Senin, 22 Mei 2017

Aku-kamu-kosmos di tengah nilai-nilai

Aku,kamu dan kosmos di tengah nilai-nilai.


ironi sampah di lautan

Bumi di tengah Aku.

Dapat saya kemukakan bahwa tanah tempat saya berpijak semakin bosan untuk berbagi gerak. Mulai dari aku yang berprilaku a moral terhadap alam itu sendiri, seperti membuang sampah dengan “ikhlas” tidak pada seharusnya dan tidak seharusnya menyampah untuk waktu yang tepat. Aku tidak menyadari bahwa sampah yang kubuang adalah benda yang kasar, yang berarti dapat mempersempit gerak di dalam ruang. Maksudnya sampah itu seharusnya tidak di tempatkan pada ruang tempat aku bergerak sampai menumpuk. Tetapi aku sadar pula, bahwa bukan hanya aku yang bergerak. Alam sebagaimana pengertiannya sebagai mumkinul wujud. Juga adalah wujud yang berpotensial. Itu berarti aku yang bergerak di tengah bumi. adalah aku yang bergerak bersama gerak lainnya. Untuk itu membuang sampah tidak ada tempat yang tepat untuk manusia kecuali memanfaatkan sampah itu untuk mendukung gerak alam semesta.

Kesadaran aku ini tidak sejalan dengan fakta bahwa Indonesia menempati urutan kedua di seluruh bumi sebagai penyumbang sampah plastik kelaut. Fakta ini seperti “jaring laba-laba” yang merekat keberbagi titik. Dengan banyak sampah plastik yang bersebaran ke laut akan mengusik gerak ekosistem laut, Ini berarti kebanyakan manusia di Indonesia menganggap bahwa Laut bukan bagian dari dirinya sendiri.

Ada kesenjangan gerak antara manusia dan makhluk hidup lainnya di negeri ini. Nilai hanya ada untuk manusia. Sehingga moral hanya berlaku bagi relasi gerak manusia dengan manusia. Sedang makhluk hidup lainnya hanya menjadi pendukung bagi moral sempit manusia. Gerak moral ini biasanya di sebut sebagai moral Antroposentris-subjektivistis, yang mengartikan manusia sebagai pusat gerakan di alam semesta. Sehingga kemana manusia bergerak di sanalah alam semesta mengekor. Ke mana aku memandang, di sanalah alam ikut memandang. Bila aku membuang sampah dan sampah itu tidak mengganggu manusia lain maka alam juga tidak ikut terganggu. Seperti itulah jika bumi di tengah Aku.

Dalam persoalan nilai untuk alam itu sendiri, H. Lotze seorang filsuf jerman  yang berusaha membersihkan nilai dari realitas demi adanya metode naturalis yang bebas nilai. Belakangan misi ini di kritik habis oleh filsuf kritik Habermas, bahwa segala metode positivistik untuk menyelidiki realitas tidak akan pernah bebas nilai. Positivistik pada akhirnya menguasai alam untuk kepentingan manusia.

 Antroposentris yang positivistic  di kritik pula dengan lugas oleh paham biosentris yang menjadikan aku di tengah bumi.

Aku dan kamu di tengah kosmos.

Biosentrisme secara harfiah dapat di batasi maknanya bahwa yang hidup menjadi pusat lingkaran kehidupan. Itu berarti nilai merasuki setiap yang hidup dan manusia mau tidak mau, bukan lagi menjadi penguasa nilai. Manusia juga harus tunduk di hadapan alam semesta, alam semesta menjadi komunitas moral, di mana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai.

Adalah Albert Schwitzer, pemenang Nobel tahun 1952 yang mengabdi sebagai seorang dokter dan filsuf. Menurutnya, nilai biosentris bersumber pada kesadaran bahwa kehidupan adalah hal sakral, dan bahwa “saya menjalani kehidupan yang menginginkan untuk tetap hidup”. Baginya orang yang benar-benar bermoral adalah orang yang tunduk pada dorongan untuk membantu semua kehidupan, ketika ia sendiri mampu untuk membantu semua kehidupan, dan menghindari apa pun yang membahayakan kehidupan.

Etika biosentris yang di canangkan oleh Albert Schwitzer agaknya mencoba menggiring manusia untuk keluar dari batas spesia buatan Aristoteles. Bahwa di luar batas itu manusia dan alam adalah identik. Semua makhluk yang hidup setara dalam menggunakan semua dayanya menjadi hidup. Untuk itu manusia yang memiliki kesadaran seharusnya menghormati gerak hidup makhluk lain.

Etika biosentris yang menggiring manusia untuk keluar dari spesia Aristoteles juga di canangkan oleh Paul Taylor. Menurutnya etika Biosentris di dasarkan pada empat keyakinan. Pertama, manusia adalah bagian dari komunitas kehidupan. Kedua, bahwa spesies manusia dan spesies lainnya berkembang karena relasi satu sama lain. ketiga, setiap organisme adalah unik dalam mengejar kepentingan sendiri sesuai dengan caranya sendiri. Keempat, keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari pada makhluk lainnya.

Keempat keyakinan Paul Taylor dapat mudah di mengerti bahma manusia hanyalah binatang biologis yang sama dengan binatang biologis lainnya. Dalam lingkup materi yang sama, manusia dan makhluk hidup lainnya memiliki daya potensial yang sama yang tunduk pada nilai kehidupan di luar dirinya.
Ini menegaskan bahwa apapun yang di putuskan oleh manusia harus mengingat kepentingan dirinya di tengah kehidupan organisme lainnya. Tetapi saya pikir, manusia di zaman ini amat sulit untuk mengerti etika ini karena manusia dengan rasionalitas instrumentalnya memonopoli nilai untuk yang berkesadaran saja. Untuk itu nilai perlu untuk di gumuli kembali, di tempatkan dan di gerakkan, agar aku dan kita tidak mengalami kesenjangan gerak di tengah gerakan alam semesta.

Aku di tengah Nilai-Nilai

Aku berusaha yakin kalau aku mampu untuk menelanjangi nilai maka aku mampu untuk bergerak luwes mengikuti gerak alam semesta dan dengan Nilai yang telanjang itu, orang mampu untuk berbagi gerak dan menjaga relasi gerak dengan makhluk hidup lainnya. Untuk itu sebagai kesimpulan awal. Saya meyakini bahwa Nilai harus meliputi subjek dan objek. Nilai bukan berada pada subjek dan bukan pula berada pada objek. Tetapi nilai harus berada diantaranya sebagai kesatuan yang mengatasi subjek yang berjarak dari objek ataupun mengayomi subjek yang melebur dengan objek. Dan nilai seperti apakah itu?.

Kasus sampah yang berserakan dan menumpuk di Indonesia adalah fakta yang membuktikan bahwa eksistensi manusia dengan nilai sebagai polaritas dan ber hierarkis erat kaitannya. Nilai yang di pikirkan manusia sangat berpengaruh bagi eksistensi manusia. Sampah yang di acuhkan manusia dalam polaritasnya dapat di sebut sebagai benda yang bernilai negatif. Tetapi sampah yang di perhatikan manusia dapat berubah nilai polaritasnya sebagai nilai positif jika sampah itu mampu
beranjak dari hierarki nilai terbawah sebagai nilai negatif menjadi hierarki bernilai guna jika sampah mampu di daur ulang dengan daya kreatif manusia. Tetapi daya kreatif manusia adalah bentuk kewajiban manusia yang tidak bisa lain harus menjaga kelestarian alam.

Sekarang kata “sampah” memang dapat di nilai sebagai nilai yang mampu berubah mengikuti subjektivitas penilaian manusia. Tetapi kata perintah “tidak membuang sampah sembarangan, tidak menyampah secara berlebihan. Dan menjaga kelestarian alam” adalah kata yang imperative kategoris, yang tidak bisa lain adalah kewajiban tak bersyarat. Dengan mengatakan “sampah bernilai negatif” maka dengan ototmatis “ saya menghendaki untuk tidak membuang sampah”. Memang, dengan serta merta sentimen psikologis indivisu atas pemberian nilai dengan pengkataan “sampah” kepada sebuah dan banyak benda pasca pakai, akan menggiring pula sentimental ego subjektivistik untuk menjelekkan sampah, meskipun perbedaan selera pada akhirnya membuat nilai kata “sampah” itu tidak berakhir melainkan terjatuh dalam perbedaan selera, sebagaimana Bertrand Russel mengungkapkannya. Namun “sampah” bukan hanya merupakan selera individu, tetapi kata “sampah” adalah pemakaian kata untuk masyarakat sehingga pengkataan sampah secara empirisme logis berakhir pada adat kebiasaan sosiologis. Dan saya sedang berusaha yakin bahwa “sampah” di hampir sebuah negara dari yang paling bobrok dan yang paling maju, menjadi sebuah hal yang nilainya mesti di daur ulang. Untuk itulah nilai “sampah yang di daur ulang” adalah demi nilai yang lebih tinggi yakni “menjaga kelestarian alam.”

“Aku tidak boleh menyampah secara berlebihan dan sembarangan, itu tidak bisa lain karena aku wajib untuk tidak menyampah secara berlebihan dan sembarangan.” Ini karena Nilai menjaga kelestarian alam adalah nilai yang sakral, tidak bersyarat untuk kesenangan manusia atau tujuannya untuk menjaga kelestarian alam. Tetapi nilai itu berada di luar manusia, dan manusia tidak bisa lain meski tanpa kepentingan psikologis. Manusia wajib tunduk pada nilai menjaga kelestarian alam itu.
Sampah secara kasarnya tidak mampu dindrai secara percuma. Sampah adalah kata untuk penilaian yang mengidentifikasi semua benda yang nilai gunanya lebih kecil dari pada nilai gangguannya. Dalam tingkatan ini sampah adalah hasil dari nilai sekunder dari penilaian manusia terhadap benda pasca pakai. Tetapi sebelum menilai/mengalami. Secara utuh manusia telah wajib untuk menjaga keseimbangan alam. Nilai keseimbangan adalah nilai yang apriori yang mendahului penilaian kata “ sampah” sehingga pada akhirnya penilaian itu mengikuti nilai yang baku. Maksudnya dengan menilai benda sebagai sampah yang menyentuh keseimbangan alam. Maka benda tersebut dengan begitu saja wajib untuk tidak di pertahankan nilainya. Ia berubah mengikuti nilai yang tidak berubah.
Meskipun karena keanehan belahan jiwa yang di miliki setiap manusia. Adapula orang yang menganggap bahwa sampah yang tidak di daur ulang dan mengandung zat kimia yang berbahaya untuk kelangsungan gerak alam masih di anggap belum menganggu. sehingga ada kasus seorang manusia yang memang sengaja membuang sampah secara sembarangan. Inilah yang kemudian menjadi persoalan, jika orang menganggap bahwa nilai itu tidak dapat di mengerti dan tidak mungkin di perdebatkan. Karena pada akhirnya nilai etis juga tidak akan berlaku bagi selera yang berbeda dengan kebanyakan. Ini pula yang menjadi kekurangan dari teori nilai yang di gagas oleh Bertrand Russel jika di perhadapakan pada persoalan menyampah dan menjaga keseimbangan alam. Karena bagaimanapun berbedanya selera antara subjek. Persoalan sampah adalah persoalan “aku di tengah bumi”. sampah bukan hanya persoalan “aku dan kamu” tetapi persaolan lingkaran “ aku, kamu dan bumi di tengah nilai-nilai”.

Saya memang berpikir, jika orang hanya menilai dengan ego sentimental dan selera subjek yang sangat mengedepankan empirisme. Maka gerak di ruang hidup akan berat sebelah. Dan keseimbangan sebagai sebuah kesatuan dan transparansi intelektual manusia akan ternodai. Sehigga alih-alih untuk memikirkan hubungan subjek dan objek atau antara aku dan alam. Sesungguhnya relasi ini jika memakai ajaran subjektivis maka yang terjadi adalah pembungkusan alam demi untuk relasi “aku dan kamu.”

Bila itu yang terjadi, maka alam akan selalu di anggap lain dari ruang ini. ia bergerak mengikuti gerak manusia. Dengan begitu manusia yang berbeda selera dan psikologis akan membawa alam bergerak mengikuti jiwa manusia yang rentan neurotis. Jika relasi manusia sakit, maka alam akan merespon dengan guncangan di permukaan. Jika manusia menyampah secara berlebihan alam akan merespon dengan dengan bencana yang tak terduga.

Untuk menghindari bencana alam yang sebenarnya jelas di depan mata akibat ulah manusia. Mesti ada kontruksi nilai yang di bangun kembali. Nilai yang tidak membuat senjang “aku-kamu” dan “aku-kamu-bumi”. atau nilai “primitive dan modern”. Saya yakin harus ada nilai yang tetap,tidak berubah dan tidak mengikuti pengemban. “Sampah” itu dapat berubah nilainya tetapi nilai “keseimbangan alam” harus  selalu sebagai nilai yang terjaga. Dan nilai “keseimbangan alam” itu adaah apriori sehingga sangat mungkin di ketahui oleh setiap manusia.

Aku , kamu dan kosmos di tengah nilai-nilai.

Aku-kamu di dalam kosmos , saya pinjam dari istilah Max Scheler yang menulis judul bukunya The position of Man in the Cosmos ( Kedudukan manusia dalam kosmos). Di sini dia menulis:

Kami menolak hipotesis teis tentang “ Tuhan yang spiritual dan berpribadi, yang maha kuasa dalam Spiritualitas-nya.” Bagi kami hubungan manusia yang dijalin manusia dengan prinsip alam semesta terkandung dalam fakta bahwa prinsip ini di pahami secara langsung dan di sadari di dalam diri manusia sendiri, yang sebagai makhluk hisup, makhluk spiritual, hanya merupakan sebuah nucleus parsial dari gerak hati dan semangat dari ‘Ada yang mengada melalui dirinya sendiri’, itu merupakan ide kuno dari Spinoza, Hegel dan yang lain: Ada yang pertama yang memperoleh kesadaran dirinya di dalam manusia… Kedatangan manusia dan kehadiran Tuhan mengimplikasikan satu sama lain, secara timbal balik, sejak awalnya, menurut konsepsi kami. Manusia tidak dapat memenuhi nasibnya tanpa mengetahui dirinya sebagai salah satu anggota dari dua atribut Ada yang tertinggi dan sebagai penghuni Ada; juga tidak dapat menjadi Ada melalui Dirinya sendiri – tanpa kerja sama manusia. Ruh dan gerak hati, dua atribut ada, tidak sempurna dalam dirinya sendiri – tanpa memperhatikan adanya peresapan timbal balik yang berangsur-angsur, sebagai tujuan akhir –, namun agaknya, berkembang selama perwujudannya dalam sejarah ruh manusia dalam evolusi hidup universal.( saya kutip dari Risieri Frondisi, Pengantar Filsafat Nilai, h. 105 ).

Agaknya dengan kutipan ini, Scheler terlihat ketimuran, yang menempatkan manusia sebagai bagian dari gerak antar bio, yang bergerak sebagai penghuni Ada yang saling bertimbal balik bergerak untuk memenuhi tujuan akhir. Aku, kamu di dalam kosmos adalah gerak evolusi timbal balik dalam hidup universal.

Sehingga tidak lagi bisa lain, membuang sampah dan mengatasi sampah lalu menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosisitem adalah bagian dari evolusi hidup universal. Sehingga wajib untuk menjaga relasi gerak di dalam ruang.

Scheler memang terpengaruh oleh etika Deantologis Kant. Di mana ia mengatakan etika Kant itu sebagai etika tertinggi, meskipun Scheler juga mengkritik kesalahan etika Kant yang hanya menempatkan benda-benda sebagai bernilai empiris saja. Scheler mengatakan bahwa benda-benda itu yang justru adalah nilai dan bukannya tergantung pada mereka.

Secara sederhana etika deantologis adalah etika yang melepaskan manusia dari tujuan dan hipotesis. Etika deantologis mengharuskan manusia baik karena hal itu adalah imperative kategoris yang berarti kewajiban tanpa syarat.

Dalam etika deantologis, “aku yang membuang sampah tidak pada tempatnya” adalah kewajiban dan bukan karena “aku membuang sampah pada tempatnya untuk keindahan dan tidak menggangu lingkungan” tetapi tidak bisa lain “aku harus membuang sampah pada tempatnya”. Mengapa demikian? Karena secara apriori konsep keseimbangan mendahului pengkataan “sampah” pada benda dan pada saat sampah di buang. Sehingga secara moral “aku berkewajiban untuk tidak membuang sampah sembarangan.”Etika deantologis ini setidaknya mampu untuk mencegah manusia untuk tidak menyampah secara berlebihan.

Melihat Scheler menuliskan bahwa Nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda melainkan benda itu sendiri adalah nilai. Maksudnya nilai pada benda itu mendahului kegiatan memberi penilaian oleh bentuk empirisme. Semisal, membuang sampah plastik kelaut itu adalah buruk, nilai buruk itu sudah tetap pada perilaku itu sebelum di lakukan, nilai pada benda itu menguapkan bahwa manusia tidak hidup sendiri di kosmos ini, melainkan manusia juga ikut di nilai dalam memberikan penilaian.

Dengan nilai yang ada pada benda. Menegaskan bahwa manusia berbagi gerak dengan benda di dalam ruang ini.  seperti warna merah yang berbagi gerak dengan warna biru dalam ruang yang sama. Perilaku membuang sampah tidak pada tempatnya adalah perilaku aksiologis kenikmatan manusia yang menodai ruang bagi gerak benda lain.

Jika ada orang yang secara sentimental di anggap baik sebelumnya namun membuang sampah tidak pada tempatnya maka ia seharusnya bermoral buruk. Tetapi bila ada seseorang yang di nilai buruk sebelumnya namun telah membuang sampah pada tempatnya maka ia harus di nilai baik. Meskipun ukuran ini amat besar untuk di kritik karena bisa jadi orang membuang sampah pada tempatnya di dorong oleh keinginan dan tujuan tertentu. Tetapi perilaku membuang sampah pada tempatnya atau tidak menyampah secara berlebihan adalah perilaku yang menjaga keseimbangan, ia pantas untuk bernilai baik.

Setidaknya, dengan Scheler saya menyadari bahwa manusia bergerak di tengah nilai-nilai. Ini berarti manusia mesti harus di karuniai ukuran moral yang berlaku di mana saja. Yang mungkin dapat di generalisasikan  untuk semua gerak di dalam satu ruang dalam waktu yang sama. Dengan menunjuk logika hati – mesti banyak di kritik sepeninggalnya – dapat menjamin gerak Ada dan penghuni ada di dalam gerak Ada itu sendiri.

Pergerakan Ada di dalam dirinya sendiri sebagai ruang itu sendiri tidak mungkin di pahami oleh rasionalitas manusia, hubungan gerak antara laut, ombak dan manusia di dalam ruang yang sama dengan Ada yang menjadi dirinya sendiri tidak mungkin dapat di deteksi oleh rasio. Namun Scheler memiliki jalan keluar dengan mengatakan bahwa Ada yang  bergerak melalui dirinya sendiri dengan menyatakan diri kepada kita melalui persepsi sentimental, dalam preferensi, cinta dan benci. Secara sederhana. Ketersinggungan gerak atau ketidak semibangan gerak yang di timbulkan oleh manusia – karena membuang sampah plastik ke lautan – alam dapat menyatakan diri dengan gejolak atau bencana yang menimbulkan kerugian bagi gerak manusia. Untuk itulah pemahaman primitive tentang bencana alam yang terjadi karena kemarahan daya supernatural alam dapat di benarkan, meskipun hubungan sebab akibat itu dapat mudah di mengerti dengan menggunakan pikiran.- bencana banjir di sebabkan ulah manusia- tetapi banjir atau air yang mengamuk itu sendiri menyatakan diri kepada manusia dengan persepsi hati lewat “banjir” sebagai citra akan adanya gerak yang tidak seimbang di dalam ruang. Ini mengartikan juga bahwa citra banjir yang menyatakan diri lewat persepsi hati manusia adalah bentuk cinta dan benci alam yang secara spontan timbul karena ulah manusia. Kekuatan gerak alam yang menyatakan diri bukan reaksi yang timbul karena hasil pemikiran, seperti alam murka terhadap kita karena membuang sampah kelaut. Tetapi secara spontan , dengan kita membuang sampah plastik kelaut atau kesungai maka banjir pasti akan terjadi.

Fenomena-fenomana alam itu sendiri menampak pada diri kita secara spontan mengikuti keseimbangan gerak yang di jamin oleh ruang Ada yang menjadi dirinya sendiri. Sebagai aku yang sadar terhadap Ada, aku pun menjamin gerak alam sebagai mereka yang bernilai di dalam nilai Ada itu sendiri. Dalam ukuran sebagai aku yang sadar dengan gerak dan ruang. Maka aku punya kebebasan di antara pilihan dan preferensi. Aku bisa memilih dengan sebelumnya memiliki pengetahuan tentang nilai baik dan buruk. Tetapi pilihanku di dahului oleh preferensi akan adanya nilai terendah dan tertinggi. Namun pilihan dan pereferensi ini bisa terlepas demi menjamin gerak di dalam ruang itu sendiri. Ada yang menjadi dirinya sendiri adalah abadi sebagai nilai tertinggi karena Ada menjamin kelangsungan ada yang mengikuti gerak Ada dalam kosmos. Ini berarti kefanaan gerak benda yang di indra manusia memang lebih rendah dari manusia yang sadar akan keabadian. Tetapi manusia juga lebih rendah dari pada gerak dan ruang yang meliputinya. Sedang ruang dan gerak itu sendiri lebih rendah dari pada Ada yang bergerak melalui dirinya sendiri. Sehingga manusia sebagai yang bebas bergerak dalam ruang memang menjadi pusat gerak kosmos. Tetapi manusia juga tunduk pada gerak dan ruang yang menjadikan manusia sebagai bagian dari makhlukh hidup yang juga bergerak di dalam ruang. Sehingga manusia harus menyadari dirinya sebagai penghuni Ada yang bergerak melalui dirinya sendiri. Ini berarti Nilai tertinggi itu melingkupi semua nilai gerak benda.

Nilai kekudusan sebagai hierarki tertinggi yang di tempatkan oleh Scheler setidaknya menempatkan Nilai Ada diatas segala yang mengada, ini kemudian membuat Ada seringkali menampakkan diri untuk menjamin kedekatan Ada terhadap penghuni ada lewat penampakan-penampakan alam dan benda-benda. Nilai dari kenikmatan menuju niai kekudusan lewat nilai hidup dan spritualitas adalah nilai-nilai aprioristik yang menjamin relasi antara yang nilai-nilai yang mengada.

Dengan ini saya membenarkan kehebatan manuia dan sekaligus kelemahan manusia. Aku sebagai manusia yang berkesadaran tidak bisa lagi mengasingkan diri dari benda dan kehidupan alam. Dan mengasingkan alam dari kehidupan manusia lewat eksploitasi alam yang menganggu gerak alam itu sendiri. Meskipun alam memliki spontanitas, tetapi manusia yang sadar akan spontanitas alam itu lewat tubuhnya yang merupakan spontaitas alam kecil. Mampu untuk menjadi penjamin bagi gerak harmonis alam di dalam ruang Ada yang mengada melalui dirinya sendiri.

Dengan berbagai kerumitan nilai ini. saya mengimbau kita semua untuk tidak membuang sampah secara berlebihan dan sembarangan dan ini tidak bisa lain karena kita semua tunduk di bawah Ada yang menjamin gerak di dalam ruang tempat kita berbagi gerak dengan benda-benda di dalam alam.
Mengatasi sampah lewat merubah cara pandang kita terhadap nilai benda-benda. Dan nilai kita di tengah alam semesta. Kiranya membuat kita bijak memaknai eksistensi kehidupan kita di tengah nilai-nilai. Meskipun remeh untuk tidak membuang sampah secara berlebihan tetapi dampak dari keremehan ini adalah menyentil keseimbangan. Dan akibat dari sentilan terhadap keseimbangan itu adalah kekacauan alam semesta.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon