Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka
(lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni
1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21
Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia,
filsuf kiri, pemimpin Partai Komunis Indonesia, pendiri Partai Murba, dan
Pahlawan Nasional Indonesia.[1]
Tan Malaka adalah sebuah gelar semi kebangsawanan
yang di ambil dari garis Matri(ibu).
Aslinya beliau dipanggil Ibrahim. Sosok Tan Malaka adalah sosok yang
mistik yang artinya sangat rahasia. Tanggal lahirnya sendiri tidak dapat di
pastikan. Sangking misteriusnya orang ini, Belanda tak bisa menyentuhnya. Tan
Malaka mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunya GH Horensma, Malaka, meskipun
kadang-kadang tidak patuh, adalah murid yang pintar. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang
guru di sekolah Belanda. Ia juga
adalah seorang pemain sepak bola yang hebat. Ia
lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar datuk dan
seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. Ia menerima gelar tersebut dalam
sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Tan Malaka adalah filosof Indonesia yang besar.
dia masuk dalam kelompok filsafat kiri. Dalam perkancahan politik, Tan Malaka
adalah seorang Komunis sejati. Filosof besar seperti Karl Marx, Friedrich
Engels, Vladimir Lenin dan Friedrich Niatsche adalah guru panutannya yang
mempengaruhi jalan arah pemikiran Tan Malaka untuk membenci Belanda dan semakin
menggilai Komunis dan sosialis.
Dalam buku Madilog yang adalah salah satu karya
magnum opusnya. Tan Malaka berbicara mengenai Filsafat. Menurutnya para ahli
Filsafat sering berkata semaunya tak ada pangkal tak ada ujung. Maka untuk
berfilsafat dengan baik Tan Malaka mengasosiasikan filsafat dengan sepakbola. “apabila
kita ingin menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu kitakita
mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk
kumpulan itu. Kalau tidak begitu, bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang
kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.
Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat ratusan atau ribuan buku. Kita
lebih dahulu mesti pisahkan arah pikiran ahli filsafat. Kalau tidak , niscaya
akan bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang benar, siapa yang salah.
Seperti para pemain sepakbola tadi kacau balau di mata kita, tak tahu apa
maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata
semau-maunya saja, tak ada pangkal tak ada ujung.”[2]
Dalam mengkaji Filsafat Tan Malaka memakai jubah
pemikiran Friedrich Engels yang disebut Tan Malaka sebagai seorang co creator
yang sama dengan Karl Marx. Menurut Tan Malaka Engels adalah seorang pendiam yang
bergerak di belakang layar besar karl Marx.[3]
Sebagai seorang penonton sepak bola filsafat. Kita
akan membagi dua tim yang akan bermain dilapangan filsafat. Tim Materialis akan
melawan tim Idealis. Tim materialis bermain untuk membela para ploteral dan
kaum tertindas sedangkan tim idealis berpihak pada kaum yang berpunya dan
berkuasa.
Tim Materialis adalah Tim yang berprinsip bahwa
hakikat dunia adalah materi. Tim ini berkeyakinan bahwa dunia tidak memiliki
makna apapun dan tujuan apapun. Menurut mereka dunia bergerak sesuai dengan
hukum alam. Tim Materialis memilik pemain –pemain terbaik seperti Epikuros,
Demokritus, Lucretius Carus, Baron von Holbach, karl Marx dan Feurbach.
Sedangkan tim idealis adalah tim yang berprinsip
bahwa hakikat dunia ini adalah alam ide. Dunia duniawi adalah dunia maya atau
impian belaka yang tidak sempurna. Menurutnya dunia yang sejati adalah dunia
ide. Tim ini di perkuat oleh pemain yang juga hebat sekaliber Plato,
Hume,Berkeley, dan Hegel.
Marilah Kita menuju Stadion Auf Klarung yang akan mempertontongkan Bigmatch antara
Tim Idealis dan Tim Materialis. Biasanya pertandingan antara kedua tim ini banyak
mengundang perhatian penonton. Bagi penonton yang memusuhi kaum Proteral yang
dibela tim sepakbola materialis. Menganggap Materialisme itu sebagi tim yang
berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas, makan sampai
muntah dan minum sampai mabuk. Sedangkan tim Idealis di bela sebagai tim yang
berdasarkan kesucian yang paling tinggi dan lebih banyak memuaskan kepala dari
pada perut. Padahal dalam permainan dilapangan yang sebenarnya. Anggapan para
suporter seringkali terbalik.
Permaianan sepakbola filsafat sudah akan dimulai.
Para pemain memasuki lapangan dan mendapat dukungan dari kedua kubuh suporter masing-masing yang sudah
membanjiri stadion Auf Klarung. Wasit
meniup peluit panjang. Permainan bigmatch Sepakbola filsafat sudah dimulai.
Bola kini berada di kaki pemain idealis
bernomor punggung 12 David Hume. Dia membawa bola ke dalam dirinya sebagaimana
David Hume beranggapan “jika saya memasuki diri saya maka saya akan mendapatkan
berbagai macam pengertian dan bergulu-gulung gambaran mengenai Benda”. Mengapa
Hume memainkan bola di dalam dirinya sendiri. Karena Bagi Hume warna, berat dan
rasa sebuah bola ada pada diri Hume bukan pada bola itu . Bola itu tidak pernah
ada yang ada hanyalah warna, berat,
rasa, pengertian dan gambaran yang berasal dari dalam diri Hume.
Tetapi bagaimana dengan diri Hume sendiri yang
adalah benda untuk teman setimnya.? Hume beranggapan bahwa ia termasuk hanyalah
gambaran untuk Berkeley. Hume tidak pernah ada, Hume hanyalah sebuah gambaran
dan Ide dari tuan Berkeley. Sebagai seorang suporter kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa seorang pemain idealis disisi lain membatalkan benda tetapi
juga menghancurkan dirinya sendiri, ini blunder yang fatal. Satu gol untuk tim
materialis.
David Hume mempassing bola kerah kaki Immanuel kant. Seorang pemain yang berasal
dari Jerman. Dia berusaha bermain cantik dan menutupi kesalahan David Hume.
Tetapi caranya mendrible bola tidak seberani dan sejujur David Hume. Immanuel
Kant membawa bola kadang maju dan kadang mundur. Immanuel Kant beranggapan kita
bisa mengetahui benda dengan panca indra, tetapi hakikat benda itu sendiri
tidak bisa kita ketahui.” Bola yang di drible maju mundur oleh Hume akhirnya
direbut oleh lawannya Engels
pemain lincah dari tim Materialis. Engels menanggapi Kant bahwasanya “ kalau
kita sudah mengetahui benda dengan Panca indra,maka apa lagi yang harus kita
cari mengenai benda itu” bagi kaum materials itu sudah cukup.
Lebih lanjut lagi Engels menjelaskan bahwa dahulu
nenek moyang kita hanya mengetahui 4 zat saja yakni tanah,api, udara dan air.
Namun sekarang kita sudah bisa mengetahui bahwa ada 90 lebih zat asli
elementer. Kita bisa melihat benda yang snagat kecil ukurannya dengan
mikroskop. Kita bisa menciptakan sebuah senjata mematikan dengan hukum-hukum
fisika dan kimia. Dan semua pemanfaatan benda untuk benda akan terus maju
sesuai perkembangan teori. Lalu apakah yang harus di ungkapkan lagi dengan
benda itu sendiri “Ding an Sich”.
Tetapi larilah Hegel dari tengah lapangan datang
sliding dan mentackle kaki Engels. Dan bola akhirnya di rebut lagi oleh tim
idealis yang kini berada di kaki Hegel. Hegel terkenal sebagai pemain yang
licin karena ia memakai sepatu dialektika dan Logika hingga larinya begitu kencang tak dapat dikejar oleh pemain
lain.
Hegel beranggapan bahwa “ide Absolut” lah yang
menyusun realitas benda. Ide Absolut adalah yang menjalankan dan menjalani
sejarah Konkret dan mengungkapkan dirinya di dalam sejarah itu. Ide absolut
akhirnya bersifat metafisik dan mistik. Artinya sangat rahasia dan tidak dapat
di jangkau.
Namun kecepatan berlari Hegel dapat dikejar
akhirnya oleh pemain materialis yakni Feurbach. Feurbach dalam karyanya Das Wesen des Cristentums
( Hakikat agama Kristen ) membalikkan pemikiran Hegel mengenai hubungan
dialektik antara manusia dengan Roh Absolut. Bukan Ide absulut (Allah) yang
membawa dirinya pada realitas melainkan manusialah realitas sejati. Dalam hal
ini Feurbach lebih lanjut menjelaskan bahwa Roh absolut hadir sebagai hasil Proyeksi Manusia ,
citra,sifat-sifat dan keinginan manusia itu sendiri yang dilemparkan keluar.
Atau lebih jelasnya Feurbach mengatakan Bukan ide Absolut yang menciptakan
realitas tetapi realitas itulah yang menciptalan ide Absolut atau Bukan Allah
yang menciptakan manusia tetapi manusialah yang menciptakan Allah menurut
citranya sendiri.
Sungguh permainan sepak bola Filsafat bagi
suporter sepakbola filsafat ( pelajar filsafat) adalah sebuah permainan yang
sangat menghibur. Antara kedua tim , Idealis dan Materialis adalah tim yang
sama-sama kuat. Hingga bola kebenara terus bergulir dan berpindah di kaki kaki
pemikir idealis dan materialis. Maka sangat susah untuk menentukan siapakah
yang akan menjadi pemenang untuk
permainan sepak bola Filsafat ini. Mungkin saja kali ini tim Materialis yang
menang tapi esok Idealis membalas kekalahannya. Permainan tentu saja menghadirkan pemenang dan
pecundang. Tetapi untuk permainan Sepak Bola Filsafat tidak menghadirkan
pecundang. Yang ada hanyalah pemenang. Karena pemain sepak bola Filsafat
bermain bersama-sama untuk
mencari kebenaran yang sejatinya kebenaran.
Penulis mengutip pandangan Marx bahwa “ Para ahli
filsafat sudah memberikan bermacam-macam pemandangan untuk mencerahkan dunia
itu. Yang perlu lagi ialah merubah dunia itu.” Para pemain SepakBola Filsafat
sudah mempertontonkan permainan Tiki-Taka yang cantik sekarang saatnya muncul
pra pemain baru untuk merubah permainan sepak bola Tiki-Taka itu.
CAT. (Tan Malaka adalah seorang pemain sepak bola handal yang berposisi sebagai
seorang Striker yang lincah. Dan permainannya akan semakin hebat jika ia tidak
mengenakan sepatu.)
Sumber
Tan Malaka, Madilog,(Yogyakarta:Penerbit Narasi,2014),
Sesudah Filsafat, Esai-Esai untuk Frans Magnis suseno.