Dan aku melihat
mereka tertawa, tertawa dalam keramaian. Tapi aku tersudut, tersudutkan oleh
ketidak tahuan. Aku merasa sepi, dan aku merasa aneh. Aku rasanya sebagai
manusia super atau manusia Hulk. Ingin kubasmi saja semua yang ada di
hadapanku. Lalu aku jatuh dan tak ada yang mengetahuinya.
Sendiri itu
adalah luka. Luka yang tergores tanpa sungkan. Ada sebagai rasa sakit. Rasa sakit
yang abadi, rasa sakit tanpa sembuh. Kesendirian itu adalah pesakitan. Tapi adakah
kesakitan itu membawa nikmat. Nikmat selalu muncul pada pesakitan kesendirian. Seperti
mata air yang merekah di balik bebatuan yang angkuh. Muncul sebagai sebuah
kenikmatan, kenikmatan dalam arti yang sebenarnya.
Aku menyudutkan
diri. Membiarkan sepi menghimpit jiwaku. Hanya ada angin yang sepoi menyapaku. Menyapaku dengan senyuman. Senyuman kegelian
yang mengucapkan selamat datang, selamat datang penyendiri. Di alam yang
hening.
Adakah yang
ingin ikut bersamaku. Bernyanyi dalam keheningan. Tak ada yang mendengar
kecuali aku, Aku yang ada di dalam diriku. Dan aku tahu siapakah subyek yang
memanggilku tadi. Mengataiku sebagai pecundang lingkaran eksistensi. Di sinilah
aku bersamanya. Tak ada topeng, dan tak tameng.
Aku berteriak. Adakah
ribut itu menghentikanku. Tidak,
ribut semakin membuatku terdiam, dan hanya terdiam yang dapat memeriahkan
suasana sepi ini. Sepi yang tersepikan. Sepi tingkat atas. Adakah aku ingin
kabur. Tidak, karena kabur berarti aku semakin tenggelam, tenggelam kedasar,
dasar yang tanpa dasar.
Nah, di manakah aku kemudian. Di sanalah yang
tanpa arah, disanalah yang tanpa sandar. Kalang kabut oleh kabut sepi. Dan aku
bingung, mengapa aku mengarang semua ini. Adakah semua ini nyata. Adakah semua
ini terbaca. Sepi ini telah membuatku gila. Gila secara sistematis.
Aku ingin berhenti, tapi sudahlah aku telah
terhipnotis oleh kehendak bebas. Pada perintahnya aku mengatakan, “hancurkan
aku”. Tapi aku tak ingin menjadi serpihan. “Hancurkan aku” maksudku “aku ingin
melawan”. Apa arti semua ini, yah, aku ingin melawan. Melawan setiap kawan,
membasmi setiap lawan.
Aku ingin tertawa rasanya, tapi aku tahu, aku juga
ingin menangis. Apa arti semua ini. Kesenjangan telah menggerogoti jiwaku. Dan aku
berdiri di tengahnya. Pada titik itulah aku sepi, pada titik itulah akhirnya
hening. Dan aku terdiam di sana sebagai seorang pecundang. Pecundang yang
terbingungkan oleh keadilan tanpa nilai baik. Dan aku ingin meledak saja. dan
aku meninggalkan waria keadilan. Menuju perawan keadilan.
Apakah aku ini sebenarnya.? Dan aku bertanya. Tapi
tak ada jawaban. Kutanya dunia apakah kau sebenarnya. Dunia menoleh kearah yang
lain. Baiklah alam semesta. Apakah kau sebenarnya. Tapi tak ada jawaban. Apalagi
“mengapa” dan apalagi “ Bagaimana”. Maka sepilah jawabannya. Maka kebungkamanlah
jawabnya.
Maka pada titik tanya itulah, aku berada. Dan kumohon
sepi dapat membuka rahasianya. Dan biarkan aku tercelup di sana. Terperangkap di
sana. Mendulang jawab. Jawab yang sebenarnya jawaban. Aduh. Kuakhiri semua ini
namun kau harus tahu. Sepi tetap menyiksaku. Dan aku ingin seperti ini selamanya.
Dan pada saat kau membacanya. Kepalaku sedang di penuhi ragu, kepalaku sedang
mencari jalan. Jika kau pikir aku gila. Maka aku berterima kasih. Karena aku
bisa menuju kesana. Tak apalah, karena aku telah menyerahkan diriku pada
kegilaan. Apakah ada yang mau bergabung dengan misi kemanusiaan ini. Tapi aku
ingin sendiri saja. dan carilah jalanmu. Jalan yang tak akan kau tahu kapan kau
akan mendapatkannya.