Kamis, 31 Desember 2015

Putusan Sintesis Apriori.


Secara etimologis apriori berarti “dari hal yang lebih dulu” dan aposteriori adalah dari hal yang kemudian. Perkembangan pengertiannya yang kini meluas bersumber dari arti yang di berikan oleh Kant.
Menurut Leibniz, mengetahui realitas secara aposteriori adalah mengetahui realitas dari yang benar-benar di temukan dalam dunia empiris, sedangkan dalam mengetahui realitas secara apriori adalah mengetahui realitas dengan mengungkapkan sebab sesuatu tertentu.
Perbedaan antara apriori dan aposterori dapat di simpulkan sebagai perbedaan antara sesuatu yang diperoleh sebelum pengalaman (apriori) dan sesuatu yang di peroleh setelah pengalaman( Aposteriori). Atau perbedaan antara non empiris dan empiris.
Namun dalam pengertian Kant, pembedaan itu dikaitkan antara pembedaan yang niscaya dan yang tidak niscaya. Di dalam apa yang di yakini, semua kondisi niscaya pengalaman sifatnya apriori, bahwa segala pengertian yang terbentuk adalah apriori dari perangkat mental yang membuat banyak hal dapat di satukan dan yang membuat persepsi dan keputusan kita berarti. Dalam hal inilah perngkat mental itu ifatnya apriori. Dan semua yang apriori pasti memiliki validitas universal dan niscaya. Sedangkan Kant memikirkan bahwa pengetahuan yang mendahului (apriori) adalah semua pengalaman. Namun ia tidak berpikir tentang ide bawaan seperti para Idealis berpikir. Yang dipikirkannya adalah pengetahuan yang tidak disimpulkan dari pengalaman meskipun penampilannya berlangsung pada saat terjadinya pengalaman.
Lalu kita lalu menyimpulkan bahwa putusan yang sifatnya analitis adalah apriori. Dan segala putusan yang sifatnya sintesis akan kedapatan aposteriori. Putusan analitis apriori adalah pegangan para rasionalis. Sedang putusan sintesis aposteriori adalah putusan milik para empiris. Namun Kant memiliki pemikiran baru yang orisinil. Pemikiran yang mencoba mengatakan bahwa putusan sintesis tidak selamanya kedapatan Aposteriori namun putusan sintesis seringkali kedapatan apriori.
Putusan analitik adalah putusan yang isi predikat menempeli subjek, atau keputusan yang predikatnya sudah di sebutkan, atau sudah di muat oleh subjek.
*Contoh : Lingkaran itu bulat ( yang disebut lingkaran (subjek) niscaya mempunyai bentuk bulat. (predikat)).
Putusan sintetik ialah keputusan yang tidak analitik, atau keputusan yang diambil dari pengalaman . atau sebuah putusan yang predikatnya mewujudkan sintetis dengan subjek.
*Contoh : Mahasiswi yang cantik itu pandai ( predikat pandai yang di ambili dari pengalaman dengan subjek mahasiswa mengalami sintesis.)
Sedangkan putusan sintesis yang sifatnya apriori adalah sintesis yang manifestasinya saja bergantung dari suatu pengalaman tertentu, tetapi yang sebenarnya sudah ada dan adanya tidak bergantung pada pengalaman tertentu( jadi adanya mendahului pengalaman tersebut). keputusan sintesis apriori mendahului pengalaman itu sendiri karena keputusan-keputusan tersebut memang merupakan hukum-hukum dari pengalaman itu. Tanpa keputusan tersebut, pengalaman tidak pernah ada. keputusan-keputusan ini dapat ditunjukkan melalui analisis Transendental.
Coba saja perhatikan kesadaran kita (pengetahuan kita) segala keputusan yang kita buat hanya bisa terbentuk dan terlaksanakan apabila kita mengalami pengalaman sensitivo-rasional tertentu. Kemudian melalui analisis Transendental akan dapat di temukan realitas-realitas keputusan tersebut.
Tentang eksistensi keputusan sintesis apriori, seseorang pasti dapat menemukannya dalam matematika dan dalam hal-hal yang diandaikan oleh pengalaman, moralitas, dan ilmu serta dicontohkan Kant melalui dua ilmu dasar.
1.       Di dalam matematika dapat di jumpai keputusan Sintesis apriori, misalnya 3+5 adalah 8. Meskipun dari ilmu hitung, Kant menerima adanya beberapa kebenaran analitis di dalam matematika, tetapi ia menegaskan bahwa sebagian terbesar kebenaran matematika bersifat sintesis apriori, sifat-sifat informatif, non empiris dan niscaya keputusan-keputusan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa pengetahuan matematis melibatkan intuisi-intuisi ( Aunschaungen) tentang waktu (dalam ilmu hitung) dan tentang ruang (dalam ilmu ukur). Ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk yang diterapkan rasio pad data Indera.
2.       Didalam fisika: pada semua perubahan di dalam dunia bendawi, jumlah bahan yang tergantung dalam benda tidak berubah.

Pada seluruh Karya Kant yang berjudul Kritik der Reinen Vernunft adalah usaha atau ilmu khusus untuk menjawab : bagaimana keputusan Sintesis apriori itu ? atau dengan perkataan lain yang ebih khusus, bagaimna keputusan-keputusan ilmiah dari ilmu itu sendiri? Kant menyebutnya “rasio murni” karena Kant hendak mengatakan bentuk rasio yang di dalamnya mencakup prinsip-prinsip bagi pengetahuan a priori. Bukunya disebut sebagi “kritik” karena Kant tidak bermaksud menyodorkan suatu sistem lengkap rasio murni. Tujuan Kant hanya mau menyodorkan suatu pengkajian kritis atas rasio murni, menunjukkan sumber-sumber dan batas-batasnya.
Jawaban yang diberikan Kant terhadap pertanyaan di atas adalah unsur apriori di tambahkan oleh akal budi kita pada pengetahuan indera ( yang memberi tahu sesuatu yang baru kepada kita) dan membangun pengetahuan indera sedemikian rupa hingga menjadi yang di sebut (pengalaman). Pengetahuan yang benar hanya di peroleh manakala indera dan rasio bersama-sama memberikan sahamnya. Dan apapun yang disahamkan oleh indera dan rasio di kondisikan sebelumnya oleh bentuk-bentuk keinderaan kita” (ruang dan waktu) dan oleh kategori-kategori pemahaman seperti kuantitas,kualitas,relasi, modalitas serta bentuk-bentuk bawahannya. Kuantitas dan Kualitas di sebut kant sebagai kategori matematis, sedangkan relasi dan modalitas di sebutnya kategori dinamis.
Jadi, keputusan-keputusan sintesis a priori di akarkan dalam bentuk-bentuk dan kategori-kategori tersebut di atas, maka adalah sah bagi setiap objek yang tampil di dalam lingkungan bentuk-bentuk keinderaan kita atau sah bagi setiap objek yang di pikirkan di dalam jangkauan kategori-kategori pemahaman kita.
Demikianlah kata Kant dalam karyanya “Kritik terhadap rasio murni”.


Read More

Sabtu, 26 Desember 2015

Sistem Moralitas Kant

Sistem Moralitas Kant


BAB I
Pendahuluan
A.      Latar Belakang.
 Sistem Moralitas Kant di jelaskan secara gamblang pada buku populernya The Crtique of Practical Reason yang melanjuti buku pertamanya The Crtique of  Pure Reason. Pada bagian besar buku ini Kant berusaha untuk menjawab pertanyaan, Bagaimanakah saya dapat bertindak, dan bagaimanakah saya dapat memilih berbuat baik atau buruk.
Immanuel Kant yang lahir di Konisberg 1724, telah dapat diketahui ke profesionalitasannya dalam dunia kefilsafatan. Dia seorang Profesor Filsafat yang merumuskan tiga cabang filsafat, Epistimologi, Metafisika dan Moralitas dalam bentuk yang di yakininya Kritisisme. Sebuah bentuk pemikran yang mutakhir.
Dilihat dari garis panjang perjalanan Filsafat. Kant berdiri di tengah pertarungan yang sengit dan rumit antara Rasionalisme dan Empirisme. Dalam hal persoalan Moral. Sebelum Kant. Telah menjadi perdebatan hangat di antara para Filosof dari berbagai zaman. Di sebut saja Etika hedonisme,Epikureanisme, Teleologis, Aristotelian, lalu Deontologis Kant dan Utilitarianisme. Jadi jika membahasa Moralitas Kant. Kita juga akan mengkritik sistem Moralitas yang mendahului dan melampauinya.
Persoalan Moral dalam telaah Filsafat pada umumnya bisa di bagi dalam tiga wilayah. Pertama, Filsafat yang mempersoalkan moral sebagai gejala atau fenomena yang muncul dalam kesadaran diri manusia; dalam bahasa Indonesia sering di sebut hati nurani atau suara hati. Gejala ini berkaitan dengan kewajiban bertindak moral karena kewajiban itu sendiri. Kedua, Filsafat yang mempersoalkan moral dalam kerangka nilai-nilai baku, yang di acu sebagai pedoman perilaku dan tindakan manusia , yang menjadi ukuran penilaian baik dan buruk seseorang sebagai manusia. dalam wilayah ini dapat di bicarakan konsep-konsep norma, nilai, dan aliran-aliran atau mazhab-mazhab etika, Dan ketiga , filsafat yang mengupas makna peristilahan-peristiliahan yang di pakai dalam pembicaraan tentang moral : apakah yang di maksud dengan kata-kata baik, wajib, utama, dan sebagainya. Meskipun wilayah ini berbeda satu dari yang lain namun ketiganya saling bertautan.
Pada wilayah yang pertamalah yang di sebut juga sebagai wialyah fenomenologis moral yang mempertanyakan apakah moral itu mempunyai Implikasi dalam wialyah etika normatif. Di sinilah kita akan bergelut dengan moralitas Kant.
B.      Rumusan Masalah
1.       Bagaimanakah sistem Moralitas Kant.?
2.       Bagaimanakah Moralitas Kant membuktikan Tuhan?

BABII
Pembahasan
A.      Sistem Moralitas kant

Sebelum masuk kedalam isi pada Moralitas Kant. Perlulah kita berangkat dari titik terawal dalam membahas mengenai Moral. Moral dapat di artikan sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, Khutbah-khutbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan , entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dalam versi defenisi ini adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak. Sumber dasar ajaran-ajaran itu adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologi-ideologi tertentu.[1]
Dalam bentuk Aplikatif. Ajaran Moral berusaha menjawab pertanyaan “ Bagaimana saya harus hidup”, atau “apa yang boleh, apa yang tidak boleh, dan apa yang wajib saya perbuat?”.pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang mendasari penulisan buku The Crituque of Practical Reason, untuk menjelaskan bagaimana kita dengan rasio praktis dapat berbuat.?
Moralitas meruapakan kekhususan dari makhluk rasional. Berkat rasionya, manusia dapat menjadi makhluk yang bermartabat, artinya ia menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah boleh di jadikan sarana untuk tujuan yang lain.
Sistem Moralitas Kant sering pula di istilahkan sebagai sistem etika Deontologis yang menyangkut hal baik dan buruk, tetapi kebaikan dan keburukan itu bukanlah apa yang kita maksud baik dan buruk, tetapi kebaikan dan keburukan itu berdasar pada bahasa Kant, apa yang baik pada dirinya sendiri, yang baik tanpa pembatasan sama sekali.[2]
Syarat kebaikan pelbagai sifat manusia adalah kehendak baiknya. Karena itu, tidak ada yang baik pada dirinya sendiri selain kehendak baik. Itulah titik tolak pemikiran Kant tentang Moralitas. Dalam paradigma kant, ada tiga kemungkinan alternatif seseorang dalam mengimplementasikan kewajibannya.
Pertama ia dapat melaksanakan kewajibannya karena hal itu menguntungkan, kedua ia menunaikannya karena merasa langsung terdorong dalam hatinya, ketiga ia memenuhi kewajibannya demi kewajibannya itu. Jadi karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya. Menurut Kant, hanya kehendak terakhir inilah yang betul-betul  bersifat moral. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah kehendak baik tanpa pembatasan dan yang oleh Kant di sebut moralitas, dengan alasan ini etika Kant disebut etika kewajiban.[3]
Apabila kewajiban kita di dasarkan pada persepsi a priori akal budi praktis murni, artinya sebuah kewajiban itutidak dapat di tentukan bagi segala hal yang empiris, lalu jika hal itu adalah murni lalu bagaimanakah kita mengetahui kewajiban itu? Atau bagaimanakah kita dapat mengetahui kriteria kewajiban moral itu. Kant menjawab bahwa kriteria itu adalah imperatif kategoris. Sebagai perintah , imperatif Kategoris bukan sembarang perintah. Kanta memakai kata imperatif atau perintah bukan bagi segala macam permintaan, melainkan untuk mengungkapkan suatu keharusan.[4]
Kant membagi dua macam Imperatif, imperatif hipotesis yang mengatakan jika anda ingin mencapai tujuan ini dan itu maka anda harus melakukan ini dan itu. Misalnya jika anda ingin menjadi mahasiswa yang memiliki nilai IPK 4.00 maka anda harus menajdi mahasiswa yang taat aturan, rajin, serta cerdas dalam mengikuti perkuliahan. Imperatif hipotesis(kalau maka...) menyertakan syarat, artinya kewajibannya hanya hipotesis. [5]
Kedua, Imperatif Kategoris yang mengikat seseorang tanpa syarat apapun. Bentuk Imperatif yang terakhir ini adalah “ Engkau harus begitu saja “ Imperatif kategoris ini menjiwai semua peraturan etis. Misalnya janji haru di tepati ( senang atau tidak senang), barang yang di pinjam harus di kembalikan (kendati pemiliknya sudah lupa). Imperatif kategoris ini tidak menyuruh kita untuk menghindari berbohong karena kita tidak akan mencapai reputasi yang baik ,ia semata-mata menyuruh kita untuk tidak berbohong, titik.[6]
Cara kerja Imperatif Kategoris tersebut bersifat apriori dan Kant merumuskannya dnegan sebuah prinsip ( Maksim, aturan pokok) yang berbunyi: “bertindaklah menurut prinsip itu dan prinsip itu saja, yakni prinsip yang engkau dapat menginginkannya menjadi hukum Universal”. Jadi kalau seseorang tidak ingin di bohongi , maka ia akan membayangkan kaidah yang berlaku secara umum, termasuk diirnya untuk tidak berbohong. Demikian pula apabila ia ingin di perlakukan dengan cara yang terhormat, ia akan membuat kaidah umum utnuk menghormati setiap orang, termasuk dirinya. Hanya dengan cara inilah moral bisa di jalankan.
B.      Moralitas Kant membuktikan Tuhan
Tuhan bisa di buktikan lewat berbagai Argumentasi, salah satu argumentasi yang di yakini Kant yang paling kuat adalh argumentasi moral. Pertanyaan pokoknya adalah apakah hubungan moral dengan adanya Allah? Kant mempunyai variasi atas satu jawaban atas pertanyaan ini. Disini akan di sampaikan dua ajaran Kant yang terkenal tentang hal itu.
Pertama Allah dan suara hati. Kesadaran moral mulai dengan kewajiban yang mutlak sifatnya. Kewajiban yang mengikat seperti ini hanya mungkin di bebankan kepada manusia oleh seseorang pribadi lain yang juga bersifat mutlak. Pribadi ini tentunya bukan manusia biasa seperti kita, sebab kita adalah mahkluk terbatas. Maka, kesadaran moral dalam suara hati mengandaikan adanya seorang pribadi yang perintahnya wajib kita taati. Nah, pribadi itu adalah Allah. Dengan bertindak moral dengan mengikuti suara hati (Praktische Vernunft), manusia mengakui kehadiran Allah. Kesadaran akan kehadiran Allah ada di luar jangkauan pemikiran murni yang bersifat teoritis. Dalam suara hati,manusia sadar akan tuntunan dari Allah yang memberi dan menjamin hukum abadi. Bagi Kant, suara hati adalah kesadaran akan suatu otoritas yangs ecara mutlak mengikat manusia akan kewajibanya,sedangkan Allah adalah instansi moral yang memberi kepada manusia kemutlakan perintah kewajiban suara hatinya.[7]
Kedua, allah dan tujuan moralitas. Bagi Kant kesadaran moral mewajibkan kita untuk mengupayakan “ kebaikan tertingg (Summum Bonum) atau kebahagiaan sempurna. Namun, kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir itu, menurut Kant tidak pernah terealisasi sepenuhnya di dunia ini sebab adanya kejahatan. Kalau memang demikian, timbul masalah baru, apakah perbuatan moral manusia  di dunia ini akan sia-sia saja?.
Untuk menjawab pertanyaan ini maka di hadirkanlah tiga Postulat, kehendak bebas, Tuhan dan keabadiaan. agar kebaikan moral dan kebahagiaan sempurna itu berhubungan. Mustahillah kewajiban moral itu terlakukan jika tidak ada kehendak bebas, hukum moral adalah hukum di dalamnya kita bertindak berdasarkan prinsip yang kita yakini sendiri (Otonomi). Justru berkat kebebasan kehendaklah kita bisa berbuat demikian. Dan untuk mencapai kebahagiaan sempurna yang ada pada keiudpan yang akan datang, tentu saja kehadiran Immortalitas atau keabadiaan jiwa mutlak adanya karena kebahagiaan sejati terjamin bukan pada kehidupan kini di dunia. Agar kedua potulat ini bisa masuk akal maka kehadiran Tuhan sebagai realitas mutlak eins realissimum  adalah penjamin ketidak absurdnya moralitas, dan sebagai itu ia merupakan pemberi makna terakhir bagi hidup moral.  Ketiga postulat ini sebagai hasil dari “Fakta akal Budi” mesti niscaya di terima tanpa ragu.[8]
Dengan nilai-nilai kebajikan tertinggi ini, yakni kebenaran, kebahagiaan, dan keadilan, maka tiga postulat ini terutama Tuhan sang pemilik mahkamah keadilan hakiki, harus eksis agar keadilan dan kebahagiaan dapat terunaikan secara konkret sesuai dengan haknya masing-masing. Pada titik inilah, bagi Kant, eksistensi Tuhan mutlak harus eksis sebagai penjamin final bagi terlaksananya kebajikan puncak, keadialn absolut dan kebahagiaan sejati yang menunggu di seberang jurang kematian.


BAB III
Penutup


Kesimpulan.
Pembahasan mengenai Kant tentu saja tidak berakhir pada kesimpulan ini. Namun pemakahalh dapat mengsumsikan bahawa talah dapat di baca dan kita telah mendapatkan jalan untuk melampaui Kant. Dalam arti dapat mengkritik ajaran Kant. Lewat Moralitas inilah. Kita dapat pula  mengrti apa tujuan dari Kritisisme yang sebenarnya. Yakni memurnikan Tuhan dari sebgala spekulasi yang membabi buta. Melindungi tuhan dari segala bahasa yang sama sekali negatif untuk Tuhan.
Daftar Pustaka

Abdullah, Amin ,Antara AlGazali dan Kant, terj. Hamzah, .Bandung: Mizan 2002.
Gaarder, Jostein ,Dunia Sophie, terjemahan oleh Rahmani Astuti, ( Bandung : Mizan,1997),h.365
Russel, Bertrand ,Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dnegan Kondisi sosio politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, Terj oleh Sigit Jatmiko dkk, .III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Suseno, Frans Magnis ,Etika Dasar, .Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, .II, Jakarta: Rajawali Pers,2013.



[1] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987),h.14.
[2] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (II, Jakarta: Rajawali Pers,2013), h. 200
[3] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terjemahan oleh Rahmani Astuti, ( Bandung : Mizan,1997),h.365
[4] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (II, Jakarta: Rajawali Pers,2013), h.201
[5] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dnegan Kondisi sosio politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, Terj oleh Sigit Jatmiko dkk, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)h.927.
[6] Amin Abdullah, Antara AlGazali dan Kant, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan 2002). h. 91
[7] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (II, Jakarta: Rajawali Pers,2013), h.115.
[8] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (II, Jakarta: Rajawali Pers,2013), h 116.
Read More

Kamis, 24 Desember 2015

menelanjangi Immanuel Kant, membuktikan dan membahasakan Tuhan.



Membuka Kant

Filsafat abad ke 18 di dominasi oleh kaum empiris Inggris. Yang di punggawai oleh Locke,Berkeley dan Hume yang berjiwa Subyektivisme. Pada diri Locke lewat teorinya di beranggapan jika pengetahuan yang didapatkannya adalah  merupakan persepsi kesetujuan dan ketidak setujuan dari dua gagasan. Dia berkeyakinana bahwa ada tiga macam pengetahuan tentang eksistensi riil, yakni intuitif dari diri kita, Demostratif dari Tuhan, dan Sensitif tentang hal-hal yang mengemuka dalam pikiran.
Sedang pada diri Berkeley sebagai upaya mengomentari koleganya. Dia berkeyakinan jika pengetahuan itu tak lebih terperoleh dari pikirannya sendiri tanpa ada peranan Demonstratif dari Tuhan. Namun ia tidak berani melangkkah sejauh itu dengan jubah Pastor dan makhluk yang berjiwa sosial.
Hume sebagai titik tertinggi setiga Empirisme. Lebih banyak mendukung Locke dalam memperoleh pengetahuan. Dia tidak mengakui gagasan sederhana tanpa adanya kesan yang mendahuluinya, dan tidak diragukan lagi, dia membayangkan sebuah “kesan” sebagai kondisi pikiran yangs ecara langsung di sebabkan oleh sesuatu di luar pikiran, namun ia tidak mengakui ini sebagai defenisi “Kesan”, karena dia sendir mempertanyakan apa yang di maksud dengan “Sebab”.
Kritik terhadap pengetahuan yang di lakukan oleh segiitiga Empirisme ini berlanjut kesegitiga Jerman yang lebih canggih. Muncul Kant,Fichte dan Hegel untuk membangun filsafat jenis baru yang di tujukan untuk mengamankan pengetahuan dan kebaikan dari doktrin-doktrin Subversif akhir abad ke-18. Terlebih pada diri Kant sebagai panglima bagi kawannya yang lain dengan bendera sintesis yang berusaha mengawinkan segitiga Rasionalisme dan segitiga empirisme menjadi sebuah bangun Kritisisme yang bergaris sintesis dan apriori.
Dengan ulasan singkat di atas sebagai beranda Kant, kini saatnya kita memulai untuk “Menelanjangi” Kant.
Menelanjangi Epistimologi Kant, sebelum menuju Moralitas Kant dn membahasakan Tuhan

Sebagai manusia yang di komentari sebagai filsuf terbesar abad modern memang tidak terlalu berlebihan, meski ada juga yang tidak sependapat. Namun sangatlah berdosa jika kita berani mengingkari peran pentingnya dalam membangun Filsafat.
Dari lahir(1724) hingga wafat(1804), ia hanya menetap di Konisberg, Prusia timur. Sebagai seorang pecinta Buku ia mendapat didikan Filsafat dari Leibniz dan jatuh cinta dengan filsafat Leibniz versi Wolfian, namun begitu mengenal Roessau dan Hume dengan kritiknya terhadap konsep Kausalitas mendorong hasratnya untuk menyelingkuhi Leibniz. Atau dalam istilahnya sendiri, ia telah terbangun dari tidur Dogmatiknya.
Kant memiliki ciri Filsafat yang kelihatannya lebih mementingkan hati nurani dari pada nalar teoritik yang kaku. Prinsispnya bahwa setiap orang di anggap sebagai tujuan dalam dirinya sendiri merupakan bentuk doktrin tentang Hak Asasi Manusia, dan kecintaannya akan kebebasan di tunjukkan dalam ucapannya bahwa” Tidak ada yang lebih mengerikan di banding jika tindakan seseorang harus tunduk kepada kehendak orang lain”.[1] Inti Filsafat Kant ada pada perkataannya ini, dan perlahan kita akn menuju kesana.
Buku terpenting kant adalah The critique of pure reason. Tujuan dari karya ini adalah untuk membuktikan bahwa pengetahuan yang kita peroleh bukan hanya berdasar pengalaman tetapi mesti ada juga sebagian a priori yang tidak di simpulkan seca induktif dari pengalaman. Dia memsihkan dua pembedaan yang dalam karya Leibniz, bercampur aduk. Di satu sisi, ada pembedaan antara proposisi “analitik” dan “sintetik”, di sisi lain ada pembedaan antara proposisi “a priori” dan “ Empirik”.
Proposisi analitik adalah proposisi yang predikatnya adalah bagian dari subyek. Misalnya “ Pria yang tinggi itu adalah seorang pria, atau “segitiga sama sisi adalah segitiga”. Proposisi semacam itu akan mengikuti hukum kotradiksi. Sedangkan Proposisi “Sintetik” adalah proposisi yang tidak analitik atau semu proposisi yang di dapati dari pengalaman adalah proposisi “Sintetik”, misalnya “hari Desember adalah permulaan musim huja” kita tak dapa menyimpulkan kebenaran semacam ini jika hanya menganalis konsep, di butuhkan pengalam untuk menunjang kesimpulan, itulah proposisi “Sintetik”. Namun Kant berpendaat jika Proposisi “Sintetik” seutuhnya di peroleh lewat pengalaman tetapi menyisakan sebagian apriori murni.
Proposisi Empirik adalah yang tidak dapat kita ketahui kecuali dengan bantuan Indera persepsi, baik milik kita sendiri maupun milik orang lain yang di pat di yakini kesaksiannya, dalam hal ini fakta-fakta sejarah dan geografi termasuk dalam jenis ini, demikian pula dengan hukum ilmu pengetahuan yang di ambil dari data Observasi.
Disisi lain proposisi Apriori adalah yang di pandang manakala kita mengetahuinya, memiliki basis selain dari pengalaman. Seorang anak yang mempelajari Aritmetika mungkin dapat di bantu dengan mengalami atau merasakan  dua butir kelereng dan dua butir kelerang yang lainnya, dan mengamati bahwa kesemuanya dia alami sebagai empat buah kelereng. Namun ketika dia memahami proposisi umum “ Dua dan dua sama dengan empat” dia tidak lagi meminta konfirmasi dengan menggunakan contoh; proposisi ini memiliki kepastian yang tidak dapat di berikan oleh induksi hukum umum. Dalam hal ini, semua proposisi yang murni matematis bersifat a priori.
Inti permasalahan dari the Critique of Pure Reason merupakan jawaban atas pertanyaan Bagaimana penelitian sintesis yang a priori dapat di mungkinkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Kant sebagai seorang yang filsuf yang tegar mesti mempelajari pertanyaan yang di ajukannya sendiri dalam dua belas tahun umurnya demi mendapatkan solusi dari pertanyaannya. Namun dengan kejeniusannya hanya butuh beberapa bulan saja untuk menuliskan teorinya .
Menurut Kant, dunia luar hanya memunculkan materi sensasi, namun perangkat mental kita membentuk konsep-konsep untuk memahami pengalaman.  Sensasi yang di Intuisikan mesti harus berada pada Ruang dan Waktu serta tersaring oleh “Kategori yang kesemuanya adalah perangkat mental yang niscaya tertanam pada diri dan menjadi perangkat mental.
Ruang dan Waktu mesti niscaya di yakini ada pada diri sebagai intuisi yang sifatnya subyektif. Seperti analogi sebuah kaca mata biru yang kita kenakan. Di manapun kita memandang semuanya akan menjadi warna biru. Dalam ruang dan Waktu bila di jadikan sebagai sebuah kaca mata. Maka segala yang kita pandang akan memiliki ruang dan waktu. Yang kita pandang mesti memiliki geometri dan Waktu. Dengan demikian Ilmu Geometri dapat juga di katakan sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya a priori.
Ruang dan Waktu adalah bukan konsep. Keduanya merupakan bentuk Intuisi yang berarti “Anschauung, Memandang”. Yang memiliki konsep-konsep apriori adalah dua belas Kategori yang di peroleh Kant dari bentuk-bentuk Silogisme. Kedua belas kategori itu di bagi menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari tiga kategori:
1.       Kuantitas
a.       Kesatuan (unity)
b.      Kemajemukan (Plurality)
c.       Keseluruhan (Totality)
2.       Kualitas
a.       Realitas
b.      Negasi
c.       Limitasi
3.       Relasi
a.       Substansi dan aksidensi
b.      Sebab-akibat
c.       Timbale balik
4.       Modalitas
a.       Kemungkinan(Possiblity)
b.      Keberadaan(eksistence)
c.       Kepastian(Necessity)
Ke dua belas Kategori ini bersifat Subyektif yang berarti sama dengan Ruang dan Waktu. Dengan kata lain Imanuel Kant mendesain perangkat mental kita untuk selalu sesuai dengan apapun yang kita alami. Namun ada Inkosistensi mengenai penyebab sensasi, dan kemauan bebas olehnya dapat di anggap sebagai penyebab kejadian alam ruang dan waktu. Inkonsistensi ini bukan tampak sebagai kejadian sekilas, ia justru merupakan bagian penting dalam sistemnya Kant.

Membuktikan Tuhan, Metafisika Kant

Dalam bagian the critique of practical Reason. Setelah membaca the Critique of Pure Reason Tuhan tentu saja tak tak dapat tersaring lewat intuisi yang murni Intelektual yang berusaha merasakan eksistensi (keberadaan ) Tuhan. Kant berupaya menghancurkan semua bukti yang sifatnya intelektual. Dan berupaya untuk menyia-nyiakan usaha untuk melihat eksistensi Tuhan lewat Intelektual.
Menurutnya dengan berbekal Rasio Murni kita hanya dapat mengetahui tiga bukti tentang keberadaan Tuhan, yakni bukti Ontologis, bukti Kosmologis, dan bukti fisiko-teologis.
Pada Bukti Ontologis. Kant mendefenisikan Tuhan sebagai Ens Realissimum, dzat yang paling nyata atau Dzat yang paling mutlak[2]. Atau ens Realissimum itu adalah subyek dari semua predikat yang bersifat mutlak. Ketika Tuhan di akui sebagai sesuatu yang bereksistensi dalam arti predikat maka tuhan itu berposisi sebagai eins realissimum sebagai Subyek yang juga bereksistensi, yakni harus eksis. Kant menegaskan bahwa eksistensi itu bukan  sebuah predikat.
Pada bukti Kosmologis. Dia mengatakan, jika segala sesuatu itu ada, maka realitas yang mutlak ada juga harus ada. Sekarang kita mengira bahwa kita ada, maka realitas mutlak harus di niscayai juga ada. Dan inilah yang di sebut sebagai ens Realissimum.
Pada bukti fisiko-teologis menyatakan bahwa jagat raya memperlihatkan keteraturan yang membuktikan adanya sesuatu tujuan atau adanya pengatur di balik keteraturan itu. Argument ini sangat di sukai dan di perlakukan dengan hormat oleh Kant. Tetapi menurutnya bukti hanya dapat membuktikan Tuhan sebagai Arsitek tetapi bukan pencipta, dank arena itu argument ini tidak mampu memberikan konsepsi yang memadai tentang Tuhan. Lalu jika ketiga bukti ini masih lemah maka ia menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan teologis yang memungkinkan ialah yang di dasarkan pada, atau di pandu oleh ketentuan moral.

Selangkah menuju Moral Kant.

Dalam pembahasan the critique of practical reason. Ada “tiga postulat” atau juga di artikan sebagai tiga “gagasan tentang rasio” yang berisi Tuhan, kebebasan (free will) dan keabadiaan (Immortal). Rasio murni memang mendorong kita untuk membentuk gagasan-gagasan ini, namun ia tidak juga mampu dengan sendirinya membuktiakn realitas gagasan-gagasan tersebut. Gagasan –gagasan ini memiliki signifikansi praktis, yakni berkaitan dengan moral. Penggunan Rasio yang murni Intelektual mengarah pada kekeliruan[3], penggunaan yang benar adalah yang di arahkan ke tujuan moral.
Argumentnya ialah bahwa ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni kebahagiaan yang selaras dengan kebajikan. Hanya tuhan yang bisa menjamin hal ini, dan tebukti Dia tidak menjamin hal ini dalam kehidupan sekarang. Karena itulah ada Tuhan dan kehidupan mendatang, dan ada pula kebebasan, karena kalau tidak ada tentu apa yang di sebut kebajikan juga tidak akan ada.

Memasuki Moral Kant, Menghadirkan Tuhan.

System Etika Kant dalam karyanya Metaphysic of Morals mengatakan “Metafisika , moral yang sepenuhnya mandiri, yang tidak bercampur aduk dengan fisik atau hiperfisik teologi manapun, semua moral memiliki konsep yang memiliki tempat dan berasal-muasal secara a priori di dalam rasio. Nilai moral hanya ada selama manusia bertindak  dengan berlandaskan rasa kewajiban. Namun kewajiban itu tidak di artikan sebagai tindakan yang di lakukan sebagai mana wajib dalam arti yang biasanya. Misalnya seseorang yang berprilaku baik karena dorongan kebaikan, tidak bisa serta merta di katakan berbudi. Esensi Moralitas itu sendiri berasal dari konsep hukum. Dan yang mengerti mengenai hukum hanyalah makhluk yang bernalar. Atau makhluk yang memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan gagasan tentang hukum. Rumusan tentang hukum ini di sebut sebagai Imperatif.
Ada dua macam Imperatif : Imperatif hipotesis yang mengarah kepada hipotesis subyektif, yang jika ingin menjadi itu maka harus melakukan ini. Dan imperative Kategoris yang mengarangah kepada obyektif yang apapun tujuaannya tindakan harus bersifat obyketif. Imperative Kategoris bersifat Sintesis dan a priori. Karakternya di tarik, oleh Kant dari konsep Hukum.
Kant mengilustrasikan tentang cara kerja imperative kategoris bahwa meminjam uang adalah salah, karena jika ketika semua berusaha melakukan hal itu maka tidak ada lagi uang yang tersisa untuk di pinjam. Kita dengan cara yang sama, dapat menunjukkan bahwa pencurian dan pembunuhan di kecam oleh Imperatif Kategoris. Namun ada sejumlah tindakan yang oleh Kant di anggap salah, meski tidak bisa di buktikan kesalahannya dengan menggunakan prinsipnya, misalnya dengan bunuh diri, kaidahnya sepertinya member kepastian, namun tanpa criteria yang memadai tentang kebajikan. Dalam hal ini kita harus melihat dampak dari tindakan untuk keluar dari imperative kategoris. Namun Kant mengatakan dengan tegas bahwa kebajikan tidak tergantung pada hasil tindakan yang di kehendaki, namun hanya pada prinsipp di mana ia merupakan hasilnya, dan jika ini di akui, tidak ada yang lebih konkret di banding kaidahnya.
Dengan paham moral Immanuel Kant, otoritas manusia sungguh sangat di hargai dalam menentukan kualitas dirinya. Seseorang yang mampu menjalankan moral adalah orang yang otonom, yang bertindak atas pertanggungjawaban dirinya sendiri. Ia tidak mlemparkan tanggung jawabnya pada oknum lain yang memri perintah dari luar dirinya. Orang semacam itu adalah seorang heteronom, yang tidak dewasa moral. Akan tetapi, otonomi moral tidak boleh juga di artikan sebagai penggunaan kebebasan secara semena-mena, sebab kebebasan moral justru tidak semena-mena, sebab kebebsan moral justru tidak semena-mena. Tindakan manusia, yang pantas di sebut sebagaitindakan moral, menurut Kant justru selalu mengikuti “HUkum Moral,IMperatif Kategoris” yang sudah tertulis di dalam hatinya, sementara ia sadar akan kebebasannya.”Dua hal yang senantiasa menjadi kekaguman tidk habis-habisnya,,, bintang dilangit dan hukum moral di dalam hati.”
Seorang manusia harus bertindak sesuai dengan suara hatinya, bukan dengan suara yang berasal dari luar hatinya. Tetapi suara yang telah memiliki hukum mral di dalam hati nuraninya. Dengan cahya Rasio Praktis. Dia tidak lagi harus mengkhawatirkan apakah kewajiban moralnya bersifat subyektif. Tetapi lewat Rasio praktis Universal, kewajiban moralnya akan di akui oleh yang lain. Karena rasio yang bersifat Universal, maka apa yang mnajdi keputusannya dalam bertindak atas dasar pertimbangan rasio akan sesuai dengan keputusan semua orang lain yang dalam kasus yang sama juga bertindak atas dasar rasio.
Pengaruh ajaran Kant amatlah luas, di satu pihak, mengkritik moral agama yang tradisonal dan kaku, dipihak lain, kant seoalh memnagunkan agama untuk memperbarui ajaran moral mereka atas dasar rasionalitas. Pemikiran Kant ini menyumbangkan pembaharuan terhadap agama yang bertindak sewenang-wenang lewat “Perintah Allah”.
Di sinilah pembahasan kant secara ringkas bersambung, bahwa lewat pembuktian Moral itu. Manusia lewat Imperative Kategoris, bahwa telah ada hukum yang sifatnya Universal yang mengikat diri lewat suara hati, untuk selalu mutlak memilih yang benar apapun tujuannya. Meskipun tidak juga boleh di babi –butakan bahwa suara hati itu adalah suara tuhan, tetapi ke einsrealissimum tuhan, ke realitasan mutlak Tuhan harus ada. Jika tidak suara Hati beserta Tiga postulat itu akan Absurd dan menjadi pembahasan omong kosong.





[1] Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumtenses from the earlis Times to Present Day, terjemahan oleh Sigit Jatmiko dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 921.
[2] Eins Realissimum juga di sebut sebagai realitas mutlak personal yang menjadi dasar segala yang ada di dunia, maka tidak mungkin ada kemampuan maupun kepositifan apa pun di dunia yang tidak dimiliki oleh Tuhan. Lihat ,Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan( Yogyakarta: Kanisius, 2006 ) h. 187.
[3] Rasio yang mengarah pada kekeliruan bukan berarti akan keliru juga pada pengintuisian, kekeliruan itu terjadi jika Tiga Potulat ini berusah untuk di Indrai, sedangkan nalar Rasio hanya mampu mengeluarkan Argument atau mencoba membahasakan sesuatu berdasar dengan apa yang di Indrai atau berdasar pada ruang dan Waktu.
Read More

Selasa, 22 Desember 2015

Suara Tanpa Sosok yang Bicara tentang Keyakinan

Saat aku berusaha untuk ada dan kian mendekati ada, mereka menilai bahwa aku mengada-ada. Selanjutnya, aku pun semakin hilang dari ke'ada'an mereka.

Siang ini, saat beragam kekalahan dan kekecewaan telah meremukkan hati, dan walau demikian aku sangat bersyukur karena aku masih bisa menuliskan ini. Entah bagaimana esok atau lusa..

Tiba-tiba saja seseorang datang. Ia tidak berwujud, hanya suara saja yang terdengar. Suara yang tidak kudengar melalui telinga.
"Hey, mari bicara tentang keyakinan," katanya.

Aku diam bersila dalam hening, dan ia melanjutkan pembicaraan.
"Keyakinan itu bisa dimisalkan dengan sebuah keadaan dimana engkau sedang mengikuti sebuah perlombaan. Di sana engkau harus yakin bahwa karya atau apa yang engkau ikut sertakan dalam lomba tersebut akan mendapatkan tempat sebagai juara. Harus yakin! Yakin bahwa engkau akan memenanginya. Bagaimana sudah?"

"Lalu?" tanyaku.

"Jika sudah, keyakinan akan menumbuhkan sebuah harapan. Engkau yakin dan serta merta akan ada sebuah harapan bahwa engkaulah pemenang lomba."

"Ya.. Lalu?"

"Semakin lama harapan itu kian kuat."

"Ya benar. Lalu?"

"Engkaupun mulai berkhayal tentang sebuah masa ketika juara itu telah berhasil kau raih. Bagaimana bahagianya ketika juara, apa saja yang akan kau terima ketika juara, dan setidaknya juga akan banyak manusia yang memujamu ketika engkau juara, iya kan?? Tetapi ternyata, kau kalah."
"Hah? Lalu?"

"Ya, kau kalah."

"Lalu buat apa aku meyakinkan bahwa karyaku akan berhasil mencapai posisi juara?"

"Nak, di satu sisi, keyakinan itu telah menumbuhkan semangatmu untuk mengikuti perlombaan. Karena engkau yakin, makanya engkau ikut serta. Di saat itu pula engkau akan menunggu-nunggu pengumuman pemenang. Saat-saat menunggu adalah masa dimana engkau menjadi sosok yang bertahan dari segala tekanan dan kemuakan  yang terus saja mengiringi langkah hidupmu. Banyak mereka yang memilih mundur dan menyerah karena tidak lagi menunggu pengumuman siapa yang akan menjadi juara. Engkau dengan keyakinan untuk bisa menang telah mampu untuk bertahan, walau di kenyataannya engkau tidak mendapatkan posisi juara tersebut."

"Lalu bukankah kenyataan pahit hanya akan terus melumpuhkan semangat dan membuat kita terus terpuruk?"

"Ya, itu akan terjadi bagi mereka yang tidak punya keyakinan. Apakah engkau tahu siapa yang menciptakan istilah 'kalah' dan 'menang' itu?"

"Siapa?"

"Manusia. Mereka mengotakkan sisi akhir perlombaan dengan istilah kalah dan menang. Padahal itu hanyalah ilusi. Apa yang kau ikut sertakan dalam perlombaanlah, betapa kau menghargai karya yang kau hasilkan, seberapa kuat kau bertahan, dan hal tersebutlah yang lebih penting. Bukan hasil."
"Lalu apa maksudnya keyakinan itu?" tanyaku.

"Renungkanlah, karena kau diciptakan untuk itu.."

Suara itu seketika menghilang.

Oleh : Wahyu Alhadi


Read More

Minggu, 20 Desember 2015

Puisi Filsuf - Kembali Ke Orient


Aku terhempas secara Vertikal
dan aku terasing pada kosmik Horisontal.
Terperangkap pada kegelapan gua barat.
Membelakangi matahari di Orient.
Aku Musafir yang melupakan kediaman azali.
Yang di hancurkan ular naga dalam diri.
Dan olahan Absolut membeku pada titik diri Substansial.
Puzzle-puzle platonic menjadi enigma kosmik mirokosmos.
Agaknya aku butuh ekstase, maqam yang menuju teosofi Timur.
Mengawinkan intelektual dan bathin.
Bermandikan pancaran cahaya, cahaya di atas cahaya.
Berhubungan di taman-taman malaikat. Bernostalia pada rumah Cahaya.
Tapi siapkah aku terasing?
Siapkah aku menjadi manusia teka teki?
Lalu di kejami dan di hancurkan?
Tapi semakin terasing, semakin sulit, di kejami dan di hancurkan.

Di sanalah aku dapat kembali ke Orient.
Read More

Sabtu, 19 Desember 2015

Suhrawardi Dan Iluminasi, Kembali Ke Orient.


SUHRAWARDI DAN ILUMINASI
Kembali Ke Orient.
oleh Ma'ruf Nurhalis pada Tugas Filsafat Mistik 
Dosen : Prof Qasim Mathar. MA


Sebelum Iluminasi.
Berawal dari terbukanya pintu gerbang emas peradaban islam dan menyambut tamu terhormat dari luar. Kemajuan lalu menyentuh setiap nadi kegiatan intelektualitas. Al Kindi  dengan slogan kebijaksanaannya yang tidak ingin malu mengakui kebenaran dan bersumber dari mana dan siapapun sekalipun ia di bawa generasi baru dan orang asing.[1] Dari semangat itulah al- Kindi amat berjasa dalam membuka pintu gerbang emas itu dengan banyak menerjemahkan buku-buku dari luar menjadi berbahasa Arab, menjadi awal dari mega proyek filsafat yang bercorak islam dan lebih elaborate bercorak peripatetic.
Amat panjang sejarah filsafat islam yang telah di mulai dari penerjemahan bijak itu. Filsafat peripatetic sendiri akhirnya berpuncak pada diri Ibnu Sina. Lalu setelah itu Filsafat Islam seolah kehilangan hasrat dan martabat setelah serangan yang bertubi-tubi datang menerpanya. Sempat matahari kembali timbul dari diri Ibnu Rusyd. Tapi setelah kematian Ibnu Rusyd. Filsafat Islam juga ikut terancam untuk di kuburkan. Tetapi matahari yang lebih terang kembali terbit. Iluminasi atau Isyraqi dari ajaran Suhrawardi membuka kembali keagungan puncak Filsafat Islam. Maka dari itu amat perlu di ketahui seperti apakah keindahan filsafat Iluminasi Suhrawardi. Seterang apakah Israqi pada filsafat Suhrawardi.


Sekilas mengenai Suhrawardi.
Nama lengkap Suhrawardi adalah abu al futuh Yahya bin Habasy bin Amirak as Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M. di Iran pada sebuah kampung bernama Suhraward.[2] Ia menerima pendidikan awalnya dari Majd al-Din al Jili di Maragha. Dan melanjutkannya di Isfahan. Kehidupan kesufiannya di mulai sejak ia merampungkan pendidikan formalnya dan melancong ke Persia. Di sana ia banyak menemui guru-guru Sufi, dan membuatnya tertarik. Kenyataanya sejak fase kehidupannya inilah ia memasuki jalan sufi dan menghabiskan periode lama dalam pengasingan Spritual (khalwat) dan menenggelamkan diri dalam dzikir dan meditasi.[3]
Akar pemikiran Suhrawardi sangat unik dan mendasar. Dia berusaha mencari pengetahuan hingga mencapai dasarnya. Dia adalah manusia yang berpikir secara radikal hingga melacak sumber kebenaran yang ada pada beragam kepercayaan. Menurutnya hikmah kebenaran itu satu, abadi dan tidak terbagi-bagi. Maka ia pun menyebut dirinya sebagai pengumpul kebijaksanaan, al hikmah al laduniyyah.[4]
Ada banyak sumber pemikiran Suhrawardi, diantara yang paling awal adalah Hermetisme yang mengacu pada sosok Hermes. Hermes mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Suhrawardi. Kekaguman Suhrawardi terhadap Hermes barangkali terkait dengan tugas yang di embannya sebagai penyampai pesan ketuhanan kepada umat manusia. Dalam menyampaikan pesan sang dewa Hermes memiliki bahasa yang mudah di terima oleh manusia sebagai pesan langit[5]. Pengaruh selanjutnya datang dari ajaran Persia kuno, dari seorang Nabi Zoroaster yang mengajarkan Zoroastereanisme dengan dua doktrin dasar. Pertama, ada hukum di dalam alam, kedua ada konflik di dalam hukum alam. Sehingga memunculkan persoalan bagaimana mempersatukan kejahatan dan kebaikan abadi Tuhan. Dalam menjelaskannya Zoroaster menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan sejati yakni Ahuramazda. Tuhan yang terang meski pun pula roh Ahriman tetap ada.  Hubungan Zoroater dengan suhrawardi ada pada ajaran Zoroaster untuk melawan roh Ahriman untuk menyucikan diri agar bisa merasakan Cahaya Ahuramazda.
Sedangkan pengaruh falsafah Yunani terhadap pemikiran Suhrawardi berasal dari filsafat Platon, Aristoteles, dan Plotinus yang disebutnya sebagai Filsafat peripatetic. Sedangkan dari filosof Islam , Alfarabi dan Ibnu Sina adalah dua tokoh filsuf yang ide-idenya sangat mewarnai pemikiran Suhrawardi, sekalipun nantinya, Suhrawardi mengkritik kedua filosof Islam ini.
Bagi Suhrawardi, Filsafat tidak bermula dari Plato dan Aristoteles, namun justru berakhir pada mereka, Aristotels yang meletakkan kearifan dalam baju rasionalis telah mnyempitkan cakrawala dan telah memisahkan dari kearifan tentang keperpaduan yang di miliki oleh para empu kebijakan di zaman purbakala..[6]
Isi  Iluminasi.
Iluminasi dalam bahasa Arab itu sendiri di sebut Isyraq. Isyraq berarti cahaya (Light) pertama pada saat pagi hari, seperti cahaya Matahari yang terbit dari timur (Syarq). Timur dalam pandangan Suhrawardi bukanlah Timur secara letak geografis. Tapi Timur adalah bahasa Simbol dari keter awal an cahaya. Seperti matahari yang terbit dari timur. Filsafat israqiyah berarti “ketimuran” dan “iluminatif”. Ia memancar karena ia adalah timur dan ia timur karena ia memancar ia adalah pengetahuan dengan pertolongan, yang manusia dapat menyesuaikan dirinya sendiri dalam alam semesta dan akhirnya menjangkau bahwa timur adalah tempat kediaman yang azali, sementara bayangan kegelapan diri manusia berada di bumi bagian “barat”.[7]
 Sedangkan Menurut Al Jurjani, Timur dalam bahasa isyraqiyah juga di artikan sebagai kutub bagi para Filosof di mana Plato yang menjadi rajanya. Sementara Abd Razaq al-Kasyani menyebut timur sebagai kumpulan pengikut Orang suci (Seth) yang menurut sumber-sumber muslim adalah pendiri sekelompok ahli dan dari mereka keahlian itu berasal, yang terkait erat dengan Hermetisme. Sedangkan pendapat lain yang menyebut Isyraqi seperti Ibnu Wahsyiah. Mengatakan bahwa Isyraqi adalah kelompok orang-orang suci Mesir yang merupakan anak-anak Saudarai Hermes.[8]
Iluminasi, menurut Suhrawardi merupakan suatu fase yang menentukan perkembangan pemikiran yang seolah-olah tersembunyi di lautan pemikiran Islam sebagai produk logika yang di kembangkan oleh madzhab Ibnu Sina. Filsafat iluminasi ini dapat di rasakan sebagai hasil dari perkawinan antara latihan intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme. Dari perkawinan ini pengetahuan tertinggi yang ia anggap iluminasi, sekaligus mentransformasikan keberadaan dan melimpahnya pengetahuan seseorang.[9]
Sang Guru iluminasi ini menegaskan bahwa sejak semula telah ada suatu “ Olahan Abadi” yang tidak ada sesuatu pun melainkan adalah kebijaksanaan abadi. Olahan abadi itu di samarkan dalam diri Substansial manusia yang siap “di olah” dan di aktualisasikan melalui latihan intelektual dan penyucian hati.[10] Untuk hal tersebut filsafat iluminasi tidak bisa di ajarkan oleh dan kepada setiap orang.[11]
Teori Emanasi yang di perkenalkan oleh Alfarabi dan Ibnu Sina di jadikan sebagai dasar epistimologi Suhrawardi,.[12] Namun Suhrawardi mememiliki pendapat mandiri mengenai akal actual yang menurutnya tidak terbatas pada akal Sepuluh, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama Cahaya dari cahaya-cahaya terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada di bawahnya.[13]
Cahaya di atas cahaya yang merupakan cahaya Absolut dan tidak terbatas diatas dan di belakang semua sianar yang memancar. Semua tingkat realitas, bagaimana pun, juga adalah derajat dan tingkat intensitas dan kelemahannya dengan tak sesuatupun melainkan cahaya. Karena, kenyataannya, tak ada sesuatupun dalam alam semesta yang luas ini melainkan cahaya. Dari Cahaya di atas segala cahaya ada suatu hierarki cahaya, vertical maupun longitudinal, cahaya-cahaya yang terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi universal dan suatu tatanan horizontal atau latitudinal yang berisi pola dasar atau idea-idea platonic tentang segala sesuatu yang kelihatan di bawah sebagai objek atau barang, cahaya-cahaya ini tidak lain dari pada apa yang dalam bahasa agama sebagai malaikat-malaikat.[14]
Dengan teori Iluminasi Suhrawardi yakin bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia indrawi dan materi bersama orang-orang yang terjebak di dunia materi. Yang lebih tepat baginya adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia penanggalan keinginan duniawi dan penyaksian langsung, kemudian naik ke maqam orang-orang yang bercahaya, bergaul bersama mereka, dan menyaksikan mereka dari dekat. Ia berkata, “ Bicaralah kepada dirimu sendiri bila engkau orang yang punya harkat. Sandarkan dirimu pada rahasia batinmu. Terimalah kenikmatan hidup dalam ketiadaan. Langkahkan kedua kakimu seraya berkata, ‘Sudahkah aku mengarungi ilmu-ilmu yang di serukan oleh penyeru dari keterlenaan orang-orang yang lalai.
Secara lebih sederhana, konsep Istisyraq di jelaskan Suhrawardi kepada kita bahwa jiwa berasal dari yang maha Pencipta dan dari berbagai Substansi yang terpisah-pisah. Maka  sampai kepadaNya atau sampai pada diri Substansi amatlah sulit jika manusia tidak mampu melepasakan diri ragawi menundukkan ular naga bathin yang berupa nafsu nurani. Dan tidak melakukan latihan Spritual yang tepat.
Kemudian Suhrawardi menjadikan ungkapan Plato yang sangat indah untuk menjadi argumentasinya. Ia mengatakan “ Seorang Teolog ulung, Plato, mengisahkan pengalaman dirinya. Ia menyatakan sebuah ungkapan yang artinya : Aku seringkali melakukan khalwat dan kontemplasi diri. Kutanggalkan tubuh jasmaniku di sampingku. Aku menjadi seolah-olah tanpa badan dan telanjang dari baju tabiat kemanusiaan dan lepas dari badan ragawi. Aku masuk kedalam jiwaku dan kutinggalkan segala sesuatu. Kulihat kedalam diriku suatu yang sangat indah, berkilau, bersinar, bercahaya terang benderang, dan mengagetkan, sampai aku terkagum-kagum. Aku pun mengetahui bahwa diriku adalah bagian dari alam yang luhur dan mulia.
Filsafat Isyraqiyah melukiskan, dalam sebuah bahasa simbolik secara imanen, suatu dunia yang sangat luas berdasarkan pada simbolisme cahaya dan “ Timur”, yang memutuskan batas-batas kosmologi Aristotelian dan juga batas-batas rasio yang di definisikan oleh Aristotelian. Suhrawardi mampu menciptakan suatu metafisika Cahaya secara esensialistik dengan kosmologi, yang jarang tertandingi kemuliaan dan keindahannya, yang menghadapkan pencari yang benar melalui ruangan kosmik dan membimbingnya kepada kenyataan cahaya sejati, yang tidak lain adalah kebenaran Timur. Dalam perjalanan ini, sekaligus bersifat filsafat dan spiritual, manusia di pimpin oleh suatu pengetahuan yang merupakan cahayanya sendiri, menurut sabda Nabi saw., yang menyatakan; al-ilm nur ( Knowledge is light ). Itulah mengapa filsafat ini, menurut wasiat dan keinginan Suhrawardi yang terakhir pada karyanya, Hikmat al-Isyraq, tidak bisa diajarkan kepada setiap orang, untuk hal tersebut jiwa manusia harus di latih dengan latihan-latihan yang bersifat filosofis secara tepat dan jiwanya harus di sucikan melalui usaha batin, untuk menundukkan ular naga batin yang berupa nafsu ruhani. Bagi orang-orang tertentu.
Ajaran Isyraqiyah adalah ajaran bathin yang mengantarkan manusia untuk kembali kepada kediaman cahayanya, kediamana azalinya. Dimana di sanalah ia memulai kemusafiran kosmiknya. Atau dalam bahasa Plato kembali kedunia Idea.
Sebuah puisi dari pribadi untuk gambaran Filsafat Isyraqiyah kiranya dapat memperindah cahaya ketimuran Suhrawardi.
Puisi : Kembali ke Orient
Aku terhempas secara Vertikal
dan aku terasing pada kosmik Horisontal.
Terperangkap pada kegelapan gua barat.
Membelakangi matahari di Orient.
Aku Musafir yang melupakan kediaman azali.
Yang di hancurkan ular naga dalam diri.
Dan olahan Absolut membeku pada titik diri Substansial.
Puzzle-puzle platonic menjadi enigma kosmik mirokosmos.
Agaknya aku butuh ekstase, maqam yang menuju teosofi Timur.
Mengawinkan intelektual dan bathin.
Bermandikan pancaran cahaya, cahaya di atas cahaya.
Berhubungan di taman-taman malaikat. Bernostalia pada rumah Cahaya.
Tapi siapkah aku terasing?
Siapkah aku menjadi manusia teka teki?
Lalu di kejami dan di hancurkan?
Tapi semakin terasing, semakin sulit, di kejami dan di hancurkan.
Di sanalah aku dapat kembali ke Orient.

Daftar pustaka

Drajat ,Amroeni, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik. I, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Hilal , Ibrahim, At-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din wa al-Falsafah, terjemahan oleh Ija Suntana dan E Kusdian, Tasawuf antara Agama dan FIlsafat sebuah kritik metodologis.  I, Bandung:  Pustaka Hidayah, 2002.
Hossein Nasr , Seyyed, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam. Jogjakarta, Ircisod, 2006.
Hossein Nasr,  Seyyed, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Masataka Tekeshita, Ibn Araby’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History, terejemahan oleh Moh. Hefni Mr, Manusia Sempurna menurut konsepsi Ibnu Arabi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Sabri, Muhammad Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik . I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011.
Suseno, Frans Magnis Menalar Tuhan . Yogyakarta: Kanisius, 2006.





[1] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 33.
[2] Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 29
[3] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, ( Jogjakarta, Ircisod, 2006), h. 104.
[4] Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 40.
[5] Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik Falsafah Peripatetik, (I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 42.
[6] Muhammad Sabri, Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik ( I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011), h. 72.
[7] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 73.
[8] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Terjemahan oleh Ach.Maimun Syamsuddin, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, ( Jogjakarta, Ircisod, 2006), h.114.  sedangkan Dalam pandangan Suhrawardi, Hermes tak lain adalah Nabi Idris yang menjai cikal bakal filsafat setelah menerima wahyu dari Allah swt. Menurutnya, ia di ilhami dari serangkaian ahli bijak dari Yunani, persia kuno, dan akhirnya pada Islam yang menyatukan kearifan peradaban sebelumnya kedalam rahim peradabannya. Lihat Muhammad Sabri, Mistisisme dan Hal-Hal Tak Tercakapkan Perspekstif Filsafat Analitik ( I, Makassar: Alauddin Universty Press, 2011), h. 72
[9] Ajaran ini juga di sebut sebagai Teosofi dalam bahasa Jakob Boehme. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 69.
[10] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.71.
[11] Agaknya yang di maksud” Olahan Abadi” adalah bahwa dalam diri subtansial manusia ada imanensi yang meresapkan Tuhan, dan lewat “Olahan Abadi” itu. Tuhan yang Transendensi dapat terasakan cahayanya. Yang sangat dekat dengan diri. sebagaimana Agustinus pernah merumuskan ini juga dengan sangat indah, Allah adalah “intimior intimo meo, superior summo meo” (Allah lebih dekat dengan diriku dari pada aku sendiri, Allah lebih agung dari pada segala keagunganku. Makin besar persatuan, maki besar perbedaan, maka makin imanen yang Ilahi dalam dunia, makin Transenden juga yang Ilahi terhadap Dunia. Lihat Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 201 dan 202. Atau dalam bahasa Plato” Olahan Abadi itu adalah suatu Materi pertama tak berbentuk yang sudah di beri bentuk oleh idea-idea, menjadi realitas yang kita kenal. Lihat Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 204.
[12] Ibnu Arabi Sendiri mendefenisikan Epistimologinya sebagai berikut: Sekarang kami terlebih dahulu mengatakan bahwa ilmu pengetahuan berarti sebuah relaitas dalam jiwa ( nafs), yaitu sebuah realitas yang menghubungkan dirnya, baik pada sebuah non eksisten mapun pada sebuah eksisten. Berkenaan dengan realitasnya di atas, di mana ia ada( dalam hal sebuah non eksisten), ia masuk kedalam eksisten. Maka realitas ini adalah ilmu pengetahuan. Lihat Masataka Tekeshita, Ibn Araby’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History, terejemahan oleh Moh. Hefni Mr, Manusia Sempurna menurut konsepsi Ibnu Arabi ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 76.
[13] Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din wa al-Falsafah, terjemahan oleh Ija Suntana dan E Kusdian, Tasawuf antara Agama dan FIlsafat sebuah kritik metodologis, ( I, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 115.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Theologi, Philospohy and Sprituality, terjemahan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, (III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.73.
Read More