Sabtu, 21 November 2015

Dari sudut tertinggi Himalaya. Nietzsche memandang manusia bertuhan dengan Iba.

Dari sudut tertinggi Himalaya. Nietzsche memandang manusia bertuhan dengan Iba.
Nietzsche
NIetzsche


Menggambarkan seorang manusia bernama Nietzsche seperti menggambarkan titik putih di lingkaran yang dipenuhi oleh warna hitam. Menemui manusia Nietzsche akan mengantarkan kita pada sebuah kesenangan yang unik. Dia seorang penyendiri yang ingin menuju pada Ubermensch. Menghindarkan diri dari segala rasa Iba. Maka jangan tunjukkan wajah ibamu di depannya atau jika kau di berikan sesuatu darinya maka jangan kau juga berterima kasih, baginya rasa iba dan terima kasih itu adalah cara berkehendak kuasa terhadap orang lain. Di mata Nietzsche itu adalah sesuatu yang negatif.
Selama ini jika kau membaca manusia Nietzsche, terbayanglah sebuah kegilaan dan keliaran dari musik“Tuhan telah mati” yang memaksa para manusia beragama untuk menutup telinga. Namun karena musik itu terlalu indah untuk tidak di mainkan. Maka para manusia abad 21 terpaksa harus membicarakannya. Jika kau menganggap dirimu bertuhan, dan yakin jika kau punya Tuhan, bukan yakin nya orang-orang Bego’. Maka Nietzsche ingin membuat anda bergoyang dengan Musik Dionysus nya. Musik kemabukan, dan Nietzsche menantang Anda untuk mengukur seberapa sehatkah anda untuk meyakini Tuhan?”. Yang selama ini pandangan Nietzsche di kotori oleh manusia-manusia sakit yang datang menyembah Tuhan. Hingga ia pun lalu mengerutkan keningnya, tanda ia Iba. Iba melihat Tuhan di sembah oleh manusia-manusia budak dan sakit.
Meski ia pun berakhir dengan sangat mulia. Menyerahkan kehidupannya pada kegilaan, ia gila dengan gila yang mulia, yakni mengalami penyakit gila yang sebenarnya. Bukan gilanya gila. Yakni kegilaan yang di alami oleh orang-orang sakit, para manusia budak itu, seperti kata Schopenhauer pada principium individualis nya. Manusia itu terus saja duduk Khusyu di biduk perahunya yang sedang di serbu oleh ombak yang siap membelah perahunya.
Tapi manusia pasca Nietzsche bungkam, sebelum kegilaannya merenggut kehidupannya di ambang abad baru. Ia meninggalkan goresan yang membelah horison langit yang selama ini di tatap oleh para manusia beriman. The Spok Zarathustra berhasil membelah lautan seperti tongkat Musa yang membelah lautan merah. Nietzsche membelah lautan beku agama, membawa manusia-manusia baru untuk menyebrang kepulau baru pulau tak bertuhan, meninggalkan pulau lama, pulau manusia-manusia pembunuh Tuhan. Pulau tempat Tuhan mati di sana. Atau ia membelah lautan. Agar manusia yang selama ini melihat matahari dari dalam lautan. Dapat melihat jelas bahwa matahari telah mati.
Pada Hari-hari terakhir Nietzsche sebelum ia tidur di pangkuan ibunya. Ia telah menjadi gunung berapi yang sedang meletus. Sebuah bencana yang berjalan singkat, tapi merusak dengan sangat parah. Seperti itulah Nietzsche dalam waktu yang singkat antara masa proses menuju kegilaanya ia mengguncang manusia beriman dengan goresan halusnya. Membuat manusia eropa yang ketakutan dengan rudal-rudal peperangan, menoleh cukup lama kearahnya, yang sedang memainkan musik Dionysus.
Membicarakan Nietszche, memang akan sangat menguras emosi. Saat kau ingin membuktikan bahwa ia Ateis yang super Kafir, di satu sisi jika anda manusia yang berpikir, anda akan merasakan air jernih mengalir kedalam rasio anda. Ada nada –nada setuju yang merambat ke telinga anda. Maka nikmati saja dirinya, maka kau akan merasakan kelupaan diri. Nietszche adalah manusia yang bijak. Maka dengarkanlah setiap suara yang di keluarkannya dengan sangat halus. Nada- nada puitis yang di dendangkannya menggetarkan jiwa. Da anda mendapati dari balik tubuh kemisteriusan spiritual yang sangat jernih.
Tak berhenti di sana. “Pandangilah sejarah” kata Nietzsche. Selama ini manusia modern menganggap Sejarah hanya di peruntukkan untuk hasil ilmu pengetahuan. Yang dipandang berlalu dan tidak akan terulang. Tapi bagi Nietzsche Sejarah harus menghasilkan kebahagiaan bagi manusia.
Dionysus yang pernah menjadi pencerah di zaman Yunani Kuno. Yang memerdekakan manusia-manusia jenius seperti Thales, Anaximenes, Anximandros, Heraklitus, Parmenides, dan Pythagoras yang tergabung dalam “Republic para Genius”. Lalu kecerahan Dionysus itu  meredup ketika terjadi serangan “Dialektika” dari seorang pembawa tragedy bernama Socrates dan pasukannya yang memaksakan Universalistis rasionalitis yang datang menghancurkan keseragaman dan kemerdekaan untuk berpikir.
Pintu dialektika menjadi gerbang bagi pasukan Kristen, yang akan membawa dekadensi yang lebih parah. Pasukan Kristen bagi Nietzsche adalah pasukan Vampirisme moral. Agama ini datang menghisap darah kebudayaan atas nama moralitas. Memaksakan keindahan dan ilmu pengetahuan tunduk kepadanya. Dan pangkal tragedy ini datang dari Socrates seorang ironi yang suka berahasia.

Wahai manusia-manusia yang suka bersujud dihadapan Tuhan. Tetesan air mata dari balik lantunan ketakutan. Pelarian dari segala tubrukan alam. Perlindungan dari segala bentuk menyerah akan kehidupan. Perbuatan skeptis yang membenci kehidupan. Dan memilih untuk berdiam diri bersama dengan Tuhan yang di takutinya. Dari sudut tertinggi gunung Himalaya disanalah manusia Nietzsche memandang kalian dengan rasa iba. 

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon