Dari sudut tertinggi Himalaya.
Nietzsche memandang manusia bertuhan dengan Iba.
NIetzsche |
Menggambarkan seorang manusia bernama Nietzsche
seperti menggambarkan titik putih di lingkaran yang dipenuhi oleh warna hitam.
Menemui manusia Nietzsche akan mengantarkan kita pada sebuah kesenangan yang
unik. Dia seorang penyendiri yang ingin menuju pada Ubermensch. Menghindarkan
diri dari segala rasa Iba. Maka jangan tunjukkan wajah ibamu di depannya atau
jika kau di berikan sesuatu darinya maka jangan kau juga berterima kasih,
baginya rasa iba dan terima kasih itu adalah cara berkehendak kuasa terhadap orang
lain. Di mata Nietzsche itu adalah sesuatu yang negatif.
Selama ini jika kau membaca manusia Nietzsche,
terbayanglah sebuah kegilaan dan keliaran dari musik“Tuhan telah mati” yang
memaksa para manusia beragama untuk menutup telinga. Namun karena musik itu
terlalu indah untuk tidak di mainkan. Maka para manusia abad 21 terpaksa harus
membicarakannya. Jika kau menganggap dirimu bertuhan, dan yakin jika kau punya
Tuhan, bukan yakin nya orang-orang Bego’. Maka Nietzsche ingin membuat anda
bergoyang dengan Musik Dionysus nya. Musik kemabukan, dan Nietzsche menantang
Anda untuk mengukur seberapa sehatkah anda untuk meyakini Tuhan?”. Yang selama
ini pandangan Nietzsche di kotori oleh manusia-manusia sakit yang datang
menyembah Tuhan. Hingga ia pun lalu mengerutkan keningnya, tanda ia Iba. Iba
melihat Tuhan di sembah oleh manusia-manusia budak dan sakit.
Meski ia pun berakhir dengan sangat mulia.
Menyerahkan kehidupannya pada kegilaan, ia gila dengan gila yang mulia, yakni
mengalami penyakit gila yang sebenarnya. Bukan gilanya gila. Yakni kegilaan yang di alami oleh
orang-orang sakit, para manusia budak itu, seperti kata Schopenhauer pada
principium individualis nya. Manusia itu terus saja duduk Khusyu di biduk
perahunya yang sedang di serbu oleh ombak yang siap membelah perahunya.
Tapi manusia pasca Nietzsche bungkam, sebelum
kegilaannya merenggut kehidupannya di ambang abad baru. Ia meninggalkan goresan
yang membelah horison langit yang selama ini di tatap oleh para manusia
beriman. The Spok Zarathustra berhasil membelah lautan seperti tongkat Musa
yang membelah lautan merah. Nietzsche membelah lautan beku agama, membawa
manusia-manusia baru untuk menyebrang kepulau baru pulau tak bertuhan,
meninggalkan pulau lama, pulau manusia-manusia pembunuh Tuhan. Pulau tempat
Tuhan mati di sana. Atau ia membelah lautan. Agar manusia yang selama
ini melihat matahari dari dalam lautan. Dapat melihat jelas bahwa matahari
telah mati.
Pada Hari-hari terakhir Nietzsche sebelum ia tidur
di pangkuan ibunya. Ia telah menjadi gunung berapi yang sedang meletus. Sebuah
bencana yang berjalan singkat, tapi merusak dengan sangat parah. Seperti itulah
Nietzsche dalam waktu yang singkat antara masa proses menuju kegilaanya ia
mengguncang manusia beriman
dengan goresan halusnya. Membuat manusia eropa yang ketakutan dengan
rudal-rudal peperangan, menoleh cukup lama kearahnya, yang sedang memainkan
musik Dionysus.
Membicarakan Nietszche, memang akan sangat
menguras emosi. Saat kau ingin membuktikan bahwa ia Ateis yang super Kafir, di
satu sisi jika anda manusia yang berpikir, anda akan merasakan air jernih
mengalir kedalam rasio anda. Ada nada –nada setuju yang merambat ke telinga
anda. Maka nikmati saja dirinya, maka kau akan merasakan kelupaan diri.
Nietszche adalah manusia yang bijak. Maka dengarkanlah setiap suara yang di
keluarkannya dengan sangat halus. Nada- nada puitis yang di dendangkannya
menggetarkan jiwa. Da anda mendapati dari balik
tubuh kemisteriusan spiritual yang sangat jernih.
Tak berhenti di
sana. “Pandangilah sejarah” kata Nietzsche. Selama ini manusia modern
menganggap Sejarah hanya di peruntukkan untuk hasil ilmu pengetahuan. Yang
dipandang berlalu dan tidak akan terulang. Tapi bagi Nietzsche Sejarah harus
menghasilkan kebahagiaan bagi manusia.
Dionysus yang
pernah menjadi pencerah di zaman Yunani Kuno. Yang memerdekakan manusia-manusia
jenius seperti Thales, Anaximenes, Anximandros, Heraklitus, Parmenides, dan
Pythagoras yang tergabung dalam “Republic para Genius”. Lalu kecerahan Dionysus
itu meredup ketika terjadi serangan
“Dialektika” dari seorang pembawa tragedy bernama Socrates dan pasukannya yang
memaksakan Universalistis rasionalitis yang datang menghancurkan keseragaman
dan kemerdekaan untuk berpikir.
Pintu dialektika
menjadi gerbang bagi pasukan Kristen, yang akan membawa dekadensi yang lebih
parah. Pasukan Kristen bagi Nietzsche adalah pasukan Vampirisme moral. Agama
ini datang menghisap darah kebudayaan atas nama moralitas. Memaksakan keindahan
dan ilmu pengetahuan tunduk kepadanya. Dan pangkal tragedy ini datang dari
Socrates seorang ironi yang suka berahasia.
Wahai manusia-manusia
yang suka bersujud dihadapan Tuhan. Tetesan air mata dari balik lantunan
ketakutan. Pelarian dari segala tubrukan alam. Perlindungan dari segala bentuk
menyerah akan kehidupan. Perbuatan skeptis yang membenci kehidupan. Dan memilih
untuk berdiam diri bersama dengan Tuhan yang di takutinya. Dari sudut tertinggi
gunung Himalaya disanalah manusia Nietzsche memandang kalian dengan rasa iba.