Jika berusaha untuk didefinisikan. Apakah menulis itu?. Maka akan muncul berbagai batasan definisi mulai dari yang paling nyeleneh seperti “ menulis adalah menggerakkan pensil dengan tangan naik turun. Diatas lembaran putih”. Orang pasti akan berpikiran yang aneh. Gerakan naik turun, emang apaan?. Haha, Atau definisi yang terdengar baku padahal ngga baku-baku banget. Misalnya “menulis adalah kegiatan menuangkan pikiran ke sebuah media yang nyata.” Tapi kalau menulis kisah cintaku kedalam hatimu, apakah masih tetap dikatakan menulis?. Bisa jadi, Haha.
Seandainya “Madilog” dan metode ilmiah tidak pernah mengatakan. “Defenisi tidak boleh terlalu pendek”. Maka aku akan menghipotesakan bahwa menulis adalah menulis. Why? karena seseorang tidak akan pernah dikatakan menulis jika tak menulis. Seorang baru dikatakan menulis kalau dia menulis. Terserah mau pake tangan, pake kaki, atau pake lubang hidung sekalian. Dalam media kertas, elektronik, tembok, atau muka orang lain sekalian. Yang jelasnya menulis baru dikatakan menulis kalau menulis. Defenisi yang memang agak membingungkan.
Apakah susahnya menulis? Ngga susah-susah banget. Hampir setiap hari pelajar disekolah itu pasti menulis. Apalagi kalau gurunya ngajarin membaca. “tulis yah nak, dari Do, re, mi, fa, sol, la, si, do.”. dan murid muridnya bernyanyi bersama-sama. Apaan ngga nyambung. Tapi yang paling ekstrim. Kalau guru itu nyuruh nulis dari paragraph pertama sampai hari kiamat. Haha. Ngga masuk akal.
Sebenarnya sih menulis adalah sesuatu yang amat penting dan gampang banget. Kalau kamu ngga bisa nulis itu artinya kamu ngga punya pulpen, buku, meja sekolahan dan laptop. Kasihan. Kalau kamu ngga bisa nulis berarti kamu bukanlah manusia. Kalau Aristoteles mengatakan “ manusia adalah binatang yang berpikir” maka orang yang ngga bisa nulis adalah binatang yang ngga punya pulpen, pensil, buku, meja sekolahan, laptop dan ngga punya akal. Menulis memang adalah bagian dari kegiatan berpikir.
Maka menulis bagi orang yang mengaku terpelajar adalah sesuatu yang mutlak dilakukan. Tidak ada hari tanpa menulis. Entah dari nulis status di facebook, coment foto foto alay di Instagram, atau re twet di akun ayah-ayahannya Bolang Makassar. Atau nulis coment diblog mantan pacar yang lagi curhat. Sampai nulis dibuku diary yang unyu-unyu itu.
Menulis bagi seorang mahasiswa adalah Fardhu ain. Yang tidak melakukannya dianggap Kafir dan akan terancam masuk neraka Jahannam. Waspadalah, waspadalah, waspadalah. Karena kenapa? Mahasiswa adalah kunci perubahan dunia. Ibarat dunia itu sudah ada digenggamannya. Tinggal bagaimana mahasiswa itu mengatur bagaimanakah dunia masa depannya. Maka menulis adalah jalan menuju perubahan itu.
Bagaimanakah menulis yang baik itu?. Timbul pertanyaan, maka menulis yang baik itu adalah ngga boleh nakal ngga boleh nangis malu sama kucing, meong,meong. Maaf, itu langunya Romaria irama. Haha. Menulis yang baik adalah menulis sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran anda. Yah. Pikiran kotor pun boleh dituliskan. Itu malahan yang paling kritis bro. Pikiran kotor itu adalah mengkritisi sampah-sampah yang berserakan di kota Makassar yang tidak rantasa katanya. Baik sampah yang berserakan di TPA Antang. Nassami berserakan, tempat sampah mentong itu bodo. Maksudnya sampah yang ada di pantai Losari, pantai Tanjung Bayam dan sampah masyarakat yang berserakan di Nusantara. Itu termasuk sampah yang paling susah didaur ulang. Yah, jadi intinya menulis adalah suatu kegiatan yang sangatlah mudah. Maka menulislah untuk dunia yang lebih baik. Menulislah untuk masa depan yang cerah. Kisah ini dipersembahkan oleh. Cepsodent 123 mulai. Haha. Mohon maaf kalau penulisnya agak absurd yang condong ke diagnosa otak yang udah miring. Tapi secara kontekstual. Dia hanya berusaha menunjukkan bahwa tulisan yang ngga layak dibaca saja itu dapat diterima. apa lagi yang layak untuk dibaca. Super sekali.