Tulisan singkat ini merupakan gambaran sederhana yang penulis amati dari beberapa fenomena keislaman yang ada di Indonesia. Bukan justifikasi tapi refleksi. olehnya sangat berpotensi mengalami kerapuhan argumentasi.
Selamat menikmati
Sumber gambar: islaminindonesia.files.wordpress.com |
Ngawur Transendental
Suatu
ketika soekarno yang sedang berkumpul bersama rekan-rekannya yang kelak menjadi
founding father (baca;bapak pendiri) Negara ini, tia-tiba didatangi oleh Tan
Malaka. Kemudian Ia (Tan Malaka) berujar.. wahai
sahabatku saya datang kemari karena saya tidak tertarik dengan model
kemerdekaan yang kalian perjuangkan, karena hanya akan menguntungkan kelompok
tertentu.. demikian lah sepenggal kalimat yang saya dapati saat berkunjung
ke suatu toko buku, kalimat yang sederhana namun membuatku tak habis pikir
kenapa Ia (Tan Malaka) berkata demikian..
Tapi
entah dengan alasan apa, saya pikir prediksi Tan Malaka benar adanya. kita
lihat sekeliling kita hari ini begitu banyak ketimpangan yang terjadi yang pada
dasarnya para pejuang kemerdekaan kita tak menghendaki hal demikian ini. Di
saat keringat dan darah mereka kemudian hanya dinikmati segelintir orang-orang
tertentu di negeri ini. Misal, keadilan hanya milik mereka yang berkepemilikan
dan mayoritas. Kemana komitmen kebangsaan kita di butir kelima pancasila? Saya
pikir hal ini telah raib..
Kita
boleh berbangga bahwa Negara kita dihuni oleh sebuah agama yang penganutnya
terbesar di dunia yang dikandung pertiwi dengan suami yang tak jelas. Namun
saya tak bisa menutup mata atas serangkaian konflik yang terjadi di nusantara
ini akibat agama. Saya luruskan bukan agamanya tetapi para pemuluk agamanya..
dari konflik yang berdarah sampai membuat tertawa.
Lantas
apa yang perlu kita lakukan sebagai upaya atau langkah mengobati penyaki yang
menjangkiti Negara ini, hari demi hari penyakitnya semakin parah dan yang saya
takutnya jika suatu saat penyakitnya telah stadium empat (akut), tentu anda
maupun saya sendiri tak menginginkan hal demikian terjadi. Olehnya itu hal yang
hendak kita lakukan ialah yang pertama,
kita harus ingat dimana kaki kita pajakkan; artinya kita beiri diatas sebuah
kemajemukan yang harus dicamkan baik-baik. Yang kedua, karena kita berada dalam kondisi majemuk hendaknya kita
bersikap plural dan inklusif.
Perlu
kita ingat! Negara kita plural; banyak subtansi yang menyusunnya. Yang kemudian
yang merekatkan kita ialah asas ke-bhinekaan tunggal ika. Jadi tak sepantasnya
kita berujar Indonesia itu jawa karena masih ada bagian-bagian lain yang tak kalah
berharganya di negeri ini selain jawa, begitupula hendaknya kita jangan
menganggap Indonesia ya pasti Islam, sekalipun Islam yang mayoritas toh dalam
perjuangan kemerdekaan Negara ini. Ada dari keyakinan yang lain turut ambil
peran dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita.
Menyoal
keyakinan (baca;agama) hari ini, kerap kali keyakinan itu diperalat sebagai
sebuah legitimasi tindakan yang saya pikir hal demikian hanya akan mencederai
keyakinan itu sendiri. Olehnya itu sewajarnya kita bersikap plural—inklusif.
Sengaja kata plural dan inklusif saya sandingkan agar kiranya tidak terjadi
patahan epistemik. Yang dimaksudkan plural—inklusif; meyakini kebenaran milik
kita adalah benar namun tak menjadikan hal demikian untuk meyalahkan keyakinan
selain apa yang kita yakini. Misal, saya seorang muslim pasti meyakini agama
saya Islam benar dan tak memaksakan kebenaran itu kepada selain keyakinan saya,
karena diluar apa yang saya yakini juga versi kebenaran dan hal itu perlu kita
hargai dan apresiasi. Singkanya jangan jadikan takaranmu untuk menakar orang
lain.
Ketika
kita membuka kembali lembaran perjalan negeri ini wacana pluralisme sendiri
sempat menjadi perbincangan hangat, sampai-sampai memaksa MUI (Majelis Ulama
Indonesia) mengeluarkan fatwa haram terhadap “pluralisme”, dengan alasan paham
ini berbahaya apabila sampai kepada masyarakat awam.Bagi penulis sebuah fatwa
kontroversi kemudian dibalut alasan lucu. Jika memang MUI pengayom umat
tentunya tak cukup hanya mengeluarkan fatwa demikian. Bagaimana ingin
melindungi umat jika hanya berkutat pada ruangan pribadi yang ber-AC, mimbar,
plus siaran TV untuk mengucapkan selamat berbuka puasa.
Untunglah
fatwa itu suatu yang sifatnya tidak—mengikat dan bisa kita tinggalkan. Olehnya
itu penulis ingin berpesan “berkeyakinanlah dimana engkau mereasa nyaman karena
bukankah jalan menuju Tuhan itu sebanyak anak cucu Adam”.
Penulis - Reski Emil Oja
Editor - Elf