Rabu, 20 Januari 2016

Nyaian pecinta kesendirian.


Dan aku melihat mereka tertawa, tertawa dalam keramaian. Tapi aku tersudut, tersudutkan oleh ketidak tahuan. Aku merasa sepi, dan aku merasa aneh. Aku rasanya sebagai manusia super atau manusia Hulk. Ingin kubasmi saja semua yang ada di hadapanku. Lalu aku jatuh dan tak ada yang mengetahuinya.
Sendiri itu adalah luka. Luka yang tergores tanpa sungkan. Ada sebagai rasa sakit. Rasa sakit yang abadi, rasa sakit tanpa sembuh. Kesendirian itu adalah pesakitan. Tapi adakah kesakitan itu membawa nikmat. Nikmat selalu muncul pada pesakitan kesendirian. Seperti mata air yang merekah di balik bebatuan yang angkuh. Muncul sebagai sebuah kenikmatan, kenikmatan dalam arti yang sebenarnya.
Aku menyudutkan diri. Membiarkan sepi menghimpit jiwaku. Hanya ada angin yang sepoi menyapaku. Menyapaku dengan senyuman. Senyuman kegelian yang mengucapkan selamat datang, selamat datang penyendiri. Di alam yang hening.
Adakah yang ingin ikut bersamaku. Bernyanyi dalam keheningan. Tak ada yang mendengar kecuali aku, Aku yang ada di dalam diriku. Dan aku tahu siapakah subyek yang memanggilku tadi. Mengataiku sebagai pecundang lingkaran eksistensi. Di sinilah aku bersamanya. Tak ada topeng, dan tak tameng.
Aku berteriak. Adakah ribut itu menghentikanku. Tidak, ribut semakin membuatku terdiam, dan hanya terdiam yang dapat memeriahkan suasana sepi ini. Sepi yang tersepikan. Sepi tingkat atas. Adakah aku ingin kabur. Tidak, karena kabur berarti aku semakin tenggelam, tenggelam kedasar, dasar yang tanpa dasar.
Nah, di manakah aku kemudian. Di sanalah yang tanpa arah, disanalah yang tanpa sandar. Kalang kabut oleh kabut sepi. Dan aku bingung, mengapa aku mengarang semua ini. Adakah semua ini nyata. Adakah semua ini terbaca. Sepi ini telah membuatku gila. Gila secara sistematis.
Aku ingin berhenti, tapi sudahlah aku telah terhipnotis oleh kehendak bebas. Pada perintahnya aku mengatakan, “hancurkan aku”. Tapi aku tak ingin menjadi serpihan. “Hancurkan aku” maksudku “aku ingin melawan”. Apa arti semua ini, yah, aku ingin melawan. Melawan setiap kawan, membasmi setiap lawan.
Aku ingin tertawa rasanya, tapi aku tahu, aku juga ingin menangis. Apa arti semua ini. Kesenjangan telah menggerogoti jiwaku. Dan aku berdiri di tengahnya. Pada titik itulah aku sepi, pada titik itulah akhirnya hening. Dan aku terdiam di sana sebagai seorang pecundang. Pecundang yang terbingungkan oleh keadilan tanpa nilai baik. Dan aku ingin meledak saja. dan aku meninggalkan waria keadilan. Menuju perawan keadilan.

Apakah aku ini sebenarnya.? Dan aku bertanya. Tapi tak ada jawaban. Kutanya dunia apakah kau sebenarnya. Dunia menoleh kearah yang lain. Baiklah alam semesta. Apakah kau sebenarnya. Tapi tak ada jawaban. Apalagi “mengapa” dan apalagi “ Bagaimana”. Maka sepilah jawabannya. Maka kebungkamanlah jawabnya.

Maka pada titik tanya itulah, aku berada. Dan kumohon sepi dapat membuka rahasianya. Dan biarkan aku tercelup di sana. Terperangkap di sana. Mendulang jawab. Jawab yang sebenarnya jawaban. Aduh. Kuakhiri semua ini namun kau harus tahu. Sepi tetap menyiksaku. Dan aku ingin seperti ini selamanya. Dan pada saat kau membacanya. Kepalaku sedang di penuhi ragu, kepalaku sedang mencari jalan. Jika kau pikir aku gila. Maka aku berterima kasih. Karena aku bisa menuju kesana. Tak apalah, karena aku telah menyerahkan diriku pada kegilaan. Apakah ada yang mau bergabung dengan misi kemanusiaan ini. Tapi aku ingin sendiri saja. dan carilah jalanmu. Jalan yang tak akan kau tahu kapan kau akan mendapatkannya.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon