Seorang filsuf yunani kuno bernama Heraklitus. Yang telah dewasa pada kira-kira tahun 500 SM. Tak banyak yang dapat diketahui dari kehidupannya, kecuali bahwa ia adalah warga Ephesus kelas bangsawan. Ia terkenal di zaman antik karena doktrinnya bahwa segala sesuatu mengalami perubahan terus menerus.
Heraklitus memiliki etika sejenis asketisme yang jumawa, yang amat mirip dengan pandangan Niatzche[1]. Heraklitus berpandangan bahwa jiwa adalah adonan dari campuran antara api dan air. Ketika api lebih mendominasi maka adonan itu akan kering. Dan jiwa yang kering adalah yang terbaik dan bijaksana. Dan apabila jiwa merasa nikmat ketika menjadi basah maka kematian bagi jiwa. Heraklitus memperjelas bahwa dia memuliakan kekuatan yang diperoleh lewat penguasaan diri, dan memandang rendah nafsu-nafsu yang menyimpangkan manusia dari ambisi-ambisi utamanya.
Doktrin bahwa segala sesuatu berubah terus menerus adalah pandangan Heraklitus yang paling terkenal, dan suatu ajaran yang paling ditekankan oleh pengikut pengikutnya, seperti digambarkan dalam Theatetus karya Plato.[2]
“ Engkau tak dapat mencebur dua kali kedalam sungai yang sama, karena air segar senantiasa mengalir melintasimu.”
“matahari selalu baru setiap hari”
Doktrin inilah yang akan kami bahas dalam paragraf-paragraf berikutnya.
Heraklitus seorang bijak yang seolah mempermainkan akal manusia yang datang selanjutnya. Heraklitus mengajarkan “ tak ada yang abadi, segala sesuatu senantiasa menjadi” dan ajaran ini seolah menjadi sebuah petualangan akan pencarian shopos yang begitu gemerlap dan senantiasa menjadi sebuah pertentangan.
Jika memang semua yang ada ini terus berubah. Akan menjadi sebuah pertentangan dalam ajaran Agama. Dimana Agama Meyakini permanensi dalam dua bentuk, ialah Tuhan dan immortalitas. Pada Tuhan tak ada keserba serbian atau sediktpun perubahan karena Dia adalah maha Abadi. Begitu pula dengan kehidupan sesudah mati yang bersifat abadi dan tentu saja tak berubah. Namun Heraklitus menjungkir balikkan konsepsi itu. Teologi liberal modern meyakini bahwa terjadi gerak maju disorga dan evolusi pada Tuhan.
Lalu dari doktrin Heraklitus ini pula. Ada sebuah konsepsi yang berlanjutan dimana bila segala sesuatu itu terus berubah maka Tuhan terus menerus menciptakan. Jika diperhatikan secara seksama. Seorang manusia yang terlahir dari sperma akan terus mengalami perubahan hingga dia bertumbuh dewasa. Dan ini memungkinkan bahwa dalam setiap detik waktu yang berjalan Tuhan tak pernah berhenti untuk terus menciptakan. “ aku tak diciptakan hanya sekali tetapi setiap detik terus baru. Aku yang sekarang bukanlah aku yang kemarin. Aku yang sekarang adalah aku dan aku yang akan datang bukanlah aku yang sekarang”.
Memang pencarian akan seuatu yang permanen adalah tujuan yang menjadikan seorang berfilsafat yang berangkat dari hati yang paling dalam. Manusia memang tak bisa menyangkal bahwa waktu adalah sesuatu yang fana yang terus mengalami perubahan. Namun sesuatu yang abadi bukanlah sesuatu yang terlingkup oleh waktu. Eksitensi keabadian sepenuhnya terlepas dari waktu dimana tak ada yang sebelumnya dan sesudahnya. Sehingga tak ada kemungkinan logis perubahan. Bagaimanakah sesuatu yang abadi itu akan berubah. Bila yang merubah juga akan berubah.
Dia mencipta adalah yang abadi maka yang dicipta adalah sesuatu yang akan terus mengalami perubahan. Dia mencipta secara terus menerus. Sesuai dengan doktrin Heraklitus yang datang dari 500 SM.
Dan kemudian seorang Ignatius Loyola yang datang jauh kemudian pada 1491-1156 ikut mendukung hal ini dengan mengeluarkan asas Fundamentum yang terkenal dikalangan serikat Yesus.
Fundamentum dalam hal ini adalah sebuah proses. Dimana manusia berusaha untuk terus menerus mendengar ajakan Tuhan dalam setiap situasinya yang konkret. Tuhan selalu aktif menciptakan dalam situasinya yang konkret itu. Tuhan selalu kreatif mencipta. Maka manusia dalam hal ini tidak bisa bersikap pasif, seakan hanya sekali saja Tuhan menciptakannya. Penciptaan itu bukanlah suatu aktivitas yang datang dari jauh dan tak terpahami, tetapi terjadi langsung dalam situasi manusia dizaman ini, dari sejarah hidup kita, kini dan disini.
Fundamentum dengan demikian mengajarkan. Tak seuatupun yang tetap didunia ini. Manusia diajak untuk terus menerus ikut didalam karya Tuhan yang selalu menciptakan aku setiap kali baru, dalam setiap moment hidupku. Fundamentum dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk memperhatikan Tuhan yang senantiasa bekerja dengan kita untuk bersama- sama menciptakan hidup kita.
Dengan demikian Tuhan terus menerus menciptakan. Dimana Tuhan adalah yang abadi tidaklah mengalami perubahan.
[1]Bertrand russel, Sejarah Filsafat Barat, terj ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007 ), h. 56
[2]Bertrand russel, Sejarah Filsafat Barat, terj. ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007 ), h. 60