Minggu, 28 Mei 2017

Secarik refleksi: Aktor Islam Indonesia



Tulisan singkat ini merupakan gambaran sederhana yang penulis amati dari beberapa fenomena keislaman yang ada di Indonesia. Bukan justifikasi tapi refleksi. olehnya sangat berpotensi mengalami kerapuhan argumentasi. 
Selamat menikmati
islam
Sumber gambar: islaminindonesia.files.wordpress.com
Ngawur Transendental

Suatu ketika soekarno yang sedang berkumpul bersama rekan-rekannya yang kelak menjadi founding father (baca;bapak pendiri) Negara ini, tia-tiba didatangi oleh Tan Malaka. Kemudian Ia (Tan Malaka) berujar.. wahai sahabatku saya datang kemari karena saya tidak tertarik dengan model kemerdekaan yang kalian perjuangkan, karena hanya akan menguntungkan kelompok tertentu.. demikian lah sepenggal kalimat yang saya dapati saat berkunjung ke suatu toko buku, kalimat yang sederhana namun membuatku tak habis pikir kenapa Ia (Tan Malaka) berkata demikian..
Tapi entah dengan alasan apa, saya pikir prediksi Tan Malaka benar adanya. kita lihat sekeliling kita hari ini begitu banyak ketimpangan yang terjadi yang pada dasarnya para pejuang kemerdekaan kita tak menghendaki hal demikian ini. Di saat keringat dan darah mereka kemudian hanya dinikmati segelintir orang-orang tertentu di negeri ini. Misal, keadilan hanya milik mereka yang berkepemilikan dan mayoritas. Kemana komitmen kebangsaan kita di butir kelima pancasila? Saya pikir hal ini telah raib..
Kita boleh berbangga bahwa Negara kita dihuni oleh sebuah agama yang penganutnya terbesar di dunia yang dikandung pertiwi dengan suami yang tak jelas. Namun saya tak bisa menutup mata atas serangkaian konflik yang terjadi di nusantara ini akibat agama. Saya luruskan bukan agamanya tetapi para pemuluk agamanya.. dari konflik yang berdarah sampai membuat tertawa.
Lantas apa yang perlu kita lakukan sebagai upaya atau langkah mengobati penyaki yang menjangkiti Negara ini, hari demi hari penyakitnya semakin parah dan yang saya takutnya jika suatu saat penyakitnya telah stadium empat (akut), tentu anda maupun saya sendiri tak menginginkan hal demikian terjadi. Olehnya itu hal yang hendak kita lakukan ialah yang pertama, kita harus ingat dimana kaki kita pajakkan; artinya kita beiri diatas sebuah kemajemukan yang harus dicamkan baik-baik. Yang kedua, karena kita berada dalam kondisi majemuk hendaknya kita bersikap plural dan inklusif.
Perlu kita ingat! Negara kita plural; banyak subtansi yang menyusunnya. Yang kemudian yang merekatkan kita ialah asas ke-bhinekaan tunggal ika. Jadi tak sepantasnya kita berujar Indonesia itu jawa karena masih ada bagian-bagian lain yang tak kalah berharganya di negeri ini selain jawa, begitupula hendaknya kita jangan menganggap Indonesia ya pasti Islam, sekalipun Islam yang mayoritas toh dalam perjuangan kemerdekaan Negara ini. Ada dari keyakinan yang lain turut ambil peran dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita.
Menyoal keyakinan (baca;agama) hari ini, kerap kali keyakinan itu diperalat sebagai sebuah legitimasi tindakan yang saya pikir hal demikian hanya akan mencederai keyakinan itu sendiri. Olehnya itu sewajarnya kita bersikap plural—inklusif. Sengaja kata plural dan inklusif saya sandingkan agar kiranya tidak terjadi patahan epistemik. Yang dimaksudkan plural—inklusif; meyakini kebenaran milik kita adalah benar namun tak menjadikan hal demikian untuk meyalahkan keyakinan selain apa yang kita yakini. Misal, saya seorang muslim pasti meyakini agama saya Islam benar dan tak memaksakan kebenaran itu kepada selain keyakinan saya, karena diluar apa yang saya yakini juga versi kebenaran dan hal itu perlu kita hargai dan apresiasi. Singkanya jangan jadikan takaranmu untuk menakar orang lain.
Ketika kita membuka kembali lembaran perjalan negeri ini wacana pluralisme sendiri sempat menjadi perbincangan hangat, sampai-sampai memaksa MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram terhadap “pluralisme”, dengan alasan paham ini berbahaya apabila sampai kepada masyarakat awam.Bagi penulis sebuah fatwa kontroversi kemudian dibalut alasan lucu. Jika memang MUI pengayom umat tentunya tak cukup hanya mengeluarkan fatwa demikian. Bagaimana ingin melindungi umat jika hanya berkutat pada ruangan pribadi yang ber-AC, mimbar, plus siaran TV untuk mengucapkan selamat berbuka puasa.
Untunglah fatwa itu suatu yang sifatnya tidak—mengikat dan bisa kita tinggalkan. Olehnya itu penulis ingin berpesan “berkeyakinanlah dimana engkau mereasa nyaman karena bukankah jalan menuju Tuhan itu sebanyak anak cucu Adam”.

Penulis - Reski Emil Oja
Editor   - Elf


Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon