Minggu, 11 September 2016

Filsafat sebagai daya tubuh. "Socrates kalau main Futsal".



Filsafat yang di sebutkan sebagai cinta terhadap kebijaksanaan melahirkan corak yang mewarnai cinta itu yang semuanya berlabuh pada kebijaksanaan. Salah satu corak cinta itu adalah eksistensialisme. Yang memandang Filafat sebagai jalan hidup, filsafat yang sebagai jalan hidup bisa menjadi semacam rasa untuk mencicipi kehidupan. Muh Hatta pernah berkata biarlah setiap orang mengalami hidup agar dia tahu arti filsafat. 


Filsafat pada tingkatan awal adalah sebuah permenungan terhadap dirinya yang ia dapati berkesadaran. Pada titik permenungan ini. Manusia memergok dirinya sebagai makhluk yang dapat mengalami dirinya. Manusia hidup untuk mengerti dirinya lalu menguasainya.

Pada tingkatan kedua. Seorang Socrates mempertunjukkan Filsafat sebagai sebuah dialog. Antara dirinya yang berkesadaran dan diri “aku yang lain” di luar dirinya. Tetapi aku mendaku Socrates adalah manusia yang berfilsafat dengan dialog yang lemah. Dia membawa dirinya pada diri yang lain yang tidak mengalami keberpikiran cogito. Lalu ia meminum racun sebagai bukti ia tak takut dengan kematian. Socrates adalah pengkhotbah  yang malang.

Dialektika ala Socrates adalah dialektika yang tidak kekinian. Filsafat butuh dialog yang berani dan bertenaga. Filsafat dengan menggunakan otot. Berdialog dengan tinju, berdialog dengan daya tubuh. Filsafat sebagai sebuah permenungan membawa manusia menuju dirinya yang berkesadaran. Filsafat sebagai yang bertenaga mendapati dirinya yang memahami dirinya yang social. Tubuh jasmani. Yah berdialog dengan menggunakan tubuh jasmani.

Hey sodara, aku membawa Filsafat pada lapangan hijau. Membawanya pada permainan sepakbola atau yang lebih mini pada lapangan Futsal sewaan. filsafat bukan kalimat populer semacam kata makanan cepat saji. Tapi pada kalangan masyarakat yang bertenaga,, futsal atau sepakbola adalah kata yang bersanding dengan menu makanan kaki lima.


Biarlah pada setiap tackle dan foul mereka membawa tenaga Nietzsche sebagai kepesimisan. Biarlah pada permainan Tim mereka sebut Kierkegard sebagai keoptimisan. Shoting kegawang lawan sebagai kumpulan induktif permainan lawan. Lalu ada kalah dan menang dan tak jarang ada perkelahian yang juga akan melahirkan kalah dan menang. Tapi cintailah musuhmu. Pahamilah pukulannya. Dengan cara itu kita telah berdialog.

Aku tak tau siapa yang menciptakan sepakbola. Tapi the Olympian yunani sudah menjadi lambang kekokohan tubuh. Socrates si pembenci Tubuh bila kubaca hanya akan menjadi gemulai dalam permainan Olympian. Hanya akan menendang angin di dalam lapangan futsal. Mungkin juga hanya akan menjadi bulan-bulanan pemain yang pandai ber nutmeg “pa’bayao”.


Dialektika dengan menggunakan otot akan membawa manusia menuju keterasingan. Kekalahan akan membuatnya terasing menuju permenungan yang kelam ia akan kmbali pada dirinya sendiri. Semakin besar kekalahannya maka akan semakin kelam kesendiriannya. Mungkin saja akan memunculkan “dendam”. Tapi yang kutahu sahabat yang terbaik adalah musuh yang dicintai. Pertandingan kalah menang akan memunculkan cinta dan benci. Cinta dan benci akan paham  terhadap dirinya yang sosial.

Intinya.  Filsafat yang bertinju. Tubuh yang bersentuhn dengan tubuh. Filsafat yang seksualitas adalah filsafat yang bertenaga. Filsafat yang berotot.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon