Tulisan lama baru di post. Selamat menikmati
“Hujan membawa kenangan”, itu kata mereka.
Disudut warkop yang tidak beratap.
Aku dan senja. Warna senja mulai memudar di kaki cakrawala.
Pelan pelan bintang raksasa itu mulai ditelan gelap. Memangsa gelap disisi
lain. Garis garis merah tembaga itupun semakin menegas. Sisa sisa keperkasaanya
menusuk-nusuk dedaunan, menelan hijau dengan emas. Kau tau itu, aku selalu
menyukai senja. Tak ada yang lebih indah dari pada senja.
Terbanglah hayal menerka-nerka kisah yang lama. Dia lepas
bebas menemuimu yang saat itu masih milikku. Batas waktu tidaklah aku
perdulikan. Ku biarkan saja semua melanggar hukum alam. Kau tidak mungkin
mengulang waktu, itu yang mereka katakana. Salah, aku bisa memutar waktu,
bersama fikiranku.
Di kedalaman kuburan masa lalu. Bongkahan kisah dan kepingan
kepingan usang yang mulai memudar, aku kais kembali. Siapa tau saja aku
menemukan lembaran lusuh tentang kita. Lembaran yang dulu pernah aku bingkai
dengan segala mimpi dan rencana tentang seatap bersama. Meski saat itu belum
sempat ku tunjukan hingga kau berlalu.
“Ini tentang kisah bunga yang layu sebelum mekar”. Kata-kata
itu terpapar rapi, aku mengukirnya lama agar terlihat indah. Aku ingat benar,
memori itu aku tulis selepas senja memutuskan harapan bersama malam. Aku
mengenang kembali…
Cahaya di lorong kampus hijau sore itu mulai meredup.
Sekonyong konyong lampu jalanan beralih menerangi jalan. aku tenang saja, melewati
gedung sejuta mitos itu. Awalnya gedung
tua itu adalah gedung rektorat, lalu beralih fungsi menjadi fakultas. Cukup
tua, terlihat dari lapisan cat cream yang mulai terkulupas sana-sini.
Ini bukan pertama kalinya aku melewatinya sepetang ini.
Kegiatan organisasi kampus memaksa aku harus tinggal hingga larut petang. Tidak
masalah, aku malah suka. Tapi kali ini ada sesuatu yang sedikit berbeda. Aku
jalan tidak sendiri, ada Shofia yang menemani.
Gadis itu aku kenal beberapa hari yang lalu. Orangnya kecil
menggemaskan, manis dan berjilbab besar. Aku selalu menyukai gadis berjilbab
besar. Belum lagi belakangan aku tau dia adalah sosok gadis yang tomboy. Pas
benar, wanita impianku. Gadis religius yang tomboy, eh.
Canda sepanjang jalan pulang itu, aku tak bisa melupakanya. Seperti
menelan senja, matamu selalu sulilt aku lepaskan dari pandanganku. Tawamu yang
tanpa dusta. cara jalanmu yang lebih cepat dari gadis kebanyakan. Semua masih
lekat dikepalaku, seperti baru kemarin.
Aku dan mendung
Pagi itu, fajar menyisakan luka. Tiupan angin membawa benih
luka entah dari mana. Kau murung. Melukai lembaran bukumu dengan sentuhan
berlebihan. Aku tersadar. Menyeruaklah alasan-alasan kecewa dari ruang ruang
hampa. Hingga aku menyadari tak ada luka yang hadir begitu saja. Aku tau itu
salahku. Mungkin langit paham benar hatimu. Mendung.
Aku diseberang sana menatapmu tanpa pernah kau tau. Berjarak empat meja dari tempatku. Tidak jauh
keliahatanya. Tapi ketahuailah, jika itu tentang jarak denganmu rasanya selelu
sama saja. Jauh.
Mungkin kau menyadarinya namun kau acuhkan aku. Beberapa
bulan mengenalmu membuat aku semakin mengenalmu. Sifatmu, masa lalumu, cara
berjalanmu, sorot matamu, warna favoritmu yang mendadak juga menjadi warna
favoritku. Kau menjelma sempurna dimataku. Bahkan susunan gigimu begitu aku
hafal.
Puluhan puisi tentangmu mengalir dari ujung pena. Entah datang
dari mana, rangkain metafora menderas tak terbendung. Kau jelma yang tak habis
dikata. Melukis kenangan indah dirimu. Tak pernah habis imaji tentang dirimu.
Jangankan menghitung, mengira saja tak kuasa. Mengalir begitu saja.
Tak ada yang lebih indah darimu. Yang ku inginkan hanya
menatap dirimu. Lekat dan dalam dan semakin dalam. Aku tak pernah menemukan
rasa bosan kalau itu tentang dirimu. Kau membunuh definisi negative apapun itu.
kau miliku, aku milikmu. Dan akan selalu, kau impianku.
Aku tau kau sangat menyukai mendung. Kau banyak bercerita
tentangnya. Bahkan kau mencipta lagu untuknya. Kau melukis tentangnya. Berpuisi
tentangnya. Tapi, pagi ini aku tak pernah melihatmu sebenci ini pada mendung.
Maafkan aku.
Aku dan hujan
Kopi itu semakin dingin, sudah sejam lebih bertengger diatas
piring kecil berwarna putih dengan hiasan bunga kesukaanmu, tulip kuning
belanda. Butiran hujan juga sudah meringsek sedari tadi ke dalam cangkir. Aku
baru menyeruput sekali. Terlalu sayang menghalau buah mendung yang kau cintai.
Gerimis itu berubah menjadi butiran yang lebih besar. Hujan.
Langit semakin hitam dan pekat. Membasahi keratan masa lalu yang masih membisu.
Sunyi. Suara suara kejauhan semakin memudar. Berisik lalu-lalang semakin samar
tergantikan rintik hujan. Semakin tenang dan tenang..
Desir darah mengalir semakin pelan. Menuntun butir-butir
penyesalan jatuh hingga kedalaman. Dingin pun membius ujung-ujung saraf di
permukaan kulit. Ini semakin dingin. Seperti suara detak jantungku terdengar meluruh.
Bergerak dalam irama dan dentum yang teratur, bertasbih dengan huruf huruf
namamu. Ini semakin muskil.
Bajuku semakin basah dan tidak menyisakan sisi kering lagi. Cangkir kopiku semakin
terisi, perlahan namun pasti. Sejam lagi, mungkin seisi cangkir akan meluap.
Menyisakan ampas hitam yang tak diinginkan. Semua hanya masalah waktu. Hingga
akhirnya apapun itu datang menjemput.
Mataku sembab dan memerah. Ayahku pernah berkata, air mata
laki laki adalah tanda kelemahan. Persetan dengan kelemahan, aku tak peduli.
Lelah menumpah butir butir kepedihan. Hampalah ruang yang pernah kau penuhi.
Kini, semua tinggal penyesalan.
Hujan. Hanya bersama hujan aku fasih mengenangmu. “Hujan
membawa kenangan”, itu kata mereka. Tegaslah yang terselubung pada hati yang rapuh.
Cinta akan tetap cinta meski ombak dan badai bergantian menerpa. Cinta akan
tetap cinta kita tak lagi sama. Yang terpenting pula, hiduplah hari ini.