Selamat datang kita pembentuk peradaban. Kalau anda dan saya menyangka dosen (baca: pengajar) itu luhur dan tulus sama sekali, baiknya tanggalkan dulu presepsi itu. Kenapa? Semoga tulisan urak-urakan ini mampu diajak berdiskusi.
Selamat Membaca!
"Waspadalah, Dosenmu (jelmaan) Kaum
Sophis"
Kira-kira begitulah yang gugatan yang ingin penulis lontarkan. Bukan bermaksud sombong dan sok lebih hebat dari dosen atau pengajar. Hanya saja saya tidak bisa terus mengingkari isi hati dan diam.
"Bukankah mendiamkan kejahatan (baca: Penyimpangan; setidaknya menurut saya) sama dengan mengaminkan perbuatan tersebut."
Kaum Sophis adalah kelompok
cendikiawan yang hidup sekitar abad ke-4 SM. Keberadaan mereka nyaris tidak
bisa di pisahkan dari Socrates. Saking tidak bisa pisahkan, seperti “Yin” tak
kan ada tanpa tanpa “Yang”. Begitu erat kaitan keduanya oleh karena wacana
sesudahnya merupakan reaksi terhada wacana sebelumnya. Saya tidak tau persis
bagaimana kaum sophis kalau Socrates saat itu tidak mencela mereka. Yah,
terlepas dari keduanya tentu dapat dikaji secara terpisah.
Kaum sophis memiliki kemampuan
retoris atau pidato yang luar biasa. Orang-orang sophis berkeliling kota dan
mengajarkan pengetahuan. Berkhotbah tentang pengetahuan dan politik di
alun-alun kota, kelompok-kelompok anak muda, penjual-penjual sayur dan kelompok
lainya di Athena. Ini merupakan hal positif dan sangat mengagumkan. Yang saya
bayangkan, saat itu warga Athena hanya mengangguk-angguk menikmati guyuran
retorika, entah mereka mengerti atau tidak.
Kaum Sophis sangat terkenal di
Athena. Mungkin kalau zaman sekarang bisa di sepadankan dengan terkenalnya selebritis.
kaum sophis kemudian memanfaatkan kemampuan retorika atau pidato mereka untuk
mencari nafkah. Para bangsawan di ajarkan seni berpidato dan debat kemudian
mendapat imbalan berupa uang. Tidak ada yang salah dengan itu, namun tuntutan
zaman yang berbeda membuat menarik upah dari hasil mengajar menjadi masalah
besar.
Pada masa itu mengajar bukanlah
sebuah profesi. Mengajar adalah tentang mewariskan pengetahuan tanpa harus
meminta imbalan. Mode zaman yang seperti ini benar-benar menjunjung tinggi
kesucian pengetahuan. Sehingga
meminta imbalan mengajar merupakan hal yang sangat memalukan. Olehnya tepat
yang dilakukan socrates. Socrates mencela perbuatan
kaum sophis tersebut, karena dianggap menyimpang dengan tujuan mengajar.
Bagaimana dengan sekarang?
Di milenium ini, persoalan
kapital atau finansial dan kewajiban mewariskan pengetahuan tidak dapat
dipisahkan. Menjadi harga mati bahwa segala aspek dalam diri yang berupa jasa
memiliki nilai jual. Kalau saya mampu memperbaiki pintu yang rusak, itu bisa
memilki nilai jual. Kalau saya bisa mengetik di computer atau laptop, itu juga
bisa memiliki nilai jual. Bahkan hal yang paling fundamental sekalipun seperti
meminta teman mengatarkan pesanan teman yang lain juga memiliki nilai jual. Minimal
uang bensin untuk si teman.
Sehingga yang
terjadi adalah interaksi sosial kita terikat oleh samsara simbiosis mutualisme.
Saling menguntungkan barulah interaksi terjadi. Sehingga sangat sulit kiranya
menemukan utang budi di zaman ini. Semua utang budi terputus pada bentuk
imbalan-imbalan. Kalau anda membantu saya, saya memberikan anda upah dan
lunaslah bentuk hutang budi. kita terikat oleh hubungan saling menguntungkan
semata.
Ukuran zaman “edan” seperti
sekarang ini lebih banyak “apa yang saya beri dapat memberikan nilai lebih
kepada saya”. Standar kehidupan ini secara alamiah masuk ke setiap nadi
kehidupan. Bahkan sampai menguasai jantung peradaban. Standar kehidupan bukan
lagi pada standar hutang budi, tapi soal hutang money. Semoga kita tidak salah menafsir makna dari ajaran Tao Te
Ching, “semakin banyak kau memberi,
semakin banyak pula yang diterima”.
Serupa juga yang
terjadi dalam dunia pendidikan. Proses transfer ilmu dari pengajar kepada yang
diajar menua pergeseran. Bahkan sudah berlangsung 1000 tahun lebih. Mengajar
bukan lagi semata mata soal keluhuran maksud pengajaran, namun tendensi
finansial ikut mengalir dalam setiap sendinya. Proses mengajar hanya akan
berlangsung kalau ada upah. Mengajar sudah dijadikan profesi. Inilah yang
terjadi sekarang. Instansi dan biro pendidikan menjadi agen penyalur manusia
yang mengajar demi bertahan hidup.
Sumber: 2.bp.blogspot.com |
“Guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa”. Semboyan ini agaknya sudah hangus termakan zaman.
Bahkan sebelum-entah siapa itu-yang merumuskan kalimat seluhur ini hadir
dibangku sekolah dasar. Semboyan ini saya kira hanya relevan untuk era Socrates
saja, di mana guru hanya mengajar tanpa menuntut imbalan. “…tanpa tanda jasa”,
ini agaknya melucu.
Tiap semester
saya membayar sekolah. Tiap sekolah menuntut anak didiknya membayar ini itu,
dari jenjang sekolah dasar sampai bangku kuliah, tidak ada satupun yang tidak
berbayar. Siapa yang menyangkal ini, pasti dia lama hidup dihutan dan tidak
mengerti cara bertahan hidup di lingkungan akademik.
“..tanpa tanda
jasa”?, maaf pak, buk, jasa ibu dan bapak sudah saya bayar. Itu tanda jasa yang
kami bayar kepada kalian. Kalian tidak benar-benar tanpa tanda jasa. Dan
mungkin bapak ibuk lupa apa arti “tanpa tanda jasa”. Semua jasa mengajar bapak
dan ibu sudah kami bayar. Itu saja.
-“Belum lagi di NKRI kita ini, zaman edan
ini meminta kita membayar dengan tinggi harga kehidupan. Tapi yah, itu sih
wajar juga. Kan Negara kita belum bisa dewasa dari orok konsumerisme dan
jeratan kapitalis.”-ahh sudahlahh…
Kira-kira begini prolog yang sedang
berlangsung. Ini bisa dilihat dengan
bergesernya esensi pengajaran bukan lagi soal mewariskan pengetahuan. Tapi
sebagai lahan utama pemenuhan kebutuhan-hidup bagi sang “guru”. Nilai sakralitas keilmuan nomer
sekian, yang penting saya masuk “absen-mengajar-pulang-upah”. Mirip kaum Sophis di zaman Socrates. Keluhuran
maksud-maksud pengetahuan dinodai oleh keunggulan materialis. Memang tidak bisa
dipungkiri akan kebutuhan tersebut. Tapi jangan sampai lupa esensi dari
pe-warisan intelektual.
Ini di lingkungan tempat saya
mengais kerak pengetauan, semoga tidak di
tempat kalian. Kita memang masuk kelas, tapi tidak lebih dari sekedar
formalitas untuk melengkapi absen. Memuaskan sistem memenuhi target kehadiran.
Memikul aturan-aturan tidak rasional. Mempersoalkan potongan baju. Alas kaki.
Gaya rambut. Mungkin kalau di buat daftar keluhan terhadap sistem, saya harus
minjam jari dewa wisnu biar cukup. Bukanya sibuk menyoal keilmuan, malah salah
fokus.
Okelah ya kalau sistem juga mengimbangi
kualitas didik. Kalau pendidik ternyata seperti- meminjam istilah Paulo Freire-
mendidik ala Bank, ya itu kan tidak ngeh, ngga pas. Tapi yang terjadi adalah
sebaliknya. Pendidik yang berkualitas bisa dihitung jari. Selebihnya tidak jauh
beda dengan pendidik diangkatan ABG.
Saking sibuknya mengurusi hal
seperti itu mereka sampai lupa bahwa esensi dari pendidikan adalah pengetahuan. Sistem seharusnya mencerdaskan, bukan
menganaktirikan pengetahuan. Memperhatikan hal hal yang esensial daripada yang
aksidental. Bukan. Bukan yang lain. Sekali lagi, BUKAN YANG LAIN. Saya berani bertaruh atas nama
pengetahuan dan pencipta pengetahuan, bahwa mereka yang selalu rapi masuk kelas
dan berlari karena pecut sistem
tidak jauh lebih unggul dari mereka yang berlari bebas.
Ini sangat memprihatinkan. Sistem
pembelajaran seharusnya kian menua
kian berkualitas. Meningkatkan mutu kurikulum. Terus melakukan riset dan
menelaah apa yang kurang dari sistem. Bukan sebaliknya, sehingga dapat melahirkan generasi seperti jargon
”andalangnya”, kampus peradabang. Lantas apa yang terjadi. Tenaga pengajar hanya
sebatas mengajar, tanpa kualitas
yang tuntut dapat memperindah peradaban. Sebatas setelan hitam-putih memperketat
absensi. Sebatas emosi kalau-kalau tidak dituruti.
Maka tidak heran ada doktrin leluhur dunia kampus kayak gini , ” bangku
kuliah hanya menyediakan 20% pengetahuan, selebihnya cari sendiri diluar”. Ini
bukan sebatas bualan belaka. Mungkin para dosen menyadari juga hal ini, tapi
enggan memperbaiki. Atau oleh karena mereka tahu statistic ilmu dunia kampus,
makanya mereka mengaminkan saja agar kerja mereka lebih ringan?”.
Yah, semoga pada pengajar ala kaum
shopis tersebut lekas sadar..
#ThingAgain.