Senin, 29 Mei 2017

Puisi filsafat : Filsuf


Apakah saya filsuf?.
Bukan. aku hanya orang yang di sebut filsuf.
Semua orang adalah filsuf.
Semua orang berkata.
Filsuf itu adalah kata!.
Orang itu juga kata!.
Bukankah filsafat itu adalah kata-kata.
Yang dikatakan filsuf.
Dan orang yang di katakan filsuf belajar membaca kata-kata.
Pernahkah kata-kata itu lepas dari "K.A.T.A".
Bukankah yang membaca filsafat mendikte.
"K", "A", "T","A".
Sekali-kali Tidak!. Filsuf melihat "Kata"sebagai kata.
Read More

Minggu, 28 Mei 2017

Secarik refleksi: Aktor Islam Indonesia



Tulisan singkat ini merupakan gambaran sederhana yang penulis amati dari beberapa fenomena keislaman yang ada di Indonesia. Bukan justifikasi tapi refleksi. olehnya sangat berpotensi mengalami kerapuhan argumentasi. 
Selamat menikmati
islam
Sumber gambar: islaminindonesia.files.wordpress.com
Ngawur Transendental

Suatu ketika soekarno yang sedang berkumpul bersama rekan-rekannya yang kelak menjadi founding father (baca;bapak pendiri) Negara ini, tia-tiba didatangi oleh Tan Malaka. Kemudian Ia (Tan Malaka) berujar.. wahai sahabatku saya datang kemari karena saya tidak tertarik dengan model kemerdekaan yang kalian perjuangkan, karena hanya akan menguntungkan kelompok tertentu.. demikian lah sepenggal kalimat yang saya dapati saat berkunjung ke suatu toko buku, kalimat yang sederhana namun membuatku tak habis pikir kenapa Ia (Tan Malaka) berkata demikian..
Tapi entah dengan alasan apa, saya pikir prediksi Tan Malaka benar adanya. kita lihat sekeliling kita hari ini begitu banyak ketimpangan yang terjadi yang pada dasarnya para pejuang kemerdekaan kita tak menghendaki hal demikian ini. Di saat keringat dan darah mereka kemudian hanya dinikmati segelintir orang-orang tertentu di negeri ini. Misal, keadilan hanya milik mereka yang berkepemilikan dan mayoritas. Kemana komitmen kebangsaan kita di butir kelima pancasila? Saya pikir hal ini telah raib..
Kita boleh berbangga bahwa Negara kita dihuni oleh sebuah agama yang penganutnya terbesar di dunia yang dikandung pertiwi dengan suami yang tak jelas. Namun saya tak bisa menutup mata atas serangkaian konflik yang terjadi di nusantara ini akibat agama. Saya luruskan bukan agamanya tetapi para pemuluk agamanya.. dari konflik yang berdarah sampai membuat tertawa.
Lantas apa yang perlu kita lakukan sebagai upaya atau langkah mengobati penyaki yang menjangkiti Negara ini, hari demi hari penyakitnya semakin parah dan yang saya takutnya jika suatu saat penyakitnya telah stadium empat (akut), tentu anda maupun saya sendiri tak menginginkan hal demikian terjadi. Olehnya itu hal yang hendak kita lakukan ialah yang pertama, kita harus ingat dimana kaki kita pajakkan; artinya kita beiri diatas sebuah kemajemukan yang harus dicamkan baik-baik. Yang kedua, karena kita berada dalam kondisi majemuk hendaknya kita bersikap plural dan inklusif.
Perlu kita ingat! Negara kita plural; banyak subtansi yang menyusunnya. Yang kemudian yang merekatkan kita ialah asas ke-bhinekaan tunggal ika. Jadi tak sepantasnya kita berujar Indonesia itu jawa karena masih ada bagian-bagian lain yang tak kalah berharganya di negeri ini selain jawa, begitupula hendaknya kita jangan menganggap Indonesia ya pasti Islam, sekalipun Islam yang mayoritas toh dalam perjuangan kemerdekaan Negara ini. Ada dari keyakinan yang lain turut ambil peran dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita.
Menyoal keyakinan (baca;agama) hari ini, kerap kali keyakinan itu diperalat sebagai sebuah legitimasi tindakan yang saya pikir hal demikian hanya akan mencederai keyakinan itu sendiri. Olehnya itu sewajarnya kita bersikap plural—inklusif. Sengaja kata plural dan inklusif saya sandingkan agar kiranya tidak terjadi patahan epistemik. Yang dimaksudkan plural—inklusif; meyakini kebenaran milik kita adalah benar namun tak menjadikan hal demikian untuk meyalahkan keyakinan selain apa yang kita yakini. Misal, saya seorang muslim pasti meyakini agama saya Islam benar dan tak memaksakan kebenaran itu kepada selain keyakinan saya, karena diluar apa yang saya yakini juga versi kebenaran dan hal itu perlu kita hargai dan apresiasi. Singkanya jangan jadikan takaranmu untuk menakar orang lain.
Ketika kita membuka kembali lembaran perjalan negeri ini wacana pluralisme sendiri sempat menjadi perbincangan hangat, sampai-sampai memaksa MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram terhadap “pluralisme”, dengan alasan paham ini berbahaya apabila sampai kepada masyarakat awam.Bagi penulis sebuah fatwa kontroversi kemudian dibalut alasan lucu. Jika memang MUI pengayom umat tentunya tak cukup hanya mengeluarkan fatwa demikian. Bagaimana ingin melindungi umat jika hanya berkutat pada ruangan pribadi yang ber-AC, mimbar, plus siaran TV untuk mengucapkan selamat berbuka puasa.
Untunglah fatwa itu suatu yang sifatnya tidak—mengikat dan bisa kita tinggalkan. Olehnya itu penulis ingin berpesan “berkeyakinanlah dimana engkau mereasa nyaman karena bukankah jalan menuju Tuhan itu sebanyak anak cucu Adam”.

Penulis - Reski Emil Oja
Editor   - Elf


Read More

Jumat, 26 Mei 2017

Puasa Universal di Bulan Ramadhan

Puasa dalam bahasa Al-qur’an di sebut juga sebagai As shoum atau As shiam dan al imsak yang berarti menahan. Maksudnya orang yang berpuasa harus menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa. Waktu untuk menahan menurut Syariat islam di mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Sedangkan puasa menurut etimologi dalam bahasa Sansekerta di sebut sebagai upavasa. Yang dalam tradisi hindu upavasa merupakan syarat ritual dengan menyangkal nafsu-nafsu badani, tidak makan dan minum dalam jangka waktu yang di tentukan oleh aturan agama. Sedangkan dalam bahasa Yunani Puasa adalah kata nesteuo yang secara harfiah berarti merendahkan diri dengan tidak makan dan minum pada waktu tertentu.

Dengan etimologi yang se singkat di atas, setidaknya saya dapat menarik kesimpulan sementara bahwa puasa bukan hanya milik umat tertentu, tetapi puasa sebagai di artikan menahan diri dari berbagai syarat untuk kepentingan individual atau kelompok, di kenal oleh setiap peradaban di masa lalu.
Al-Qur’an sedniri sebagai kitab suci agama Islam(karena saya orang islam) dalam surah Al-Baqarah ayat 183, Allah SWT berfirman yang arti bahasa Indonesia adalah “ Hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Untuk menjelaskan ayat ini, orang perlu metode tafsir, sedangkan saya bukanlah orang mampu menafsirkan ayat ini), tetapi dengan pikiran yang sederhana, kita dapat menyimpulkan bahwa puasa adalah ibadah yang telah di tempuh oleh umat-umat terdahulu yang masih eksis atau mungkin telah menjadi purba.
Puasa adalah kata yang memerlukan waktu, tubuh dan sebuah percakapan. Waktu puasa dalam syariat islam di mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari yang berlaku secara individual dan pada waktu yang terorganisir, Bulan Ramadhan adalah bulan tertentu untuk melaksanakan puasa dengan menjadikan perhitungan hisab atau melihat hilal yang kemudian di laksanakan oleh semua umat Islam. Ini berarti Puasa dalam ajaran Islam berlaku untuk subjek dan sekaligus untuk kehidupan sosial-organis.
Selain karena waktu. Puasa juga di tempuh untuk tubuh. Sebagai makhluk yang bereksistensi di dunia. Manusia sangat perlu untuk memiliki tubuh agar mampu melangsungkan kehidupannya di dunia, untuk itu kesehatan tubuh sangat di perlukan manusia. Puasa itu dapat menyehatkan tubuh karen puasa dapat mereproduksi kembali daya tubuh kita. Selain itu puasa sebagai sebuah ibadah memberikan kita energi spiritual yang baik untuk ketahanan psikologi untuk tidak mudah marah dan iri atau memikirkan sesuatu yang memberatkan kerja tubuh.
Puasa sebagai sebuah percakapan adalah ibadah yang menyempatkan diri kita untuk bercakap dengan tubuh kita sendiri. Karena kemungkinan kesibukan aksidental membuat kita lupa memiliki tubuh dan pada saat tubuh merasakan sakit, barulah kita bermanjaan dengan tubuh kita bahkan sebagian orang karena sakit tubuhnya orang malah mengumpat dan mencela tubuhnya sendiri.
Tubuh adalah materi universal yang di anugrahkan kepada manusia. Tubuh juga adalah sejarah bagi manusia. Dengan berpuasa kita dapat merasakan tubuh kita sendiri, tubuh orang lain bahkan tubuh orang -orang terdahulu. Dengan berpuasa kita mampu belajar dengan tubuh kita sendiri, karena dengan menahan lapar dan dahaga. Kita mampu bercakap dengan organ pencernaan kita, dan dengan menahan nafsu, kita juga mampu untuk bercakap dengan jiwa kita.
Karena sebentar lagi kita memasuki waktu di bulan Ramadhan, sebaiknya kita banyak menghabiskan waktu untuk berduaan dengan diri sendiri. Pandai untuk bercakap dengan tubuh sendiri dan merasakan tubuh orang lain. dengan berpuasa kita mampu belajar untuk memaknai waktu yang telah berlalu dan waktu yang akan membawa kita bereproduksi. Selain itu puasa dapat mengajarkan tubuh kita untuk bergerak di jalan yang lurus dan seminimal mungkin mengurangi gesekan gerak dengan tubuh yang lain.
Untuk itu marilah kita menyambut bulan Ramadhan dengan berpuasa. Dan marilah kita berpuasa dengan menyambut tubuh kita dengan rasa gembira. Dengan tubuh kita, kita mampu menyelami sejarah tubuh orang-orang terdahulu. Sehingga barang siapa yang beruntung puasa itu akan membawa kita kepada Tuhan sebagai pancaran bentuk tubuh kita. inilah yang saya sebut sebagai  puasa universal untuk tubuh universal.


Read More

Filsafat Pendidikan: Kaum Shopis dan Cermin Dosen

Selamat datang kita pembentuk peradaban. Kalau anda dan saya menyangka dosen (baca: pengajar) itu luhur dan tulus sama sekali, baiknya tanggalkan dulu presepsi itu. Kenapa? Semoga tulisan urak-urakan ini mampu diajak berdiskusi.

Selamat Membaca!

fakultas ushuluddin filsafat dan politik


"Waspadalah, Dosenmu (jelmaan) Kaum Sophis"
Kira-kira begitulah yang gugatan yang ingin penulis lontarkan. Bukan bermaksud sombong dan sok lebih hebat dari dosen atau pengajar. Hanya saja saya tidak bisa terus mengingkari isi hati dan diam.
"Bukankah mendiamkan kejahatan (baca: Penyimpangan; setidaknya menurut saya) sama dengan mengaminkan perbuatan tersebut."

Kaum Sophis adalah kelompok cendikiawan yang hidup sekitar abad ke-4 SM. Keberadaan mereka nyaris tidak bisa di pisahkan dari Socrates. Saking tidak bisa pisahkan, seperti “Yin” tak kan ada tanpa tanpa “Yang”. Begitu erat kaitan keduanya oleh karena wacana sesudahnya merupakan reaksi terhada wacana sebelumnya. Saya tidak tau persis bagaimana kaum sophis kalau Socrates saat itu tidak mencela mereka. Yah, terlepas dari keduanya tentu dapat dikaji secara terpisah.
Kaum sophis memiliki kemampuan retoris atau pidato yang luar biasa. Orang-orang sophis berkeliling kota dan mengajarkan pengetahuan. Berkhotbah tentang pengetahuan dan politik di alun-alun kota, kelompok-kelompok anak muda, penjual-penjual sayur dan kelompok lainya di Athena. Ini merupakan hal positif dan sangat mengagumkan. Yang saya bayangkan, saat itu warga Athena hanya mengangguk-angguk menikmati guyuran retorika, entah mereka mengerti atau tidak.
Kaum Sophis sangat terkenal di Athena. Mungkin kalau zaman sekarang bisa di sepadankan dengan terkenalnya selebritis. kaum sophis kemudian memanfaatkan kemampuan retorika atau pidato mereka untuk mencari nafkah. Para bangsawan di ajarkan seni berpidato dan debat kemudian mendapat imbalan berupa uang. Tidak ada yang salah dengan itu, namun tuntutan zaman yang berbeda membuat menarik upah dari hasil mengajar menjadi masalah besar.
Pada masa itu mengajar bukanlah sebuah profesi. Mengajar adalah tentang mewariskan pengetahuan tanpa harus meminta imbalan. Mode zaman yang seperti ini benar-benar menjunjung tinggi kesucian pengetahuan. Sehingga meminta imbalan mengajar merupakan hal yang sangat memalukan. Olehnya tepat yang dilakukan socrates. Socrates mencela perbuatan kaum sophis tersebut, karena dianggap menyimpang dengan tujuan mengajar.

Bagaimana dengan sekarang?
Di milenium ini, persoalan kapital atau finansial dan kewajiban mewariskan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Menjadi harga mati bahwa segala aspek dalam diri yang berupa jasa memiliki nilai jual. Kalau saya mampu memperbaiki pintu yang rusak, itu bisa memilki nilai jual. Kalau saya bisa mengetik di computer atau laptop, itu juga bisa memiliki nilai jual. Bahkan hal yang paling fundamental sekalipun seperti meminta teman mengatarkan pesanan teman yang lain juga memiliki nilai jual. Minimal uang bensin untuk si teman.
Sehingga yang terjadi adalah interaksi sosial kita terikat oleh samsara simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan barulah interaksi terjadi. Sehingga sangat sulit kiranya menemukan utang budi di zaman ini. Semua utang budi terputus pada bentuk imbalan-imbalan. Kalau anda membantu saya, saya memberikan anda upah dan lunaslah bentuk hutang budi. kita terikat oleh hubungan saling menguntungkan semata.
Ukuran zaman “edan” seperti sekarang ini lebih banyak “apa yang saya beri dapat memberikan nilai lebih kepada saya”. Standar kehidupan ini secara alamiah masuk ke setiap nadi kehidupan. Bahkan sampai menguasai jantung peradaban. Standar kehidupan bukan lagi pada standar hutang budi, tapi soal hutang money. Semoga kita tidak salah menafsir makna dari ajaran Tao Te Ching, “semakin banyak kau memberi, semakin banyak pula yang diterima”.
Serupa juga yang terjadi dalam dunia pendidikan. Proses transfer ilmu dari pengajar kepada yang diajar menua pergeseran. Bahkan sudah berlangsung 1000 tahun lebih. Mengajar bukan lagi semata mata soal keluhuran maksud pengajaran, namun tendensi finansial ikut mengalir dalam setiap sendinya. Proses mengajar hanya akan berlangsung kalau ada upah. Mengajar sudah dijadikan profesi. Inilah yang terjadi sekarang. Instansi dan biro pendidikan menjadi agen penyalur manusia yang mengajar demi bertahan hidup.
Sumber: 2.bp.blogspot.com

“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Semboyan ini agaknya sudah hangus termakan zaman. Bahkan sebelum-entah siapa itu-yang merumuskan kalimat seluhur ini hadir dibangku sekolah dasar. Semboyan ini saya kira hanya relevan untuk era Socrates saja, di mana guru hanya mengajar tanpa menuntut imbalan. “…tanpa tanda jasa”, ini agaknya melucu.
Tiap semester saya membayar sekolah. Tiap sekolah menuntut anak didiknya membayar ini itu, dari jenjang sekolah dasar sampai bangku kuliah, tidak ada satupun yang tidak berbayar. Siapa yang menyangkal ini, pasti dia lama hidup dihutan dan tidak mengerti cara bertahan hidup di lingkungan akademik.
“..tanpa tanda jasa”?, maaf pak, buk, jasa ibu dan bapak sudah saya bayar. Itu tanda jasa yang kami bayar kepada kalian. Kalian tidak benar-benar tanpa tanda jasa. Dan mungkin bapak ibuk lupa apa arti “tanpa tanda jasa”. Semua jasa mengajar bapak dan ibu sudah kami bayar. Itu saja.
-“Belum lagi di NKRI kita ini, zaman edan ini meminta kita membayar dengan tinggi harga kehidupan. Tapi yah, itu sih wajar juga. Kan Negara kita belum bisa dewasa dari orok konsumerisme dan jeratan kapitalis.”-ahh sudahlahh…
Kira-kira begini prolog yang sedang berlangsung. Ini bisa dilihat dengan bergesernya esensi pengajaran bukan lagi soal mewariskan pengetahuan. Tapi sebagai lahan utama pemenuhan kebutuhan-hidup bagi sang “guru”. Nilai sakralitas keilmuan nomer sekian, yang penting saya masuk “absen-mengajar-pulang-upah”. Mirip kaum Sophis di zaman Socrates. Keluhuran maksud-maksud pengetahuan dinodai oleh keunggulan materialis. Memang tidak bisa dipungkiri akan kebutuhan tersebut. Tapi jangan sampai lupa esensi dari pe-warisan intelektual.
Ini di lingkungan tempat saya mengais kerak pengetauan, semoga tidak di tempat kalian. Kita memang masuk kelas, tapi tidak lebih dari sekedar formalitas untuk melengkapi absen. Memuaskan sistem memenuhi target kehadiran. Memikul aturan-aturan tidak rasional. Mempersoalkan potongan baju. Alas kaki. Gaya rambut. Mungkin kalau di buat daftar keluhan terhadap sistem, saya harus minjam jari dewa wisnu biar cukup. Bukanya sibuk menyoal keilmuan, malah salah fokus.
Okelah ya kalau sistem juga mengimbangi kualitas didik. Kalau pendidik ternyata seperti- meminjam istilah Paulo Freire- mendidik ala Bank, ya itu kan tidak ngeh, ngga pas. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pendidik yang berkualitas bisa dihitung jari. Selebihnya tidak jauh beda dengan pendidik diangkatan ABG.
Saking sibuknya mengurusi hal seperti itu mereka sampai lupa bahwa esensi dari pendidikan adalah pengetahuan. Sistem seharusnya mencerdaskan, bukan menganaktirikan pengetahuan. Memperhatikan hal hal yang esensial daripada yang aksidental. Bukan. Bukan yang lain. Sekali lagi, BUKAN YANG LAIN. Saya berani bertaruh atas nama pengetahuan dan pencipta pengetahuan, bahwa mereka yang selalu rapi masuk kelas dan berlari karena pecut sistem tidak jauh lebih unggul dari mereka yang berlari bebas.
Ini sangat memprihatinkan. Sistem pembelajaran seharusnya kian menua kian berkualitas. Meningkatkan mutu kurikulum. Terus melakukan riset dan menelaah apa yang kurang dari sistem. Bukan sebaliknya, sehingga dapat melahirkan generasi seperti jargon ”andalangnya”, kampus peradabang. Lantas apa yang terjadi. Tenaga pengajar hanya sebatas mengajar, tanpa kualitas yang tuntut dapat memperindah peradaban. Sebatas setelan hitam-putih memperketat absensi. Sebatas emosi kalau-kalau tidak dituruti.
Maka tidak heran ada doktrin leluhur dunia kampus kayak gini , ” bangku kuliah hanya menyediakan 20% pengetahuan, selebihnya cari sendiri diluar”. Ini bukan sebatas bualan belaka. Mungkin para dosen menyadari juga hal ini, tapi enggan memperbaiki. Atau oleh karena mereka tahu statistic ilmu dunia kampus, makanya mereka mengaminkan saja agar kerja mereka lebih ringan?.
Yah, semoga pada pengajar ala kaum shopis tersebut lekas sadar..


#ThingAgain.
Read More

Kamis, 25 Mei 2017

Filsafat Cinta : Hujan membawa kenangan

Tulisan lama baru di post. Selamat menikmati

“Hujan membawa kenangan”, itu kata mereka.

Disudut warkop yang tidak beratap.

Aku dan senja. Warna senja mulai memudar di kaki cakrawala. Pelan pelan bintang raksasa itu mulai ditelan gelap. Memangsa gelap disisi lain. Garis garis merah tembaga itupun semakin menegas. Sisa sisa keperkasaanya menusuk-nusuk dedaunan, menelan hijau dengan emas. Kau tau itu, aku selalu menyukai senja. Tak ada yang lebih indah dari pada senja.

Terbanglah hayal menerka-nerka kisah yang lama. Dia lepas bebas menemuimu yang saat itu masih milikku. Batas waktu tidaklah aku perdulikan. Ku biarkan saja semua melanggar hukum alam. Kau tidak mungkin mengulang waktu, itu yang mereka katakana. Salah, aku bisa memutar waktu, bersama fikiranku.

Di kedalaman kuburan masa lalu. Bongkahan kisah dan kepingan kepingan usang yang mulai memudar, aku kais kembali. Siapa tau saja aku menemukan lembaran lusuh tentang kita. Lembaran yang dulu pernah aku bingkai dengan segala mimpi dan rencana tentang seatap bersama. Meski saat itu belum sempat ku tunjukan hingga kau berlalu.

“Ini tentang kisah bunga yang layu sebelum mekar”. Kata-kata itu terpapar rapi, aku mengukirnya lama agar terlihat indah. Aku ingat benar, memori itu aku tulis selepas senja memutuskan harapan bersama malam. Aku mengenang kembali…

Cahaya di lorong kampus hijau sore itu mulai meredup. Sekonyong konyong lampu jalanan beralih menerangi jalan. aku tenang saja, melewati gedung  sejuta mitos itu. Awalnya gedung tua itu adalah gedung rektorat, lalu beralih fungsi menjadi fakultas. Cukup tua, terlihat dari lapisan cat cream yang mulai terkulupas sana-sini.

Ini bukan pertama kalinya aku melewatinya sepetang ini. Kegiatan organisasi kampus memaksa aku harus tinggal hingga larut petang. Tidak masalah, aku malah suka. Tapi kali ini ada sesuatu yang sedikit berbeda. Aku jalan tidak sendiri, ada Shofia yang menemani.

Gadis itu aku kenal beberapa hari yang lalu. Orangnya kecil menggemaskan, manis dan berjilbab besar. Aku selalu menyukai gadis berjilbab besar. Belum lagi belakangan aku tau dia adalah sosok gadis yang tomboy. Pas benar, wanita impianku. Gadis religius yang tomboy, eh.

Canda sepanjang jalan pulang itu, aku tak bisa melupakanya. Seperti menelan senja, matamu selalu sulilt aku lepaskan dari pandanganku. Tawamu yang tanpa dusta. cara jalanmu yang lebih cepat dari gadis kebanyakan. Semua masih lekat dikepalaku, seperti baru kemarin.

Aku dan mendung

Pagi itu, fajar menyisakan luka. Tiupan angin membawa benih luka entah dari mana. Kau murung. Melukai lembaran bukumu dengan sentuhan berlebihan. Aku tersadar. Menyeruaklah alasan-alasan kecewa dari ruang ruang hampa. Hingga aku menyadari tak ada luka yang hadir begitu saja. Aku tau itu salahku. Mungkin langit paham benar hatimu. Mendung.

Aku diseberang sana menatapmu tanpa pernah kau tau.  Berjarak empat meja dari tempatku. Tidak jauh keliahatanya. Tapi ketahuailah, jika itu tentang jarak denganmu rasanya selelu sama saja. Jauh.
Mungkin kau menyadarinya namun kau acuhkan aku. Beberapa bulan mengenalmu membuat aku semakin mengenalmu. Sifatmu, masa lalumu, cara berjalanmu, sorot matamu, warna favoritmu yang mendadak juga menjadi warna favoritku. Kau menjelma sempurna dimataku. Bahkan susunan gigimu begitu aku hafal.

Puluhan puisi tentangmu mengalir dari ujung pena. Entah datang dari mana, rangkain metafora menderas tak terbendung. Kau jelma yang tak habis dikata. Melukis kenangan indah dirimu. Tak pernah habis imaji tentang dirimu. Jangankan menghitung, mengira saja tak kuasa. Mengalir begitu saja.

Tak ada yang lebih indah darimu. Yang ku inginkan hanya menatap dirimu. Lekat dan dalam dan semakin dalam. Aku tak pernah menemukan rasa bosan kalau itu tentang dirimu. Kau membunuh definisi negative apapun itu. kau miliku, aku milikmu. Dan akan selalu, kau impianku.

Aku tau kau sangat menyukai mendung. Kau banyak bercerita tentangnya. Bahkan kau mencipta lagu untuknya. Kau melukis tentangnya. Berpuisi tentangnya. Tapi, pagi ini aku tak pernah melihatmu sebenci ini pada mendung. Maafkan aku.

Aku dan hujan

Kopi itu semakin dingin, sudah sejam lebih bertengger diatas piring kecil berwarna putih dengan hiasan bunga kesukaanmu, tulip kuning belanda. Butiran hujan juga sudah meringsek sedari tadi ke dalam cangkir. Aku baru menyeruput sekali. Terlalu sayang menghalau buah mendung yang kau cintai.

Gerimis itu berubah menjadi butiran yang lebih besar. Hujan. Langit semakin hitam dan pekat. Membasahi keratan masa lalu yang masih membisu. Sunyi. Suara suara kejauhan semakin memudar. Berisik lalu-lalang semakin samar tergantikan rintik hujan. Semakin tenang dan tenang..

Desir darah mengalir semakin pelan. Menuntun butir-butir penyesalan jatuh hingga kedalaman. Dingin pun membius ujung-ujung saraf di permukaan kulit. Ini semakin dingin. Seperti suara detak jantungku terdengar meluruh. Bergerak dalam irama dan dentum yang teratur, bertasbih dengan huruf huruf namamu. Ini semakin muskil.

Bajuku semakin basah dan tidak menyisakan  sisi kering lagi. Cangkir kopiku semakin terisi, perlahan namun pasti. Sejam lagi, mungkin seisi cangkir akan meluap. Menyisakan ampas hitam yang tak diinginkan. Semua hanya masalah waktu. Hingga akhirnya apapun itu datang menjemput.

Mataku sembab dan memerah. Ayahku pernah berkata, air mata laki laki adalah tanda kelemahan. Persetan dengan kelemahan, aku tak peduli. Lelah menumpah butir butir kepedihan. Hampalah ruang yang pernah kau penuhi. Kini, semua tinggal penyesalan.


Hujan. Hanya bersama hujan aku fasih mengenangmu. “Hujan membawa kenangan”, itu kata mereka. Tegaslah yang terselubung pada hati yang rapuh. Cinta akan tetap cinta meski ombak dan badai bergantian menerpa. Cinta akan tetap cinta kita tak lagi sama. Yang terpenting pula, hiduplah hari ini.
Read More

Senin, 22 Mei 2017

Filsafat Cinta : Oase Perjumpaan

Berikut adalah syair perjumpaan yang berhasil saya hayalkan dengan baik. Semoga mampu merangsang imajinasi ke dalam ruang ekstase.
selamat membaca pengunjung kami yang budiman

Oase Perjumpaan
Ingin ku simpan rindu berlebih. Hatinya mulai terpasung rasa yang baru itu. Mendekamlah ia dalam diam. Menikmati gelora cinta yang sulit di ungkap dengan suara. Bibirnya bergetar-getar lembut tak bernada. Seperti terkunci, mulutnya hanya pasrah menunggu waktu. Bersama rasa yang semakin membisu.

Di simpulkan tangan ditengah dada. Matanya menengadah bermunajat kepada Tuhan. Dengan suara lirih sedikit berbisik,” inikah nikmat tikaman rindu yang dijanjikan cinta”.

Terdamparlah ia dipantai lara tak bertepi. Bermunajat penuh harap pada kearibaan yang dapat mendengar. Pada suara-suara kesunyian diujung telinga. Oh burung malam sampaikan salam rinduku. Oh bulan, terangilah dia dalam kesepian. Jelmakan wujudnya di hadapanku. Biar luruh landai gempita rindu.

Ingin ku simpan rindu berlebih. kalau bukan karena kau salah mengetuk pintu, mungkin kau hanya akan menjadi angin lalu. Terbang menuju kejauhan, lalu lenyap dalam ketiadaan. Namun, Tuhan memaksudkan lain. Pertemuan dua insan.

Dia kembali mengenang perjumpaan. Bersetelan merah kuning dengan topi khas bertuliskan pizza hut. Diketuknya pintu rumah cinta. Ketukan nyaring tangan rindu yang sedikit berbulu membangunkan seisi semesta kesunyian. Kau datang tepat waktu, pengantar pizza. Tepat sebelum tubuhku dehidrasi.

Senyumnya tersimpul ramah di atas bibirnya yang sedikit mengering. Seperti sudah terlatih dan mahir, tak sedikitpun ketidaknyaman mengada. Bicara dan gerak tubuhnya mengisyaratkan penghormatan dan mengutamakan kenyamanan. Ah sosok dia, apa ini pura-pura saja atau ini memanglah karakter dirinya?.

Hari hari berlalu penuh tanya.

Ini awal yang tidak pernah akan aku ceritakan padamu. Terlalu sayang bagi telinga dan mata yang buta akan cinta. Biarlah ia gentayangan dalam pusara. Melebur hingga kau lupa.

Ingin ku simpan rindu berlebih. Pesonanya seperti melekat di setiap sudut syaraf. Tiadalah menjauh bayang dirinya. Berkuasa atas segala imajinasi dan hayal akan arti kasih. Membunuh keangkuhan pada hati yang hampir membatu. Meluruh hingga menjadi debu. “..dan kau angin. Bawalah terbang hingga jauh. Bawalah menuju ruang yang tak pernah aku tau. Ke dalam waktu yang tidak akan pernah aku tuju”.

Kau tiba di waktu yang tepat. Tepat sebelum hatiku benar-benar melayu. Sebelum cahaya cintaku lenyap ditelan gelap sisi kedukaan. Perlahan seperti membaik. Berubahlah di sisi sebelah dalam sungguh tandus. Angin mungkin bertiup disana, tapi bukanya membawa awan dan hujan. Tapi bulir debu yang yang memekakkan mata.

Ingin ku simpan rindu berlebih. telah lama ia berputus asa akan nikmat cinta. Dia sandarkan pengharapan akan rindu dan kasih pada pualam-pualam licin. Agar tak ada sakit saat menapak. Agar tak ada bekas bagi sekelibat jejak. Ia tinggalkan semua mimpi bersama pesakitan yang tidak pernah ingin ia jumpai. Hingga pada penghujung senja di batas luka. Cinta perlahan menyingsing tanpa ragu.

Sekarang, teranglah fatamorgana. Takdir sua telah terlampir dalam catatan sakral malaikat di lauhul mahfuz. Ia telah menemukan bahu untuk bersandar. Ialah punuk yang terbang menuju bulan. Tiadalah lagi batas baginya menuju ruang kerinduan. Tabir cinta teranglah sudah. Dia tak melihat lagi kepura-puraan dimatanya. Senyum dan sorot matanya, gerak tubuh dan suaranya. Yang terlihat hanyalah ketulusan mendalam dari insan yang dijanjikan.

Ingin ku simpan rindu berlebih. Agar tak patah oleh seutas temu.

...
silahkan nikmati tulisan kami yang lainya,,, terimakasih!


Read More

Tubuhku yang berulang tahun (Pemikiran tentang Ulang Tahun)



Telah 17 hari setelah aku berulang tahun. Umurku sekarang terhitung menjadi 21 tahun. Usia yang tidak lagi bisa di sebut anak-anak tetapi juga tidak bisa di sebut sebagai dewasa. Aku senang menyebut fase 21 tahun sebagai fase dualitas. Aku masih memiliki sifat anak-anak tetapi berusaha untuk menjadi orang dewasa. dengan memiliki dua wajah itu pula, aku ingin mengucapkan bahwa ke “akuanku” masih berada di pertengahan jembatan antara kedirian dan struktur masyarakat.
Aku yang berumur 21 juga adalah “aku yang tercabik-cabik”. Begitu banyak kesadaran yang timbul dari dasar laut ketidak sadaran. Pengalaman-pengalaman terhadap putting ibu kembali timbul secara lebih nampak dan kompleks. Aku yang tercemaskan akibat keterpisahan dari esensi putting Ibu kembali terulang pada aku yang 21 tahun. Kali ini putting ibu “berwajah dua”. Wajah yang sebelah adalah aku yang didekap dada ibu. Dan wajah sebagian adalah putting ibu yang berbentuk putting masyarakat.
Aku yang berumur 21 tahun juga adalah aku yang menghisap putting masyarakat. Aku bisa menolaknya, tetapi aku akan mengalami kecemasan sebagai yang dianggap “kurang gizi” atau sebaliknya, memilih menghisap putting masyarakat dan di ninabobokkan lalu mati. Aku tahu, hanya putting ibu yang melilitku dengan plasenta sebagai esensi tubuhku. Sedangkan putting masyarakat adalah putting ilusi, sebuah putting yang menyamarkan bentuk payudara ibuku. Tetapi yang membuatku tercabik. Putting ibuku telah memasyarakat. Putting yang meruntuhkan tubuhku.
Di Umur 21 tahun, aku juga melihat tubuhku. Memandang kelaminku sebagai kuasa kejantananku. Kadang aku melihatnya sebagai yang lain. sebagai sesuatu yang tak pernah kuminta. Tuhan menyusun kelamin itu pada tubuhku. Padahal aku ingin menukar kelaminku dengan pena. Agar aku hanya berhasrat untuk mematahkan penaku.
Aku juga melihat jakun yang tumbuh di tengah leherku. Suaraku semakin berat dan bulu-bulu telah menguasai tubuhku. Aku tak pernah meminta untuk bertubuh seperti ini. Aku lebih ingin tidak bertubuh. Tubuh adalah kerinduan. Dan tubuhku tidak pernah tahu arti terpisah dan juga tidak becus mengalami kesepian. Sedang aku yang tidak bertubuh adalah aku yang sepi dan selalu terpisah.
Mengalami berbagai kompleksitas berwajah dua di umur 21 tahun sungguh seperti kencing dengan satu kaki. Aku di gerus oleh ilusi kehidupan. Kehidupan yang miskin esensial. Aku di tombak masyarakat yang tidak mengakui keakuanku . Meraka butuh aku yang menjadi lain. Aku yang berkuasa bukan aku yang esensi.
Inilah aku saat ini. aku yang akan menjadi berisik dan tiba- tiba menjadi diam. Aku yang tertawa dan tiba-tiba menjadi sedih. Kuingatkan untuk tidak berkawan denganku karena aku tiba- tiba menjadi musuh. Sungguh aku hanya ingin mencari kembali putting payudara yang pernah kuhisap dulu. Putting payudara yang bisu. Putting payudara universal. Putting yang melampaui putting ibuku. Putting payudara Tuhan.
Demikian catatan ini menandakan aku yang memilih untuk tidak memasyarakat.

***

Setelah anda membaca aku yang 21 tahun. Aku telah menjadi dia. Dan apa yang anda baca adalah apa yang anda pikirkan. Secara tidak sadar aku yang 21 tahun dalam tulisan ini telah mati dan bereinkarnasi menjadi dia. Tetapi dia juga telah mati dan kalianlah yang membunuhnya.
Read More

Aku-kamu-kosmos di tengah nilai-nilai

Aku,kamu dan kosmos di tengah nilai-nilai.


ironi sampah di lautan

Bumi di tengah Aku.

Dapat saya kemukakan bahwa tanah tempat saya berpijak semakin bosan untuk berbagi gerak. Mulai dari aku yang berprilaku a moral terhadap alam itu sendiri, seperti membuang sampah dengan “ikhlas” tidak pada seharusnya dan tidak seharusnya menyampah untuk waktu yang tepat. Aku tidak menyadari bahwa sampah yang kubuang adalah benda yang kasar, yang berarti dapat mempersempit gerak di dalam ruang. Maksudnya sampah itu seharusnya tidak di tempatkan pada ruang tempat aku bergerak sampai menumpuk. Tetapi aku sadar pula, bahwa bukan hanya aku yang bergerak. Alam sebagaimana pengertiannya sebagai mumkinul wujud. Juga adalah wujud yang berpotensial. Itu berarti aku yang bergerak di tengah bumi. adalah aku yang bergerak bersama gerak lainnya. Untuk itu membuang sampah tidak ada tempat yang tepat untuk manusia kecuali memanfaatkan sampah itu untuk mendukung gerak alam semesta.

Kesadaran aku ini tidak sejalan dengan fakta bahwa Indonesia menempati urutan kedua di seluruh bumi sebagai penyumbang sampah plastik kelaut. Fakta ini seperti “jaring laba-laba” yang merekat keberbagi titik. Dengan banyak sampah plastik yang bersebaran ke laut akan mengusik gerak ekosistem laut, Ini berarti kebanyakan manusia di Indonesia menganggap bahwa Laut bukan bagian dari dirinya sendiri.

Ada kesenjangan gerak antara manusia dan makhluk hidup lainnya di negeri ini. Nilai hanya ada untuk manusia. Sehingga moral hanya berlaku bagi relasi gerak manusia dengan manusia. Sedang makhluk hidup lainnya hanya menjadi pendukung bagi moral sempit manusia. Gerak moral ini biasanya di sebut sebagai moral Antroposentris-subjektivistis, yang mengartikan manusia sebagai pusat gerakan di alam semesta. Sehingga kemana manusia bergerak di sanalah alam semesta mengekor. Ke mana aku memandang, di sanalah alam ikut memandang. Bila aku membuang sampah dan sampah itu tidak mengganggu manusia lain maka alam juga tidak ikut terganggu. Seperti itulah jika bumi di tengah Aku.

Dalam persoalan nilai untuk alam itu sendiri, H. Lotze seorang filsuf jerman  yang berusaha membersihkan nilai dari realitas demi adanya metode naturalis yang bebas nilai. Belakangan misi ini di kritik habis oleh filsuf kritik Habermas, bahwa segala metode positivistik untuk menyelidiki realitas tidak akan pernah bebas nilai. Positivistik pada akhirnya menguasai alam untuk kepentingan manusia.

 Antroposentris yang positivistic  di kritik pula dengan lugas oleh paham biosentris yang menjadikan aku di tengah bumi.

Aku dan kamu di tengah kosmos.

Biosentrisme secara harfiah dapat di batasi maknanya bahwa yang hidup menjadi pusat lingkaran kehidupan. Itu berarti nilai merasuki setiap yang hidup dan manusia mau tidak mau, bukan lagi menjadi penguasa nilai. Manusia juga harus tunduk di hadapan alam semesta, alam semesta menjadi komunitas moral, di mana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai.

Adalah Albert Schwitzer, pemenang Nobel tahun 1952 yang mengabdi sebagai seorang dokter dan filsuf. Menurutnya, nilai biosentris bersumber pada kesadaran bahwa kehidupan adalah hal sakral, dan bahwa “saya menjalani kehidupan yang menginginkan untuk tetap hidup”. Baginya orang yang benar-benar bermoral adalah orang yang tunduk pada dorongan untuk membantu semua kehidupan, ketika ia sendiri mampu untuk membantu semua kehidupan, dan menghindari apa pun yang membahayakan kehidupan.

Etika biosentris yang di canangkan oleh Albert Schwitzer agaknya mencoba menggiring manusia untuk keluar dari batas spesia buatan Aristoteles. Bahwa di luar batas itu manusia dan alam adalah identik. Semua makhluk yang hidup setara dalam menggunakan semua dayanya menjadi hidup. Untuk itu manusia yang memiliki kesadaran seharusnya menghormati gerak hidup makhluk lain.

Etika biosentris yang menggiring manusia untuk keluar dari spesia Aristoteles juga di canangkan oleh Paul Taylor. Menurutnya etika Biosentris di dasarkan pada empat keyakinan. Pertama, manusia adalah bagian dari komunitas kehidupan. Kedua, bahwa spesies manusia dan spesies lainnya berkembang karena relasi satu sama lain. ketiga, setiap organisme adalah unik dalam mengejar kepentingan sendiri sesuai dengan caranya sendiri. Keempat, keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari pada makhluk lainnya.

Keempat keyakinan Paul Taylor dapat mudah di mengerti bahma manusia hanyalah binatang biologis yang sama dengan binatang biologis lainnya. Dalam lingkup materi yang sama, manusia dan makhluk hidup lainnya memiliki daya potensial yang sama yang tunduk pada nilai kehidupan di luar dirinya.
Ini menegaskan bahwa apapun yang di putuskan oleh manusia harus mengingat kepentingan dirinya di tengah kehidupan organisme lainnya. Tetapi saya pikir, manusia di zaman ini amat sulit untuk mengerti etika ini karena manusia dengan rasionalitas instrumentalnya memonopoli nilai untuk yang berkesadaran saja. Untuk itu nilai perlu untuk di gumuli kembali, di tempatkan dan di gerakkan, agar aku dan kita tidak mengalami kesenjangan gerak di tengah gerakan alam semesta.

Aku di tengah Nilai-Nilai

Aku berusaha yakin kalau aku mampu untuk menelanjangi nilai maka aku mampu untuk bergerak luwes mengikuti gerak alam semesta dan dengan Nilai yang telanjang itu, orang mampu untuk berbagi gerak dan menjaga relasi gerak dengan makhluk hidup lainnya. Untuk itu sebagai kesimpulan awal. Saya meyakini bahwa Nilai harus meliputi subjek dan objek. Nilai bukan berada pada subjek dan bukan pula berada pada objek. Tetapi nilai harus berada diantaranya sebagai kesatuan yang mengatasi subjek yang berjarak dari objek ataupun mengayomi subjek yang melebur dengan objek. Dan nilai seperti apakah itu?.

Kasus sampah yang berserakan dan menumpuk di Indonesia adalah fakta yang membuktikan bahwa eksistensi manusia dengan nilai sebagai polaritas dan ber hierarkis erat kaitannya. Nilai yang di pikirkan manusia sangat berpengaruh bagi eksistensi manusia. Sampah yang di acuhkan manusia dalam polaritasnya dapat di sebut sebagai benda yang bernilai negatif. Tetapi sampah yang di perhatikan manusia dapat berubah nilai polaritasnya sebagai nilai positif jika sampah itu mampu
beranjak dari hierarki nilai terbawah sebagai nilai negatif menjadi hierarki bernilai guna jika sampah mampu di daur ulang dengan daya kreatif manusia. Tetapi daya kreatif manusia adalah bentuk kewajiban manusia yang tidak bisa lain harus menjaga kelestarian alam.

Sekarang kata “sampah” memang dapat di nilai sebagai nilai yang mampu berubah mengikuti subjektivitas penilaian manusia. Tetapi kata perintah “tidak membuang sampah sembarangan, tidak menyampah secara berlebihan. Dan menjaga kelestarian alam” adalah kata yang imperative kategoris, yang tidak bisa lain adalah kewajiban tak bersyarat. Dengan mengatakan “sampah bernilai negatif” maka dengan ototmatis “ saya menghendaki untuk tidak membuang sampah”. Memang, dengan serta merta sentimen psikologis indivisu atas pemberian nilai dengan pengkataan “sampah” kepada sebuah dan banyak benda pasca pakai, akan menggiring pula sentimental ego subjektivistik untuk menjelekkan sampah, meskipun perbedaan selera pada akhirnya membuat nilai kata “sampah” itu tidak berakhir melainkan terjatuh dalam perbedaan selera, sebagaimana Bertrand Russel mengungkapkannya. Namun “sampah” bukan hanya merupakan selera individu, tetapi kata “sampah” adalah pemakaian kata untuk masyarakat sehingga pengkataan sampah secara empirisme logis berakhir pada adat kebiasaan sosiologis. Dan saya sedang berusaha yakin bahwa “sampah” di hampir sebuah negara dari yang paling bobrok dan yang paling maju, menjadi sebuah hal yang nilainya mesti di daur ulang. Untuk itulah nilai “sampah yang di daur ulang” adalah demi nilai yang lebih tinggi yakni “menjaga kelestarian alam.”

“Aku tidak boleh menyampah secara berlebihan dan sembarangan, itu tidak bisa lain karena aku wajib untuk tidak menyampah secara berlebihan dan sembarangan.” Ini karena Nilai menjaga kelestarian alam adalah nilai yang sakral, tidak bersyarat untuk kesenangan manusia atau tujuannya untuk menjaga kelestarian alam. Tetapi nilai itu berada di luar manusia, dan manusia tidak bisa lain meski tanpa kepentingan psikologis. Manusia wajib tunduk pada nilai menjaga kelestarian alam itu.
Sampah secara kasarnya tidak mampu dindrai secara percuma. Sampah adalah kata untuk penilaian yang mengidentifikasi semua benda yang nilai gunanya lebih kecil dari pada nilai gangguannya. Dalam tingkatan ini sampah adalah hasil dari nilai sekunder dari penilaian manusia terhadap benda pasca pakai. Tetapi sebelum menilai/mengalami. Secara utuh manusia telah wajib untuk menjaga keseimbangan alam. Nilai keseimbangan adalah nilai yang apriori yang mendahului penilaian kata “ sampah” sehingga pada akhirnya penilaian itu mengikuti nilai yang baku. Maksudnya dengan menilai benda sebagai sampah yang menyentuh keseimbangan alam. Maka benda tersebut dengan begitu saja wajib untuk tidak di pertahankan nilainya. Ia berubah mengikuti nilai yang tidak berubah.
Meskipun karena keanehan belahan jiwa yang di miliki setiap manusia. Adapula orang yang menganggap bahwa sampah yang tidak di daur ulang dan mengandung zat kimia yang berbahaya untuk kelangsungan gerak alam masih di anggap belum menganggu. sehingga ada kasus seorang manusia yang memang sengaja membuang sampah secara sembarangan. Inilah yang kemudian menjadi persoalan, jika orang menganggap bahwa nilai itu tidak dapat di mengerti dan tidak mungkin di perdebatkan. Karena pada akhirnya nilai etis juga tidak akan berlaku bagi selera yang berbeda dengan kebanyakan. Ini pula yang menjadi kekurangan dari teori nilai yang di gagas oleh Bertrand Russel jika di perhadapakan pada persoalan menyampah dan menjaga keseimbangan alam. Karena bagaimanapun berbedanya selera antara subjek. Persoalan sampah adalah persoalan “aku di tengah bumi”. sampah bukan hanya persoalan “aku dan kamu” tetapi persaolan lingkaran “ aku, kamu dan bumi di tengah nilai-nilai”.

Saya memang berpikir, jika orang hanya menilai dengan ego sentimental dan selera subjek yang sangat mengedepankan empirisme. Maka gerak di ruang hidup akan berat sebelah. Dan keseimbangan sebagai sebuah kesatuan dan transparansi intelektual manusia akan ternodai. Sehigga alih-alih untuk memikirkan hubungan subjek dan objek atau antara aku dan alam. Sesungguhnya relasi ini jika memakai ajaran subjektivis maka yang terjadi adalah pembungkusan alam demi untuk relasi “aku dan kamu.”

Bila itu yang terjadi, maka alam akan selalu di anggap lain dari ruang ini. ia bergerak mengikuti gerak manusia. Dengan begitu manusia yang berbeda selera dan psikologis akan membawa alam bergerak mengikuti jiwa manusia yang rentan neurotis. Jika relasi manusia sakit, maka alam akan merespon dengan guncangan di permukaan. Jika manusia menyampah secara berlebihan alam akan merespon dengan dengan bencana yang tak terduga.

Untuk menghindari bencana alam yang sebenarnya jelas di depan mata akibat ulah manusia. Mesti ada kontruksi nilai yang di bangun kembali. Nilai yang tidak membuat senjang “aku-kamu” dan “aku-kamu-bumi”. atau nilai “primitive dan modern”. Saya yakin harus ada nilai yang tetap,tidak berubah dan tidak mengikuti pengemban. “Sampah” itu dapat berubah nilainya tetapi nilai “keseimbangan alam” harus  selalu sebagai nilai yang terjaga. Dan nilai “keseimbangan alam” itu adaah apriori sehingga sangat mungkin di ketahui oleh setiap manusia.

Aku , kamu dan kosmos di tengah nilai-nilai.

Aku-kamu di dalam kosmos , saya pinjam dari istilah Max Scheler yang menulis judul bukunya The position of Man in the Cosmos ( Kedudukan manusia dalam kosmos). Di sini dia menulis:

Kami menolak hipotesis teis tentang “ Tuhan yang spiritual dan berpribadi, yang maha kuasa dalam Spiritualitas-nya.” Bagi kami hubungan manusia yang dijalin manusia dengan prinsip alam semesta terkandung dalam fakta bahwa prinsip ini di pahami secara langsung dan di sadari di dalam diri manusia sendiri, yang sebagai makhluk hisup, makhluk spiritual, hanya merupakan sebuah nucleus parsial dari gerak hati dan semangat dari ‘Ada yang mengada melalui dirinya sendiri’, itu merupakan ide kuno dari Spinoza, Hegel dan yang lain: Ada yang pertama yang memperoleh kesadaran dirinya di dalam manusia… Kedatangan manusia dan kehadiran Tuhan mengimplikasikan satu sama lain, secara timbal balik, sejak awalnya, menurut konsepsi kami. Manusia tidak dapat memenuhi nasibnya tanpa mengetahui dirinya sebagai salah satu anggota dari dua atribut Ada yang tertinggi dan sebagai penghuni Ada; juga tidak dapat menjadi Ada melalui Dirinya sendiri – tanpa kerja sama manusia. Ruh dan gerak hati, dua atribut ada, tidak sempurna dalam dirinya sendiri – tanpa memperhatikan adanya peresapan timbal balik yang berangsur-angsur, sebagai tujuan akhir –, namun agaknya, berkembang selama perwujudannya dalam sejarah ruh manusia dalam evolusi hidup universal.( saya kutip dari Risieri Frondisi, Pengantar Filsafat Nilai, h. 105 ).

Agaknya dengan kutipan ini, Scheler terlihat ketimuran, yang menempatkan manusia sebagai bagian dari gerak antar bio, yang bergerak sebagai penghuni Ada yang saling bertimbal balik bergerak untuk memenuhi tujuan akhir. Aku, kamu di dalam kosmos adalah gerak evolusi timbal balik dalam hidup universal.

Sehingga tidak lagi bisa lain, membuang sampah dan mengatasi sampah lalu menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosisitem adalah bagian dari evolusi hidup universal. Sehingga wajib untuk menjaga relasi gerak di dalam ruang.

Scheler memang terpengaruh oleh etika Deantologis Kant. Di mana ia mengatakan etika Kant itu sebagai etika tertinggi, meskipun Scheler juga mengkritik kesalahan etika Kant yang hanya menempatkan benda-benda sebagai bernilai empiris saja. Scheler mengatakan bahwa benda-benda itu yang justru adalah nilai dan bukannya tergantung pada mereka.

Secara sederhana etika deantologis adalah etika yang melepaskan manusia dari tujuan dan hipotesis. Etika deantologis mengharuskan manusia baik karena hal itu adalah imperative kategoris yang berarti kewajiban tanpa syarat.

Dalam etika deantologis, “aku yang membuang sampah tidak pada tempatnya” adalah kewajiban dan bukan karena “aku membuang sampah pada tempatnya untuk keindahan dan tidak menggangu lingkungan” tetapi tidak bisa lain “aku harus membuang sampah pada tempatnya”. Mengapa demikian? Karena secara apriori konsep keseimbangan mendahului pengkataan “sampah” pada benda dan pada saat sampah di buang. Sehingga secara moral “aku berkewajiban untuk tidak membuang sampah sembarangan.”Etika deantologis ini setidaknya mampu untuk mencegah manusia untuk tidak menyampah secara berlebihan.

Melihat Scheler menuliskan bahwa Nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda melainkan benda itu sendiri adalah nilai. Maksudnya nilai pada benda itu mendahului kegiatan memberi penilaian oleh bentuk empirisme. Semisal, membuang sampah plastik kelaut itu adalah buruk, nilai buruk itu sudah tetap pada perilaku itu sebelum di lakukan, nilai pada benda itu menguapkan bahwa manusia tidak hidup sendiri di kosmos ini, melainkan manusia juga ikut di nilai dalam memberikan penilaian.

Dengan nilai yang ada pada benda. Menegaskan bahwa manusia berbagi gerak dengan benda di dalam ruang ini.  seperti warna merah yang berbagi gerak dengan warna biru dalam ruang yang sama. Perilaku membuang sampah tidak pada tempatnya adalah perilaku aksiologis kenikmatan manusia yang menodai ruang bagi gerak benda lain.

Jika ada orang yang secara sentimental di anggap baik sebelumnya namun membuang sampah tidak pada tempatnya maka ia seharusnya bermoral buruk. Tetapi bila ada seseorang yang di nilai buruk sebelumnya namun telah membuang sampah pada tempatnya maka ia harus di nilai baik. Meskipun ukuran ini amat besar untuk di kritik karena bisa jadi orang membuang sampah pada tempatnya di dorong oleh keinginan dan tujuan tertentu. Tetapi perilaku membuang sampah pada tempatnya atau tidak menyampah secara berlebihan adalah perilaku yang menjaga keseimbangan, ia pantas untuk bernilai baik.

Setidaknya, dengan Scheler saya menyadari bahwa manusia bergerak di tengah nilai-nilai. Ini berarti manusia mesti harus di karuniai ukuran moral yang berlaku di mana saja. Yang mungkin dapat di generalisasikan  untuk semua gerak di dalam satu ruang dalam waktu yang sama. Dengan menunjuk logika hati – mesti banyak di kritik sepeninggalnya – dapat menjamin gerak Ada dan penghuni ada di dalam gerak Ada itu sendiri.

Pergerakan Ada di dalam dirinya sendiri sebagai ruang itu sendiri tidak mungkin di pahami oleh rasionalitas manusia, hubungan gerak antara laut, ombak dan manusia di dalam ruang yang sama dengan Ada yang menjadi dirinya sendiri tidak mungkin dapat di deteksi oleh rasio. Namun Scheler memiliki jalan keluar dengan mengatakan bahwa Ada yang  bergerak melalui dirinya sendiri dengan menyatakan diri kepada kita melalui persepsi sentimental, dalam preferensi, cinta dan benci. Secara sederhana. Ketersinggungan gerak atau ketidak semibangan gerak yang di timbulkan oleh manusia – karena membuang sampah plastik ke lautan – alam dapat menyatakan diri dengan gejolak atau bencana yang menimbulkan kerugian bagi gerak manusia. Untuk itulah pemahaman primitive tentang bencana alam yang terjadi karena kemarahan daya supernatural alam dapat di benarkan, meskipun hubungan sebab akibat itu dapat mudah di mengerti dengan menggunakan pikiran.- bencana banjir di sebabkan ulah manusia- tetapi banjir atau air yang mengamuk itu sendiri menyatakan diri kepada manusia dengan persepsi hati lewat “banjir” sebagai citra akan adanya gerak yang tidak seimbang di dalam ruang. Ini mengartikan juga bahwa citra banjir yang menyatakan diri lewat persepsi hati manusia adalah bentuk cinta dan benci alam yang secara spontan timbul karena ulah manusia. Kekuatan gerak alam yang menyatakan diri bukan reaksi yang timbul karena hasil pemikiran, seperti alam murka terhadap kita karena membuang sampah kelaut. Tetapi secara spontan , dengan kita membuang sampah plastik kelaut atau kesungai maka banjir pasti akan terjadi.

Fenomena-fenomana alam itu sendiri menampak pada diri kita secara spontan mengikuti keseimbangan gerak yang di jamin oleh ruang Ada yang menjadi dirinya sendiri. Sebagai aku yang sadar terhadap Ada, aku pun menjamin gerak alam sebagai mereka yang bernilai di dalam nilai Ada itu sendiri. Dalam ukuran sebagai aku yang sadar dengan gerak dan ruang. Maka aku punya kebebasan di antara pilihan dan preferensi. Aku bisa memilih dengan sebelumnya memiliki pengetahuan tentang nilai baik dan buruk. Tetapi pilihanku di dahului oleh preferensi akan adanya nilai terendah dan tertinggi. Namun pilihan dan pereferensi ini bisa terlepas demi menjamin gerak di dalam ruang itu sendiri. Ada yang menjadi dirinya sendiri adalah abadi sebagai nilai tertinggi karena Ada menjamin kelangsungan ada yang mengikuti gerak Ada dalam kosmos. Ini berarti kefanaan gerak benda yang di indra manusia memang lebih rendah dari manusia yang sadar akan keabadian. Tetapi manusia juga lebih rendah dari pada gerak dan ruang yang meliputinya. Sedang ruang dan gerak itu sendiri lebih rendah dari pada Ada yang bergerak melalui dirinya sendiri. Sehingga manusia sebagai yang bebas bergerak dalam ruang memang menjadi pusat gerak kosmos. Tetapi manusia juga tunduk pada gerak dan ruang yang menjadikan manusia sebagai bagian dari makhlukh hidup yang juga bergerak di dalam ruang. Sehingga manusia harus menyadari dirinya sebagai penghuni Ada yang bergerak melalui dirinya sendiri. Ini berarti Nilai tertinggi itu melingkupi semua nilai gerak benda.

Nilai kekudusan sebagai hierarki tertinggi yang di tempatkan oleh Scheler setidaknya menempatkan Nilai Ada diatas segala yang mengada, ini kemudian membuat Ada seringkali menampakkan diri untuk menjamin kedekatan Ada terhadap penghuni ada lewat penampakan-penampakan alam dan benda-benda. Nilai dari kenikmatan menuju niai kekudusan lewat nilai hidup dan spritualitas adalah nilai-nilai aprioristik yang menjamin relasi antara yang nilai-nilai yang mengada.

Dengan ini saya membenarkan kehebatan manuia dan sekaligus kelemahan manusia. Aku sebagai manusia yang berkesadaran tidak bisa lagi mengasingkan diri dari benda dan kehidupan alam. Dan mengasingkan alam dari kehidupan manusia lewat eksploitasi alam yang menganggu gerak alam itu sendiri. Meskipun alam memliki spontanitas, tetapi manusia yang sadar akan spontanitas alam itu lewat tubuhnya yang merupakan spontaitas alam kecil. Mampu untuk menjadi penjamin bagi gerak harmonis alam di dalam ruang Ada yang mengada melalui dirinya sendiri.

Dengan berbagai kerumitan nilai ini. saya mengimbau kita semua untuk tidak membuang sampah secara berlebihan dan sembarangan dan ini tidak bisa lain karena kita semua tunduk di bawah Ada yang menjamin gerak di dalam ruang tempat kita berbagi gerak dengan benda-benda di dalam alam.
Mengatasi sampah lewat merubah cara pandang kita terhadap nilai benda-benda. Dan nilai kita di tengah alam semesta. Kiranya membuat kita bijak memaknai eksistensi kehidupan kita di tengah nilai-nilai. Meskipun remeh untuk tidak membuang sampah secara berlebihan tetapi dampak dari keremehan ini adalah menyentil keseimbangan. Dan akibat dari sentilan terhadap keseimbangan itu adalah kekacauan alam semesta.
Read More

Sabtu, 20 Mei 2017

Filsafat Nilai : Bertrand Russell dan Aksi 1000 Lilin untuk Ahok

Sebelum membaca tulisan ini saya sarankan anda sedikit relax. dan siapkan kopi dan snack terbaik yang anda miliki. Tulisan ini akan sedikit membosankan kalau tidak sambil bersantai. Yah, seperti yang akan anda temukan, tulisan ini terlalu panjang sebagai artikel. Tapi cobalah..

Selamat menikmati
aksi seribu lilin
Sumber:borneonews.co.id

Filsafat
Nilai
Bertrand Russell dan aksi 1000 lilin untuk Ahok

Dalam tulisan singkat ini penulis akan mencoba menggunakan pandangan russel dalam filsafat nilai untuk mengulas fenomena aksi 1000 lilin untuk Ahok. Aksi yang berlangsung di Indonesia pasca vonis Ahok selama 2 tahun penjara menuai pro-kontra dibeberapa daerah. Olehnya kiranya tepat menggunakan pandangan russel ini untuk menentukan nilai-terutama etik- dan cara pandang para actor yang terlibat dalam pro-kontra aksi tersebut.
Perlu kiranya penulis menjabarkan maksud tulisan ini adalah semata mata mencoba memberi sudut pandang baru, yang mungkin saja sangat lemah dari segi analisa dan kekayaan pengetahuan serta kelengkapan pemaparan. Namun, setidaknya yang ingin penulis capai dalam tulisan ini adalah, memantik argument dan komentar lebih banyak terhadap tulisan ini terlebih terhadap polemic ini. Serta kritik, dapat memotivasi penulis untuk lebih jeli dalam menganalisa.

Bertrand Russel dan Nilai
Bertrand Russell
sumber:cdn.psychologytoday.com
Bertrand Russell (1872-1970) adalah filsuf kelahiran inggris. Berasal dari keluarga liberal dan aristokratik keturunan Perdana Mentri John Russell. Russell menjalani pendidikan awal di rumah (home schooling, lalu sejak 1890 di Trinity College, Cambridge, ia memfokuskan diri pada bidang studi ilmu matematika.[1]
Bertrand Russell adalah salah seorang pribadi yang cemerlang di dunia filsafat modern. Sumbanganya yang terpenting  telah diberikan dalam disiplin yang teknis terutama dalam logika matematika. Dia senantiasa bersikap ilmiah terhadap filsafat dan sikap ini menggambarkan dia lebih dekat dengan empirisme logis. Dia telah menerbitkan lebih dari 40 buku dan ratusan artikel. Tidak satupun dari bahasa beradab yang tidak mengetahui paling tidak salah satu ari buku Russell, bahkan di usianya yang ke-90 produktivitasnya tidak menurun.
Teorinya tentang nilai dikemukakan terutama dalam bukunya religion and science (agama dan ilmu), yang juga terangkum di dalamnya pemikiran pemikirannya yang anti-agama dan anti-metafisika. Dalam hal lain salah satu karakteristik Russell, yakni kajian ilmiah yang tenang dan objektif serta argumentative.
Russell berpendapat bahwa persoalan yang mengacu pada nilai berada di luar bidang ilmu pengetahuan. Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu memiliki nilai, kita tidak mengatakan sesuatu yang bebas dari perasaan kita. Malahan kita memberikan ungkapan atas emosi kita sendiri. Ini selanjutnya mengadaikan bahwa apa yang kita sebut sebagai nilai etik atau moral tidak terlepas dari pengaruh individual yang berusaha meminta pengakuan universal.
Russell, memulai dengan analisis terhadap ide tentang kebaikan. Ide ini secara umum dapat dikatakan apa yang mengacu pada nilai baik ini akan dapat juga diterapkan dalam nilai yang lain. dia menyatakan bahwa, “adalah jelas bahwa seluruh ide tentang yang baik dan jahat memiliki hubungan dengan keinginan”. Russel melihat pada diri subjek yang memberikan nilai, berupaya menguniversalkan apa yang disebut baik oleh dirinya sendiri. Dalam hal etika misalnya, menurutnya adalah keinginan untuk memberikan makna universal diatas keinginan pribadi tertentu.[2]
Mengapa? Russel mengatakan bahwa ini terjadi karena manusia tidak mengkonsepsikan antara yang baik dan yang diinginkan[3]. Karena dia tidak menangkap makna kata yang berbeli belit. Jadi ketika seseorang mengatakan, “ini adalah baik dalam dirinya sendiri”, dia berfikir sedang membuat pernyataan yang sama dengan “ini adalah segi tiga”.  Dalam kalimat pertama sangat jelas bahwa yang dimaksudkan adalah saat kita memberikan nilai kepada benda, maka di sana kita sedang mengutarakan penilaian yang agar dapat diterima secara universal.
Kalimat “ini adalah baik dalam dirinya sendiri”, sejatinya kita sedang memberikan penilaian kepada yang sebelumnya belum memiliki nilai. Tampak ada semacam pemaksaan penilaian disana. Dalam kalimat tersebut secara pemaknaan, akan sama dengan kalimat, saya menghendaki setiap orang menginginkan ini. jika seorang ingin menghubungkan isi dengan apa yang dinyatakan dia harus menafsirkannya sebagai satu penegasan atas satu keinginan pribadi.
Lantas bagaimana kekacauan ini dapat terjadi? Russell menjawab penyebabnya adalah keinginan, sejauh itu berlangsung, yang bersifat pribadi, namun sesuatu yang diinginkan itu bersifat universal. Misalnya ketika saya mengatakan, “keindahan itu baik” seolah saya juga mengatakan bahwa,”semua orang harus mencintai keindahan”. Pada kalimat pertama tidak menegaskan sesautu. Sedangkan pada kalimat kedua mengacu pada suasana kejiwaan si penutur. Kalimat pertama masuk kedalam wilayah etik, tanpa kognisi, yang ada hanyalah pengungkapan keinginan tanpa ada unsur benar atau salah.
Proposisi tanpa kognisi seperti itu berada diluar ilmu pengetahuan ilmiah. Russell menulis teorinya yang disebut subjektivisme nilai. Jika dua orang berbeda pendapat mengenai nilai, kata Russell yang terjadi bukanlah ketidakepakatan diantara mereka dalam hal kebenaran, yang terjadi hanyalah perbedaan selera. Russell dalam hal ini dikarenakan menurutnya, dasar utama untuk menerima pandangan ini karena merupakan kemustahilan untuk menemukan argumen guna membuktikan bahwa nilai ini atau itu memiliki nilai intrinsik.
Namun perbedaan selera ini tidak lantas menimbulkan konsekuesnsi immoral. Semisal runtuhnya nilai yang mengikat dan meyakinkan orang akan nilai etis dan moral. Kewajiban moral secara lebih luas dapat diartikan sebagai keinginan, keinginan impersonal yang memandu kita hidup, oleh karena kekaguman. Keinginan impersonal musti melebihi keinginan persolan atau egoisme pribadi, keinginan impersonal ini merupakan keinginan yang memiliki jenjang yang sama. “keinginan menjadi baik pada umunya mengubah dirinya menjadi keinginan yang disetujui, atau kalau tidak, dengan berbuat sedemikian rupa, sehingga menghasilkan konsekuensi umum yang kita inginkan.
Lantas mengapa kita lebih menyenangi keinginan impersonal dibandingkan egoisme pribadi? Adakah kriteria aksiologis yang memberikan hierarki etis bagi keinginan? Jawabanya terletak pada kenikmatan dan ketidaknikmatan. Kenikmatan tergantung pada kebiasaan dan faktor konvensional. Kebaikan tergantung pada keadaan, unsur sejarah maupun budaya. Tertib moral adalah berbeda: jika orang menyamakan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, yang baik dan yang diinginkan, maka setiap kriteria moral ditinggalkan. Konsekuensi immoral dari ajaran tersebut jelas ada.

aksi 1000 lilin untuk ahok
Sumber : harianindo.com

Ahok dan aksi 1000 lilin
Sekedar untuk menggambarkan kembali kasus ahok yang berlangsung alot beberapa bulan terakhir ini. Penulis mencoba menjabarkan secara-sangat-ringkas perjalanan sekaligus kemelut ahok yang harus dipusingkan dengan banyak hal. Pertama, beliau harus merespon reaksi atas ucapanya yang menyinggung sebagian ummat islam. Kedua, beliau harus mengurus pencalonanya kembali sebagai gubernur DKI Jakarta selanjutnya. Dan yang terpenting, saat itu beliau masih harus melayani Jakarta oleh karena masa jabatanya belum berakhir.
Beberapa bulan ini atmosfer sosio-politik Indonesia dihebohkan oleh isu penistaan agama. Isu ini melibatkan Gubernur DKI Jakarta periode 2014/2017, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok. Diujung jabatan inilah pernyataan Ahok yang sangat-dianggap-kontroversial dan merusak nilai etis keagamaan terlontar. Pernyataan yang merupakan beberapa detik penggalan pidatonya di kepulauan seribu pada Selasa, 27 September 2016, itu menuai respon yang reaksioner dari beberapa kalangan di negeri ini.
Dalam pidatonya tersebut, bagian yang paling dipermasalahkan adalah ketika ahok menyatakan”…di bohongi oleh surat al-Maidah ayat 51..bla bla bla”(selengkapnya liat di youtube). Pernyataan ini kemudian menuai respon keras dari beberapa kalangan yang menganggap ahok telah mencederai agama islam. Kemudian pidato ahok tersebut di publikasikan oleh DISKOMINFOMAS Provinsi DKI Jakarta 28 september 2016, di akun Youtube Pemprov DKI Jakarta.
Setelah itu melejitlah kasus penistaan agama yang melibatkan hampir seluruh ummat islam yang ada di Indonesia. Ahok kemudian lambat laun di naikkan ratingnya menjadi calon terdakwa, kemudian terdakwa. Sidang berlangsung berbulan-bulan, dengan menghadirkan berbagai aksi ahli dari pihak penuntut umum dan pembela, bla bla bla dan singkatnya,  setelah melalui peradilan yang alot nan panjang akhirnya putusan sidang menyatakan ahok di vonis 2 tahun penjara.
Putusan vonis ahok selama 2 tahun penjara menjadi jawaban juga atas aksi yang menuntut ahok atas- tajuk besar-Penistaan agama yang berlansung berjilid-jilid. Aksi yang menuntut permintaan maaf, penuntutan dan penolakan terhadap ahok ini berakhir pula, saya kira. Karena tidak ada lagi yang bisa di tuntut dari ahok setelah berada dibalik jeruji. Kepuasan pihak publik mungkin tidak bisa dikatakan memuncak, tapi minimal dengan hasil putusan ini ahok dapat menenangkan diri meskipun didalam jeruji besi.
“Saya berdo’a untuk anda pak ahok. Semoga niat tulus bapak membenahi Jakarta dimiliki oleh pemimpin jakarta hari ini. Dan semoga program mereka tidak hanya menjadi utopis belaka dan melayang layang diawan. Kami juga mengharapkan yang terbaik dari mereka yang baru belajar memimpin sebidang tanah jakarta itu. pak, mereka tidak akan lupa dengan perubahan yang bapak berikan untuk jakarta.
Penjara hanya memasung gerak bapak secara fisik. Tapi tidak dengan fikiran. Bapak dapat lebih banyak waktu untuk memikirkan nasib negeri ini disana. Lebih banyak waktu untuk berkontemplasi dan merefleksi ketidakadilan yang menimpa bapak. Gagasan dan wacana bapak akan tetap hidup di luar sana. Bahkan spirit bapak akan tetap kami jaga sebagai bagian reflektif dari fenomena selama ini.”
Usai vonis, aksi penuntutan terhadap ahok berbalik menjadi aksi solidaritas dan dukungan secara moril. Banyak kalangan melayangkan simpatik. Salah satu bentuk aksi ini adalah aksi 1000 lilin untuk ahok yang berlansung dibeberapa daerah di Indonesia. Menyalakan lilin yang secara simbolik , menurut penulis, mencoba menuangkan harapan dan bela sungkawa atas kejadian yang menimpa ahok.
Salah satu aksi serupa berlangsung juga dimakassar, sabtu 13 mei 2017. Malam itu masyarakat yang merasa simpatik berkumpul di anjungan pantai losari. Mereka secara serempak akan mengadakan aksi solidaritas untuk ahok yang telah dijatuhi vonis 2 tahun penjara. Tapi yang sangat di sayangkan, lagi-lagi ada sebagian orang yang merasa bahwa aksi ini tidak pantas dilakukan dimakassar. Bahkan aksi ini di bubarkan oleh kelompok FPI sebelum aksi di mulai.
HMI Cabang Makassar juga turut serta meramaikan penolakan terhadap aksi ini. Ketua Umum Badko HMI Sulselbar, Taufiq Husaini, menanggapi aksi serupa yang terjadi di beberapa daerah tidak seharusya terjadi. Ia juga menilai bahwa aksi 1000 lilin untuk ahok ini merupakan aksi yang sangat intoleran. Dan dapat memancing keretakan antar kerukunan umat beragama. Mereka juga menganggap aparat kepolisian seolah menutup mata melihat hal ini terjadi. (sumber:kabar.news)
Dibeberapa negara, aksi serupa berlangsung sebagai bentuk solidaritas kepada ahok. Pesan yang disampaikan dalam aksi tersebut cukup beragam. Aksi yang didominasi WNI yang berada dibeberapa negara tersebut mewajibkan mengenakan busana hitam atau merah putih. Salah satunya berlangsung di kota Philadelphia, Negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Mengusung tema “Tjahaja Kasih Light Of Love”. (sumber: indonesianlantern.com).
Bentuk lain dari dari aksi solidaritas ini banyak di jumpai puluhan artikel simpatik yang tersebar diberbagai media, baik secara langsung untuk ahok maupun untuk keluarga Ahok. Banyak di antara tulisan simpatik tersebut memuji integritas ahok selama memimpin jakarta. Ada juga yang menyayangkan putusan hakim, serta dukungan dukungan moril lainya.
Aksi 1000 lilin ini, menurut penulis, merupakan tindakan yang wajar-wajar saja dilakukan. Terlebih bagi mereka yang pernah merasakan kebijakan Ahok secara langsung. Aksi ini sebagai bentuk simpati ataupun empati atas vonis yang menimpanya dan sebagai bentuk dukungan moril yang diharapkan mampu menguatkan selama berada dibalik jeruji. Aksi ini juga, kurang lebih, dapat dipandang sebagai bentuk kerinduan akan pemimpin seperti ahok.
 
 Sumber: Google
Evaluasi
Dari pemaparan diatas, maka sisi yang akan kita fokuskan pada sub evaluasi ini adalah aksi 1000 lilin untuk Ahok. Kita akan membedah bagaimana aksi untuk ahok ini terjadi dan bagaimana ia tertolak dalam khalayak. Ini penting untuk mengetahui, kira-kira, motif yang melatarbelakangi pro-kontra aksi ini.
Menelaah kembali fenomena ini maka kita akan melihat dua kutub yang secara diametral berlawanan. Satu sisi  mereka yang pro terhadap Ahok, disisi lain adalah yang kontra. Masing-masing kubu tentunya memiliki alasan tersendiri mengapa aksi ini perlu diadakan. Dan mengapa aksi ini sia sia belaka. Dalam tulisan ini, akan kita lihat bagaimana keinginan mempengaruhi penilaian-penilaian yang beragam terhadap aksi 1000 lilin untuk Ahok? Dan dimana posisi keinginan impersonal dalam hal ini?
Keinginan mempengaruhi penilaian
Aksi 1000 lilin untuk ahok merupakan aksi solidaritas yang dilakukan oleh pendukung ahok. Para pendukung ahok menyayangkan putusan hakim yang menjatuhi vonis selama 2 tahun penjara. Putusan ini dianggap tidak adil dan memihak. Bahkan, beberapa Negara mengaggap undang undang yang berkaitan dengan penistaan agama perlu peninjauan ulang. Bahkan ada yang mengaggap, keputusan hakum tersebut mencederai toleransi beragama yang ada diindonesia (ini fakta, bersadarkan yang diingat penulis setalah membaca beberapa berita terkait. Silahkan Googling).
Keputusan untuk membela ahok dapat ditinjau dari beberapa pendorong tindakan ini. Pertama, karena panggilan hati, baik karena simpati atau empati. Tindakan ini hanya dapat terjadi kalau para pelaku aksi memiliki tendensi untuk melakukan tindakan tersebut. alasan terkait dapat berupa karena ahok orangnya baik, berintegritas dan memang layak untuk diperlalkukan demikian. Perasaan-sebut saja-empati yang mendalam tersebut mendorong keinginan untuk melakukan sesuatu agar cita cita atas empati tersebut mengejewantah dan memuaskan. Minimal untuk dirinya sendiri.
Kedua, tindakan ini dorong oleh kepentingan. Kepentingan disini dapat kita arikan secara negative ataupun positif, tapi kita tidak akan meilhat dari konteks tersebut. Habermas mengatakan bahwa, tidak ada tindakan tanpa kepentingan. Ini sejalan dengan Russell bahwa soal penilaian selalu melibatkan keinginan atau selera-individual[4].
Tindakan diatas selain karena factor kepentingan, minimal untuk memuaskan diri sebagai pendukung ahok, juga diorong oleh keinginan mendalam untuk melakukan aksi tersebut. keinginan ini disebabkan oleh factor diatas. Mengapa? Karena kita harus memahami bahwa tidak ada tindakan tanpa tujuan. Dan secara fundamental, tindakan didorong oleh keinginan untuk melakukan(ego).
Ketiga, tindakan tersebut dapat juga berarti pembelaan sebagai balas budi, terutama bagi yang pernah merasakan kebijakan Ahok yang baik. Tindakan ini didasarkan pada perasaan balas budi dan rasa bersalah kalau saja tidak terlibat dalam aksi tersebut. semacam perasaan berhutang dan berdosa kalau tidak ikut melakukan aksi solidaritas. Sisi sensitive manusia ini kemudian menimbulkan keinginan untu melakukan tindakan tersebut.
Semua alasan tersebut juga dikarenakan membangun ego, yang memustikan tindakan dibenarkan. Sehingga secara umum keinginan ini mempengaruhi seseorang akan apa yang musti lakukan. Ini dikarenakan juga selera[5] akan sesuatu tersebut ikut berperan aktif terhadap penilain yang nantinya akan membentuk tindakan. Demikian dapat katakan, bahwa tendesi orang-orang yang terlibat dalam aksi 1000 lilin untuk ahok dipengaruhi oleh selera orang tersebut.
Posisi keinginan impersonal
Bagaiamana sebagian individu dapat terdorong untuk melakukan aksi 1000 lilin untuk Ahok? Mereka terikat oleh keinginan impersolan, yaitu keingan yang secara kolektif mengatur sekelompok orang. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, keinginan individual dapat menyebabkan immoral selama mereka mementingkan ego individual diatas ego impersonal. Ego impersonal adalah yang menyatukan tindakan secara kolektiv.
Kenikmatan dan ketidaknikmatan yang terjadi karena kebiasaan secara inheren melekat dalam diri setiap individu. Kenikmatan dan ketidaknikmatan secara kolektiv berlangsung disebabkan karena kebiasaan aturan konvensional masyrarakat. Olehnya dalam satu kelompok manyarakat dapat terjadi kesepahaman dengan kesamaan kebiasaan. Misalnya satu kelompok masyarakat rajin ke masjid untuk shalat berjamaah dan memiliki kenikmatan tersendiri. Lantas kapan salah satu di antara kelompok tersebut tidak pergi shalat berjamaah dimasjid akan merasa tidak enak.
Ini berlaku juga untuk mereka yang melakukan aksi 1000 lilin untuk Ahok. Mereka yang sepaham, sejalan dangan yang diinginkan ahok, atau pernah merasakan kebaikan Ahok dan seterusnya, maka mereka secara bersamaan akan sependeritaan ketika melihat yang terjadi pada Ahok, dalam hal ini Ahok di vonis 2 tahun penjara. Kesadaran kolektiv ini membangun paradigma bahwa kita harus memberikan dukungan secara materi atau moril.
Perasaan kolektif yang dipengaruhi kebiasaan dan penyebab konvensional inilah yang disebut keinginan impersonal. Keinginan yang terbentuk oleh karena sama rasa dan kesepemahaman akan situasi. Terlepas dari segala tendensi yang membangunya.
Di akhir tulisan ini, secara keseluruhan, yang menyatukan masyrakat untuk melakukan aksi 1000 lilin untuk Ahok tersebut adalah keinginan, selera atau ego, yang kemudian terangkum dalam ego impersonal yang membangun kesadaran koletiv masyarakat. Apapun tendensi dalam tindakan tersebut, Ahok telah berhasil menarik simpati yang mendalam oleh karena jejak yang ditinggalkan.

Semoga bermanfaat.




[1] Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy, Terj. Yudi Santoso: Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 770
[2] Risieri Frondizi, What is Value?, Terj. Cuk ananta Wijaya: Pengatar Filsafat Nilai (cet. III, Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 2011) h. 86
[3] Jika memang demikian, maka sebenarnya konsep ini perlu penelaahan kembali. Kerancuan seperti yang dimaksudkan oleh Russell ini, menurut penulis, belum dapat dibenarkan. Mengingat bahwa tidak semua orang dapat disejajarkan dengan pemahaman yang sama akan nilai baik dan keinginan.
[4] Bukan bermaksud menyamakan dengan apa yang disebut Russell selera, tapi kata selera menurut saya sejalan dengan keinginan(ego).
[5] Oleh karena selera dapat diartikan sangat egoism, maka selera disini saya artika sebagai selera yang memiliki alasan yang rasional.
Read More