya dengan melibatkan kedua hal di atas, elemen dan instrument,
Pendidikan dapat di langsungkan.
Yang menjadi persoalan adalah ketika
tuntutan ideal bagi elemen dan intrumen tidak dapat di penuhi. Memang tidak
dapat di pungkiri bahwa selalu ada titik cacat dalam setiap elemen dan intrumen
ideal yang di tawarkan. Namun itulah tugas pendidikan untuk menemukan tuntutan
ideal sehingga dapa menemukan titik terbaik yang mungkin di terapkan.
Dalam tulisan ini, penulis dengan
segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman akan mengajak pembaca
mendiskusikan satu sisi intrumen Pendidikan yakni pada pendidik saja. Terkhusus
pada ruang lingkup tempat penulis menimba potongan pengetahuan, yaitu di
fakultas ushuluddin filsafat dan politik.
Ideal Interaksi
Mahasiswa Dan Dosen
Mahasiswa
dan dosen merupakan instrument wajib agar proses Pendidikan dapat berlangsung.
Keduanya harus memiliki hubungan yang harmonis dan saling memahami koridor
masing masing. Dan yang terpenting menurut penulis, keduanya musti memegang
teguh sifat profesionalitas dan integritas. Model ideal ini adalah salah satu
cara agar keseimbangan dalam dunia akademik tidak mengalami gap, chaos dan
kecemburuan kecemburuan yang tidak perlu.
Contoh dari
ketidakharmonisan telah banyak terpapar dalam dunia kampus. Bahkan, mungkin
saja, sejak dunia kampus itu sendiri berdiri. Salah satunya adalah aksi
demonstrasi yang dilakukan mahasiswa terhadap birokrasi kampus. Chaos seperti
ini menandakan adanya sebuah masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan
lingkaran musyawarah.
Jika kita berada pada pihak
mahasiswa, alasan-alasan demosntrasi memiliki logika rasional yang dipegang
teguh oleh pelaku demonstran. Pilihan ini tentu tidak serta merta menjadi jalan
untuk menyelesaikan tuntutan. Juga tidak semua pihak-dalam hal ini
mahasiswa-menyepakati jalan “radikal” tersebut sebagai solusi. Namun secara
psikologis pelaku demonstran justru memandang jalan ini merupakan solusi dan
membawa manfaat serta di yakini sebagai jalan yang baik.
Praktisi lapangan tentu saja dalam
hal ini mengklain bahwa tidak ada pilihan lain selain demonstrasi. Martha
Crenshaw dalam sebuah artikel hasil penelitian tentang psikologi terorisme,
menunjukan hal hal yang mendorong terjadinya terorisme secara psikologis.
Seperti pula di atas, terorisme lahir dari mereka yang tidak memiliki otoritas
yang mapan dan tidak setuju dengan system yang ada. Sehingga memikirkan satu
jalan radikal yakni terorisme.
Model demosntrasi dan terorisme
memiliki kesamaan prinsip dalam hal mengambil tindakan. Demontrasi merupakan
salah satu bentuk tindakan radikal yang menjadi pilihan akhir bagi pihak
oposisi ketika suara tidak lagi di dengarkan. Tentu saja pertimbangan dan olah
data di lakukan. Ketidakpuasan atas hasil olah data kemudian diwujudkan dalam
bentuk aksi demonstrasi.
Namun demikian tindakan seperti ini
banyak juga menuai protes. Dikalangan birokrasi bahkan dikalangan mahasiswa
banyak yang tidak menyetujui jalan seperti ini. Mereka ini meyakini bahwa
demonstrasi bukanlah satu satunya jalan yang dapat ditempuh ketika suara tidak
lagi didengarkan. Selain itu, keberhasilan cara ini tidak benar benar selalu
berhasil dan bahkan terkadang menjadi boomerang bagi si pelaku demonstrasi.
Contoh chaos seperti demosntrasi ini
adalah salah satu bentuk tertinggi dari ketidakharmonisan interaksi dan
dialogis antara mahasiswa dan dosen/birokrasi. Tentu kedua pihak memiliki
logika tersendiri dalam mempertahankan status dan tuntutan masing-masing.
System birokrasi kampus misalnya menurunkan aturan-aturan yang banyaj tidak
disepakati oleh mahasiswa. Demikian pula banyak tindakan mahasiswa yang tidak
disukai oleh birokrasi.
Maka pola dialogis lah yang harus
mulai dibangun. Interaksi yang aktif dan saling menjelaskan posisi masing
masing dalam satu meja dapat menjadi salah satu alternative menghindari chaos.
Bentuk ideal lainya yang dapat di
tawarkan telah berserakan dimana-mana. Baik ideal menurut satu pihak, maupun
pihak lain. Yang terjadi adalah praktik yang tidak sejalan dengan ide ide ideal
tersebut. Ketiakmauan menerima satu sama lain adalah masalah utama dalam
praktik konsep ideal tersebut.
Mahasiswa seharusnya, menurut
penulis, harus menerima aturan yang telah di tetapkan oleh system birokrasis.
Demikian dengan birokrasi harus membentuk aturan aturan yang masuk akal dan
berkaitan erat dengan proses intelektualitas.
Bapak-isme
Sumber: puisi.co |
Lantas bagaimana dengan system yang
terdapat difakultas ushuluddin filsafat dan politik?. Menurut penulis, hubungan
profesionalitas antara dosen dan mahasiswa tidaklah terjalin dengan baik. Dosen
dengan logika birokrasi dan mahasiswa dengan logika kemahasiswaanya.[2]
Sejauh yang penulis amati, bahwa
beberapa dosen tidaklah benar benar professional dalam menjalankan tugas
sebagai dosen. Hubungan dosen dan mahasiswa cenderung terikat oleh hubungan
emosional yang berlebihan. Ini dapat dilihat dikelas dengan adanya diskriminasi
yang terjadi dikelas yang mana dosen menonjolkan yang lain dan merendahkan yang
lain.
Atau dengan cara lain, misalnya dalam
hal nilai, mahasiswa yang tidak memiliki kedekatan emosional yang baik akan
mendapatkan porsi yang berbeda dari mahasiswa yang memiliki ikatan emosinal
yang lebih baik dengan dosen. Atau misalnya ada yang cerdas namun memiliki
penampilan tidak disukai oleh dosen lantas nilainya di urungkan, namun yang
berpenampilan di sukai namun memiliki kecerdasan yang tidak terlalu memadai mendapatkan
nilai yang bagus.
Hubungan ini mengandalkan kedekatan
emosional, kepatuhan atau mungkin kekeluargaan sehingga menempuh jalan yang
lebih mudah. Yang semestinya adalah hubungan ini terjalin dalam bingkai
profesionalitas tanpa memandang persoalan aksidental seperti demikian.
Istilah bapakisme merupakan istilah
yang penulis buat sendiri untuk menggambarkan salah satu sifat guru/dosen
seperti yang penulis gambarkan di atas. Bapakisme mengacu pada sifat
kekeluargaan yang masih digiring hingga dunia akademik. Yakni sifat dimana
ketika dosen tidak dituruti, maka hukuman secar psikologi tidaklah perlu di
lakukan. Namun haruslah di hokum secara akademik pula.
Jika sifat bapak-isme ini dapat ditanggalkan,
maka tidak ada dosen yang membenci mahasiswa secara psikologis sekaligus
akademik. Sekalipun si mahasiswa tidak disukai secara pribadi, namun itu tidak
berimbas pada nilai akademik mahasiswa tersebut.
Cara ini seakan akan seperti ayah
yang pemarah memperlakukan mahasiswa seperti anak. Si ayah akan sangat kecewa
ketika si anak tidak menuruti kemauanya. Konsekuensinya uang jajan di anak
dipotong di tambah pula omelan juga cubitan. Tapi bukan seperti itu cara kerja
dunia akademik. Ikatan yang terjalin di sana musti terbangun dalam
profesionalitas yang mapan.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya,
beberapa pelaku pengajaran justru mengimbaskan kekecewaan pribadinya terhadap
persoalan akademik. Beberapa mahasiswa menuai kemarahan yang berlebihan,
memberlakukan hukuman yang tidak masuk akal, sampai ada yang kena-bombe’. Tindakan seperti itu sangat
tidak perlukan dalam memelihara keharmonisan akademik. Tekanan psikologi
seperti itu dapat tumbuh menjadi kebencian pada dosen yang bersangkutan. Yang
mungkin awalnya di pandang sebagai sebuah kewajaran, tetapi lambat laun menjadi
sebuah sumber kebencian.
Pemahaman akan hak hak dan kewajiban
musti lebih sering di gaungkan. Agar kesalahpahaman yang berujung pada tindakan
pemutusan sepihak dapat di hindarkan. Ruang ruang diskusi terbuka yang memberi
ruang antara kedua belah pihak untuk bernegosiasi haruslah di gelar.
Itulah yang penulis lihat dalam
atmosfer akademik fakultas ushuluddin. Tidak adanya ruang diskusi antara
mahasiswa dan dosen. Dosen dan mahasiswa tidak pernah mencoba melingkar dan
bercerita kemauan dan pemahan atas masing masing. Birokrasi sibuk mengeluarkan
aturan, mahasiswa sibuk menentang keputusan keputusan birokrasi.
Olehnya perlulah pemetaan garis
demarkasi antara mahasiswa dan birokrasi agar kesalahpahaman yang terjadi dapat
di atasi.
[1]
Zuprulkhan, Filsafat Umum dan Sebuah Pendekatan
Tematik (Jakarta: Grafindo persada, 2013) h. 290
[2]
Perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak mengacu pada semua
pelaku system birokrasi. Tapi hanya beberapa saja, menurut yang penulis alami
dan carita yang dari rekan rekan mahasiswa yang tingkat kesepahaman pandangan
terhadap birokrasi mencapai taraf hampir sama atau melebihi penulis.