Jumat, 26 Mei 2017

Filsafat Pendidikan: Kaum Shopis dan Cermin Dosen

Selamat datang kita pembentuk peradaban. Kalau anda dan saya menyangka dosen (baca: pengajar) itu luhur dan tulus sama sekali, baiknya tanggalkan dulu presepsi itu. Kenapa? Semoga tulisan urak-urakan ini mampu diajak berdiskusi.

Selamat Membaca!

fakultas ushuluddin filsafat dan politik


"Waspadalah, Dosenmu (jelmaan) Kaum Sophis"
Kira-kira begitulah yang gugatan yang ingin penulis lontarkan. Bukan bermaksud sombong dan sok lebih hebat dari dosen atau pengajar. Hanya saja saya tidak bisa terus mengingkari isi hati dan diam.
"Bukankah mendiamkan kejahatan (baca: Penyimpangan; setidaknya menurut saya) sama dengan mengaminkan perbuatan tersebut."

Kaum Sophis adalah kelompok cendikiawan yang hidup sekitar abad ke-4 SM. Keberadaan mereka nyaris tidak bisa di pisahkan dari Socrates. Saking tidak bisa pisahkan, seperti “Yin” tak kan ada tanpa tanpa “Yang”. Begitu erat kaitan keduanya oleh karena wacana sesudahnya merupakan reaksi terhada wacana sebelumnya. Saya tidak tau persis bagaimana kaum sophis kalau Socrates saat itu tidak mencela mereka. Yah, terlepas dari keduanya tentu dapat dikaji secara terpisah.
Kaum sophis memiliki kemampuan retoris atau pidato yang luar biasa. Orang-orang sophis berkeliling kota dan mengajarkan pengetahuan. Berkhotbah tentang pengetahuan dan politik di alun-alun kota, kelompok-kelompok anak muda, penjual-penjual sayur dan kelompok lainya di Athena. Ini merupakan hal positif dan sangat mengagumkan. Yang saya bayangkan, saat itu warga Athena hanya mengangguk-angguk menikmati guyuran retorika, entah mereka mengerti atau tidak.
Kaum Sophis sangat terkenal di Athena. Mungkin kalau zaman sekarang bisa di sepadankan dengan terkenalnya selebritis. kaum sophis kemudian memanfaatkan kemampuan retorika atau pidato mereka untuk mencari nafkah. Para bangsawan di ajarkan seni berpidato dan debat kemudian mendapat imbalan berupa uang. Tidak ada yang salah dengan itu, namun tuntutan zaman yang berbeda membuat menarik upah dari hasil mengajar menjadi masalah besar.
Pada masa itu mengajar bukanlah sebuah profesi. Mengajar adalah tentang mewariskan pengetahuan tanpa harus meminta imbalan. Mode zaman yang seperti ini benar-benar menjunjung tinggi kesucian pengetahuan. Sehingga meminta imbalan mengajar merupakan hal yang sangat memalukan. Olehnya tepat yang dilakukan socrates. Socrates mencela perbuatan kaum sophis tersebut, karena dianggap menyimpang dengan tujuan mengajar.

Bagaimana dengan sekarang?
Di milenium ini, persoalan kapital atau finansial dan kewajiban mewariskan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Menjadi harga mati bahwa segala aspek dalam diri yang berupa jasa memiliki nilai jual. Kalau saya mampu memperbaiki pintu yang rusak, itu bisa memilki nilai jual. Kalau saya bisa mengetik di computer atau laptop, itu juga bisa memiliki nilai jual. Bahkan hal yang paling fundamental sekalipun seperti meminta teman mengatarkan pesanan teman yang lain juga memiliki nilai jual. Minimal uang bensin untuk si teman.
Sehingga yang terjadi adalah interaksi sosial kita terikat oleh samsara simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan barulah interaksi terjadi. Sehingga sangat sulit kiranya menemukan utang budi di zaman ini. Semua utang budi terputus pada bentuk imbalan-imbalan. Kalau anda membantu saya, saya memberikan anda upah dan lunaslah bentuk hutang budi. kita terikat oleh hubungan saling menguntungkan semata.
Ukuran zaman “edan” seperti sekarang ini lebih banyak “apa yang saya beri dapat memberikan nilai lebih kepada saya”. Standar kehidupan ini secara alamiah masuk ke setiap nadi kehidupan. Bahkan sampai menguasai jantung peradaban. Standar kehidupan bukan lagi pada standar hutang budi, tapi soal hutang money. Semoga kita tidak salah menafsir makna dari ajaran Tao Te Ching, “semakin banyak kau memberi, semakin banyak pula yang diterima”.
Serupa juga yang terjadi dalam dunia pendidikan. Proses transfer ilmu dari pengajar kepada yang diajar menua pergeseran. Bahkan sudah berlangsung 1000 tahun lebih. Mengajar bukan lagi semata mata soal keluhuran maksud pengajaran, namun tendensi finansial ikut mengalir dalam setiap sendinya. Proses mengajar hanya akan berlangsung kalau ada upah. Mengajar sudah dijadikan profesi. Inilah yang terjadi sekarang. Instansi dan biro pendidikan menjadi agen penyalur manusia yang mengajar demi bertahan hidup.
Sumber: 2.bp.blogspot.com

“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Semboyan ini agaknya sudah hangus termakan zaman. Bahkan sebelum-entah siapa itu-yang merumuskan kalimat seluhur ini hadir dibangku sekolah dasar. Semboyan ini saya kira hanya relevan untuk era Socrates saja, di mana guru hanya mengajar tanpa menuntut imbalan. “…tanpa tanda jasa”, ini agaknya melucu.
Tiap semester saya membayar sekolah. Tiap sekolah menuntut anak didiknya membayar ini itu, dari jenjang sekolah dasar sampai bangku kuliah, tidak ada satupun yang tidak berbayar. Siapa yang menyangkal ini, pasti dia lama hidup dihutan dan tidak mengerti cara bertahan hidup di lingkungan akademik.
“..tanpa tanda jasa”?, maaf pak, buk, jasa ibu dan bapak sudah saya bayar. Itu tanda jasa yang kami bayar kepada kalian. Kalian tidak benar-benar tanpa tanda jasa. Dan mungkin bapak ibuk lupa apa arti “tanpa tanda jasa”. Semua jasa mengajar bapak dan ibu sudah kami bayar. Itu saja.
-“Belum lagi di NKRI kita ini, zaman edan ini meminta kita membayar dengan tinggi harga kehidupan. Tapi yah, itu sih wajar juga. Kan Negara kita belum bisa dewasa dari orok konsumerisme dan jeratan kapitalis.”-ahh sudahlahh…
Kira-kira begini prolog yang sedang berlangsung. Ini bisa dilihat dengan bergesernya esensi pengajaran bukan lagi soal mewariskan pengetahuan. Tapi sebagai lahan utama pemenuhan kebutuhan-hidup bagi sang “guru”. Nilai sakralitas keilmuan nomer sekian, yang penting saya masuk “absen-mengajar-pulang-upah”. Mirip kaum Sophis di zaman Socrates. Keluhuran maksud-maksud pengetahuan dinodai oleh keunggulan materialis. Memang tidak bisa dipungkiri akan kebutuhan tersebut. Tapi jangan sampai lupa esensi dari pe-warisan intelektual.
Ini di lingkungan tempat saya mengais kerak pengetauan, semoga tidak di tempat kalian. Kita memang masuk kelas, tapi tidak lebih dari sekedar formalitas untuk melengkapi absen. Memuaskan sistem memenuhi target kehadiran. Memikul aturan-aturan tidak rasional. Mempersoalkan potongan baju. Alas kaki. Gaya rambut. Mungkin kalau di buat daftar keluhan terhadap sistem, saya harus minjam jari dewa wisnu biar cukup. Bukanya sibuk menyoal keilmuan, malah salah fokus.
Okelah ya kalau sistem juga mengimbangi kualitas didik. Kalau pendidik ternyata seperti- meminjam istilah Paulo Freire- mendidik ala Bank, ya itu kan tidak ngeh, ngga pas. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pendidik yang berkualitas bisa dihitung jari. Selebihnya tidak jauh beda dengan pendidik diangkatan ABG.
Saking sibuknya mengurusi hal seperti itu mereka sampai lupa bahwa esensi dari pendidikan adalah pengetahuan. Sistem seharusnya mencerdaskan, bukan menganaktirikan pengetahuan. Memperhatikan hal hal yang esensial daripada yang aksidental. Bukan. Bukan yang lain. Sekali lagi, BUKAN YANG LAIN. Saya berani bertaruh atas nama pengetahuan dan pencipta pengetahuan, bahwa mereka yang selalu rapi masuk kelas dan berlari karena pecut sistem tidak jauh lebih unggul dari mereka yang berlari bebas.
Ini sangat memprihatinkan. Sistem pembelajaran seharusnya kian menua kian berkualitas. Meningkatkan mutu kurikulum. Terus melakukan riset dan menelaah apa yang kurang dari sistem. Bukan sebaliknya, sehingga dapat melahirkan generasi seperti jargon ”andalangnya”, kampus peradabang. Lantas apa yang terjadi. Tenaga pengajar hanya sebatas mengajar, tanpa kualitas yang tuntut dapat memperindah peradaban. Sebatas setelan hitam-putih memperketat absensi. Sebatas emosi kalau-kalau tidak dituruti.
Maka tidak heran ada doktrin leluhur dunia kampus kayak gini , ” bangku kuliah hanya menyediakan 20% pengetahuan, selebihnya cari sendiri diluar”. Ini bukan sebatas bualan belaka. Mungkin para dosen menyadari juga hal ini, tapi enggan memperbaiki. Atau oleh karena mereka tahu statistic ilmu dunia kampus, makanya mereka mengaminkan saja agar kerja mereka lebih ringan?.
Yah, semoga pada pengajar ala kaum shopis tersebut lekas sadar..


#ThingAgain.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon