Sabtu, 22 Agustus 2015

Biografi Budha (Belajar Tasawuf dari Nabi Shiddatta Gautama).



Budha gautama, sang manusia super pendiri ajaran Budha, yang hidup di bagian utara tanah India pada abad ke 6 SM. Budha Gautama memiliki nama pribadi Shiddatta, sedangkan Gotama adalah nama keluarganya. Shiddatta Gotama baru dipanggil “Budha” setelah ia menembusi pencerahan dan menyadari kebenaran sejati. Budha berarti “yang sadar” atau “Yang tercerahkan”. Secara umum ia menyebut dirinya sendiri sebagai Tathagata, sementara pengikutnya memanggilnya Bhagava yang berarti  “Yang Penuh Berkah”. Ada pula yang menyebutnya Gotama atau Sakyamuni.
Sang Budha terlahir sebagai seorang yang berdarah biru. Ia adalah seorang pangeran yang memiliki segalanya. Kemewahan, kekuasaan dan kepuasan dapat diraihnya dalam satu paket keluarga yang berasal dari jalur keturunan ningrat yang murni. Budha adalah seorang pewaris takhta yang memiliki paras yang gagah, tampan, rupawan, mapan, agung yang dilapisi oleh kulit yang halus. Di umurnya yang ke 16. Budha menikahi seorang gadis cantik, anggun, tenang dan bermartabat yang bernama Yasodhara.
Namun disamping semua itu segala kemewahan dan kenyaman malah membuat Budha merasakan kehampaan. Ia ibarat burung yang terperangkap di dalam sebuah sangakar berlian. Kehampaan itu dirasakannya saat ia berkunjung di luar istana. Ia menyaksikan orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa yang disebutnya “empat penampakan”. Budha merasakan satu demi satu kesadaran akan sebuah kebenaran datang kedirinya bahwa “Hidup akan menjadi tua dan mati”. Dan kesadaran itu membuatnya hampa. Banyak pertanyaan yang datang menghampirinya. Ia bertanya-tanya, “Dimanakah ada alam kehidupan yang tidak merasakan keuzuran dan kematian?”. Pertanyaan itu mendapatkan jalan, begitu ia melihat petapa yang melepasakan nafsu duniawinya. Budha menarik kesimpulan bahwa langkah pertama dalam pencaharian kebenaran real adalah mencabut dan meninggalkan segala nafsu keduniawian. Ini mengartikan bahwa duniawi tidak akan pernah dapat memberikan kebahagiaan sejati.
Setelah bertekad untuk mencari jalan keluar untuk mencari obat dari kehampaan universalnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya. Pada umurnya yang ke 29, ia mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-anak nya yang tertidur.
Malam sebelum ia meninggalkan istananya. Budha tidak lagi bisa tenang. Ia berjalan menyusuri lorong-lorong istana melewati beberapa ruang dan akhirnya mencapai singgasana Raja. Ia membungkuk dan berkata padanya.
“ayah perkenankan anakmu ini mengajukan permohonan. Izinkan saya meninggalkan istana untuk mengikuti jalan keterbebasan, karana segala hal duniawai akan berubah dan bersifat sementara”.
Lalu sang ayah dengan sedikit kaget menjawabnya.
“ Anakkku lupakanlah niatmu. Engkau masih terlalau muda untuk menjalani panggilan spiritual. Sesungguhnya ayahmu inilah yang seharusnya meninggalkan keduniawiaan. Maka naik takhtalah dirimu anakku.”
Dengan sopan budha menjawab tawaran ayahnya
“Berjanjilah padaku ayah untuk empat hal. Dan jika ayah dapat menepatinya maka saya tidak akan meninggalkan istana dan menuju kehutan”
“apa itu anakku?” tanya raja
“ Berjanjilah padaku ayah jika hidupku ini tidak akan berakhir denga kematian. Bahwa keahatanku tidak akan terserang penyakit. Bahwa masa mudaku tidak akan termakan oleh waktu. Dan  kemalangan tidak akan merusak kesejahteraanku.”
“ aku tidak akan bisa anakku. Hal tersebut tidak akan bisa di hindari”.
“maka janganlah ayah bersikeran untuk menahanku. Tekadku telah bulat. Aku akan meninggalkan segalan kedunawian yang melekat didiriku.
Jadilah kemudian sang pangeran meningglkan istana di umurnya yang ke 29. Pada saat terakhirnya meninggalkan istana. Ia menyempatkan menengok istri dan anak kesyanagannya yang baru saja lahir. Keinginan yang besar antara  tetap tinggal dan membatalkan rencananya dan pergi menyendirikan diri menyebabkan kepedihan yang mendalam. Namun saat itu. Di lingkungan India, meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa guna menjalani kehiduan yang suci adalah sebuah perbuatan yang mulia dan dianggap sebagai sebuah pengorbanan besar yang patut di puji. Maka setelah Shiddatta merasa mantap ia bergegas menjalani rencananya.
Meninggalkan kehidupan keduniawian semacam ini sangat jarang terjadi daram kurun waktu sejarah belakang. Ia pergi pada puncak usia muda, dari kesenangan menuju kesulitan, dari kemapanan materi menuju ketikpastian, dari status kekayaan dan kekuasaan menjadi petapa pengembara yang tinggal di gua dan hutan, dengan jubah kumal sebagai satu-satunya perlindungan terhadap terik matahari, hujan, dan angin musim dingin. Ia menolak posisi kekayaan, janji kemuliaan, kekuasaan, dan hidup yang penuh cinta dan kesenangan untuk pncarian kebenanaran yang sulit dan belum pernah di temukan, walaupun telah di cari oleh banyak orang di India selama ribuan tahun.
Sepanjang enam tahun, ia berjuang untuk mencari kebenaran yang sejati. Ia belajar dari banyak guru-guru terkemuka masa itu mempelajari segala hal yang di terimanya. Namun apa yang di terimanya belum bisa mengisi kehampaan kebenaran yang ada di dirinya. Maka ia memutuskan untuk mencari dengan jalannya sendiri.. ia bergabung dengan petapa  dan bersama-sama menyiksa diri dengan keyakinan jika tubuh tersiksa maka jiwa akan terbebas dari derita. Shiddatta adalah orang yang tangguh ia melebihi petapa lain dalam menyiksa diri. ia makan sangan sedikit, hinga kedua sisi perutnya hampir bersentuhan. Ia mencapai batas maksimum yang tidak pernah dicapai oleh petapa lainnya. Namun penyiksaan diri ini belum juga menghilangkan kehampaannya. Dan lalu ia menyadari bahwa penghancuran diri juga bukan jalan mencapai kebenaran yang sejati maka ia memutuskan untuk mempraktikan jalan Madya.
Dan pada malam purnama bulan Veskha, ia duduk dibawah pohon Bodhi di Gaya, memasuki meditasi yang mendalam. Saat itu batinnya menembus semesta dan menyadari sifat sejati semua kehidupan dan segala sesuatunya. Pada usia 35 tahun , ia berubah dari pencari kebenaran yang tekun menjadi Budha (nabi ) yang tercerahkan.
Selama hampir setengah abad setelah tercerahkan. Budha menyusuri jalan berdebu di India mengajarkan Dhamma, sehingga mereka yang mendengar dan menjalaninya bisa menjadi mulia dan terbebas. Ia menolak sistem kasta, meningkatkan status kaum perempuan, mendorong kebebasan beragama dan pencarian bebas. Ia membebaskan manusia dari perbudakan agama, dogma agama, dan iman buta.
Ia menjulang tinggi dalam kebijaksanaan dan kecendikiaan. Tidak ada yang dapat mengalahkannya dalam debat. Sekalipun dengan kebijaksanaan yang tiada tara itu ia tidak pernah meninggalkan orang-orang desa yang sederhana. Perbedaan kelas dan kasta tidak ada arti baginya. Tak seorang pun terlalu remeh atau rendah baginya untuk di tolong.
Budha penuh dengan kewelasan dan kebijaksanaan. Memahami bagaimana dan apa yang harus di ajarkan kepada setiap individu sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing. Tercatat ia kadang berjalan jauh hanya demi menolong satu orang untuk menunjukkan padanya jalan yang benar.
Banyak kekuatan ajaib di kaitkan dengannya, namun ia tidak menganggap penting hal ini. Baginya, keajaiban terbesar adalah membabarkan kebenaran dan membuat seseorang menyadarinya. Ia tergerak oleh penderitaan dan bertekad membebaskan manusia dari belenggu dengan suatu sistem berpikir dan cara hidup yang rasional.
Setelah 45 tahun menjadi petapa, Budha mangkat pada usia 80 tahun di Kusinara, meninggalkan ajaran besar Dhamma, dampak kasih dan kebijaksanaannya tetap terasa hingga saat ini.

“Allahuma salli ala Shiddarta Gautama.”
Budha sang pencerah.



Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon