Jumat, 03 Juli 2015

Ai dende, ada putu gentayangan. cerpen budaya yang penuh makna


CERPEN HOROR
“Ai dende, ada Putu gentayangan”

Bontojai dipenuhi dengan orang-orang yang berwajah ketimuran. Kulit sawo matang khas wajah-wajah keturunan Turatea. Bicaranya juga memiliki keunikan. Yang diakhir kata selalu diberi tanda seru. “ Weh battu kemaeko!” itu kalimat yang terdengar paling kasar. Jika dilembutkan maka seperti ini jadinya. “ Weh dari manako!” masih tetap diberi tanda seru disertai penegasan. Atau yang super lembut “ Dari mana aja kamu!” masih juga diberi tanda seru. Artinya sehalus apapun ucapan yang dikeluarkan mulut-mulut para Daeng, ucapan itu akan selalu terdengar kasar. Dan mustahil orang Asli Makassar menjadi anak alay. Apalagi berucap “ Ayah, Gurindaka Ayah!”. kalau orang Asli Makassar nekad mengucapkan itu, maka patung monyet di Banti murung akan bangun dan pergi mandi-mandi di air terjunnya . Atau bila Ucapan itu terdengar oleh patung Ramang di Karebosi maka dia akan hidup dan pergi main bola di Santiago bernabue nalawanki Barcelona. Atau yang lebih ekstrim lagi. Kalau ucapan itu terdengar oleh patung-patung pahlawan di Anjungan maka patung-patung itu akan mengucapkan “ Ayah hentikan, nda kuat maka’!” juga masih dengan tanda seru.
Pada setiap perkampungan atau hampir setiap daerah memiliki mitos tersendiri. Dan anehnya hampir semua warganya mengakui itu dan percaya setengah mati. Tak terkecuali dengan warga kampung Bontojai. Belakangan ini muncul “carita mate”—Cerita kosong--. Katanya setiap malam juma’at terdengar suara tangisan dibawah pohon tua dibelakang kebun Dg Kulle tepatnya dilorong kampung. Posisi rumahku pas berada disitu. Dan cerita itu sudah tersambung kemana-mana dan menjadi buah bibir yang menyegarkan. Orang makassar mengistilahkannya sebagai “Pa’balle Toli”—obat telinga--. Tapi Banyak orang yang mempercayainya dan sedikit orang yang tidak percaya. Aku berada pada kelompok orang yang tidak percaya. Malam ini akan kubuktikan. Apakah benar cerita itu?.
Malam Jum’at yang agak menyeramkan. Orang-orang selalu bilang kalau suara tangisan itu terdengar pada tepat setengah dua belas malam. Maka aku duduk di siring –beranda-- rumahku dengan sarung yang melilit badanku. aku sudah begadang dengan secangkir kopi melewati jam 10 dan sudah sampai pada jam 11 tepat. Setengah jam lagi fakta akan terungkap. Dan cerita itu adalah sekedar “ Pa’balle Toli Tojeng”.
Jam 11.20 sepuluh menit lagi. Aku sudah sangat siap dengan sebuah handphone untuk merekam suara itu jika benar-benar ada. Aku sedikit ketakutan tapi rasa penasaranku membuatku ingin menuntaskannya segera.
Jam 11.25. lima menit lagi menuju pembuktian. Jalan benar-benar sudah sepi. Orang-orang sudah tertidur diatas kasurnya sedangkan aku masih duduk diatas siring rumahku. Kusiapkan telingaku lebar-lebar. Dan terdengarlah suara itu. Iyah, Suara tangisan itu benar-benar terdengar. Ternyata itu bukan “carita mate”. Aku mulai ketakutan, Mulai menggigil, Bulu jaketku merinding. Suara tangisan itu berada dari ujung jalan. Dan kini suara itu  semakin jelas memanjang. Suara tangisan itu mendekati telingaku seolah-olah benar-benar berada didepan telingaku. Aku sudah ketakutan setengah mati. Tapi dalam ketakutan itu aku sadar mendengar suara lonceng dan suara manusia yang berucap “ Putu, Putu, Putu”. Yah dia berkata seperti itu “ Putu, Putu, Putu”. Aku membuka sarung yang menutupi seluruh badanku dan kutengok kearah jalan. Ternyata oh ternyata , suara tangisan itu berasal dari Daeng Tarra“ Pabalu Putu Menangis ( penjual putu menangis)”.
Astaga, Aku hampir saja dipercundangi oleh mitos yang jauh dari kata fakta. Begitulah orang-orang Makassar. Pandai membuat cerita dari pandangan yang sekelebat saja. ketika melihat daun bergerak ditengah malam sudah di anggap ada “ Babi ngepek” disitu. Ketika berhalusinasi melihat tiang listrik sudah dianggapnya “ Longga’”. Atau ketika melihat usus Kucing yang tertabrak mobil sudah dibuat cerita tentang “ Poppo’ gentayangan” yang beterbangan ditengah malam. Atau kalau terdengar kabar ada seorang ibu yang keguguran sudah dibuat cerita lagi tentang “Parakang”. Cerdaskan.
“Daeng. Putu menangista’ 5 biji” aku memesan, rasa takut tadi sudah membuatku kelaparan.
Begitu putu itu habis diperutku dan Dg Tarra sudah jauh pergi meninggalkanku. lalu timbul pertanyaan yang lebih menyeramkan. Pabalu putu mana yang menjual sampai tengah malam?. Ah terima sajalah.
Berbicara tentang putu. Di Makassar ada lima jenis putu yang populer. Aku tidak tahu apakah ada putu yang keenam atau lebih jauh dari jumlah itu. Tapi yang aku ketahui cuman ada lima. 1) Putu Cangkiri’, 2) Putu Ambong, 3) Putu Labu’, 4) Putu Menangis dan 5) Putu Kacang. Dari kelima putu ini yang paling populer adalah putu cangkiri. Yang sering dijajakan dipagi hari menjadi sebuah santapan yang nikmat. Putu Cangkiri juga banyak dijumpai dijalan-jalan poros dari Makassar, Gowa, Takalar dan Jeneponto. Putu cangkiri terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus kadang dicampur dengan gula merah atau dibiarkan putih polos. Lalu dibentuk disebuah cangkiri yang berbentuk lingkaran, ditengah lingkaran itu diberi kelapa lalu ditaburi lagi beras ketan. kemudian diletakkan diatas uap panas. Dibiarkan sampai hangat. Maka terhidanglah satu putu cangkiri yang lezat.
Putu yang kedua adalah putu Ambong. Bentuknya sama persis dengan putu Cangkiri. Tapi yang menjadi selainya atau “ kambunna” adalah gula merah yang mencair. Kalau dimasukkan kedalam mulut maka gula merah itu akan meledak seperti memasukkan gunung Berapi kedalam mulut lalu meledakkan lavanya didalam mulut kita. Analogi yang terlalu memaksa memang. Karena sulit untuk menggambarkan kelezatan putu Ambon.
Putu selanjutnya adalah putu Labu’. Putu yang direkomendasikan bagi penderita Diabetes yang mau tetap menikmati putu tanpa harus banyak mengkonsumsi Glukosa. Putu ini jauh berbeda dengan putu Cangkiri dan Putu Ambon tapi komposisinya tetap sama. Yang membedakan adalah bentuknya. Putu Labu’ dibentuk dari potongan bambu kecil yang  sepanjang jari telunjuk dan lebarnya satu setengah ruas jari tengah. Didalam tabung putu Labu’ tidak dijumpai gula merah atau kelapa yang didapati pada Putu Cangkiri. “Kambunna” ada diluar tabung yaitu taburan kelapa muda yang diparut. Rasanya gurih dan manis-manis asin.
Putu yang keempat adalah putu menangis. Putu yang sudah hampir membuatku kencing dicelana. Putu ini bentuknya sangat berbeda dengan putu cangkiri tapi sangat persis dengan putu Labu.  Bahan pembuatannya sama dengan putu-putu sebelumnya. Putu menangis berbentuk tabung juga. Tapi kini berisi gula merah yang sama dengan putu Ambong. Tapi putu Menangis memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan putu-putu yang lainnya. Ciri khas itu terletak pada uap panas yang yang mematangkan putu. Uap panas itu mengelurkan bunyi tangisan yang bernada “uuuuuuuuu” terus memanjang. Suara tangisan itu akan terhenti kalau putu didalam bambu kecil diletakkan diatas uap. Kemudian terdengar lagi kalau putu itu diangkat. Dari situlah risalah penamaan Putu menangis. Andaikan saja uap itu berbunyi “ hahahahaha”. Maka akan dinamakan putu ketawa. Atau jika uap itu mengeluarkan suara “ Ayah,Ayah,Ayah” maka putu itu dinamakan putu bencong bernafsu. Atau seandainya uap itu mengeluarkan bunyi “itteh, itteh, itteh” maka akan dinamakan putu Miyabi. Masalah rasa sangat sulit untuk dideskripsikan. Lezatnya bukan main. Orang makassar kalau makan Putu Menangis akan berkata “ Jannanah”. Namun sayang belakangan ini putu menangis sudah sangat jarang dijumpai didaerah Makassar. Apa lagi di Bontojai. Aku saja terakhir kali menyantap putu menangis enam tahun yang lalu. Dan itu membuatku menangis. Tapi rasa “jannanah” itu masih membekas dalam ingatanku. Makanan yang menjadi rekomendasi nomor satu.
Putu yang terakhir adalah putu Kacang. Putu yang sangat berbeda dengan putu lainnya. Baik dari segi bahan maupun dari segi bentuk. Putu Kacang dibuat dari Kacang hijau yang digoreng lalu dikuliti. Kemudian ditumbuk sampai halus kemudian dicampur dengan gula pasir dan dibentuk seperti emas batangan yang sekecil jari telunjuk orang obesitas. Lalu dijemur dibawah terik matahari. Dijemurnya tidak boleh terlalu lama. Jika terlalu lama maka putu Kacang akan menjadi putu Batu. Sangat keras ketika digigit. Tapi jika terlalu cepat juga putu Kacang juga akan menjadi putu lembek. maka Putu Kacang yang baik dijemur dengan takaran yang seimbang, tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat. Ingat dijemur dibawah terik matahari. Jangan dijemur dibawah sinar bulan. Karena kalau dijemur dibawah sinar rembulan bisa-bisa putu itu jadi GGS. Rasa dari putu Kacang yang mendominasi adalah Rasa manis. Jika sudah digit jangan langsung ditelan bisa-bisa anda masuk rumah sakit dengan diagnosa “dikallong putu Kacang” . jika sudah masuk kedalam mulut. Putu kacang akan meleleh dan terasa kasar yang menjadi sensasi tersendiri. Putu kacang akan sangat dijumpai ketika musim “Siarah” di hari raya idul Fitri.
Kelima makanan ini menjadi makanan yang merakyat. Namun saudara-saudara sekalian makanan ini menjadi makanan yang terancam punah. Dan sudah sangat langkah. Jika selama ini banyak kampanye untuk melindungi hewan-hewan yang hampir punah. Maka akupun mengkampanyekan kepada saudara-saudara sekalian untuk melindungi makanan khas Indonesia yang juga terancam punah. Kita harus melindunginya dengan menjadi konsumen dan produsen yang bijak. Tahu namanya, jenis makanannya, asal daerahanya dan paling terpenting tahu cara pembuatannya. Kurangi pula mengkonsumsi makanan dari luar negri. Jika selama ini kita suka makan Sphageti maka gantilah dengan mie Titi atau Gapurung. Jika selama ini kita suka makan Burger maka gantilah dengan makan Roti Maros atau Bayao Panyu. Jika selama ini kita suka makan Pitza gantilah dengan Terang bulan atau martabak spesial. Cintailah makanan Indonesia. asyike. 

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon