Filsafat yang di sebutkan sebagai
cinta terhadap kebijaksanaan melahirkan corak yang mewarnai cinta itu yang
semuanya berlabuh pada kebijaksanaan. Salah satu corak cinta itu adalah
eksistensialisme. Yang memandang Filafat sebagai jalan hidup, filsafat yang
sebagai jalan hidup bisa menjadi semacam rasa untuk mencicipi kehidupan. Muh Hatta
pernah berkata biarlah setiap orang mengalami hidup agar dia tahu arti
filsafat.
Filsafat pada tingkatan awal
adalah sebuah permenungan terhadap dirinya yang ia dapati berkesadaran. Pada titik
permenungan ini. Manusia memergok dirinya sebagai makhluk yang dapat mengalami
dirinya. Manusia hidup untuk mengerti dirinya lalu menguasainya.
Pada tingkatan kedua. Seorang Socrates
mempertunjukkan Filsafat sebagai sebuah dialog. Antara dirinya yang
berkesadaran dan diri “aku yang lain” di luar dirinya. Tetapi aku mendaku
Socrates adalah manusia yang berfilsafat dengan dialog yang lemah. Dia membawa
dirinya pada diri yang lain yang tidak mengalami keberpikiran cogito. Lalu ia
meminum racun sebagai bukti ia tak takut dengan kematian. Socrates adalah
pengkhotbah yang malang.
Dialektika ala Socrates adalah
dialektika yang tidak kekinian. Filsafat butuh dialog yang berani dan
bertenaga. Filsafat dengan menggunakan otot. Berdialog dengan tinju, berdialog
dengan daya tubuh. Filsafat sebagai sebuah permenungan membawa manusia menuju
dirinya yang berkesadaran. Filsafat sebagai yang bertenaga mendapati dirinya
yang memahami dirinya yang social. Tubuh jasmani. Yah berdialog dengan
menggunakan tubuh jasmani.
Hey sodara, aku membawa Filsafat
pada lapangan hijau. Membawanya pada permainan sepakbola atau yang lebih mini
pada lapangan Futsal sewaan. filsafat bukan kalimat populer semacam kata
makanan cepat saji. Tapi pada kalangan masyarakat yang bertenaga,, futsal atau
sepakbola adalah kata yang bersanding dengan menu makanan kaki lima.
Biarlah pada setiap tackle dan
foul mereka membawa tenaga Nietzsche sebagai kepesimisan. Biarlah pada
permainan Tim mereka sebut Kierkegard sebagai keoptimisan. Shoting kegawang
lawan sebagai kumpulan induktif permainan lawan. Lalu ada kalah dan menang dan
tak jarang ada perkelahian yang juga akan melahirkan kalah dan menang. Tapi cintailah
musuhmu. Pahamilah pukulannya. Dengan cara itu kita telah berdialog.
Aku tak tau siapa yang
menciptakan sepakbola. Tapi the Olympian yunani sudah menjadi lambang kekokohan
tubuh. Socrates si pembenci Tubuh bila kubaca hanya akan menjadi gemulai dalam
permainan Olympian. Hanya akan menendang angin di dalam lapangan futsal. Mungkin
juga hanya akan menjadi bulan-bulanan pemain yang pandai ber nutmeg “pa’bayao”.
Dialektika dengan menggunakan
otot akan membawa manusia menuju keterasingan. Kekalahan akan membuatnya
terasing menuju permenungan yang kelam ia akan kmbali pada dirinya sendiri. Semakin
besar kekalahannya maka akan semakin kelam kesendiriannya. Mungkin saja akan
memunculkan “dendam”. Tapi yang kutahu sahabat yang terbaik adalah musuh yang
dicintai. Pertandingan kalah menang akan memunculkan cinta dan benci. Cinta dan
benci akan paham terhadap dirinya yang sosial.
Intinya. Filsafat yang bertinju. Tubuh yang bersentuhn
dengan tubuh. Filsafat yang seksualitas adalah filsafat yang bertenaga. Filsafat
yang berotot.