Selasa, 20 Juni 2017

Filsafat Agama : Tentang Cermin

Tentang Cermin
Oleh Ma’ruf Nurhalis (filsafat agama)



Mengisi tema puasa dan transformasi sosial pada perlombaan esai gema dan semarak ramadhan, DEMA fakultas Ushuluddin,filsafat dan politik UIN Alauddin.

Silahkan di nikmati.

Cermin berbentuk datar di lemari atau di mana saja, sangat membantu kita agar percaya diri. Aku sendiri selalu berada dihadapannya saat aku ingin melihat diriku. Selepas membersihkan diri, aku bersolek, ria, bersisir manja-manja dan merapikan pakaian di hadapannya.
Barangkali, tidak ada yang salah dengan rutinitas bercermin itu. Tapi sesungguhnya, bercermin itu sebenarnya aneh. Bila di sadari, saat bercermin kita sedang melepaskan dan melupakan ke akua kita sebagai diri yang asli. Dan terpaku kapada aku yang berada di balik cermin itu yang hanyalah pantulan tubuhku karena terbentuk oleh dukungan cahaya?, biasa di sebut ilusi optik.

Perhatikanlah dan cobalah untuk berdiri di hadapan cermin datar yang di sinari cahaya secukupnya. Cobalah tatap dirimu di dalam cermin itu. jika di tatap lama-lama, maka mungkin kau akan jatuh cinta dengan dia yang berada di balik cermin itu. tetapi kau bukan sedang mencintai dirimu tetapi kau mencintai bentuk diri di balik cermin itu. barangkali, suasana bercermin seperti itulah yang di rasakan Narsius(kisah Yunani kuno) sehingga ia jatuh cinta dengan wajahnya sendiri.

Cobalah sejenak untuk berpikir, sempatkanlah untuk mengingat, pernahkan kau merasakan jatuh cinta. Bila dirimu telah melewati masa puber. Besar nian Jatuh cinta itu sudah di rasakan. Namun, seperti keadaan bercermin, kita hanya pandai jatuh cinta dengan apa yang berada di hadapan kita. Seperti seorang lelaki yang sibuk mengejar cinta seorang perempuan di hadapannya, dan seorang perempuan yang sibuk mengejar kecantikan untuk di puji orang di hadapannya, juga manusia umumnya menyibukkan diri untuk segala sesuatu di luar dirinya. Kita memang hanya pandai mencintai apa yang berada di luar diri kita.

Bercermin adalah proses di mana kita sedang mengurus kepercayaan diri kita dengan ilusi agar mendapat pujian. Kita selalu mempercantik diri di depan cermin bukan untuk diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan orang lain. cermin itu akan membuat diri kita menjadi palsu. Karena saat bercermin kita hanya sedang melihat pantulan diri kita yang asli. Dan orang hanya melihat tubuh kita bukan apa yang ada di balik tubuh itu.

Sekarang sudikah kita untuk melepaskan diri dari rutinitas menghadap di cermin. Dan bisakah kita menjadikan diri kita sendiri sebagai cermin. Sebutlah cermin itu adalah akal dan intuisi kita. Proses bercermin yang di antarai oleh pertanyaan, “siapakah aku?, dari mana kah aku?, dan kemanakah gerangan aku?”, lalu biarkan anda menjawabnya sendiri. Itulah bercermin tanpa pantulan dari cahaya Indrawi. Tanpa terlena oleh ilusi optik.
Mumpung, kita masih berada di bulan Ramadhan, saat di mana kita sedang rajin untuk berpuasa (menahan) dari kebutuhan nabati dan hewaniyah. Cobalah juga untuk menahan diri agar tidak menjadi subjek palsu yang selalu saja mengandalkan cermin untuk menjadi manusia.

Puasa adalah proses di mana manusia mestinya mengadakan dialog, juga dialektika antara ke-aku-an dan ke-dia-an lewat lontaran pertanyaan esensial. Puasa adalah cermin dalam bentuk lebih universal. Kita berdiri di hadapan cermin tanpa cahaya, kecuali cahaya intelek. Karena cermin itu tidak berbentuk sebagai mana cermin di rumahmu. Tapi cermin itu berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang melatih kita untuk menjadi subjek yang sadar diri.

Marilah menjalani sisa puasa di bulan Ramadhan dengan selalu menahan ke-aku-an kita pada jalan yang lurus. Juga, lepaskanlah cermin aksidental yang membuat-mu sibuk untuk menjadi orang lain. rajin-rajinlah untuk bercermin kepada diri sendiri. Cobalah untuk menjadi subjek yang sadar diri, yang sibuk pada hal-hal yang esensial.

Barangkali dengan maraknya subjek yang sadar diri, kita tidak hidup lagi di luar rumah dengan mengandalkan cermin di kamar atau di lemari. Tapi mengandalkan kebebasan kita agar melihat dunia ini lebih luas tanpa bantuan cermin. Karena perubahan sosial yang ideal di awali dari membersihkan diri dari segala bentuk kepalsuan, marilah mengawalinya dengan membersihkan diri di bulan puasa ini.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon