Rabu, 01 Juli 2015

ABAD YANG GILA. akibat Liberalisasi


Abad yang gila

Eksistensi, kiranya mungkin secara sangat sempit dimulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan secara lebih luasnya eksistensi manusia dimulai dari diciptakannya sampai diakhirkannya. Secara tak sadar kita telah berada pada zaman inautentik. Dimana setiap pergerakan eksistensi kita dipengaruhi oleh eksistensi orang lain. Sehingga be your self. Hanya menjadi omong kosong belaka.
Abad 21 adalah abad yang gila. Abad yang mengharuskan semua orang bergerak dengan cepat dan instan. Jika tak cepat maka akan tertinggal. Jika tak instan maka tak akan cepat. Maka orang yang berusaha autentik, be your self. Akan menjadi terbelakang dan bisa menjadi sampah masyarakat.
Didalam era informasi cayber space dewasa ini. Manusia terperangkap oleh yang disebut kecepatan.  Kecepatan yang timbul sebagai akibat dari perkembangan teknologi mutakhir. Kecepatan telah membebaskan manusia dari berbagai hambatan dan konstrain dunia khususnya hambatan ruang dan waktu, dan yang memungkinkan manusia untuk menjalankan model kehidupan yang serba segera, isntan, dan cepat. Akan tetapi sekaligus memerangkap manusia di dalam arus kecepatan itu sendiri, yaitu dengan menjadikan kecepatan sebagai sebuah ketergantungan.
Manusia terjebak dalam arus kecepatan dengan segala resiko yang harus dihadapinya. Nyaris kebanyakan manusia melakukan segala sesuatu dengan cepat: bekerja cepat,bicara cepat, menonton cepat, bisnis cepat, makan cepat, membaca cepat, bermain cepat, bahkan bercinta dengan cepat. Dalam kondisi demikian, keseketikaan merupakan hukum didalam jaringan dan didalam kehidupan emosi manusia, dan mereka dikelilingi oleh benda-benda instan: kopi instan, mebel instan, makan instan, mie instan, kemesraan instan, instan replay, belajar instan, kursus instan, dan kepuasan instan. Semua dibeli bukan karena kebutuhan tapi semata mata karena hasrat. Maka fenomena instan dan cepat  menimbulkan kebiasaan konsumeristik.
Abad ke-21 memang memberikan segalanya yang melampaui mimpi-mimpi setiap manusia, tapi malah menimbulkan fenomena paradoksal: sebuah realitas kehidupan yang begitu sarat hiburan begitu miskin kedalaman, begitu sarat kegairahan begitu miskin pencerahan, begitu sarat informasi begtiu miskin kontemplasi, begitu sarat ekstasi begitu miskin sosialisasi, begitu kaya perlengkapan begitu miskin pemaknaan, dan begitu banyak kesenangan begitu miskin kedamaian. Sebuah kondisi dimana bercampur aduknya nilai nilai spiritual dan nilai-nilai materialis, bersekutuanya yang dunia dengan yang ilahiah, bersimpang siurnya yang transsenden dengan yang imanen, bertumpang tindihnya hasrat rendah dengan kesucian, sehingga perbedaan diantara keduanya menjadi kabur.
Manusia yang berpikir dengan hanya berlandaskan materi sematanya adalah manusia yang tidak berpikir. Tetapi meski tidak berpikir manusia tetap berpikir tetapi berpikir dalam ruang lingkup kalkulatif. Yatu berpikir semata mata pada ukuran, statistic, modal, keuntungan dan produksi.
Maka jika selama ini kita merasa telah masuk dalam perangkap dalam kecepatan dan keinstanan. Marilah kita berhenti sejenak. Untuk berpikir dengan berpikir secara filosofis. Agar kita tidak menjadi budak bagi teknologi yang dibuat manusia itu sendiri. Spiritual harus lebih dikedepankan dari pada materi. Materi mengikuti kehidupan spiritual dan spiritual mengendalikan materi.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon