Telah 17 hari
setelah aku berulang tahun. Umurku sekarang terhitung menjadi 21 tahun. Usia
yang tidak lagi bisa di sebut anak-anak tetapi juga tidak bisa di sebut sebagai
dewasa. Aku senang menyebut fase 21 tahun sebagai fase dualitas. Aku masih memiliki
sifat anak-anak tetapi berusaha untuk menjadi orang dewasa. dengan memiliki dua
wajah itu pula, aku ingin mengucapkan bahwa ke “akuanku” masih berada di
pertengahan jembatan antara kedirian dan struktur masyarakat.
Aku yang
berumur 21 juga adalah “aku yang tercabik-cabik”. Begitu banyak kesadaran yang
timbul dari dasar laut ketidak sadaran. Pengalaman-pengalaman terhadap putting
ibu kembali timbul secara lebih nampak dan kompleks. Aku yang tercemaskan
akibat keterpisahan dari esensi putting Ibu kembali terulang pada aku yang 21
tahun. Kali ini putting ibu “berwajah dua”. Wajah yang sebelah adalah aku yang
didekap dada ibu. Dan wajah sebagian adalah putting ibu yang berbentuk putting
masyarakat.
Aku yang
berumur 21 tahun juga adalah aku yang menghisap putting masyarakat. Aku bisa
menolaknya, tetapi aku akan mengalami kecemasan sebagai yang dianggap “kurang
gizi” atau sebaliknya, memilih menghisap putting masyarakat dan di ninabobokkan
lalu mati. Aku tahu, hanya putting ibu yang melilitku dengan plasenta sebagai
esensi tubuhku. Sedangkan putting masyarakat adalah putting ilusi, sebuah
putting yang menyamarkan bentuk payudara ibuku. Tetapi yang membuatku tercabik.
Putting ibuku telah memasyarakat. Putting yang meruntuhkan tubuhku.
Di Umur 21
tahun, aku juga melihat tubuhku. Memandang kelaminku sebagai kuasa
kejantananku. Kadang aku melihatnya sebagai yang lain. sebagai sesuatu yang tak
pernah kuminta. Tuhan menyusun kelamin itu pada tubuhku. Padahal aku ingin
menukar kelaminku dengan pena. Agar aku hanya berhasrat untuk mematahkan
penaku.
Aku juga
melihat jakun yang tumbuh di tengah leherku. Suaraku semakin berat dan
bulu-bulu telah menguasai tubuhku. Aku tak pernah meminta untuk bertubuh
seperti ini. Aku lebih ingin tidak bertubuh. Tubuh adalah kerinduan. Dan
tubuhku tidak pernah tahu arti terpisah dan juga tidak becus mengalami
kesepian. Sedang aku yang tidak bertubuh adalah aku yang sepi dan selalu
terpisah.
Mengalami
berbagai kompleksitas berwajah dua di umur 21 tahun sungguh seperti kencing
dengan satu kaki. Aku di gerus oleh ilusi kehidupan. Kehidupan yang miskin
esensial. Aku di tombak masyarakat yang tidak mengakui keakuanku . Meraka butuh
aku yang menjadi lain. Aku yang berkuasa bukan aku yang esensi.
Inilah aku saat
ini. aku yang akan menjadi berisik dan tiba- tiba menjadi diam. Aku yang
tertawa dan tiba-tiba menjadi sedih. Kuingatkan untuk tidak berkawan denganku
karena aku tiba- tiba menjadi musuh. Sungguh aku hanya ingin mencari kembali
putting payudara yang pernah kuhisap dulu. Putting payudara yang bisu. Putting
payudara universal. Putting yang melampaui putting ibuku. Putting payudara
Tuhan.
Demikian
catatan ini menandakan aku yang memilih untuk tidak memasyarakat.
***
Setelah anda
membaca aku yang 21 tahun. Aku telah menjadi dia. Dan apa yang anda baca adalah
apa yang anda pikirkan. Secara tidak sadar aku yang 21 tahun dalam tulisan ini
telah mati dan bereinkarnasi menjadi dia. Tetapi dia juga telah mati dan
kalianlah yang membunuhnya.