Sabtu, 23 Januari 2016

Setelah cintaku bertepuk sebelah tangan, aku ber filsafat. ( cerpen filsafat :Kisah Aco ).

Sebuah Cerpen. Beraroma Filsafat.



Kisah ACO.

Setelah cinta bertepuk sebelah tangan, aku ber Filsafat.

Aurorah, berbagai bahasa puitis telah kunyanyikan di hadapanmu. Berbagai rintangan macam Benteng Takhesi telah kulalui. Petikan kecapi dan helaan seruling bambu seromantis dan sesyahdu hening malam sudah kumainkan. Terserang penyakit cinta tingkat tinggi juga sudah ku alami dan hampir merenggut nyawaku. Tapi begitu hari itu tiba, moment yang terpenting sepanjang hidupku, sepanjang hirupan nafasku. Hancur begitu saja ketika kau berkata.

 “Aku tidak bisa bersamamu, lebih baik kita berteman saja.” dan kau tersenyum imut di hadapanku seolah tak terjadi apa-apa. Padahal bagi ku senyuman itu , adalah senyuman raja hutan yang baru saja menyantap mangsanya. Atau itu senyuman beribu tipu dari seorang politisi. Seimut apapun senyuman itu aku terluka karenanya.

Seperti efek domino, rasa terluka itu semakin lama semakin melebar. Aku mulai bertanya mengapa niat cintaku yang suci ini di tolak?. Berbagai teori muncul dari dalam dan luar diriku. Aku mengira memang, Aurorah bukanlah jodohku. Dan teori ini memang teori terkuat atau semacam pelarian yang paling nyaman bagi pecundang cinta. Semacam alibi untuk membesarkan hati, tapi alih-alih membesarkan hati dan keinginan memiliki semakin kuat sebagaimana teori Erich Fromm bahwa “memiliki adalah kategori fundamental manusia, atau Fromm menyebutnya “exsistential having”, aku harus memiliki Aurorah agar aku bisa kembali berada. Tapi sial, ciri-ciri perbandingan dan kontradiksi denganku dan Aurorah juga semakin banyak. hadirlah paradoks. Semacam Sartre aku seperti objek di hadapan subjek Aurorah. Aku tertindas karenanya.

Apalagi jika kudengar pendapat kawanku Bolong. Yang menjelaskan secara sistematis dan statistika, berbagai alasan mengapa aku di tolak. Mulai dari bunyi rasis,

“ aduh Aco, tidak usah moko pacaran sama Aurorah, dari perbedaan namamu saja sungguh tidak cocok, Aco nama kampungan, dan Auorah nama bangsawan. Hmm, tidak cocok sekali, liat sai kuli’nu kayak tommi pantat panci” .

Padahal dia sudah tau, kalau kulitku ini dulu sebenarnya seputih bedak cuman karena keseringan main bola di sawah, karena memang cita-citaku ingin menjadi pemain bola sekaliber David Beckham. Tapi bolong terus saja berlanjut, dan begitu pandainya menilai diriku. Mulai dari rambut dan bentuk wajah yang berantakan katanya macam sudah kena gusur Satpol PP. Tinggi badanku yang katanya tidak pantas di katakan tinggi, jika di ukur di sebut saja pendek badan adalah 150. Dan yang paling menyakitkan, ketika bunyi pyiramida ekonomi ikut melesat dari mulut Bolong.
“ kamu juga tidak punya modal, bagaimana kau bisa bahagiakan Aurorah, bagaimana kalau dia minta di belikan baju. Beli baju cakar saja kau tidak bisa Aco.”

Etika Hedonisme bagi orang tak berada  benar-benar menyakitkan. Tapi aku tetap mencari alibi, Aurorah bukanlah perempuan hedon seperti gambaran Bolong. Aku masih optimis. Aku harus “ to having”.

Tapi lama kemudian ku ketahui, setelah berulang kali berusaha mendekat dan dia tetap tersenyum imut. Aurorah telah menyimpan nama laki-laki lain di dalam hatinya. Begitulah kata Bolong mengomporiku seperti sedang memasak gula merah. Semakin di panaskan semakin aku merasa meleleh.

“ tadi sore Aco, saya melihat Aurorah jalan pulang bersama Wahyu, dan mereka jalan sambil tersenyum, kadang Wahyu membuat Auorah tersipu malu, mereka begitu mesra, seperti sepasang bekicot sawah yang sedang kawin”.

“ sudah cukup bolong” teriakku kesakitan.

Hadirlah sebuah dialektika paradoksal antara aku dan Wahyu. Yang terpolarisasi menjadi antara aku yang laki-laki pendek, jelek, dan kurang beruntung dengan Wahyu yang laki-laki tinggi, tampan dan sempurna memang cocok dengan Aurorah. Atau sebut saja antara kalangan bawah dan kalangan atas. Dan tentu saja anda sudah tau siapa yang mewakili kata bawah dan atas.

Menjadi laki-laki yang serba kekurangan itu memang mengenaskan. tapi aku sendiri tidak mengerti. Di mana para wanita itu mengambil ukuran. Apakah memang ada paham relatif itu. Tetapi mengapa nasib percintaanku, kekuranganku, perbandinganku dengan Wahyu seperti memang sudah mapan, rigor dan ter universalkan. Mengapa ketika menyebut laki-laki pendek, para wanita lalu secara apriori mengkonsepkan kata “jelek” yang lalu berkembang menjadi argumentasi yang lebih kasar. Dan tak usahlah kita memperpanjangkannya.

Kalau anda juga pendek, tentu anda sudah tau bagaimana nasib mempermainkan kita. Mulai dari jika kita baris berbaris. Kita selalu berdiri jauh di belakang, seperti ekor monyet ,ekor sapi dan ekor-ekor yang lebih jelek. Dan memang begitulah kenyataanya, orang pendek mungkin sudah di rancang dari sononya untuk mengekor.

 Jika rambut laki-laki pendek sudah lebat dan jika kita datang ke Barbershop, itu ibarat kita datang ke stadion sepakbola yang di penuhi suporter Persija, dan kita datang duduk di tengah mereka berkostum biru. Mata mereka akan tertuju kearah kita dan memandang dengan sinis dan beribu ejekan terpancar di binar mata mereka. Karena jika orang pendek hendak potong rambut kursi yang biasanya di pakai orang yang tidak pendek itu mesti di modifikasi sedikit, kursinya di putarlah jika kursi yang di pakai adalah kursi putar itu. Di tambahkan papanlah biar tukang cukurnya tidak menunduk, jadi kita duduk diatas papan yang diatas kursi, diatasnya lagi kursi. Bingungkan. Atau jika anda tidak ingin bingung, sekalian kursinya di singkirkan saja, dan orang pendek mesti di cukur sambil berdiri, dan tukang cukurnya yang duduk. Naas sekali.

 Terus berlanjut, tentang nasib orang pendek yang selalu di tolak, oleh badan negara dan perusahaan yang mensyaratkan tinggi badan. Padahal otak yang kumiliki tidaklah pendek. Aku bisa menghafal pancasila dan nama-nama Presiden serta nama-nama Pahlawan. Misalnya jadi tentara yang harus tinggi diatas 165 cm. Padahal tentara yang pendek bisa lebih lincah dari pada yang tinggi, lihatlah Messi ketika mempermainkan Ronaldo, meliuk liku memusingkan lawan. Aku juga jika jadi tentara bisa meliuk liuk seperti Messi. Tapi jadi tentara payung sudah cukuplah, atau jadi polisi tidur bolehlah. tapi Aku curiga dan tidak bisa menerima jika persyaratan ini juga menjadi persyaratan utama yang di tekankan oleh Aurorah dan perempuan yang sependapat dengannya.

Aku menghela nafas, nampaknya aku telah terkena Kebudayaan “diam” yang di lukiskan oleh Paule Fraire. Sebuah konsep tentang manusia yang selalu di rumuskan oleh kelompok tertentu yang secara stuktural memiliki kemungkinan untuk mengekspresikan ideal budayanya. Dalam sejarah memang terlihat bahwa kelompok bawah (itulah nasibku) tidak memperoleh kesempatan secara stuktural untuk menemukan cita-cita kemanusiannya secara verbal ( begitu juga dalam percintaan) dan mewujudakannya secara nyata dalam kehidupannya dan dalam masyarakat. Ini tidak berarti bahwa mereka (termasuklah aku) tidak memiliki kesadaran akan kemanusiannya, tetapi kami ini hanya di hambat secara stuktural untuk mengungkapkan (cinta) gambaran kemanusiaan kami. Disinilah aku terkena kebudayaan “Diam”. Sungguh tragis.

Lama juga aku berpikir, jika sudah terperangkap di dalam kesepian malam. Seperti Telenovela, malam yang begitu galau di beranda rumah sambil memandangi bulan yang kesepian sepertiku. Aku semakin tersudutkan oleh nasib. Nasib memang sedang mempermainkanku, padahal sudah ku ketahui jika Pythagoras sudah jauh mengatakan jika kehidupan ini hanya sebuah permainan. Atau Nietzche yang lebih mengatakan kehidupan adalah “komedi ilahi”.

Yah, kisah cintaku ini ibarat komedi ilahi. Alih-alih tertawa, hiburan Tuhan ini semakin membuatku takzim dan hampir saja Fatalisme. Jika kuperhatikan fenomena di sekitarku. Nampaknya hanya aku saja yang tersiksa oleh cinta. Tentang tetanggaku, daeng Sija yang malah lebih pendek dariku tapi sudah nikah tiga kali, dan katanya mau nambah dua lagi. Atau Daeng Kulle yang wajahnya rupawan, tetapi belum punya pasangan, padahal dia sudah masuk kategori sunnah nikah. Apa ada sebuah rahasia biologis yang belum terungkap, entahlah.

Tapi beda cerita juga, tentang Tetanggaku yang sudah punya istri, tetapi lebih memilih memanjakan robot  burung kakak tuanya. Dia selalu membanggakan cyber kakak tuanya yang berhasil mengucapkan salam. Tetapi amukan istrinya malah tidak pernah di jawab. Atau tetanggaku yang lebih jauh. Lebih suka mengendarai motornya dari pada istrinya, baru saja di kendarai kemasjid untuk sholat pulangnya di cuci lagi. Istri malah tidak pernah di mandiin. Atau Issank kawan sekelasku yang lebih banyak meluangkan waktu dengan nintendonya yang membuatnya terserang penyakit bodoh formal tingkat tinggi. Jika terima raport selalu rangking satu dari belakang, tapi persoalan game, tentu dialah juaranya.

Jika di analisa memang merekalah Homo faber itu yang lebih menggunakan rasio instrumentalnya. Dengan teknologi Mereka membuka intervensi baru terhadap alam. Tetapi bahayanya ketika mereka menjadi homo faber, mereka akan menjadi teknofilia berkembang menjadi teknokrasi, teknologi jadinya mempengaruhi berbagai segi kehidupan, yang kemudian di benci oleh istrinya yang menjadi teknophobia. Lalu jika suami sadar mereka akan menggunakan teknologi secukupnya dengan pertimbangan, 1. Tidak ingin dipanggil Duda, 2. teknologi harus mempertahankan istri agar selalu ada kopi setiap pagi, 3. Mempertahankan keseimbangan ekonomi karena istri jago berhemat. 4. Dan  meningkatkan perkembangan populasi manusia.

Tapi adakah aku semacam mereka, aku tidak pernah mempertimbangkan melihat alam dengan teknologi. Hanya cinta, aku sangat ingin memiliki Aurorah sebagai pasangan, tapi mengapa aku terus di tolak. Padahal kami telah lama saling mengenal. Kami sudah bersama sejak kecil. Aku malah sempat melihatnya membuat eskrim dari tanah liat dan bodohnya kemudian di cicipi, akibat imajinasi yang sangat tinggi. Tapi itu malah semakin membuatku ingin memilikinya, ada hasrat yang bergejolak di dalam diriku, ada kebebsan yang meluap-luap.

Seperti dalam berbagai tema antropologis, manusia hanya menjadi manusia jika ia menjadi bebas. Kebebasan manusia adalah kebebasan historis, harus di capai dengan jalan mengatasi berbagai macam hambatan , baik dari dalam diri manusia maupun dari luar , yaitu dari stuktur –stuktur yang mengkondisikan manusia. seorang yang bebas kata ahli filsafat Antropologi adalah seorang yang mampu menemukan dirinya sendiri dan tidak merupakan ciptaan dari suatu sistem.

Meskipun aku adalah budak cinta. Tetapi bukan cinta yang membuatku menjadi budak, aku mulai menyadari itu, tapi aku ingin melawan stuktur yang memenjarakanku. Aku akan menjadi pahlawan bagi laki-laki yang di katai pendek. Bahwa kami laki-laki pendek juga butuh cinta, butuh di cintai dan di terima dalam stuktur. Tapi bunyinya kedengaran merendahkan orang pendek. Maka dari itu aku akan merubah pola pikir itu.


Dalam cerita selanjutnya. Akau akan mendapatkan cintamu Aurorah. Tapi ada tanya yang lebih menggoda, Ti antrophos estin?. Ingin kuungkap itu bersama cinta yang terus bergelora terhadapmu.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon