Sabtu, 20 Mei 2017

Filsafat Nilai : Bertrand Russell dan Aksi 1000 Lilin untuk Ahok

Sebelum membaca tulisan ini saya sarankan anda sedikit relax. dan siapkan kopi dan snack terbaik yang anda miliki. Tulisan ini akan sedikit membosankan kalau tidak sambil bersantai. Yah, seperti yang akan anda temukan, tulisan ini terlalu panjang sebagai artikel. Tapi cobalah..

Selamat menikmati
aksi seribu lilin
Sumber:borneonews.co.id

Filsafat
Nilai
Bertrand Russell dan aksi 1000 lilin untuk Ahok

Dalam tulisan singkat ini penulis akan mencoba menggunakan pandangan russel dalam filsafat nilai untuk mengulas fenomena aksi 1000 lilin untuk Ahok. Aksi yang berlangsung di Indonesia pasca vonis Ahok selama 2 tahun penjara menuai pro-kontra dibeberapa daerah. Olehnya kiranya tepat menggunakan pandangan russel ini untuk menentukan nilai-terutama etik- dan cara pandang para actor yang terlibat dalam pro-kontra aksi tersebut.
Perlu kiranya penulis menjabarkan maksud tulisan ini adalah semata mata mencoba memberi sudut pandang baru, yang mungkin saja sangat lemah dari segi analisa dan kekayaan pengetahuan serta kelengkapan pemaparan. Namun, setidaknya yang ingin penulis capai dalam tulisan ini adalah, memantik argument dan komentar lebih banyak terhadap tulisan ini terlebih terhadap polemic ini. Serta kritik, dapat memotivasi penulis untuk lebih jeli dalam menganalisa.

Bertrand Russel dan Nilai
Bertrand Russell
sumber:cdn.psychologytoday.com
Bertrand Russell (1872-1970) adalah filsuf kelahiran inggris. Berasal dari keluarga liberal dan aristokratik keturunan Perdana Mentri John Russell. Russell menjalani pendidikan awal di rumah (home schooling, lalu sejak 1890 di Trinity College, Cambridge, ia memfokuskan diri pada bidang studi ilmu matematika.[1]
Bertrand Russell adalah salah seorang pribadi yang cemerlang di dunia filsafat modern. Sumbanganya yang terpenting  telah diberikan dalam disiplin yang teknis terutama dalam logika matematika. Dia senantiasa bersikap ilmiah terhadap filsafat dan sikap ini menggambarkan dia lebih dekat dengan empirisme logis. Dia telah menerbitkan lebih dari 40 buku dan ratusan artikel. Tidak satupun dari bahasa beradab yang tidak mengetahui paling tidak salah satu ari buku Russell, bahkan di usianya yang ke-90 produktivitasnya tidak menurun.
Teorinya tentang nilai dikemukakan terutama dalam bukunya religion and science (agama dan ilmu), yang juga terangkum di dalamnya pemikiran pemikirannya yang anti-agama dan anti-metafisika. Dalam hal lain salah satu karakteristik Russell, yakni kajian ilmiah yang tenang dan objektif serta argumentative.
Russell berpendapat bahwa persoalan yang mengacu pada nilai berada di luar bidang ilmu pengetahuan. Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu memiliki nilai, kita tidak mengatakan sesuatu yang bebas dari perasaan kita. Malahan kita memberikan ungkapan atas emosi kita sendiri. Ini selanjutnya mengadaikan bahwa apa yang kita sebut sebagai nilai etik atau moral tidak terlepas dari pengaruh individual yang berusaha meminta pengakuan universal.
Russell, memulai dengan analisis terhadap ide tentang kebaikan. Ide ini secara umum dapat dikatakan apa yang mengacu pada nilai baik ini akan dapat juga diterapkan dalam nilai yang lain. dia menyatakan bahwa, “adalah jelas bahwa seluruh ide tentang yang baik dan jahat memiliki hubungan dengan keinginan”. Russel melihat pada diri subjek yang memberikan nilai, berupaya menguniversalkan apa yang disebut baik oleh dirinya sendiri. Dalam hal etika misalnya, menurutnya adalah keinginan untuk memberikan makna universal diatas keinginan pribadi tertentu.[2]
Mengapa? Russel mengatakan bahwa ini terjadi karena manusia tidak mengkonsepsikan antara yang baik dan yang diinginkan[3]. Karena dia tidak menangkap makna kata yang berbeli belit. Jadi ketika seseorang mengatakan, “ini adalah baik dalam dirinya sendiri”, dia berfikir sedang membuat pernyataan yang sama dengan “ini adalah segi tiga”.  Dalam kalimat pertama sangat jelas bahwa yang dimaksudkan adalah saat kita memberikan nilai kepada benda, maka di sana kita sedang mengutarakan penilaian yang agar dapat diterima secara universal.
Kalimat “ini adalah baik dalam dirinya sendiri”, sejatinya kita sedang memberikan penilaian kepada yang sebelumnya belum memiliki nilai. Tampak ada semacam pemaksaan penilaian disana. Dalam kalimat tersebut secara pemaknaan, akan sama dengan kalimat, saya menghendaki setiap orang menginginkan ini. jika seorang ingin menghubungkan isi dengan apa yang dinyatakan dia harus menafsirkannya sebagai satu penegasan atas satu keinginan pribadi.
Lantas bagaimana kekacauan ini dapat terjadi? Russell menjawab penyebabnya adalah keinginan, sejauh itu berlangsung, yang bersifat pribadi, namun sesuatu yang diinginkan itu bersifat universal. Misalnya ketika saya mengatakan, “keindahan itu baik” seolah saya juga mengatakan bahwa,”semua orang harus mencintai keindahan”. Pada kalimat pertama tidak menegaskan sesautu. Sedangkan pada kalimat kedua mengacu pada suasana kejiwaan si penutur. Kalimat pertama masuk kedalam wilayah etik, tanpa kognisi, yang ada hanyalah pengungkapan keinginan tanpa ada unsur benar atau salah.
Proposisi tanpa kognisi seperti itu berada diluar ilmu pengetahuan ilmiah. Russell menulis teorinya yang disebut subjektivisme nilai. Jika dua orang berbeda pendapat mengenai nilai, kata Russell yang terjadi bukanlah ketidakepakatan diantara mereka dalam hal kebenaran, yang terjadi hanyalah perbedaan selera. Russell dalam hal ini dikarenakan menurutnya, dasar utama untuk menerima pandangan ini karena merupakan kemustahilan untuk menemukan argumen guna membuktikan bahwa nilai ini atau itu memiliki nilai intrinsik.
Namun perbedaan selera ini tidak lantas menimbulkan konsekuesnsi immoral. Semisal runtuhnya nilai yang mengikat dan meyakinkan orang akan nilai etis dan moral. Kewajiban moral secara lebih luas dapat diartikan sebagai keinginan, keinginan impersonal yang memandu kita hidup, oleh karena kekaguman. Keinginan impersonal musti melebihi keinginan persolan atau egoisme pribadi, keinginan impersonal ini merupakan keinginan yang memiliki jenjang yang sama. “keinginan menjadi baik pada umunya mengubah dirinya menjadi keinginan yang disetujui, atau kalau tidak, dengan berbuat sedemikian rupa, sehingga menghasilkan konsekuensi umum yang kita inginkan.
Lantas mengapa kita lebih menyenangi keinginan impersonal dibandingkan egoisme pribadi? Adakah kriteria aksiologis yang memberikan hierarki etis bagi keinginan? Jawabanya terletak pada kenikmatan dan ketidaknikmatan. Kenikmatan tergantung pada kebiasaan dan faktor konvensional. Kebaikan tergantung pada keadaan, unsur sejarah maupun budaya. Tertib moral adalah berbeda: jika orang menyamakan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, yang baik dan yang diinginkan, maka setiap kriteria moral ditinggalkan. Konsekuensi immoral dari ajaran tersebut jelas ada.

aksi 1000 lilin untuk ahok
Sumber : harianindo.com

Ahok dan aksi 1000 lilin
Sekedar untuk menggambarkan kembali kasus ahok yang berlangsung alot beberapa bulan terakhir ini. Penulis mencoba menjabarkan secara-sangat-ringkas perjalanan sekaligus kemelut ahok yang harus dipusingkan dengan banyak hal. Pertama, beliau harus merespon reaksi atas ucapanya yang menyinggung sebagian ummat islam. Kedua, beliau harus mengurus pencalonanya kembali sebagai gubernur DKI Jakarta selanjutnya. Dan yang terpenting, saat itu beliau masih harus melayani Jakarta oleh karena masa jabatanya belum berakhir.
Beberapa bulan ini atmosfer sosio-politik Indonesia dihebohkan oleh isu penistaan agama. Isu ini melibatkan Gubernur DKI Jakarta periode 2014/2017, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok. Diujung jabatan inilah pernyataan Ahok yang sangat-dianggap-kontroversial dan merusak nilai etis keagamaan terlontar. Pernyataan yang merupakan beberapa detik penggalan pidatonya di kepulauan seribu pada Selasa, 27 September 2016, itu menuai respon yang reaksioner dari beberapa kalangan di negeri ini.
Dalam pidatonya tersebut, bagian yang paling dipermasalahkan adalah ketika ahok menyatakan”…di bohongi oleh surat al-Maidah ayat 51..bla bla bla”(selengkapnya liat di youtube). Pernyataan ini kemudian menuai respon keras dari beberapa kalangan yang menganggap ahok telah mencederai agama islam. Kemudian pidato ahok tersebut di publikasikan oleh DISKOMINFOMAS Provinsi DKI Jakarta 28 september 2016, di akun Youtube Pemprov DKI Jakarta.
Setelah itu melejitlah kasus penistaan agama yang melibatkan hampir seluruh ummat islam yang ada di Indonesia. Ahok kemudian lambat laun di naikkan ratingnya menjadi calon terdakwa, kemudian terdakwa. Sidang berlangsung berbulan-bulan, dengan menghadirkan berbagai aksi ahli dari pihak penuntut umum dan pembela, bla bla bla dan singkatnya,  setelah melalui peradilan yang alot nan panjang akhirnya putusan sidang menyatakan ahok di vonis 2 tahun penjara.
Putusan vonis ahok selama 2 tahun penjara menjadi jawaban juga atas aksi yang menuntut ahok atas- tajuk besar-Penistaan agama yang berlansung berjilid-jilid. Aksi yang menuntut permintaan maaf, penuntutan dan penolakan terhadap ahok ini berakhir pula, saya kira. Karena tidak ada lagi yang bisa di tuntut dari ahok setelah berada dibalik jeruji. Kepuasan pihak publik mungkin tidak bisa dikatakan memuncak, tapi minimal dengan hasil putusan ini ahok dapat menenangkan diri meskipun didalam jeruji besi.
“Saya berdo’a untuk anda pak ahok. Semoga niat tulus bapak membenahi Jakarta dimiliki oleh pemimpin jakarta hari ini. Dan semoga program mereka tidak hanya menjadi utopis belaka dan melayang layang diawan. Kami juga mengharapkan yang terbaik dari mereka yang baru belajar memimpin sebidang tanah jakarta itu. pak, mereka tidak akan lupa dengan perubahan yang bapak berikan untuk jakarta.
Penjara hanya memasung gerak bapak secara fisik. Tapi tidak dengan fikiran. Bapak dapat lebih banyak waktu untuk memikirkan nasib negeri ini disana. Lebih banyak waktu untuk berkontemplasi dan merefleksi ketidakadilan yang menimpa bapak. Gagasan dan wacana bapak akan tetap hidup di luar sana. Bahkan spirit bapak akan tetap kami jaga sebagai bagian reflektif dari fenomena selama ini.”
Usai vonis, aksi penuntutan terhadap ahok berbalik menjadi aksi solidaritas dan dukungan secara moril. Banyak kalangan melayangkan simpatik. Salah satu bentuk aksi ini adalah aksi 1000 lilin untuk ahok yang berlansung dibeberapa daerah di Indonesia. Menyalakan lilin yang secara simbolik , menurut penulis, mencoba menuangkan harapan dan bela sungkawa atas kejadian yang menimpa ahok.
Salah satu aksi serupa berlangsung juga dimakassar, sabtu 13 mei 2017. Malam itu masyarakat yang merasa simpatik berkumpul di anjungan pantai losari. Mereka secara serempak akan mengadakan aksi solidaritas untuk ahok yang telah dijatuhi vonis 2 tahun penjara. Tapi yang sangat di sayangkan, lagi-lagi ada sebagian orang yang merasa bahwa aksi ini tidak pantas dilakukan dimakassar. Bahkan aksi ini di bubarkan oleh kelompok FPI sebelum aksi di mulai.
HMI Cabang Makassar juga turut serta meramaikan penolakan terhadap aksi ini. Ketua Umum Badko HMI Sulselbar, Taufiq Husaini, menanggapi aksi serupa yang terjadi di beberapa daerah tidak seharusya terjadi. Ia juga menilai bahwa aksi 1000 lilin untuk ahok ini merupakan aksi yang sangat intoleran. Dan dapat memancing keretakan antar kerukunan umat beragama. Mereka juga menganggap aparat kepolisian seolah menutup mata melihat hal ini terjadi. (sumber:kabar.news)
Dibeberapa negara, aksi serupa berlangsung sebagai bentuk solidaritas kepada ahok. Pesan yang disampaikan dalam aksi tersebut cukup beragam. Aksi yang didominasi WNI yang berada dibeberapa negara tersebut mewajibkan mengenakan busana hitam atau merah putih. Salah satunya berlangsung di kota Philadelphia, Negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Mengusung tema “Tjahaja Kasih Light Of Love”. (sumber: indonesianlantern.com).
Bentuk lain dari dari aksi solidaritas ini banyak di jumpai puluhan artikel simpatik yang tersebar diberbagai media, baik secara langsung untuk ahok maupun untuk keluarga Ahok. Banyak di antara tulisan simpatik tersebut memuji integritas ahok selama memimpin jakarta. Ada juga yang menyayangkan putusan hakim, serta dukungan dukungan moril lainya.
Aksi 1000 lilin ini, menurut penulis, merupakan tindakan yang wajar-wajar saja dilakukan. Terlebih bagi mereka yang pernah merasakan kebijakan Ahok secara langsung. Aksi ini sebagai bentuk simpati ataupun empati atas vonis yang menimpanya dan sebagai bentuk dukungan moril yang diharapkan mampu menguatkan selama berada dibalik jeruji. Aksi ini juga, kurang lebih, dapat dipandang sebagai bentuk kerinduan akan pemimpin seperti ahok.
 
 Sumber: Google
Evaluasi
Dari pemaparan diatas, maka sisi yang akan kita fokuskan pada sub evaluasi ini adalah aksi 1000 lilin untuk Ahok. Kita akan membedah bagaimana aksi untuk ahok ini terjadi dan bagaimana ia tertolak dalam khalayak. Ini penting untuk mengetahui, kira-kira, motif yang melatarbelakangi pro-kontra aksi ini.
Menelaah kembali fenomena ini maka kita akan melihat dua kutub yang secara diametral berlawanan. Satu sisi  mereka yang pro terhadap Ahok, disisi lain adalah yang kontra. Masing-masing kubu tentunya memiliki alasan tersendiri mengapa aksi ini perlu diadakan. Dan mengapa aksi ini sia sia belaka. Dalam tulisan ini, akan kita lihat bagaimana keinginan mempengaruhi penilaian-penilaian yang beragam terhadap aksi 1000 lilin untuk Ahok? Dan dimana posisi keinginan impersonal dalam hal ini?
Keinginan mempengaruhi penilaian
Aksi 1000 lilin untuk ahok merupakan aksi solidaritas yang dilakukan oleh pendukung ahok. Para pendukung ahok menyayangkan putusan hakim yang menjatuhi vonis selama 2 tahun penjara. Putusan ini dianggap tidak adil dan memihak. Bahkan, beberapa Negara mengaggap undang undang yang berkaitan dengan penistaan agama perlu peninjauan ulang. Bahkan ada yang mengaggap, keputusan hakum tersebut mencederai toleransi beragama yang ada diindonesia (ini fakta, bersadarkan yang diingat penulis setalah membaca beberapa berita terkait. Silahkan Googling).
Keputusan untuk membela ahok dapat ditinjau dari beberapa pendorong tindakan ini. Pertama, karena panggilan hati, baik karena simpati atau empati. Tindakan ini hanya dapat terjadi kalau para pelaku aksi memiliki tendensi untuk melakukan tindakan tersebut. alasan terkait dapat berupa karena ahok orangnya baik, berintegritas dan memang layak untuk diperlalkukan demikian. Perasaan-sebut saja-empati yang mendalam tersebut mendorong keinginan untuk melakukan sesuatu agar cita cita atas empati tersebut mengejewantah dan memuaskan. Minimal untuk dirinya sendiri.
Kedua, tindakan ini dorong oleh kepentingan. Kepentingan disini dapat kita arikan secara negative ataupun positif, tapi kita tidak akan meilhat dari konteks tersebut. Habermas mengatakan bahwa, tidak ada tindakan tanpa kepentingan. Ini sejalan dengan Russell bahwa soal penilaian selalu melibatkan keinginan atau selera-individual[4].
Tindakan diatas selain karena factor kepentingan, minimal untuk memuaskan diri sebagai pendukung ahok, juga diorong oleh keinginan mendalam untuk melakukan aksi tersebut. keinginan ini disebabkan oleh factor diatas. Mengapa? Karena kita harus memahami bahwa tidak ada tindakan tanpa tujuan. Dan secara fundamental, tindakan didorong oleh keinginan untuk melakukan(ego).
Ketiga, tindakan tersebut dapat juga berarti pembelaan sebagai balas budi, terutama bagi yang pernah merasakan kebijakan Ahok yang baik. Tindakan ini didasarkan pada perasaan balas budi dan rasa bersalah kalau saja tidak terlibat dalam aksi tersebut. semacam perasaan berhutang dan berdosa kalau tidak ikut melakukan aksi solidaritas. Sisi sensitive manusia ini kemudian menimbulkan keinginan untu melakukan tindakan tersebut.
Semua alasan tersebut juga dikarenakan membangun ego, yang memustikan tindakan dibenarkan. Sehingga secara umum keinginan ini mempengaruhi seseorang akan apa yang musti lakukan. Ini dikarenakan juga selera[5] akan sesuatu tersebut ikut berperan aktif terhadap penilain yang nantinya akan membentuk tindakan. Demikian dapat katakan, bahwa tendesi orang-orang yang terlibat dalam aksi 1000 lilin untuk ahok dipengaruhi oleh selera orang tersebut.
Posisi keinginan impersonal
Bagaiamana sebagian individu dapat terdorong untuk melakukan aksi 1000 lilin untuk Ahok? Mereka terikat oleh keinginan impersolan, yaitu keingan yang secara kolektif mengatur sekelompok orang. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, keinginan individual dapat menyebabkan immoral selama mereka mementingkan ego individual diatas ego impersonal. Ego impersonal adalah yang menyatukan tindakan secara kolektiv.
Kenikmatan dan ketidaknikmatan yang terjadi karena kebiasaan secara inheren melekat dalam diri setiap individu. Kenikmatan dan ketidaknikmatan secara kolektiv berlangsung disebabkan karena kebiasaan aturan konvensional masyrarakat. Olehnya dalam satu kelompok manyarakat dapat terjadi kesepahaman dengan kesamaan kebiasaan. Misalnya satu kelompok masyarakat rajin ke masjid untuk shalat berjamaah dan memiliki kenikmatan tersendiri. Lantas kapan salah satu di antara kelompok tersebut tidak pergi shalat berjamaah dimasjid akan merasa tidak enak.
Ini berlaku juga untuk mereka yang melakukan aksi 1000 lilin untuk Ahok. Mereka yang sepaham, sejalan dangan yang diinginkan ahok, atau pernah merasakan kebaikan Ahok dan seterusnya, maka mereka secara bersamaan akan sependeritaan ketika melihat yang terjadi pada Ahok, dalam hal ini Ahok di vonis 2 tahun penjara. Kesadaran kolektiv ini membangun paradigma bahwa kita harus memberikan dukungan secara materi atau moril.
Perasaan kolektif yang dipengaruhi kebiasaan dan penyebab konvensional inilah yang disebut keinginan impersonal. Keinginan yang terbentuk oleh karena sama rasa dan kesepemahaman akan situasi. Terlepas dari segala tendensi yang membangunya.
Di akhir tulisan ini, secara keseluruhan, yang menyatukan masyrakat untuk melakukan aksi 1000 lilin untuk Ahok tersebut adalah keinginan, selera atau ego, yang kemudian terangkum dalam ego impersonal yang membangun kesadaran koletiv masyarakat. Apapun tendensi dalam tindakan tersebut, Ahok telah berhasil menarik simpati yang mendalam oleh karena jejak yang ditinggalkan.

Semoga bermanfaat.




[1] Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy, Terj. Yudi Santoso: Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 770
[2] Risieri Frondizi, What is Value?, Terj. Cuk ananta Wijaya: Pengatar Filsafat Nilai (cet. III, Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 2011) h. 86
[3] Jika memang demikian, maka sebenarnya konsep ini perlu penelaahan kembali. Kerancuan seperti yang dimaksudkan oleh Russell ini, menurut penulis, belum dapat dibenarkan. Mengingat bahwa tidak semua orang dapat disejajarkan dengan pemahaman yang sama akan nilai baik dan keinginan.
[4] Bukan bermaksud menyamakan dengan apa yang disebut Russell selera, tapi kata selera menurut saya sejalan dengan keinginan(ego).
[5] Oleh karena selera dapat diartikan sangat egoism, maka selera disini saya artika sebagai selera yang memiliki alasan yang rasional.

Facebook Komentar
2 Blogger Komentar

2 komentar


EmoticonEmoticon