Aku kembali mencoba untuk kembali menemui
Aurorah, setelah perhitungan secara sistematis lewat teori-teori biologi yang begitu vulgar menelanjangi setiap
kegagalanku untuk memetik hati seorang perempuan yang kuinginkan.
Bila aku mendengar cerita para nabi yang di
sampaikan oleh Uak-ku, yang sesekali memainkan petikan kecapi. Cerita mengenai
nabi Adam dan Hawa, ketika mereka melanggar aturan surga untuk tidak memetik
buah apel dari pohon Khuldi. Lalu mereka harus keluar dari surga dan di
pisahkan sangat jauh akibat pelanggaran yang mereka perbuat. Namun kisah yang
sangat tua ini berakhir Happy Ending untuk versi cerita tentang Jabal Rahmah. Dan
aku merenungi nasibku, apakah memang Tuhan masih sengaja untuk tidak menyatukan
aku dengan Aurorah. Masalahnya apakah memang Aurorah tidak menyukaiku, atau
sedang menunda nunda, seperti pepatah mengatakan, “Segala sesuatu indah pada
waktunya”. Tapi aku seorang yang terburu-buru. Dan ingin mengindahkan dengan
cepat. Maka sore nanti aku akan bertemu Aurorah di bawah pohon mangga di
pinggir sungai Tallo.
Berdasar surat yang sudah ia balas. Ia setuju
untuk bertemu di sana.
Maka aku menyiapkan setiap kata-kata indah yang
akan membuat hatinya terbuka walaupun hanya sedikit. Tapi aku pun mulai
menduga-duga, bahwa ia menyetujui permintaanku, agar ia dapat menyampaikan kata
perpisahan untuk selamanya. Dan aku pun mulai berpikir dua kali 10 sama dengan
dua puluh. Dua puluh menit aku harus memutuskan, datang menepati janji, atau
berpura-pura sakit perut. Dan menunda pertemuan. Tapi ego menjadi laki-laki
sejati harus aku tinggikan. Di tolak kembali akan kuhadapi dengan tabah.
Begitu mencekam peristiwa tadi padahal suasana
menjelang siang di bawah rindang pohon mangga yang mendatangkan kesejukan, tapi
aku semacam melewati setiap detik pada jam penderitaan, dan hasilnya gagal
lagi.
Apa yang kau rasakan Aco?
Jika anda juga bertanya seperti itu maka aku
menjawabnya. Seperti makan durian dengan kulit-kulitnya, nekad cinta ini bisa
membuat nekad, setelah di tolak secara pangkat kuadrat. atau seperti minum kopi
di campur dengan sayur pare’, pahit kerena memang kisah percintaanku ini memang
pahit. Rasanya hatiku termutilasi oleh setiap kata yang keluar dari mulut
Aurorah.
Apakah kata-katanya kasar Aco ?.
Jawab : Tidak, kata-katanya begitu halus, merdu,
tapi setiap kata yang di pilihnya adalah setiap kata yang tersaring pada
korteks audio otakku yang bebunyi di larang untuk di dengar. Setiap kata itu
adalah kata yang tak ingin kudengar dari mulutnya. Tapi setiap kata itu memaksa
untuk masuk, akhirnya otakku menjadi putus, dan yang terjadi adalah kegalauan
tingkat dewa.
Jadi apami sekarang mu bikin Aco ?.
Jawab : terduduk di suatu waktu, dan aku duduk
sendiri, di samping pohon jati, aku merenung dan aku menjilat angkasa, menciumi
matahari yang akan tenggelam di ujung horizon sana. Aku bertanya mengapa. Aku ingin
memahami hal menyakitkan yang sedang terjadi di pusat atom hatiku. Dan aku
menuju pada logika deduktif, dari alasan umum ke khusus, tipe pertanyaan yang
terulang-ulang adalah pertanyaan mengapa.?
....... Karena aku pendek, ini persoalan mutlak,
yang tak bisa di selesaikan,
......karena aku kurang perhatian, dan tidak
termasuk dalam tipenya... tapi aku bisa menyesuaikan diri kok.
.......karena aku suka ngupil sembarang tempat...
rasanya aku tidak pernah kedapatan, dan aku selalu berhati-hati kok..
.
...... karena aku bau badan.... ini bisa dibawah
ke pengadilan dan menjadi tuntutan pencemaran nama baik, meski jarang mandi,
badan tetap bau tanah.
Ketika pertanyaan mengapa itu semakin mendesak
pada pengadilan ide. Seperti seberkas cahaya, yang lalu datang setelah menembus
ke abu-abuan kebenaran. Seberkas cahaya itu berbentuk seperti ini...
....karena aku sudah menjadi milik orang lain,
maaf kan aku Aco...
Nah setiap kata itulah yang membuatku kedatangan
dewa kegalauan dari mitologi tragedi Yunani yang memborbardir setiap rindu yang
teredam. Rasa galau tingkat Dewa.
Lalu ?.....
Jawab : ketika kita bertanya Mengapa, model
pertanyaan ini bisa ditanggapi dalam dua cara , apakah jawaban Aurorah terkesan
mengelak, yang artinya sama dengan Bagaimana, yang mengatakan jawaban-jawaban
menuntut tentang sebuah rangkaian kausalitas ( Sebab-Akibat ), dari atom yang
berbenturan dengan atom yang lain.
Setiap pertanyaan mengapa akan menuntut pertanyaan
BAGAIMANA, setiap pertanyaan berada pada poros sebab-akibat tadi, sebab aku ditolak
membuat akibat yang membirukan hati. Dan kini, di bawah pohon jati ini, sambil
memperhatikan ayam yang sedang bercinta, aku pun ikut bercinta pada setiap
molekul cahaya matahari senja pada kesepian... sendirian disini.
“Apa sendirian, Oi, adaka di sampingmu ini Aco?”
Ucap Bolong menepukku dengan ganas, sehingga aku terdorong kesamping.
“ ouh, adako pale di sampingku Bolong, jadi kau
tadi yang wawancaraika?” aku mengira,
bahwa setiap pertanyaan tadi adalah pertanyaan dari suara hati. Ternyata itu
suara Bolong, yang datang menghampiriku.
Rumus Perhitungan matematika kisah cintaku macam,
tolak di kali tolak = penolakan kuadrat
atau = kegalauan tingkat Dewa.