Selamat datang pembaca kami yang budiman, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Tulisan saya kali ini akan mengajak pembaca berdikusi tentang posisi alasan kenapa larangan Tuhan musti ada. Ini hanya refleksi, benar dan kurang benarnya mari benahi.
selamat ber-refleksi!
Sumber: guidedislam.com |
Haram bukan soal larangan tuhan, tapi itu tuntutan
sosial!
Saya mulai bertanya tanya, kenapa dalam islam begitu banyak
larangan dalam perbuatan. Larangan yang tampaknya membatasi gerak dan kebebasan
ini nyatanya tidaklah benar benar membebani umat yang menjalani. Justru
sebaliknya para penganut ajaran islam justru enjoy saja dalam menjalani
larangan tersebut. bahkan kalau mau melihat sisi lain dari larangan ini, maka
keteraturan dan kedamaian sera control terhadap hidup akan berjalan mudah.
Sesuatu yang Nampak seolah olah membatasi perilaku manusia
ini tidaklah berat dijalani. Mengapa? karena
yang di larang dalam islam pun sebenarnya adalah segala sesuatu yang pada
dasarnya berhubungan dengan si pelaku perbuatan tersebut. tidak ada hubunganya
dengan Tuhan, kecuali sesuatu yang memang menjadi keharusan buat-Nya yaitu
ibadah.
Ibadah juga sebenarnya hanya merupakan perintah kecil dari
Tuhan yang musti dilaksanakan. Sebagai bentuk balas budi manusia kepada tuhan
oleh karena segala pemberiannya. Balas budi ini tentu akan sangat tidak enak
dilakukan kalau diperintahkan oleh seseorang yang pernah berbuat baik kepada
kita. Terlebih dalam hal ini yang memberi manusia kehidupan, Tuhan. Ini juga hanya berlaku bagi manusia yang
mengaku hamba Tuhan, sebagai hamba maka perintah Tuhan (kewajiban) merupakan
sesuatu yang inheren dalam diri manusia.
Kira kira begini tipologinya. Saya memiliki seorang teman.
Dia selalu saja ada untuk saya, sebut saja misalnya saya numpang di rumahnya,
tinggal dengan keluarganya karena saya melarat. Segala kebutuhan hidup di
tanggung, dan kalau si teman butuh bantuan saya selalu berusaha untuk membantu.
Di sana ada relasi timbal balik antara saya dan teman saya tersebut. relasi ini
diikat oleh karena saling membutuhkan dan saling hutang budi.
Namun yang sebenarnya paling banyak berhutang budi di antara
kami adalah saya, karena kelangsungan hidup saya bergantung secara fisik kepada
dia. Olehnya secara inheren saya akan berfikir bahwa kalau bukan karena dia,
saya sudah mati mungkin saja. Maka
dari itu, apapun permintaan teman saya tersebut saya selalu memunuhi sebisa
mungkin. Akan ada perasaan tidak enak
kalau saya menolak permintaanya.
Nb: contoh ini bisa
saja salah kamprah, tapi secara intuitif, kira kira begitulah yang terjadi
kalau kita dalam posisi yang sama.
Dalam konteks tuhan, sifat kebergantungan seperti ini
berlaku juga. Bahkan dalam konteks yang lebih besar. Bagi yang mengaku hamba
maka permintaan tuhan tersebut musti dijalankan, apapun alasanya. Tapi lagi
lagi dalam konteks itu, tentu tidak dapat disangkal, dan musti dilaksanakan.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi adalah segala larangan
tersebut selalu kembali kepada manusia itu sendiri. Tidak mungkin suatu
larangan ada kalau tidak ada hubunganya dengan diri sendiri juga orang lain.
Dan yang terpenting pula menjadi indikator adalah faktor manfaat dan celakanya
bagi si manusia itu sendiri. Atau dalam bahasa agamanya, kalau lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya, sebaiknya tinggalkan perbuatan tersebut. dan pada
kutub yang paling ekstrim, haram hukumnya perbuatan itu.
Dalam koridor tersebutlah, takaran larangan perbuatan
manusia dibatasi olen orang lain, seperti yang pernah dikatakan oleh James Smith
yang kira kira bunyinya “kebebasan manusia dibatasi oleh orang lain”. Faktor
kenyamanan disini sangat diperhatikan. Kenyamanan untuk diri sendiri terlebih
untuk orang lain. Terlebih sebagai mahluk sosial, kita tidak mungkin bisa ada
tanpa orang lain, karena prasyarat mengada bagi manusia adalah adanya manusia
yang lain.
Misalnya, kenapa mencuri itu haram, karena itu merugikan
orang lain. Terlebih lagi dapat merugikan diri sendiri, karena berpotensi
digebukin satu kampung. Dalam sejarah mencuri, terkisahkan telah banyak pelaku
pencurian yang babak belur diamuk massa. Ini tentu selain merugikan orang lain
juga merugikan diri sendiri. Kecuali si pencuri ikhlas dikroyok setelah mencuri
dan merasa kroyokan itu tidak merugikan dan membahayakan diri sendiri, mungkin
mencuri akan menjadi diperbolehkan.
Atau kalau saja mencuri itu malah saling mengungtukan, maka
mungkin saja akan menjadi halal. Akan tetapi dalam konteks ini nampaklah bukan
saling menguntungkan, tapi merugikan. Okelah kalau si pencuri di untungkan,
tapi hanya sesaat saja. Kalaupun juga di untungkan toh ujung-ujungnya merugi
juga. Kecuali ya pemcuri uang rakyat, kalo itung itung mudaratnya, mungkin
paling dikit diantara jenis mencuri yang lain. Bahkan kalo di hukumpun bisa
dapat fasilitas, ah enak bener gan..
NB: kalau anda ingin
mencuri, maka berdasilah. Hanya pencuri berdasilah yang bisa merasakan
nikmatnya mencuri. Ini bukan hoax. Cobalah!
Demikian pentingya memahami bahwa salah satu konteks
penyebab pengharaman adalah berkaitan erat dengan masalah relasi sosial.
Masalah dosa lebih banyak disebabkan karena ketidakteraturan hubungan sosial,
bukan masalah Tuhan. Tuhan dalam hal apapun tidak pernah bergantung pada
manusia. bahkan tidak sholatpun, nggak
ngefek buat Tuhan.
Olehnya bisa dipahami itu bukanlah dosa. Kok bisa? Tuhan tidak ngefek dengan ibadah manusia, tindakan
manusia juga toh kembali kepada manusia. jadi tidak ada hubungannya dengan Tuhan.
Tindakan manusia ya manusia sendiri yang tanggung. Manusia bukan tidak tau
resiko, tapi mereka nyaman dengan yang dihadapi. Kalau tindakan manusia
bergantung pada dirinya dan ia rela, maka itu bukan dosa.
Toh, Tuhan mau apa
dengan dosa manusia. kan nggak ada.
Kalo dari awal tuhan tidak butuh ibadah manusia, terus tuhan mau hukum manusia
karena ibadah. Kan nggak masuk akal.
Yah sudahlah, tidak layak kiranya menyoal hubungan individual dengan Tuhan,
biarlah ia mengalir dalam senyap.
Satu hal yang menurut saya perlu kita kaji kembali bahwa
segala larangan dalam islam tidak pernah terlepas dari dua kutub yang berusaha
dilindungi. yaitu relasi sosial yang berlangsung antara sesame manusia.
larangan dan pengharaman tidak luput dari dua kutub tersebut. hanya dengan
control dalam dua hal tersebut sajalah hidup dapat berjalan dengan damai.