Rabu, 06 Juli 2016

Konferensi Sumur Bundar

Aku suka dengan desaku. Bukan karena hijau sawahnya, atau pengunungan batu karang tempat kambing-kambing itu bermain. Bukan pula karena suara jangkrik yang lagi kawin di malam hari. Atau hewan-hewan ternak yang selalu bisa mempermainkan gembalanya. bukan, itu juga, bukan karena anak-anak yang kakinya berdebu dan wajahnya yang sudah penuh dengan ingus yang seharian mengejar layang-layang atau bermain sepak bola di belakang rumah pak RT lalu kejar-kejaran karena tendangan Aco berhasil menggolkan bola kedalam rumah pak RT. Karena bola itu sudah kena kotoran ayam sana-sini. Jelas saja ibu RT jadi marah.



Aku suka dengan desaku, karena ia punya sumur deakt dengan pematang sawah. Pinggirannya di semen, lebarnya dua meter, kedalamannya cukup untuk menampung air selama musim puasa air hujan. Sumur itu menjadi tempat berkumpulnya para perempuan desa dari segala umur. Tempat mereka mandi, mencuci atau mungkin menjadikannya sebagai sumber mineral. Sumur itu bentuknya bundar. dan aku menyebutnya sebagai konferensi sumur bundar, para perempuan desaku bukan hanya memfungsikan sumur itu untuk kebutuhan sehari-hari secara umum. Mereka juga memanfaatkan sumur itu sebagai tempat konferensi membahas tentang kosmetik bedak dempul terbaru, si anu yang akan menikah dengan anaknya si Anu lalu di komentari hingga keakar-akarnya. Bahkan bisa meramalkan masa depan pernikahan mereka. Atau menggosipi istri pak RT yang perang dingin dengan Aco. Dari sumur itu mereka membagi derita mungkin juga membahas tentang segala hal yang tabu. Masalah seks misalnya.

Konferensi sumur bundar, selalu berjalan tanpa harus ada sambutan tetek bengek seperti di dewan perwakilan. Atau harus mengenakan pakaian yang sudah di tentukan warnanya macam gula –gula dalam toples plastik. Dan harus mengucapkan kata-kata yang bukan berasal dari hati nurani. Pertemuan yang di langsungkan di sumur bundar desaku ini di adakan setiap waktu biasanya tiga kali sehari, ramainya di waktu sore, saat para ibu-ibu hendak mandi dan bersiap melaksanakan sholat magrib. Pakaian yang dikenakan minimal sarung dan maksimal baju kaos partai. Akan aneh jadinya jika anda memakai jas ke sumur. tema musyawarahnya bebas, dan mengikuti seorang ibu yang paling cerewet yang kadang menjadi moderator bahkan bisa menjadi provokator. Macam ibunya Bolong yang bisa mengucapkan 10 kata dalam sedetik dan selalu bisa mengendalikan jalannya konferensi.

Sumur desaku ini juga di jadikan sebagai tempat hiburan. Orang kota biasanya menjadikan mall untuk bisa menghibur diri. tapi sumur bundar ini bagi perempuan desaku menjadi tempat yang paling sentral untuk meningkatkan presentasi kebahagiaan bagi penghuni desa. Menggosip itu bisa menjadikan ibu-ibu jadi bahagia, biar mereka sudah seringkali di ceramahi oleh Ustad Gafur. Kalau gosip itu sama saja memakan daging orang yang di gosipi. Tapi alibi yang berlaku di sumur bundar ini bahwa yang di ceritakan itu adalah fakta bukan opini. “Jujurlah walaupun itu pahit” begitulah yang seringkali di ucapkan ibunya Bolong ketika di interupsi oleh ibu-ibu yang lain.

Dengan meningkatnya presentasi kebahagiaan ibu-ibu desa, maka kehidupan rumah tangga desaku ini juga akan terkena dampaknya, kalau ibu-ibu bahagia maka kepala rumah tangganya juga akan bahagia. Entah itu di dapur , sumur apalagi di kasur.
Prinsip konferensi sumur bundar ini adalah kebebasan. jargon emansipasinya Ibu kartini sangat berpengaruh di tempat ini. Anda mungkin akan kaget mengetahui bahwa persoalan seks juga biasanya menjadi tema kajian di sumur bundar ini. Biasanya di mulai dari tema yang miris mengenai si anu yang baru menikah tapi kelihatannya jadi loyo sekali. dari kata “loyo” itu. Ibu –ibu yang pengalaman dengan persoalan “loyo” itu akan membeberkan ilmu-ilmu seksual anti “loyo”. Tentang suaminya yang selalu pintar mengatur pernapasan lalu membandingkan dengan si Anu yang mungkin memiliki penyakit asma. Di sumur ini sambil menimba air mereka bisa mengomentari laki-laki secara radikal tanpa intervensi bahwa wanita itu adalah the Second sex.
Perempuan-perempuan desaku, jika kita ingin mengetahui dia yang sebenarnya adalah di sumur bundar ini. Tidak ada topeng yang mereka kenakan. Tidak ada aturan formal yang harus di ikuti.

Dari sumur bundar ini juga, aku belajar tentang perempuan-perempuan desaku. Baik dari kulit, bentuk tubuh yang sampai saat ini, aku masih malu untuk memaparkannya, dan kekuatan serta daya tahan untuk membawa tiga ember air sekaligus dalam satu waktu. Dua ditangan dan satu di taruh di atas kepala. Teori tentang perempuan bisa fokus untuk dua hal terbukti di sumur bundar ini.

Sumur bundar ini menjadi bagian yang paling aku sukai dari desaku. Tapi itu kemarin. Sebelum semuanya menjadi berubah. Tiba-tiba saja orang-orang di desaku sangat beriman dan jadi sangat takut dengan agamanya. Mandi di tempat terbuka itu katanya akan mengundang syahwat laki-laki dan bisa mengakibatkan kejahatan seksual. Padahal selama ibu-ibu mandi di sumur bundar itu palingan anjing kampung saja yang akan membuat mereka terancam.  Dan tiba-tiba saja dalam kemasan seperti itu sumur bundar  katanya udah ketinggalan zaman dan sudah  kalah pamer dengan air ledeng yang lebih banyak mengeluarkan angin dari pada air setelah itu di bayar lagi. Tiba-tiba saja gadis desa menjadi sangat malu untuk menimba dan mengangkat air. Pikirnya “Gengsi dong” padahal keseksian itu bukan di lihat dari tampilan “gengsi” itu. Bagiku perempaun yang dapat membawa tiga ember air dalam satu kali jalan selalu punya daya tarik tersendiri, itu baru namanya perempuan yang seksi. Gadis-gadis desaku tiba-tiba saja menganggap keseksian itu adalah bentuk tubuh, semakin kurus maka akan semakin seksi. Kuku yang di cat merah macam kuku dracula, itu di anggap cantik. Lalu dengan alasan perawatan jadi malas untuk membersihkan rumah.


Sumur bundar itu sekarang telah hilang peminat, membisu dan terkenang dengan konferensi yang dulu berlangsung sangat seru. airnya jadi berwarna dan berbau tidak sedap, dan hanya di jadikan sebagai tempat mandinya hewan-hewan ternak. Dan terakhir kudengar. Sumur bundar itu akan terancam hilang dari desaku. Karena beton-beton semen perusahaan sudah membeli tanah itu. kenangan tentang sumur bundar itu setidaknya menghiburku. Mungkin saja desa di belahan bumi lain masih dapat menikmati pemandangan sumur semacam sumur bundar desaku. Dan belum tersentuh doktrin “jika negara ingin maju maka ekonomi negara harus terus meningkat” tetapi  lupa dengan keindahan bangsa dan negaranya.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon