Kamis, 25 Mei 2017

Filsafat Cinta : Hujan membawa kenangan

Tulisan lama baru di post. Selamat menikmati

“Hujan membawa kenangan”, itu kata mereka.

Disudut warkop yang tidak beratap.

Aku dan senja. Warna senja mulai memudar di kaki cakrawala. Pelan pelan bintang raksasa itu mulai ditelan gelap. Memangsa gelap disisi lain. Garis garis merah tembaga itupun semakin menegas. Sisa sisa keperkasaanya menusuk-nusuk dedaunan, menelan hijau dengan emas. Kau tau itu, aku selalu menyukai senja. Tak ada yang lebih indah dari pada senja.

Terbanglah hayal menerka-nerka kisah yang lama. Dia lepas bebas menemuimu yang saat itu masih milikku. Batas waktu tidaklah aku perdulikan. Ku biarkan saja semua melanggar hukum alam. Kau tidak mungkin mengulang waktu, itu yang mereka katakana. Salah, aku bisa memutar waktu, bersama fikiranku.

Di kedalaman kuburan masa lalu. Bongkahan kisah dan kepingan kepingan usang yang mulai memudar, aku kais kembali. Siapa tau saja aku menemukan lembaran lusuh tentang kita. Lembaran yang dulu pernah aku bingkai dengan segala mimpi dan rencana tentang seatap bersama. Meski saat itu belum sempat ku tunjukan hingga kau berlalu.

“Ini tentang kisah bunga yang layu sebelum mekar”. Kata-kata itu terpapar rapi, aku mengukirnya lama agar terlihat indah. Aku ingat benar, memori itu aku tulis selepas senja memutuskan harapan bersama malam. Aku mengenang kembali…

Cahaya di lorong kampus hijau sore itu mulai meredup. Sekonyong konyong lampu jalanan beralih menerangi jalan. aku tenang saja, melewati gedung  sejuta mitos itu. Awalnya gedung tua itu adalah gedung rektorat, lalu beralih fungsi menjadi fakultas. Cukup tua, terlihat dari lapisan cat cream yang mulai terkulupas sana-sini.

Ini bukan pertama kalinya aku melewatinya sepetang ini. Kegiatan organisasi kampus memaksa aku harus tinggal hingga larut petang. Tidak masalah, aku malah suka. Tapi kali ini ada sesuatu yang sedikit berbeda. Aku jalan tidak sendiri, ada Shofia yang menemani.

Gadis itu aku kenal beberapa hari yang lalu. Orangnya kecil menggemaskan, manis dan berjilbab besar. Aku selalu menyukai gadis berjilbab besar. Belum lagi belakangan aku tau dia adalah sosok gadis yang tomboy. Pas benar, wanita impianku. Gadis religius yang tomboy, eh.

Canda sepanjang jalan pulang itu, aku tak bisa melupakanya. Seperti menelan senja, matamu selalu sulilt aku lepaskan dari pandanganku. Tawamu yang tanpa dusta. cara jalanmu yang lebih cepat dari gadis kebanyakan. Semua masih lekat dikepalaku, seperti baru kemarin.

Aku dan mendung

Pagi itu, fajar menyisakan luka. Tiupan angin membawa benih luka entah dari mana. Kau murung. Melukai lembaran bukumu dengan sentuhan berlebihan. Aku tersadar. Menyeruaklah alasan-alasan kecewa dari ruang ruang hampa. Hingga aku menyadari tak ada luka yang hadir begitu saja. Aku tau itu salahku. Mungkin langit paham benar hatimu. Mendung.

Aku diseberang sana menatapmu tanpa pernah kau tau.  Berjarak empat meja dari tempatku. Tidak jauh keliahatanya. Tapi ketahuailah, jika itu tentang jarak denganmu rasanya selelu sama saja. Jauh.
Mungkin kau menyadarinya namun kau acuhkan aku. Beberapa bulan mengenalmu membuat aku semakin mengenalmu. Sifatmu, masa lalumu, cara berjalanmu, sorot matamu, warna favoritmu yang mendadak juga menjadi warna favoritku. Kau menjelma sempurna dimataku. Bahkan susunan gigimu begitu aku hafal.

Puluhan puisi tentangmu mengalir dari ujung pena. Entah datang dari mana, rangkain metafora menderas tak terbendung. Kau jelma yang tak habis dikata. Melukis kenangan indah dirimu. Tak pernah habis imaji tentang dirimu. Jangankan menghitung, mengira saja tak kuasa. Mengalir begitu saja.

Tak ada yang lebih indah darimu. Yang ku inginkan hanya menatap dirimu. Lekat dan dalam dan semakin dalam. Aku tak pernah menemukan rasa bosan kalau itu tentang dirimu. Kau membunuh definisi negative apapun itu. kau miliku, aku milikmu. Dan akan selalu, kau impianku.

Aku tau kau sangat menyukai mendung. Kau banyak bercerita tentangnya. Bahkan kau mencipta lagu untuknya. Kau melukis tentangnya. Berpuisi tentangnya. Tapi, pagi ini aku tak pernah melihatmu sebenci ini pada mendung. Maafkan aku.

Aku dan hujan

Kopi itu semakin dingin, sudah sejam lebih bertengger diatas piring kecil berwarna putih dengan hiasan bunga kesukaanmu, tulip kuning belanda. Butiran hujan juga sudah meringsek sedari tadi ke dalam cangkir. Aku baru menyeruput sekali. Terlalu sayang menghalau buah mendung yang kau cintai.

Gerimis itu berubah menjadi butiran yang lebih besar. Hujan. Langit semakin hitam dan pekat. Membasahi keratan masa lalu yang masih membisu. Sunyi. Suara suara kejauhan semakin memudar. Berisik lalu-lalang semakin samar tergantikan rintik hujan. Semakin tenang dan tenang..

Desir darah mengalir semakin pelan. Menuntun butir-butir penyesalan jatuh hingga kedalaman. Dingin pun membius ujung-ujung saraf di permukaan kulit. Ini semakin dingin. Seperti suara detak jantungku terdengar meluruh. Bergerak dalam irama dan dentum yang teratur, bertasbih dengan huruf huruf namamu. Ini semakin muskil.

Bajuku semakin basah dan tidak menyisakan  sisi kering lagi. Cangkir kopiku semakin terisi, perlahan namun pasti. Sejam lagi, mungkin seisi cangkir akan meluap. Menyisakan ampas hitam yang tak diinginkan. Semua hanya masalah waktu. Hingga akhirnya apapun itu datang menjemput.

Mataku sembab dan memerah. Ayahku pernah berkata, air mata laki laki adalah tanda kelemahan. Persetan dengan kelemahan, aku tak peduli. Lelah menumpah butir butir kepedihan. Hampalah ruang yang pernah kau penuhi. Kini, semua tinggal penyesalan.


Hujan. Hanya bersama hujan aku fasih mengenangmu. “Hujan membawa kenangan”, itu kata mereka. Tegaslah yang terselubung pada hati yang rapuh. Cinta akan tetap cinta meski ombak dan badai bergantian menerpa. Cinta akan tetap cinta kita tak lagi sama. Yang terpenting pula, hiduplah hari ini.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon