Sebuah Cerpen. Beraroma Filsafat.
Kisah ACO.
Setelah
cinta bertepuk sebelah tangan, aku ber Filsafat.
Aurorah, berbagai bahasa puitis telah kunyanyikan
di hadapanmu. Berbagai rintangan macam Benteng Takhesi telah kulalui. Petikan kecapi
dan helaan seruling bambu seromantis dan sesyahdu hening malam sudah kumainkan.
Terserang penyakit cinta tingkat tinggi juga sudah ku alami dan hampir
merenggut nyawaku. Tapi begitu hari itu tiba, moment yang terpenting sepanjang
hidupku, sepanjang hirupan nafasku.
Hancur begitu saja ketika kau berkata.
“Aku tidak
bisa bersamamu, lebih baik kita berteman saja.” dan kau tersenyum imut di
hadapanku seolah tak terjadi apa-apa. Padahal bagi ku senyuman itu , adalah
senyuman raja hutan yang baru saja menyantap mangsanya. Atau itu senyuman
beribu tipu dari seorang politisi. Seimut apapun senyuman itu aku terluka
karenanya.
Seperti efek domino, rasa terluka itu semakin lama
semakin melebar. Aku mulai bertanya mengapa niat cintaku yang suci ini di
tolak?. Berbagai teori muncul dari dalam dan luar diriku. Aku mengira memang,
Aurorah bukanlah jodohku. Dan teori ini memang teori terkuat atau semacam
pelarian yang paling nyaman bagi pecundang cinta. Semacam alibi untuk
membesarkan hati, tapi alih-alih membesarkan hati dan keinginan memiliki
semakin kuat sebagaimana teori Erich Fromm bahwa “memiliki adalah kategori
fundamental manusia, atau Fromm menyebutnya “exsistential having”, aku harus
memiliki Aurorah agar aku bisa kembali berada. Tapi sial, ciri-ciri
perbandingan dan kontradiksi denganku dan Aurorah juga semakin banyak. hadirlah
paradoks. Semacam Sartre aku seperti objek di hadapan subjek Aurorah. Aku
tertindas karenanya.
Apalagi jika kudengar pendapat kawanku Bolong.
Yang menjelaskan secara sistematis dan statistika, berbagai alasan mengapa aku
di tolak. Mulai dari bunyi rasis,
“ aduh Aco, tidak usah moko pacaran sama Aurorah, dari
perbedaan namamu saja sungguh tidak cocok, Aco nama kampungan, dan Auorah nama
bangsawan. Hmm, tidak cocok sekali, liat sai kuli’nu kayak tommi pantat panci” .
Padahal dia sudah tau, kalau kulitku ini dulu sebenarnya
seputih bedak cuman karena keseringan main bola di sawah, karena memang
cita-citaku ingin menjadi pemain bola sekaliber David Beckham. Tapi bolong
terus saja berlanjut, dan begitu pandainya menilai diriku. Mulai dari rambut
dan bentuk wajah yang berantakan katanya macam sudah kena gusur Satpol PP.
Tinggi badanku yang katanya tidak pantas di katakan tinggi, jika di ukur di
sebut saja pendek badan adalah 150. Dan yang paling menyakitkan, ketika bunyi
pyiramida ekonomi ikut melesat dari mulut Bolong.
“ kamu juga tidak punya modal, bagaimana kau bisa
bahagiakan Aurorah, bagaimana kalau dia minta di belikan baju. Beli baju cakar
saja kau tidak bisa Aco.”
Etika Hedonisme bagi orang tak berada benar-benar menyakitkan. Tapi aku tetap
mencari alibi, Aurorah bukanlah perempuan hedon seperti gambaran Bolong. Aku
masih optimis. Aku harus “ to having”.
Tapi lama kemudian ku ketahui, setelah berulang
kali berusaha mendekat dan dia tetap tersenyum imut. Aurorah telah menyimpan
nama laki-laki lain di dalam hatinya. Begitulah kata Bolong mengomporiku
seperti sedang memasak gula merah. Semakin di panaskan
semakin aku merasa meleleh.
“ tadi sore Aco, saya melihat Aurorah jalan pulang
bersama Wahyu, dan mereka jalan sambil tersenyum, kadang Wahyu membuat Auorah
tersipu malu, mereka begitu mesra, seperti sepasang bekicot sawah yang sedang
kawin”.
“ sudah cukup bolong” teriakku kesakitan.
Hadirlah sebuah dialektika paradoksal antara aku
dan Wahyu. Yang terpolarisasi menjadi antara aku yang laki-laki pendek, jelek,
dan kurang beruntung dengan Wahyu yang laki-laki tinggi, tampan dan sempurna
memang cocok dengan Aurorah. Atau sebut saja antara kalangan bawah dan kalangan
atas. Dan tentu saja anda sudah tau siapa yang mewakili kata bawah dan atas.
Menjadi laki-laki yang serba kekurangan itu memang
mengenaskan. tapi aku sendiri tidak mengerti. Di mana para wanita itu mengambil
ukuran. Apakah memang ada paham relatif itu. Tetapi mengapa nasib percintaanku,
kekuranganku, perbandinganku dengan Wahyu seperti memang sudah mapan, rigor dan
ter universalkan. Mengapa ketika menyebut laki-laki pendek, para wanita lalu
secara apriori mengkonsepkan kata “jelek” yang lalu berkembang menjadi
argumentasi yang lebih kasar. Dan tak usahlah kita memperpanjangkannya.
Kalau anda juga pendek, tentu anda sudah tau
bagaimana nasib mempermainkan kita. Mulai dari jika kita baris berbaris. Kita selalu
berdiri jauh di belakang, seperti ekor monyet ,ekor sapi dan ekor-ekor yang
lebih jelek. Dan memang begitulah kenyataanya, orang pendek mungkin sudah di
rancang dari sononya untuk mengekor.
Jika rambut
laki-laki pendek sudah lebat dan jika kita datang ke Barbershop, itu ibarat
kita datang ke stadion sepakbola yang di penuhi suporter Persija, dan kita
datang duduk di tengah mereka berkostum biru. Mata mereka akan tertuju kearah
kita dan memandang dengan sinis dan beribu ejekan terpancar di binar mata
mereka. Karena jika orang pendek hendak potong rambut kursi yang biasanya di
pakai orang yang tidak pendek itu mesti di modifikasi sedikit, kursinya di
putarlah jika kursi yang di pakai adalah kursi putar itu. Di tambahkan papanlah
biar tukang cukurnya tidak menunduk, jadi kita duduk diatas papan yang diatas
kursi, diatasnya lagi kursi. Bingungkan. Atau jika anda tidak ingin bingung, sekalian
kursinya di singkirkan saja, dan orang pendek mesti di cukur sambil berdiri,
dan tukang cukurnya yang duduk. Naas sekali.
Terus berlanjut, tentang nasib orang pendek yang selalu di tolak, oleh badan negara dan perusahaan yang
mensyaratkan tinggi badan. Padahal otak yang kumiliki tidaklah pendek. Aku bisa
menghafal pancasila dan nama-nama Presiden serta nama-nama Pahlawan. Misalnya
jadi tentara yang harus tinggi diatas 165 cm. Padahal tentara yang pendek bisa
lebih lincah dari pada yang tinggi, lihatlah Messi ketika mempermainkan Ronaldo,
meliuk liku memusingkan lawan. Aku juga jika jadi tentara bisa meliuk liuk seperti Messi. Tapi jadi tentara payung
sudah cukuplah, atau jadi polisi tidur bolehlah. tapi Aku curiga dan tidak bisa
menerima jika persyaratan ini juga menjadi persyaratan utama yang di tekankan
oleh Aurorah dan perempuan yang sependapat dengannya.
Aku menghela nafas, nampaknya aku telah terkena
Kebudayaan “diam” yang di lukiskan oleh Paule Fraire. Sebuah konsep tentang
manusia yang selalu di rumuskan oleh kelompok tertentu yang secara stuktural
memiliki kemungkinan untuk mengekspresikan ideal budayanya. Dalam sejarah
memang terlihat bahwa kelompok bawah (itulah nasibku) tidak memperoleh
kesempatan secara stuktural untuk menemukan cita-cita kemanusiannya secara
verbal ( begitu juga dalam percintaan) dan mewujudakannya secara nyata dalam
kehidupannya dan dalam masyarakat. Ini tidak berarti bahwa mereka (termasuklah
aku) tidak memiliki kesadaran akan kemanusiannya, tetapi kami ini hanya di
hambat secara stuktural untuk mengungkapkan (cinta) gambaran kemanusiaan kami.
Disinilah aku terkena kebudayaan “Diam”. Sungguh tragis.
Lama juga aku berpikir, jika sudah terperangkap di
dalam kesepian malam. Seperti Telenovela, malam yang begitu galau di beranda
rumah sambil memandangi bulan yang kesepian sepertiku. Aku semakin tersudutkan
oleh nasib. Nasib memang sedang mempermainkanku, padahal sudah ku ketahui jika
Pythagoras sudah jauh mengatakan jika kehidupan ini hanya sebuah permainan.
Atau Nietzche yang lebih mengatakan kehidupan adalah “komedi ilahi”.
Yah, kisah cintaku ini ibarat komedi ilahi.
Alih-alih tertawa, hiburan Tuhan ini semakin membuatku takzim dan hampir saja Fatalisme.
Jika kuperhatikan fenomena di sekitarku. Nampaknya hanya aku saja yang tersiksa
oleh cinta. Tentang tetanggaku, daeng Sija yang malah lebih pendek dariku tapi sudah
nikah tiga kali, dan katanya mau nambah dua lagi. Atau Daeng Kulle yang
wajahnya rupawan, tetapi belum punya pasangan, padahal dia sudah masuk kategori
sunnah nikah. Apa ada sebuah rahasia biologis yang belum terungkap, entahlah.
Tapi beda cerita juga, tentang Tetanggaku yang
sudah punya istri, tetapi lebih memilih memanjakan robot burung kakak tuanya. Dia selalu membanggakan cyber
kakak tuanya yang berhasil mengucapkan salam. Tetapi amukan istrinya malah
tidak pernah di jawab. Atau tetanggaku yang lebih jauh. Lebih suka mengendarai
motornya dari pada istrinya, baru saja di kendarai kemasjid untuk sholat
pulangnya di cuci lagi. Istri malah tidak pernah di mandiin. Atau Issank kawan
sekelasku yang lebih banyak meluangkan waktu dengan nintendonya yang membuatnya
terserang penyakit bodoh formal tingkat tinggi. Jika terima raport selalu rangking
satu dari belakang, tapi persoalan game, tentu dialah juaranya.
Jika di analisa memang merekalah Homo faber itu
yang lebih menggunakan rasio instrumentalnya. Dengan teknologi Mereka membuka
intervensi baru terhadap alam. Tetapi bahayanya ketika mereka menjadi homo
faber, mereka akan menjadi teknofilia berkembang menjadi teknokrasi, teknologi jadinya
mempengaruhi berbagai segi kehidupan, yang kemudian di benci oleh istrinya yang
menjadi teknophobia. Lalu jika suami sadar mereka akan menggunakan teknologi
secukupnya dengan pertimbangan, 1. Tidak ingin dipanggil Duda, 2. teknologi
harus mempertahankan istri agar selalu ada kopi setiap pagi, 3. Mempertahankan
keseimbangan ekonomi karena istri jago berhemat. 4. Dan meningkatkan perkembangan populasi manusia.
Tapi adakah aku semacam mereka, aku tidak pernah
mempertimbangkan melihat alam dengan teknologi. Hanya cinta, aku sangat ingin
memiliki Aurorah sebagai pasangan, tapi mengapa aku terus di tolak. Padahal
kami telah lama saling mengenal. Kami sudah bersama sejak kecil. Aku malah
sempat melihatnya membuat eskrim dari tanah liat dan bodohnya kemudian di
cicipi, akibat imajinasi yang sangat tinggi. Tapi itu malah semakin membuatku
ingin memilikinya, ada hasrat yang bergejolak di dalam diriku, ada kebebsan yang
meluap-luap.
Seperti dalam berbagai tema antropologis, manusia
hanya menjadi manusia jika ia menjadi bebas. Kebebasan manusia adalah kebebasan
historis, harus di capai dengan jalan mengatasi berbagai macam hambatan , baik
dari dalam diri manusia maupun dari luar , yaitu dari stuktur –stuktur yang
mengkondisikan manusia. seorang yang bebas kata ahli filsafat Antropologi
adalah seorang yang mampu menemukan dirinya sendiri dan tidak merupakan ciptaan
dari suatu sistem.
Meskipun aku adalah budak cinta. Tetapi bukan
cinta yang membuatku menjadi budak, aku mulai menyadari itu, tapi aku ingin
melawan stuktur yang memenjarakanku. Aku akan menjadi pahlawan bagi laki-laki
yang di katai pendek. Bahwa kami laki-laki pendek juga butuh cinta, butuh di
cintai dan di terima dalam stuktur. Tapi bunyinya kedengaran merendahkan orang
pendek. Maka dari itu aku akan merubah pola pikir itu.
Dalam cerita selanjutnya. Akau akan mendapatkan
cintamu Aurorah. Tapi ada tanya yang lebih menggoda, Ti antrophos estin?. Ingin
kuungkap itu bersama cinta yang terus bergelora terhadapmu.