Kamis, 08 Februari 2018

Pendidikan dan Tradisi Bapak-isme

Selamat datang pembaca kami yang budiman. Terimakasih masih rela menongkrongi blog sederhana yang sering mati suri ini. semoga anda tidak mudah bosan dengan celoteh dan omongan kami yang masih jauh dari kata mengetahui. terlebih mengetahui secara lengkap yang sedang kami omongkan.
berikut ini adalah salah satu refleksi penulis yang masih sangat lemah dari segi analisa.
mohon tinggalkan kritik dan saran untuk membangun dan menyemangati penulis agar kedepan dapat lebih baik.
guru dosen. pendidikan
Sumber: data:image

TRADISI BAPAK-ISME

Pendidikan dalam Bingkai
Apa itu Pendidikan? Pertama tama kita harus menyatukan definisi dan gambaran tentang Pendidikan. karena perbedaan pandangan tentang pandangan tentang Pendidikan dapat membawa pada perbedaan pendapat yang tidak berujung pangkal.
Pendidikan merupakan elemen kehidupan yang telah mandarah daging dalam sejarah manusia. Pendidikan telah ada bahkan sejak manusia ada, hanya saja Pendidikan tersebut didapati dalam nama yang sederhana dan berbeda beda-misalnya belajar, sekolah, penelitian dan bimbingan. Berawal dari bentuk pengajaran sederhana yang melibatkan interaksi dan dialektika sehingga tercipta jalinan informasi yang saling mengisi sampai pada tataran pengajaran yang mencapai pemapanan pada tingkat insitusi. Demikian pembimbingan, pembelajaran, dan jalinan pertukaran informasi menjadi inti dari sebuah proses pendidikan.
Mengutip dari Wikipedia.org, pedidikan berarti pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan sekelompok orang yang di turunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan dan penelitian. olehnya Pendidikan selalu menemukan keterkaitan dan jalinan yang tiada henti dalam perjalananya. Hakikat Pendidikan merupakan sebuah penyingkapan bahwa peserta didik selalu dalam perjalanan, sebuah kesadaran mengenai selalu hadirnya kemungkinan penjelasan penjelasan dan keterbukaan-keterbukaan baru.[1]
Sehingga teranglah-menurut penulis- bahwa Pendidikan sejatinya merupakan sebuah proses pencarian akan makna, emosional dan spiritual menuju hal-hal baru. Pencarian ini melibatkan berbagai instrumen dan elemen yang memungkinkan di olahnya dan penemuan informasi baru. Elemen  yang di maksudkan penulis dalam hal ini adalah penelitian, pembelajaran, pelatihan dan penelitian.
Sementara instrument Pendidikan berupa tenaga didik, yang di didik serta alat alat penunjang keberlangsungan Pendidikan, sehingga Pendidikan mungkin dapat berlangsung. Bentuk bentuk kemajuan yang tercapai hingga pada zaman milea ini merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran, penelitian dan interaksi ilmu pengetahuan dalam bingkai Pendidikan. hanya dengan melibatkan kedua hal di atas, elemen dan instrument, Pendidikan dapat di langsungkan.
Yang menjadi persoalan adalah ketika tuntutan ideal bagi elemen dan intrumen tidak dapat di penuhi. Memang tidak dapat di pungkiri bahwa selalu ada titik cacat dalam setiap elemen dan intrumen ideal yang di tawarkan. Namun itulah tugas pendidikan untuk menemukan tuntutan ideal sehingga dapa menemukan titik terbaik yang mungkin di terapkan.
Dalam tulisan ini, penulis dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman akan mengajak pembaca mendiskusikan satu sisi intrumen Pendidikan yakni pada pendidik saja. Terkhusus pada ruang lingkup tempat penulis menimba potongan pengetahuan, yaitu di fakultas ushuluddin filsafat dan politik.

Ideal Interaksi Mahasiswa Dan Dosen
            Mahasiswa dan dosen merupakan instrument wajib agar proses Pendidikan dapat berlangsung. Keduanya harus memiliki hubungan yang harmonis dan saling memahami koridor masing masing. Dan yang terpenting menurut penulis, keduanya musti memegang teguh sifat profesionalitas dan integritas. Model ideal ini adalah salah satu cara agar keseimbangan dalam dunia akademik tidak mengalami gap, chaos dan kecemburuan kecemburuan yang tidak perlu.
            Contoh dari ketidakharmonisan telah banyak terpapar dalam dunia kampus. Bahkan, mungkin saja, sejak dunia kampus itu sendiri berdiri. Salah satunya adalah aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa terhadap birokrasi kampus. Chaos seperti ini menandakan adanya sebuah masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan lingkaran musyawarah.
Jika kita berada pada pihak mahasiswa, alasan-alasan demosntrasi memiliki logika rasional yang dipegang teguh oleh pelaku demonstran. Pilihan ini tentu tidak serta merta menjadi jalan untuk menyelesaikan tuntutan. Juga tidak semua pihak-dalam hal ini mahasiswa-menyepakati jalan “radikal” tersebut sebagai solusi. Namun secara psikologis pelaku demonstran justru memandang jalan ini merupakan solusi dan membawa manfaat serta di yakini sebagai jalan yang baik.
Praktisi lapangan tentu saja dalam hal ini mengklain bahwa tidak ada pilihan lain selain demonstrasi. Martha Crenshaw dalam sebuah artikel hasil penelitian tentang psikologi terorisme, menunjukan hal hal yang mendorong terjadinya terorisme secara psikologis. Seperti pula di atas, terorisme lahir dari mereka yang tidak memiliki otoritas yang mapan dan tidak setuju dengan system yang ada. Sehingga memikirkan satu jalan radikal yakni terorisme.
Model demosntrasi dan terorisme memiliki kesamaan prinsip dalam hal mengambil tindakan. Demontrasi merupakan salah satu bentuk tindakan radikal yang menjadi pilihan akhir bagi pihak oposisi ketika suara tidak lagi di dengarkan. Tentu saja pertimbangan dan olah data di lakukan. Ketidakpuasan atas hasil olah data kemudian diwujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi.
Namun demikian tindakan seperti ini banyak juga menuai protes. Dikalangan birokrasi bahkan dikalangan mahasiswa banyak yang tidak menyetujui jalan seperti ini. Mereka ini meyakini bahwa demonstrasi bukanlah satu satunya jalan yang dapat ditempuh ketika suara tidak lagi didengarkan. Selain itu, keberhasilan cara ini tidak benar benar selalu berhasil dan bahkan terkadang menjadi boomerang bagi si pelaku demonstrasi.
Contoh chaos seperti demosntrasi ini adalah salah satu bentuk tertinggi dari ketidakharmonisan interaksi dan dialogis antara mahasiswa dan dosen/birokrasi. Tentu kedua pihak memiliki logika tersendiri dalam mempertahankan status dan tuntutan masing-masing. System birokrasi kampus misalnya menurunkan aturan-aturan yang banyaj tidak disepakati oleh mahasiswa. Demikian pula banyak tindakan mahasiswa yang tidak disukai oleh birokrasi.
Maka pola dialogis lah yang harus mulai dibangun. Interaksi yang aktif dan saling menjelaskan posisi masing masing dalam satu meja dapat menjadi salah satu alternative menghindari chaos.
Bentuk ideal lainya yang dapat di tawarkan telah berserakan dimana-mana. Baik ideal menurut satu pihak, maupun pihak lain. Yang terjadi adalah praktik yang tidak sejalan dengan ide ide ideal tersebut. Ketiakmauan menerima satu sama lain adalah masalah utama dalam praktik konsep ideal tersebut.
Mahasiswa seharusnya, menurut penulis, harus menerima aturan yang telah di tetapkan oleh system birokrasis. Demikian dengan birokrasi harus membentuk aturan aturan yang masuk akal dan berkaitan erat dengan proses intelektualitas.

Bapak-isme 
Sumberpuisi.co
Lantas bagaimana dengan system yang terdapat difakultas ushuluddin filsafat dan politik?. Menurut penulis, hubungan profesionalitas antara dosen dan mahasiswa tidaklah terjalin dengan baik. Dosen dengan logika birokrasi dan mahasiswa dengan logika kemahasiswaanya.[2]
Sejauh yang penulis amati, bahwa beberapa dosen tidaklah benar benar professional dalam menjalankan tugas sebagai dosen. Hubungan dosen dan mahasiswa cenderung terikat oleh hubungan emosional yang berlebihan. Ini dapat dilihat dikelas dengan adanya diskriminasi yang terjadi dikelas yang mana dosen menonjolkan yang lain dan merendahkan yang lain.
Atau dengan cara lain, misalnya dalam hal nilai, mahasiswa yang tidak memiliki kedekatan emosional yang baik akan mendapatkan porsi yang berbeda dari mahasiswa yang memiliki ikatan emosinal yang lebih baik dengan dosen. Atau misalnya ada yang cerdas namun memiliki penampilan tidak disukai oleh dosen lantas nilainya di urungkan, namun yang berpenampilan di sukai namun memiliki kecerdasan yang tidak terlalu memadai mendapatkan nilai yang bagus.
Hubungan ini mengandalkan kedekatan emosional, kepatuhan atau mungkin kekeluargaan sehingga menempuh jalan yang lebih mudah. Yang semestinya adalah hubungan ini terjalin dalam bingkai profesionalitas tanpa memandang persoalan aksidental seperti demikian.
Istilah bapakisme merupakan istilah yang penulis buat sendiri untuk menggambarkan salah satu sifat guru/dosen seperti yang penulis gambarkan di atas. Bapakisme mengacu pada sifat kekeluargaan yang masih digiring hingga dunia akademik. Yakni sifat dimana ketika dosen tidak dituruti, maka hukuman secar psikologi tidaklah perlu di lakukan. Namun haruslah di hokum secara akademik pula.
Jika sifat bapak-isme ini dapat ditanggalkan, maka tidak ada dosen yang membenci mahasiswa secara psikologis sekaligus akademik. Sekalipun si mahasiswa tidak disukai secara pribadi, namun itu tidak berimbas pada nilai akademik mahasiswa tersebut.
Cara ini seakan akan seperti ayah yang pemarah memperlakukan mahasiswa seperti anak. Si ayah akan sangat kecewa ketika si anak tidak menuruti kemauanya. Konsekuensinya uang jajan di anak dipotong di tambah pula omelan juga cubitan. Tapi bukan seperti itu cara kerja dunia akademik. Ikatan yang terjalin di sana musti terbangun dalam profesionalitas yang mapan.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, beberapa pelaku pengajaran justru mengimbaskan kekecewaan pribadinya terhadap persoalan akademik. Beberapa mahasiswa menuai kemarahan yang berlebihan, memberlakukan hukuman yang tidak masuk akal, sampai ada yang kena-bombe’. Tindakan seperti itu sangat tidak perlukan dalam memelihara keharmonisan akademik. Tekanan psikologi seperti itu dapat tumbuh menjadi kebencian pada dosen yang bersangkutan. Yang mungkin awalnya di pandang sebagai sebuah kewajaran, tetapi lambat laun menjadi sebuah sumber kebencian.
Pemahaman akan hak hak dan kewajiban musti lebih sering di gaungkan. Agar kesalahpahaman yang berujung pada tindakan pemutusan sepihak dapat di hindarkan. Ruang ruang diskusi terbuka yang memberi ruang antara kedua belah pihak untuk bernegosiasi haruslah di gelar.
Itulah yang penulis lihat dalam atmosfer akademik fakultas ushuluddin. Tidak adanya ruang diskusi antara mahasiswa dan dosen. Dosen dan mahasiswa tidak pernah mencoba melingkar dan bercerita kemauan dan pemahan atas masing masing. Birokrasi sibuk mengeluarkan aturan, mahasiswa sibuk menentang keputusan keputusan birokrasi.
Olehnya perlulah pemetaan garis demarkasi antara mahasiswa dan birokrasi agar kesalahpahaman yang terjadi dapat di atasi.



[1] Zuprulkhan, Filsafat Umum dan Sebuah Pendekatan Tematik (Jakarta: Grafindo persada, 2013) h. 290
[2] Perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak mengacu pada semua pelaku system birokrasi. Tapi hanya beberapa saja, menurut yang penulis alami dan carita yang dari rekan rekan mahasiswa yang tingkat kesepahaman pandangan terhadap birokrasi mencapai taraf hampir sama atau melebihi penulis.
Read More

Rabu, 07 Februari 2018

Puisi Cinta: Cinta itu layu

puisi cinta dan rindu juga kenangan
Sumber gambar : Google.com
Cinta itu layu sebelum mekar. . .

Di awal jumpa yang  tak terencana
Bingkisan ilahi menjelma dalam paras apik dan sempurna
Menusuk-nusuk hati yang beku dari ujung lirik mata
Sontak, tandus jiwa berubah menjadi telaga

Seperti kisah kebanyakan pemuda dan cinta.
Mendadak, bak jiwa tersulut bara pujangga
mengurai kata-kata yang tersesat dalam labirin asmara. Membawanya pulang menuju rumah rindu.
Dan sibuk  menerka-nerka . . .
Siapakah namanya. . .?

Di pertengahan jumpa
Lebih seminggu rindu tertahan di saku baju. Tanpa tau siapakah nama si tuan baru
Di sembunyikannnya hasrat temu pada lipatan pintu, juga pada bisik jarum jam dinding di ruang waktu
Di hapus juga sayatan luka pada garis waktu yang lalu, tentang kisah diawal tunas yang tak tuntas
Tentang kelu yang selalu terseduh bersama kepedihan yang melingkar dalam cawan kalbu. Lalu pergi bersama kisah liyan yang baru merekah .

Sekarang langit kembali jingga, menanda bahwa bulan segera tiba bersama sekerat cahaya senja dipelupuk mata
Aku biarkan pesanku terbawa angin, bersama daun yang berguguran diatas rembulan yang masih mengambang diatas genangan

Akan ada saatnya, sua menjadi pelipur yang bara

Luruh fajar mengganti malam
. . .
-Disebutnya namanya dengan senyum yang setiap malam memacu rindu. Sembari tangan lembutnya menggenggam jemari yang kusut gegara menulis puisi semu-


#Halusinasi

Samata, 7 feb. 2017
Read More

Selasa, 17 Oktober 2017

Tanam Apel Sebelum Beriman - Segalanya Tentang Iman

IMAN. Jujur saja, tulisan ini dilandasi oleh seorang gadis. Mungkin penulis akan sedikit bercerita tentang gadis itu. Tapi tentu, kita akan tetap focus pada topik kita kali ini. Penulis memberinya ke kategori filsafat agama dan juga opini bukan tanpa alasan. Alasan paling sederhana, Karena topic ini adalah perkara iman dan tentunya ini hanya pemikiran bebas dari penulis (sebuah essay/opini).

Pemikiran bebas, tentu penulis tau tata kramanya. Mungkin kalian tahu, ini adalah kedai filsafat, dimana kalian bebas memesan menu apa saja, tanpa paksaan dan dorongan dari kami para penulis di web ini. Kami hanya menyodorkan menu, kalian yang memutuskan untuk menikmatinya. Tapi ingat, dimana-mana sesuatu yang berbauh filsafat itu, susah ditolak oleh akal. Bahkan ucapan memungkiri, namun akal akan sibuk memikirkannya. Tapi coba sedikit berbagilah dengan hati, semua akan menjadi tenang dan damai. Penulis serius.

Tenang saja, penulis akan menyajikan filsafat yang super rumit (Kata orang luar sana) dengan gaya bahasa sederhana dan seo friendly.

Ok kita lanjut. Ada baiknya kita buka dengan sebuah definisi, berikut adalah definisi dari iman itu sendiri.

Bolehkah mempertanyakan keimanan

Apa itu IMAN?


Adakalanya kita harus merujuk terlebih dahulu kewebsite dengan prioritas tinggi, berikut adalah definisi iman yang penulis kutip dari Wikipedia.

"Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. Atau juga pandangan dan sikap hidup."

Bukan berarti Wikipedia adalah landasan Kebenaran.

Hemat penulis tentang iman itu. Iman adalah keselerasan rasio dan pengalaman. Misalnya, jika kita mempunyai pengetahuan “Menanam bibit jagung, maka yang tumbuh kelak adalah jagung”, setelah kita mengetahui itu, kemudian mencobanya dan ternyata yang tumbuh adalah jagung seperti yang kita ketahui, maka pengetahuan atau pengalaman itu menjadi suatu kepercayaan (Keseimbangan mengetahui dan merasakan). Nah itu pemikiran penulis tentang iman itu sendiri. (Mungkin diantara pembaca ada yang bisa menambahkannya)

Mengapa Beriman?


Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita akan menggunakan kata “Mengapa”. Karena mengapa akan menghasilkan sebuah jawaban yang berbentuk “Alasan” (Mendasar)

Dari segi pengamatan penulis, masih banyak orang yang beragama melakukan ibadah tanpa mengetahui alasannya. Paling umum terjadi karena factor keturunan, ikut-ikutan dan lain sebagainya. Tentunya mereka semua tidak salah. (Pengamatan ini bisa saja salah)

Dari kecil penulis melakukan hal yang sama, penulis disuruh sholat. Yah, penulis sholat, dan tentunya waktu itu penulis tidak bertanya “Mengapa harus sholat?”, kenapa penulis tidak bertanya? Penulis masih kecil, dan mungkin belum bisa berpikir dengan baik. Jadi, hal itu wajar.

Yang tidak wajar, adalah melakukan hal itu terus menerus, hingga menjadi kebiasaan dan lupa mempertanyakan “mengapa?”. Mengapa saya melakukan ibadah? Jadi, sampai disini apakah kalian sudah mempunyai alasan sendiri? Tanpa iming-iming surga, neraka, ketakutan, kenikmatan atau hanya sebatas DOKTRIN? (Kita akan membahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya)

Dan tentunya, Tuhan akan lebih senang. Yah, penulis yakin, Tuhan yang penulis percayai akan senang akan hal itu (Islam), karena setidaknya penulis beribadah bukan karena sebatas keturunan, doktrin atau hanya takut dengan neraka, atau hanya karena menginginkan surga, atau apapun itu yang di iming-imingkan didalam wahyu. Akan tetapi ibadah karena memang dorongan sendiri, alasan sendiri dan pilihan sendiri, toh ini adalah hubungan pribadi kita dengan TUHAN.

Hemat penulis, Kenapa beriman? Karena kita punya masing-masing alasan. Itu jawaban dari penulis. So, apa alasan penulis beriman? Hal ini sebenarnya hal pribadi, tapi tak apalah. Alasan penulis sederhana, hingga sampai saat ini penulis tidak menjumpai alasan bahwa Tuhan itu tidak ada. Baik dari segi logika ataupun dari pengalaman. Untuk pengalaman, penulis akan menjelaskannya pada sub bab berikutnya.

Apakah boleh mempertanyakan iman itu kembali?


Sebetulnya, ini adalah hal yang dasar. Sebagai manusia tentu kita akan menghadapi yang namanya pasang surut keimanan. Dan tentu keimanan itu boleh direvisi.

Jika dilihat secara sekilas, ini adalah perbuatan yang mungkin melanggar ajaran agama.Tetapi tentu, mungkin kita semua sepakat ilmu agama itu bukan hanya selembar kertas, akan tetapi ada jutaan kertas lainnya. So, kita harus belajar ilmu agama secara menyeluruh.

Lanjut pembahasan, lalu apa jawaban penulis soal pertanyaan pada bab ini? Jawabannya boleh, kenapa?

Semua agama melarang, dan merupakan dosa paling besar ialah keluar dari agama alias murtad, betul atau benar? Penulis kira betul dan benar. Ini pengetahuan umum.

Berangkat dari pernyataan diatas, saat ini penulis beragama islam. Anggap saja dua bulan yang lalu penulis beragama X (Agama selain islam). Dimana agama X tentu ajarannya kurang lebih dari Islam yaitu melarang keras untuk keluar Agama.

Kira-kira, andai kata penulis tidak mempertanyaan iman dua bulan yang lalu tentang Agama X, saat ini penulis memeluk islam tidak? Jawabannya tidak. So, boleh mempertanyakan iman. Karena jikalau memang apa yang kita percayai adalah sebuah kebenaran, berapa kalipun kita mempertanyakan (Merevisinya), hasilnya pasti tetap Kebenaran. Begitupun sebaliknya. Kalian tidak maukan, apa yang kalian percayai adalah hal yang salah. Atau kurang benar. TIDAK MAU.

“Tapi islam itu beda bro, islam itu adalah kebenaran paling mutlak yang tidak boleh lagi dipertanyakan” Nah itu adalah penyangkalan beberapa orang yang mengaku islam.

Penulis kutip dari kata mereka diatas “… Islam itu adalah kebenaran paling mutlak…” Jika memang itu yang mereka percayai dan yakini bahwa islam adalah kebenaran mutlak, kenapa takut, kenapa tidak boleh dipertanyakan, toh seperti kata penulis “Jika memang hal itu adalah KEBENARAN, tentunya berapa kalipun kita mempertanyakannya, hasilnya tetap sebuah KEBENARAN”

Dan yang paling penting dari mempertanyakan kembali sebuah keimanan adalah menambah keimanan jika memang itu adalah KEBENARAN. Karena kepercayaan takan hadir tanpa sebuah keraguan, kekaguman dan keheranan.

# Ceritanya seperti ini:


Dari kecil, kalian telah diajari bahwa “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, setiap hari orang tua dan lingkungan selalu mengatakan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, kesekolah “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”.

Kemudian kalian beranjak dewasa berumur 21 tahun, tentunya kalian mengaku beriman tentang “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel” karena kepercayaan sudah menjadi mindset, dan jika kalian berpikir “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah semangka”, kalian akan merasa berbeda, kalian merasa ada yang salah, kalian akan menyanngkal dan berkata “Haha mana mungkin tanam apel tumbuh semangka”. Kenapa seperti itu? Itu karena kalian tumbuh bersama dengan kepercayaan bahwa “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”, Kepercayaan itu bagi kalian adalah saudara, karena kalian tumbuh bersama.

Anggap saja, kepercayaan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel” sudah 21 tahun kalian percayai. Kemudian datanglah seseorang yang mengatakan “Tanam bibit Apel, tidak akan tumbuh apa-apa”. Bagaimana tanggapan kalian? MARAH dan MURKA adalah kemungkinan yang akan kalian lakukan.

Manusia mana yang tidak marah jika “Saudara”nya yang ia sudah temani selama 21 tahun, tiba-tiba ada yang menghinanya, mencacinya? Jujur penulis, penulis marah yah.

Hari demi hari berlalu. Kemudian suatu hari, kalian merasa curiga dan ragu akan kepercayaan kalian itu, pastinya kalian akan merasa sedikit berdosa dan rasa-rasa pengaruh psikologi lainnya. Suatu hari keraguan kalian menjadi-jadi.

Setelah kalian cukup ragu untuk melepaskan kepercayaan itu, Satu sisi kalian sedikit merasa bersalah karena kepercayaan itu seperti saudara kalian. Dimana melepasnya sama saja membunuhnya. Akhirnya kalian memutuskan untuk menelitinya sendiri.

Esok hari, kalian membuat percobaan sendiri. Sekarang kalian menanam bibit apel, 1 minggu kemudian tidak tumbuh apa-apa. Kalian mulai berkata “Haha, ternyata memang orang-orang disekitarku semua salah, buktinya tidak tumbuh apa-apa”, 1 bulan kemudian, masih saja tidak ada reaksi apapun. “Haha, dasar ternyata saya sudah salah selama 21 tahun lalu” kalian merasa bebas dari kepercayaan yang salah itu. TIba-tiba esok hari kemudian kalian bangun memeriksa penelitian kalian lagi. “Nampaknya bibit itu mengeluarkan benih-benih tumbuhan”. Apa yang kalian rasakan saat itu?

Bergetar, Seperti kilat menghambat jantung yang berdetak. Waktu dan ruang seakan menyatu, daun-daun yang jatuh berhenti. Kalian seperti tertampar, tetapi tamparan itu adalah sebuah kenikmatan. Kalian merinding, takjub, terpanah dan jujur saja, penulis kwalahan menggambarkan perasaan itu dengan kata-kata. Kemudian kalian terdiam tak dapat lagi berkata-kata.

Kalian diam dalam kepercayaan. 1 bulan kemudian akhirnya bibit apel itu sepenuhnya sudah menjadi Pohon apel yang memberikan kalian buah apel. Kalian semakin diam. Diam dalam keimanan. Tanpa kata, tanpa nama dan tanpa keraguan lagi.

Begitulah yang penulis rasakan, ketika melihat rumah yang selama ini penulis tinggal didalamnya. Rumah itu hampir terlahap oleh api, akibat arus listrik yang koslet pada rumah tetangga. Kalian tau, saat itu penulis berlari menjauh dari rumah, dan berbalik melihat rumah itu. Saat itu, penulis hanya diam. Diam dalam diam. Tapi rasanya aneh, didalam diri ini, seperti memanggil, berharap, memohon kepada sesuatu yang lain… seperti bercakap dengan sesuatu. Nyatanya orang-orang saat itu sedang ramai, namun penulis merasa hanya sendiri, tenang dan damai.

Kalian tahu, itu bukan suatu trauma, bukannya penulis ketakutan karena rumah penulis akan terbakar. Bukan itu yang penulis maksud dengan “TERDIAM”.

Saat itu penulis adalah seorang Mahasiswa “Filsafat”, 1-2 tahun yang lalu. Dimana 1-2 tahun lalu penulis mencoba memungkiri Tuhan itu ada, penulis mulai curiga dengan kepercayaan penulis, penulis mulai mempertanyakan dan merivisi kepercayaan yang ada sejak dari kecil. Penulis membaca buku-buku filsafat, yang ujung-ujungnya adalah pemikiran ATHEIS. Penulis bangga akan hal itu. Karena kala itu adalah kebenaran.

Kalian tahu? Saat peristiwa itu, dimana penulis TERDIAM, penulis yang merasa angkuh, pintar dan punya pemikiran yang luas, tiba-tiba terhantam jatuh… tiba-tiba penulis merasa menjadi makhluk kecil yang tak terlihat dibanding alam semesta, tata surya dan sebagainya. Penulis merasa seperti ADA. Ada TUHAN.

“Apa ini?” Tanyaku kala itu. Hingga sampai saat ini, jika penulis mengingat kejadian itu. Rasanya seperti penulis bisa merasakan “sesuatu itu”. Serius, penulis kesusahan menejelaskannya dengan kata-kata. Haha. Jujur saja pada saat penulis menceritakan kejadian ini sambil mengeti, hal itu membuat penulis merinding.

Nah, inilah yang terjadi, penulis rasa hubungan dengan Tuhan atau “sesuatu itu” merupakan hubungan pribadi atau personal.

Lanjut cerita tentang kepercayaan “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”. Setelah kalian mengalami hal tersebut. 1 Minggu kemudian, datanglah seseorang yang mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya, yaitu “Tanam bibit Apel, maka akan tumbuh buah apel”. Setelah mendengar hal tersebut, kita-kira apa yang akan kalian katakan? Penulis yakin kalian akan menjabnya dengan cukup bijak. Kenapa cukup bijak? Karena kalian telah mengalami sebuah pengalaman spiritual, dimana hal itu membuat kalian menjadi lebih paham yang namanya sebuah kepercayaan, sebuah iman.

Iman itu, pilihan atau takdir?


Jika kita bertanya, iman itu pilihan atau takdir? Bagaimana menurut kalian? Ok, disini penulis tidak akan memberikan sebuah jawaban. Baiknya kita akan membuat konsekuensi antara Takdir dan Pilihan, sebaiknya kita mulai dengan Iman itu Takdir.

Iman itu takdir, maka yang akan terjadi “Tuhan tidak adil”, mengapa penulis mengatakan hal tersebut. Anggap saja penulis ditakdirkan beragama X (Agama selain X), dan kebenaran yang ada bahwa ISLAM adalah kebenaran. Kemudian datanglah hari penghakiman. Dengan jelas dan berani saya akan mengatakan kepada Tuhan bahwa “e tuhan kamu punya otak gak sih?” haha. Ok jangan diambil hati bro/sis.

Anggap saja tuhan adalah Sutradara yang telah menentukan semua, termasuk penulis sendiri. Penulis ditakdirkan beragama X, kemudian penulis juga sudah ditakdirkan masuk neraka. Pertanyaan yang muncul adalah, Penulis tidak pernah memilih Agama, dan pada akhirnya penulis harus masuk neraka karena beragama X. Ini adalah hal yang tidak masuk akal sama sekali. Anggap saja penulis ditakdirkan untuk membunuh, pada akhirnya penulis harus dihukum karena sudah membunuh. Kok tuhan tidak adil yah? Dia sendiri yang menyuruh atau mentakdirkan penulis untuk membunuh dan pada akhirnya setelah penulis melaksanakan tugas tersebut, penulis malah dihukum. Letak keadilan tuhan dimana?

Yaps. Sudah tentu Tuhan tidak adil jika iman atau kepercayaan adalah takdir. Kalau menurut penulis, penulis hanya mendapatkan beberapa jawaban yang paling pasti, yang mana yang dikatakan takdir. Takdir itu seperti sunnatullah (Hukum Alam) misalnya, Api itu panas dan sebagainya. Dan untuk manusia sendiri, misalnya penulis tidak pernah memilih menjadi laki-laki, penulis tidak pernah memilih mempunyai hidung yang tinggi, penulis tidak pernah memilih terlahir gagah, haha. Serius. Penulis tidak pernah tuh mengajukan proposal kepada tuhan tentang apa yang penulis peroleh saat ini. Oleh karenanya Takdir itu hanya dapat diterima dan disyukuri.

So, iman itu adalah pilihan. Lalu apa konsekuensi dari Iman itu pilihan? Tentu semua pilihan punya konsekuensi, berbeda dengan takdir, tidak ada konsekuensi sama sekali, misalnya kalian terlahir cacat atau ditakdirkan cacat, kalian tidak akan mendapatkan dosa atau dihukum karena terlahir cacat, karena itu adalah takdir, karena itu kalian tidak memilih untuk cacat.

Lalu bagaimana jika iman itu pilihan? Misalnya seperti ini, anggap saja didepan kalian ada dua jalan, kalian harus menentukannya sendiri. Tentunya jalan apapun yang kalian pilih, resikonya kalian tanggung sendiri. Penulis memilih jalan A, dan kemudian pada ujung jalan A tersebut adalah jalan buntu, resikonya penulis harus kembali lagi, karena itu adalah pilihan penulis sendiri.

Jadi, islam itu pilihan. Agama selain itu adalah pilihan. Namun yang jadi masalah disini adalah, Anggap saja islam itu adalah agama yang memang paling benar. Kemudian penulis terlahir dari keluarga islam, lingkungan islam dan Negara yang dominan masyarakatnya beragama islam. Penulis berarti orang yang beruntung dong. Penulis enak dong. Dan sebagainya. Jadi penulis tidak perlu berjuang terlalu keras karena dasarnya penulis sudah beragama islam.

Solusi dari masalah ini adalah terlahir dari agama islam maupun terlahir dari agama X, semua sama saja kecuali didalam hidup ini, kita pernah atau benar-benar sadar memilih sendiri. Memilih sendiri untuk beragama islam, mencari kebenaran sendiri tanpa pengaruh dari luar kemudian menentukan sendiri pilihan tersebut. Dengan kata lain, kita menemukan sebuah ALASAN.

Kesimpulan


Penulis kira manusia itu bukan robot, yang sepenuhnya dikendalikan oleh sesuatu, disini kita punya kehendak untuk memilih. Yang perlu kita lakukan hanya menemukan alasan akan apa yang kita pilih selama ini.

Jangan sampai kita hanya merasa beriman namun belum pernah mencoba untuk beriman. Jangan sampai kita hanya mengetahui namanya namun belum bisa menentukan pemilik sang nama. Jangan sampai kita memilih dengan mata yang buta, jangan sampai otak kita mubasir karena tidak digunakan untuk berfikir dalam menentukan sebuah pilihan.

Kesadaran beragama akan muncul jika kita mengerti akan alasan untuk beragama. Hingga saat ini penulis hanya terus belajar, penulis bukan ahli ibadah, penulis hanya mencoba menjadi seperti itu. Penulis bukan ahli pemikiran, namun penulis mencoba menjadi seperti itu.

Sedikit berbicara tentang gadis itu, gadis itu sudah penulis perhatikan 4 tahun yang lalu, kemudian pada tahun ini, ada perubahan yang terjadi seketika pada dirinya. Jujur saja sebenarnya penulis perhatikan tentu punya maksud yang lain, penulis kagum dengan dia, ingat hanya sebatas kagum.

Yang namanya perubahan tentu cukup mudah, tapi mempertahankan sebuah perubahan itulah yang sulit. Sama halnya ketika kita memilih sebuah kepercayaan, memilih kepercayaan itu cukup mudah, namun konsekuensi yang kita terima setelah memilih, itulah yang sulit.

Sekali lagi penulis katakan, tulisan ini hanya sebuah pemikiran bebas.
Read More

Selasa, 11 Juli 2017

Aku ingin menjadi cepat


Aku dan ke-dia-anku

Silahkan menikmati secangkir filsafatku.


Sebagai manusia yang bereksistensi, kita terlempar pada ruang dan waktu yang selalu bereproduksi. Keterlemparan itu menyebabkan banyakya serpihan aku yang meluber, sehingga perlu untuk mengumpulkan kembali serpihan-serpihan esensi itu. tetapi  sungai waktu terus dan begitu cepat mengalir, sehingga masa lalu telah begitu jauh dari gapaian kita.  Untuk itu Al gazali menyebut jarak yang paling tidak mungkin di tempuh adalah masa lalu. Meskipun dunia digital ( rekaman suara, video, foto, dll) bisa mempertunjukkan sosok kita di masa lalu, tetapi kita di dalam dunia digital itu bukan lagi aku, tetapi aku telah menjadi “dia” “ke-dia-anku”, dalam arti, bahwa keakuan kita tidak lagi ada pada ke- dia-an sosok di dunia digital itu. Aku pada waktu sekarang akan menjadi dia di waktu yang telah lalu untuk diri saya sendiri( sedetik kemudian kalimat ini juga telah menjadi tulisan dia untuk keakuanku pada saat saya mengetik (.)”titik” ). Untuk itu, pada waktu yang bereproduksi, “mungkin” saja Al gazali benar, bila kita selalu baharu, maksudnya waktu itu akan selalu mereproduksi ke aku an ku untuk menjadi aku-aku yang baru. Tetapi dengan kemampuan memori manusia di otaknya, kita mampu untuk mengajak ke-dia-an kita berdialog, untuk kualitas aku yang baru.

Masalah yang bisa timbul dari teori ini akan sangat banyak, salah satunya persoalan moral. Jika kita bertumpu kepada waktu yang bereproduksi, dan menjadikan ke-aku-an ku menjadi dia. Bagaimana dengan seseorang yang berbuat jahat di masa lalu. Apakah orang itu sah untuk membela dirinya bahwa orang yang berbuat jahat di masa lalu itu adalah orang lain?. Saya rasa itu tidak mungkin terjadi, karena ke-dia-an kita ini berasal dari keakuan kita. Maka ke aku an kita sebagai aku primer mempertanggung jawabkan dia sebagai yang berasal dari aku primer. Untuk itu, kita tidak bisa lepas dari masu lalu kita, apa yang di perbuat ke-dia-an kita di masa lalu berdampak pada aku yang baru. Karena waktu itu bereproduksi bukan menciptakan, maka ia akan menjadikan ke akuan kita yang telah lewat, sebagai bahan reproduksi. Sehingga kejahatan orang yang dilakukan di masa lalu akan selalu menjadi tanggung jawabnya setiap kali baru.

Karena rupanya kita bereksistensi di tengah eksistensi sosial dan ekologi atau kita yang bergerak di tengah gerak-gerak, maka kejahatan itu juga harus dipertanggung jawabkan secara sosial dan ekologi. Untuk itu ada hukum yang mengatur lalu lintas gerak eksistensial kita di tengah gerak sosial dan ekologi itu. Hukum itu idealnya tidak boleh fana, tetapi ia tetap dan tidak boleh bergerak, hukum harus adalah ruang. Dan karena ia ruang, kosmos bergerak di dalamnya. Hukum meliputi dan selalu elastis menampakkan nilainya di segala ruang, medium waktu ke-aku-an ku menjadi baru.

Tetapi rupanya pada perkembangannya, gerak manusia itu tergolongkan antara gerak anggota ekologi lainnya, ditambah manusia adalah makhluk yang sadar, manusia membuat penggolongan diri dari gerak makhluk dan ekologi lainnya, ini menyebabkan hukum itu menjadi kompleks dan dipaksa untuk bergerak atau digerakkan oleh manusia. Sehingga hukum itu juga mengelompok. Ada hukum yang di buat oleh manusia untuk manusia  dan hukum yang mengatur manusia dan ekologi. Pada akhirnya manusia terperangkap pada hukum yang berpotensial. Atau hukum yang digerakkan oleh manusia yang bergerak. Maka kemudian hukum itu tidak elastis melainkan dikendalikan oleh aku yang bereproduksi sehingga hukum itu juga mengalami reproduksi dan hukum itu mengalami kebaharuan untuk kepentingan manusia.

 Lalu bagaimana hukum yang ideal itu?.

Hukum itu harus tetap dan selalu mendahului gerak,  dan yang bergerak, bergerak pada hukum yang tentu mendahului gerak. Hukum seperti ini, masih dijaga dengan baik dan sakral oleh alam. Secara tidak sadar manusia masih memiliki tubuhnya yang menjaga dengan baik hukum ini. beserta alam makrokosmos dan dunia binatang. Sebutlah hukum itu sebagai hukum alam, yang tidak mungkin ramah terhadap perbuatan jahat terhadap alam. Seperti seseorang yang melukai tubuhnya dan tubuh orang lain. maka alam akan dengan sendirinya menghukum orang itu tanpa persidangan. Seperti persidangan meja hijau ala manusia.

 Tetapi hukum alam itu sendiri rupanya bukanlah hukum yang tidak bergerak, tetapi hukum ini bergerak bersama dengan alam itu sendiri. Alam rupanya juga bereproduksi dan manusia baru di tengah alam yang juga baru di waktu. Itu berarti alam juga di liputi oleh ruang, maka hukum alam yang universal itu juga tunduk pada hukum yang lebih tinggi, hukum yang mengatur lalu lintas alam. Yakni hukum tetap, keadilan tertinggi, keabadian, tujuan dari gerak manusia.

Karena hukum ideal itu tidak bergerak maka ia tidak ada dimana-mana dan tidak akan kemana-mana. Tetapi karena tetap, hukum itu ada. Tetapi apabila hukum itu tidak bergerak bagaimana ia mengatur setiap gerak yang berwaktu dan pada ruang.

Hukum itu berupa pusat juga poros, seperti geraknya seorang pelaut atau penjelajah yang bertumpu pada sistem arah yang berpusat di kutub utara, Matahari, bintang, arah angin, dsb. Karena hukum itu mendahului pengalaman dan menjadi akhir dari sebuah pengalaman maka hukum itu harus tetap, independen juga apriori.

Dalam tradisi ontologis. Kita bisa menyebut hukum itu sebagai hukum Ada yang mengatur gerak berada-nya ada yang mengada menuju Ada yang berada pada dirinya sendiri. Maka hukum itu tak lain adalah wajib hukum yang berada pada berbagai dimensi, karena dalam mediumnya, manusia mengada di dalam ada yang mengada pada dirinya sendiri. Subjek siapapun dan apapun itu, tunduk kepada hukum Ada.

 Tetapi bagaimana kita bisa menyadari hukum itu?.

Hukum itu sebenarnya selalu nampak kepada kita setiap kali berada pada mengada di waktu sekarang dan ruang di sini. Dalam setiap pengalaman dan proses empiris, hukum itu menampak kepada kita sebelum hitungan/durasi waktu mengada. Kita selalu di arahkan kemana seharunya dan sebaiknya memilih pertanggung jawaban moral dan hukum yang adil. Tetapi karena hukum itu menampak kepada kita dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Maka sesungguhnya hanya  manusia yang bisa begitu cepat yang mampu menyadari penampakan itu. Manusia yang cepat adalah manusia yang melunturkan dirinya dari dosa ( tindakan yang melemahkan diri ) dengan tobat lalu mengarahkan dirinya pada ke zuhudan terhadap yang duniawi( baca : buatan) yang membuat manusia menjadi lambat dan hanya menyadari hukum itu lewat penyesalan setelah pengalaman.

Maka hanya manusia yang menyadari dirinya sebagai Aku ( aku yang berfilsafat) yang mampu menyadari berbagai hal yang abstrak dan utuh seperti hukum tersebut. Sedangkan ke-dia-an kita adalah aku yang dulu yang telah mengalami serpihan hukum-hukum yang menampak kepada kita. Sungguh, alangkah ruginya orang-orang yang tidak bercengkrama dengan ke-dia-an nya.

Aku yang berfilsafat adalah aku yang bebas. Kebebasan itu adalah paham hukum ideal yang mampu diraih bila aku lepas dari kecemasan aksidental ( cemasnya aku karena akan baru dan lupa juga senjang dengan aku yang dulu). Maka Aku yang berfilsafat akan berkesempatan untuk menjadi paham dengan segala sesuatunya.

Read More

Selasa, 20 Juni 2017

Filsafat Agama : Tentang Cermin

Tentang Cermin
Oleh Ma’ruf Nurhalis (filsafat agama)



Mengisi tema puasa dan transformasi sosial pada perlombaan esai gema dan semarak ramadhan, DEMA fakultas Ushuluddin,filsafat dan politik UIN Alauddin.

Silahkan di nikmati.

Cermin berbentuk datar di lemari atau di mana saja, sangat membantu kita agar percaya diri. Aku sendiri selalu berada dihadapannya saat aku ingin melihat diriku. Selepas membersihkan diri, aku bersolek, ria, bersisir manja-manja dan merapikan pakaian di hadapannya.
Barangkali, tidak ada yang salah dengan rutinitas bercermin itu. Tapi sesungguhnya, bercermin itu sebenarnya aneh. Bila di sadari, saat bercermin kita sedang melepaskan dan melupakan ke akua kita sebagai diri yang asli. Dan terpaku kapada aku yang berada di balik cermin itu yang hanyalah pantulan tubuhku karena terbentuk oleh dukungan cahaya?, biasa di sebut ilusi optik.

Perhatikanlah dan cobalah untuk berdiri di hadapan cermin datar yang di sinari cahaya secukupnya. Cobalah tatap dirimu di dalam cermin itu. jika di tatap lama-lama, maka mungkin kau akan jatuh cinta dengan dia yang berada di balik cermin itu. tetapi kau bukan sedang mencintai dirimu tetapi kau mencintai bentuk diri di balik cermin itu. barangkali, suasana bercermin seperti itulah yang di rasakan Narsius(kisah Yunani kuno) sehingga ia jatuh cinta dengan wajahnya sendiri.

Cobalah sejenak untuk berpikir, sempatkanlah untuk mengingat, pernahkan kau merasakan jatuh cinta. Bila dirimu telah melewati masa puber. Besar nian Jatuh cinta itu sudah di rasakan. Namun, seperti keadaan bercermin, kita hanya pandai jatuh cinta dengan apa yang berada di hadapan kita. Seperti seorang lelaki yang sibuk mengejar cinta seorang perempuan di hadapannya, dan seorang perempuan yang sibuk mengejar kecantikan untuk di puji orang di hadapannya, juga manusia umumnya menyibukkan diri untuk segala sesuatu di luar dirinya. Kita memang hanya pandai mencintai apa yang berada di luar diri kita.

Bercermin adalah proses di mana kita sedang mengurus kepercayaan diri kita dengan ilusi agar mendapat pujian. Kita selalu mempercantik diri di depan cermin bukan untuk diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan orang lain. cermin itu akan membuat diri kita menjadi palsu. Karena saat bercermin kita hanya sedang melihat pantulan diri kita yang asli. Dan orang hanya melihat tubuh kita bukan apa yang ada di balik tubuh itu.

Sekarang sudikah kita untuk melepaskan diri dari rutinitas menghadap di cermin. Dan bisakah kita menjadikan diri kita sendiri sebagai cermin. Sebutlah cermin itu adalah akal dan intuisi kita. Proses bercermin yang di antarai oleh pertanyaan, “siapakah aku?, dari mana kah aku?, dan kemanakah gerangan aku?”, lalu biarkan anda menjawabnya sendiri. Itulah bercermin tanpa pantulan dari cahaya Indrawi. Tanpa terlena oleh ilusi optik.
Mumpung, kita masih berada di bulan Ramadhan, saat di mana kita sedang rajin untuk berpuasa (menahan) dari kebutuhan nabati dan hewaniyah. Cobalah juga untuk menahan diri agar tidak menjadi subjek palsu yang selalu saja mengandalkan cermin untuk menjadi manusia.

Puasa adalah proses di mana manusia mestinya mengadakan dialog, juga dialektika antara ke-aku-an dan ke-dia-an lewat lontaran pertanyaan esensial. Puasa adalah cermin dalam bentuk lebih universal. Kita berdiri di hadapan cermin tanpa cahaya, kecuali cahaya intelek. Karena cermin itu tidak berbentuk sebagai mana cermin di rumahmu. Tapi cermin itu berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang melatih kita untuk menjadi subjek yang sadar diri.

Marilah menjalani sisa puasa di bulan Ramadhan dengan selalu menahan ke-aku-an kita pada jalan yang lurus. Juga, lepaskanlah cermin aksidental yang membuat-mu sibuk untuk menjadi orang lain. rajin-rajinlah untuk bercermin kepada diri sendiri. Cobalah untuk menjadi subjek yang sadar diri, yang sibuk pada hal-hal yang esensial.

Barangkali dengan maraknya subjek yang sadar diri, kita tidak hidup lagi di luar rumah dengan mengandalkan cermin di kamar atau di lemari. Tapi mengandalkan kebebasan kita agar melihat dunia ini lebih luas tanpa bantuan cermin. Karena perubahan sosial yang ideal di awali dari membersihkan diri dari segala bentuk kepalsuan, marilah mengawalinya dengan membersihkan diri di bulan puasa ini.
Read More

Sabtu, 17 Juni 2017

Jangan jadi hewan kampungan

 


Karena pohon tegak bila akar tidak mati. jadi sistem tidak jalan bila sumbat. kedamaian itu air asi. tapi sistem lancar kalau ada jabat.
Boleh teriak orang karena kuasa. tapi orang berkuasa pandai puasa. hati dan akal harus punya jasa. jangan sampai kebodohan  buat diri-diri merana.
Butuhlah orang bertindak. tapi hindarkan kepala bertanduk.
Tindak dengan cita-cita tinggi. bukan sesaat dan cari lubang laksana tikus kelaparan. bukan mental kecoa. Serangga yang mudah terbalik urung bangkit. bukan pula Belalang Sembah. Kerjanya hanya Menyembah. Bukan pula Anjing. Jadi kenal tuan kalau ajak sana-sini. bukan pula kontruksi manusia. Karena pikiran bisa lampaui Aristoteles. intinya jangan Jadi hewan kampungan.
Read More

Jumat, 16 Juni 2017

Secarik Refleksi :Agama dan Larangan

Selamat datang pembaca kami yang budiman, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Tulisan saya kali ini akan mengajak pembaca berdikusi tentang posisi alasan kenapa larangan Tuhan musti ada. Ini hanya refleksi, benar dan kurang benarnya mari benahi.
selamat ber-refleksi!
dosa haram pahala
Sumber: guidedislam.com
Haram bukan soal larangan tuhan, tapi itu tuntutan sosial!

Saya mulai bertanya tanya, kenapa dalam islam begitu banyak larangan dalam perbuatan. Larangan yang tampaknya membatasi gerak dan kebebasan ini nyatanya tidaklah benar benar membebani umat yang menjalani. Justru sebaliknya para penganut ajaran islam justru enjoy saja dalam menjalani larangan tersebut. bahkan kalau mau melihat sisi lain dari larangan ini, maka keteraturan dan kedamaian sera control terhadap hidup akan berjalan mudah.

Sesuatu yang Nampak seolah olah membatasi perilaku manusia ini tidaklah berat dijalani. Mengapa? karena yang di larang dalam islam pun sebenarnya adalah segala sesuatu yang pada dasarnya berhubungan dengan si pelaku perbuatan tersebut. tidak ada hubunganya dengan Tuhan, kecuali sesuatu yang memang menjadi keharusan buat-Nya yaitu ibadah.

Ibadah juga sebenarnya hanya merupakan perintah kecil dari Tuhan yang musti dilaksanakan. Sebagai bentuk balas budi manusia kepada tuhan oleh karena segala pemberiannya. Balas budi ini tentu akan sangat tidak enak dilakukan kalau diperintahkan oleh seseorang yang pernah berbuat baik kepada kita. Terlebih dalam hal ini yang memberi manusia kehidupan, Tuhan. Ini juga hanya berlaku bagi manusia yang mengaku hamba Tuhan, sebagai hamba maka perintah Tuhan (kewajiban) merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia.

Kira kira begini tipologinya. Saya memiliki seorang teman. Dia selalu saja ada untuk saya, sebut saja misalnya saya numpang di rumahnya, tinggal dengan keluarganya karena saya melarat. Segala kebutuhan hidup di tanggung, dan kalau si teman butuh bantuan saya selalu berusaha untuk membantu. Di sana ada relasi timbal balik antara saya dan teman saya tersebut. relasi ini diikat oleh karena saling membutuhkan dan saling hutang budi.

Namun yang sebenarnya paling banyak berhutang budi di antara kami adalah saya, karena kelangsungan hidup saya bergantung secara fisik kepada dia. Olehnya secara inheren saya akan berfikir bahwa kalau bukan karena dia, saya sudah mati mungkin saja. Maka dari itu, apapun permintaan teman saya tersebut saya selalu memunuhi sebisa mungkin. Akan ada perasaan tidak enak kalau saya menolak permintaanya.

Nb: contoh ini bisa saja salah kamprah, tapi secara intuitif, kira kira begitulah yang terjadi kalau kita dalam posisi yang sama.

Dalam konteks tuhan, sifat kebergantungan seperti ini berlaku juga. Bahkan dalam konteks yang lebih besar. Bagi yang mengaku hamba maka permintaan tuhan tersebut musti dijalankan, apapun alasanya. Tapi lagi lagi dalam konteks itu, tentu tidak dapat disangkal, dan musti dilaksanakan.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi adalah segala larangan tersebut selalu kembali kepada manusia itu sendiri. Tidak mungkin suatu larangan ada kalau tidak ada hubunganya dengan diri sendiri juga orang lain. Dan yang terpenting pula menjadi indikator adalah faktor manfaat dan celakanya bagi si manusia itu sendiri. Atau dalam bahasa agamanya, kalau lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, sebaiknya tinggalkan perbuatan tersebut. dan pada kutub yang paling ekstrim, haram hukumnya perbuatan itu.

Dalam koridor tersebutlah, takaran larangan perbuatan manusia dibatasi olen orang lain, seperti yang pernah dikatakan oleh James Smith yang kira kira bunyinya “kebebasan manusia dibatasi oleh orang lain”. Faktor kenyamanan disini sangat diperhatikan. Kenyamanan untuk diri sendiri terlebih untuk orang lain. Terlebih sebagai mahluk sosial, kita tidak mungkin bisa ada tanpa orang lain, karena prasyarat mengada bagi manusia adalah adanya manusia yang lain.

Misalnya, kenapa mencuri itu haram, karena itu merugikan orang lain. Terlebih lagi dapat merugikan diri sendiri, karena berpotensi digebukin satu kampung. Dalam sejarah mencuri, terkisahkan telah banyak pelaku pencurian yang babak belur diamuk massa. Ini tentu selain merugikan orang lain juga merugikan diri sendiri. Kecuali si pencuri ikhlas dikroyok setelah mencuri dan merasa kroyokan itu tidak merugikan dan membahayakan diri sendiri, mungkin mencuri akan menjadi diperbolehkan.

Atau kalau saja mencuri itu malah saling mengungtukan, maka mungkin saja akan menjadi halal. Akan tetapi dalam konteks ini nampaklah bukan saling menguntungkan, tapi merugikan. Okelah kalau si pencuri di untungkan, tapi hanya sesaat saja. Kalaupun juga di untungkan toh ujung-ujungnya merugi juga. Kecuali ya pemcuri uang rakyat, kalo itung itung mudaratnya, mungkin paling dikit diantara jenis mencuri yang lain. Bahkan kalo di hukumpun bisa dapat fasilitas, ah enak bener gan..

NB: kalau anda ingin mencuri, maka berdasilah. Hanya pencuri berdasilah yang bisa merasakan nikmatnya mencuri. Ini bukan hoax. Cobalah!

Demikian pentingya memahami bahwa salah satu konteks penyebab pengharaman adalah berkaitan erat dengan masalah relasi sosial. Masalah dosa lebih banyak disebabkan karena ketidakteraturan hubungan sosial, bukan masalah Tuhan. Tuhan dalam hal apapun tidak pernah bergantung pada manusia. bahkan tidak sholatpun, nggak ngefek buat Tuhan.

Olehnya bisa dipahami itu bukanlah dosa. Kok bisa? Tuhan tidak ngefek dengan ibadah manusia, tindakan manusia juga toh kembali kepada manusia. jadi tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Tindakan manusia ya manusia sendiri yang tanggung. Manusia bukan tidak tau resiko, tapi mereka nyaman dengan yang dihadapi. Kalau tindakan manusia bergantung pada dirinya dan ia rela, maka itu bukan dosa.

Toh, Tuhan mau apa dengan dosa manusia. kan nggak ada. Kalo dari awal tuhan tidak butuh ibadah manusia, terus tuhan mau hukum manusia karena ibadah. Kan nggak masuk akal. Yah sudahlah, tidak layak kiranya menyoal hubungan individual dengan Tuhan, biarlah ia mengalir dalam senyap.

Satu hal yang menurut saya perlu kita kaji kembali bahwa segala larangan dalam islam tidak pernah terlepas dari dua kutub yang berusaha dilindungi. yaitu relasi sosial yang berlangsung antara sesame manusia. larangan dan pengharaman tidak luput dari dua kutub tersebut. hanya dengan control dalam dua hal tersebut sajalah hidup dapat berjalan dengan damai.
Read More