SURGA DIBAWAH KAKI BETA
KARYA : Mr M
Para jangkrik melompat dikegelapan malam. Bernyanyi dengan suara nyaring. Rumput rumput ilalang bergoyang dirayu oleh angin dari bulan. Ditengah lapang padang rumput ada sebuah rumah yang terbangun dari papan kayu yang penuh rayap lapar. Dan atap pelepah daun kelapa yang mulai sekarat.
yang hanya memiliki sebuah jendela tempat angin malam bertamu dan sebuah pintu tak berengsel yang menjadi godaan besar bagi para pencuri. Tapi hanya pencuri yang tolol yang mau memasuki rumah ini. Yang didalamnya hanya ada satu ranjang bale bambu, satu kursi, satu meja, satu lemari dari papan sisa rumahnya. Dan satu pelita penerang malam. Dan dua orang Manusia. Ayah dan anaknya yang bertubuh kurus kerontang.
yang hanya memiliki sebuah jendela tempat angin malam bertamu dan sebuah pintu tak berengsel yang menjadi godaan besar bagi para pencuri. Tapi hanya pencuri yang tolol yang mau memasuki rumah ini. Yang didalamnya hanya ada satu ranjang bale bambu, satu kursi, satu meja, satu lemari dari papan sisa rumahnya. Dan satu pelita penerang malam. Dan dua orang Manusia. Ayah dan anaknya yang bertubuh kurus kerontang.
“ beta bangun sudah. Subuh sutiba. Beta supergi saja ambil air.” Bapa Rumere selalu terbangun setelah subuh mulai tiba di luarsana. Pagi pagi sekali dia sudah harus berjalan jauh ketempatnya bekerja untuk membelah batu diatas gunung yang hampir menyentuh langit. Tapi sebelum ia berangkat ia membangunkan anaknya agar segera membersihkan badan untuk berangkat menimba ilmu.
Mereka adalah manusia yang berjuang hidup ditengah kekayaan alam desanya. Nasibnya berdiri diatas emas tapi hanya bisa melihat tanpa pernah bisa menggenggam.
Rumere membasuh wajahnya tanpa air hanya memakai telapak tangannya yang kasar. Air dirumahnya sudah habis lagi. Seperti biasanya Rumere sudah memakai pakaian sekolahnya meski tubuhnya belum ia bersihkan tanpa ada alas kaki atau sebuah tas, hanya ada sebuah buku usang yang didapatkan ayahnya ditengah jalan. Ini sebuah keharusan yang harus ia jalani. Rumere tak ingin membuang waktunya. Begitu ia mendapati sumber air ia akan melepaskan pakaiannya dan langsung menyeburkan diri disungai itu kemudian mengisi dua cirigen yang ia pikul lalu ia sembunyikan dibalik pohon beringin dipinggir sungai. pakaian sekolah yang ia lepaskan tadi kembali dipakai lalu kembali melanjutkan perjalanan untuk menimba ilmu. Perjuangan panjang untuk mencari air dan mengejar pengetahuan harus ia jalani. Memikul dua cirigen sebesar badannya Melewati padang rumput ilalang yang setinggi badannya yang bisa saja ada hewan buas yang senantiasa mengintainya dibalik rumput itu. Jika lolos ia akan mendaki pegunungan batu terjal yang bisa saja merenggut nyawanya. kemudian melewati jembatan gantung yang mulai rapuh.
Di seberang jembatan itulah sekolah idamannya berada. yang tak memiliki pintu tak berjendela tak beratap hanya sebuah pohon mangga yang menjadi pelindung dari teriknya Matahari jika musim hujan datang Rumere akan libur panjang. Dibawah pohon itu hanya ada sebuah bangku kayu panjang untuk tujuh orang. Seperti biasanya dan hampi setiap hari seperti ini. Rumere hanya duduk dibangku panjang itu sendirian dengan menopangkan tangannya di dagu memandang dengan mata yang bosan kearah bangku gurunya yang kosong dan papan tulis berdebu yang jarang terlihat tulisan kapur dan sebuah penghapus dari celana dalam robek selalu menganggur. Memperhatikan tujuh temannya yang sedang berkejar kejaran, menari nari seolah sedang merayakan pesta karena sudah kesekian kalinya gurunya absent.
Rumere amat begitu kecewa karena perjuangannya mengeluarkan segenap tenaga melewati perjalanan yang amat panjang untuk menimba Ilmu ternyata hanya sia sia. Tapi Rumere tak pernah sedikitpun berkata “Beta akan berhenti bersekolah”. Semangat untuk merubah hidupnya selalu terkobar didalam dadanya. Ketika gurunya tak hadir untuk mengajarnya dia akan menghayalkan kehidupannya dengan mulut menganga dan tangan yang terus menopang tangannya selama berjam jam sampai matahari berdiri diatas kepalanya. Membayangkan dirinya berpakaian seragam yang rapi dan memiliki sepatu hitam yang berbau kulit dan sebuah kendaraan yang bermesin. Membayangkan desanya memiliki irigasi perairan yang melewati rumah rumah yang membuat warga desanya tersenyum. Dan dia juga membayangkan sekolahnya memiliki plang nama. Sebuah kelas yang bertembok semen beralaskan lantai yang dingin beberapa buah bangku dari kayu yang mengkilap papan tulis kaca yang tembus pandang yang diatasnya ada burung Garuda yang dikawal oleh dua orang pemimpin Negara berwajah lelah. dan seorang guru yang berdasi. Dia juga akan menghayalkan rumahnya seperti istana. Ayahnya tak usah lagi bangun subuh untuk membelah batu. Cukup dirinya yang bekerja didalam ruangan yang berpendingin. Dia punya banyak mimpi dikepalanya. yang ia tahu bahwa semua mimpi itu tidak akan pernah terwujud tanpa perjuangan serta kesungguhan dari dalam hati yang dipenuhi cinta.
Matahari sudah berdiri diatas kepalanya waktunya ia kembali kesumber air untuk menjemput cirigen yang ia sembunyikan di balik pohon beringin. Perjalanan yang panjang harus kembali ia tempuh. sebelum sampai kesumber air itu, ia harus melewati jembatan gantung yang rapuh lagi. Yang apabila ia terjatuh buaya lapar dibawahnya sudah menunggu. Lalu menuruni bukit batu yang terjal dan licin. Kemudian sampailah ia disumber air sebuah sungai yang disebut orang desa sebagai sungai harapan.
Rumere benar benar marah. Wajahnya memerah, bagaimana tidak, jika ciregen yang susah payah ia isi dengan kesabaran ternyata hilang satu. Pencuri biadab mana yang rela mengambil harta anak yatim seperti dirinya. Rumere menggelengkan kepalanya ia benar benar emosi. Matanya kemudian melirik kesana kemari mencari pencuri cirigennya. berlari lari mengitari sungai untuk melihat batang hidung pencuri itu. Tapi tidak ada jejak yang ditinggalkan. Rumere yakin ayahnya pasti akan memarahinya.
Dengan wajah yang lesuh dia melanjutkan perjalanan. Membawa sisa satu cirigen yang dipikulnya dipundak. Berhati hati melewati padang rumput. Begitu ia sampai dirumahnya ia ambil lima ember yang berukuran sederhana yang rencananya akan ia isi penuh semuanya. Tapi karena bencana yang ia dapati ditengah jalan mengharuskan lima ember itu hanya terisi dua setengah saja.
“bapa pasti akan memarahi beta. Beta harus bagaimana” Rumere begitu takut. Bukan takut kena marah ayahnya. Tapi Rumere tidak mau sedikitpun mengecewakan ayahnya. Sambil berdiri menyandar dipintu rumahnya. Ia memandang padang rumput luas dihadapannya memikirkan cara bagaimana mengembalikan satu cirigen kesayangan ayahnya.
…………Next. Bersastra dengan cinta( Surga dibawah kaki Beta II)