Aku suka
dengan desaku. Bukan karena hijau sawahnya, atau pengunungan batu karang tempat
kambing-kambing itu bermain. Bukan pula karena suara jangkrik yang lagi
kawin di malam hari.
Atau hewan-hewan ternak yang selalu bisa mempermainkan gembalanya. bukan, itu
juga, bukan karena anak-anak yang kakinya berdebu dan wajahnya yang sudah penuh
dengan ingus yang seharian mengejar layang-layang atau bermain sepak bola di belakang
rumah pak RT lalu kejar-kejaran karena tendangan Aco berhasil menggolkan bola
kedalam rumah pak RT. Karena bola
itu sudah kena kotoran ayam sana-sini. Jelas saja ibu RT jadi marah.
Aku suka dengan desaku, karena ia punya sumur deakt dengan pematang sawah. Pinggirannya
di semen, lebarnya dua meter, kedalamannya cukup untuk menampung air selama
musim puasa air hujan. Sumur itu menjadi tempat berkumpulnya para perempuan
desa dari segala umur. Tempat mereka mandi, mencuci atau mungkin menjadikannya
sebagai sumber mineral. Sumur itu bentuknya bundar. dan aku menyebutnya sebagai
konferensi sumur bundar, para perempuan desaku bukan hanya memfungsikan sumur
itu untuk kebutuhan sehari-hari secara umum. Mereka juga memanfaatkan sumur itu
sebagai tempat konferensi membahas tentang kosmetik bedak dempul terbaru, si
anu yang akan menikah dengan anaknya si Anu lalu di komentari hingga
keakar-akarnya. Bahkan bisa meramalkan masa depan pernikahan mereka. Atau menggosipi
istri pak RT yang perang dingin dengan Aco. Dari sumur itu mereka membagi
derita mungkin juga membahas tentang segala hal yang tabu. Masalah seks
misalnya.
Konferensi sumur bundar, selalu berjalan tanpa harus ada
sambutan tetek bengek seperti di dewan perwakilan. Atau harus mengenakan
pakaian yang sudah di tentukan warnanya macam gula –gula dalam toples plastik.
Dan harus mengucapkan kata-kata yang bukan berasal dari hati nurani. Pertemuan
yang di langsungkan di sumur bundar desaku ini di adakan setiap waktu biasanya
tiga kali sehari, ramainya di waktu sore, saat para ibu-ibu hendak mandi dan
bersiap melaksanakan sholat magrib. Pakaian yang dikenakan minimal sarung dan
maksimal baju kaos partai. Akan aneh jadinya jika anda memakai jas ke sumur.
tema musyawarahnya bebas, dan mengikuti seorang ibu yang paling cerewet yang
kadang menjadi moderator bahkan bisa menjadi provokator. Macam ibunya Bolong
yang bisa mengucapkan 10 kata dalam sedetik dan selalu bisa mengendalikan
jalannya konferensi.
Sumur desaku ini juga di jadikan sebagai tempat hiburan.
Orang kota biasanya menjadikan mall untuk bisa menghibur diri. tapi sumur
bundar ini bagi perempuan desaku menjadi tempat yang paling sentral untuk
meningkatkan presentasi kebahagiaan bagi penghuni desa. Menggosip itu bisa
menjadikan ibu-ibu jadi bahagia, biar mereka sudah seringkali di ceramahi oleh
Ustad Gafur. Kalau gosip itu sama saja memakan daging orang yang di gosipi.
Tapi alibi yang berlaku di sumur bundar ini bahwa yang di ceritakan itu adalah
fakta bukan opini. “Jujurlah walaupun itu pahit” begitulah yang seringkali di
ucapkan ibunya Bolong ketika di interupsi oleh ibu-ibu yang lain.
Dengan meningkatnya presentasi kebahagiaan ibu-ibu desa,
maka kehidupan rumah tangga desaku ini juga akan terkena dampaknya, kalau
ibu-ibu bahagia maka kepala rumah tangganya juga akan bahagia. Entah itu di
dapur , sumur apalagi di kasur.
Prinsip konferensi sumur bundar ini adalah kebebasan.
jargon emansipasinya Ibu kartini sangat berpengaruh di tempat ini. Anda mungkin
akan kaget mengetahui bahwa persoalan seks juga biasanya menjadi tema kajian di
sumur bundar ini. Biasanya di mulai dari tema yang miris mengenai si anu yang
baru menikah tapi kelihatannya jadi loyo sekali. dari kata “loyo” itu. Ibu –ibu
yang pengalaman dengan persoalan “loyo” itu akan membeberkan ilmu-ilmu seksual
anti “loyo”. Tentang suaminya yang selalu pintar mengatur pernapasan lalu
membandingkan dengan si Anu yang mungkin memiliki penyakit asma. Di sumur ini
sambil menimba air mereka bisa mengomentari laki-laki secara radikal tanpa
intervensi bahwa wanita itu adalah the Second sex.
Perempuan-perempuan desaku, jika kita ingin mengetahui
dia yang sebenarnya adalah di sumur bundar ini. Tidak ada topeng yang mereka
kenakan. Tidak ada aturan formal yang harus di ikuti.
Dari sumur bundar ini juga, aku belajar tentang
perempuan-perempuan desaku. Baik dari kulit, bentuk tubuh yang sampai saat ini,
aku masih malu untuk memaparkannya, dan kekuatan serta daya tahan untuk membawa
tiga ember air sekaligus dalam satu waktu. Dua ditangan dan satu di taruh di
atas kepala. Teori tentang perempuan bisa fokus untuk dua hal terbukti di sumur
bundar ini.
Sumur bundar ini menjadi bagian yang paling aku sukai
dari desaku. Tapi itu kemarin. Sebelum semuanya menjadi berubah. Tiba-tiba saja
orang-orang di desaku sangat beriman dan jadi sangat takut dengan agamanya.
Mandi di tempat terbuka itu katanya akan mengundang syahwat laki-laki dan bisa
mengakibatkan kejahatan seksual. Padahal selama ibu-ibu mandi di sumur bundar
itu palingan anjing kampung saja yang akan membuat mereka terancam. Dan tiba-tiba saja dalam kemasan seperti itu
sumur bundar katanya udah ketinggalan
zaman dan sudah kalah pamer dengan air
ledeng yang lebih banyak mengeluarkan angin dari pada air setelah itu di bayar
lagi. Tiba-tiba saja gadis desa menjadi sangat malu untuk menimba dan
mengangkat air. Pikirnya “Gengsi dong” padahal keseksian itu bukan di lihat
dari tampilan “gengsi” itu. Bagiku perempaun yang dapat membawa tiga ember air
dalam satu kali jalan selalu punya daya tarik tersendiri, itu baru namanya
perempuan yang seksi. Gadis-gadis desaku tiba-tiba saja menganggap keseksian
itu adalah bentuk tubuh, semakin kurus maka akan semakin seksi. Kuku yang di
cat merah macam kuku dracula, itu di anggap cantik. Lalu dengan alasan
perawatan jadi malas untuk membersihkan rumah.
Sumur bundar itu sekarang telah hilang peminat, membisu
dan terkenang dengan konferensi yang dulu berlangsung sangat seru. airnya jadi
berwarna dan berbau tidak sedap, dan hanya di jadikan sebagai tempat mandinya
hewan-hewan ternak. Dan terakhir kudengar. Sumur bundar itu akan terancam
hilang dari desaku. Karena beton-beton semen perusahaan sudah membeli tanah
itu. kenangan tentang sumur bundar itu setidaknya menghiburku. Mungkin saja
desa di belahan bumi lain masih dapat menikmati pemandangan sumur semacam sumur
bundar desaku. Dan belum tersentuh doktrin “jika negara ingin maju maka ekonomi
negara harus terus meningkat” tetapi lupa
dengan keindahan bangsa dan negaranya.