Filsafat Plotinus adalah filsafat tentang “Yang Satu”. “Yang Satu” dalam puncak wujud, dan lebih tinggi dari padanya. Dari Yang Satu itu keluar akal, dan dari akal keluar jiwa. Demikianlah Plotinus memulai dengan trinitas yang terus berkembang, dan puncaknya adalah “Yang Satu”. Inilah yang membedakan filsafat Plotinus dari filsafat Plato dan Aristoteles. Sedangkan pengertian “Yang Satu” menurut plotinus tidak begitu jelas dan tegas. Kadang-kadang ia difahami sebagai Allah, kadang-kadang difahami sebagai kebaikan, dan kali yang lain difahami sebagai yang ketiga dari yang awal. Apapun adanya “Yang Satu” itu kebih tinggi dari wujud (being).
Untuk lebih mengenal biografi Plotinus silakan ke artikel berikut Biografi Plotinus, lanjut. Jadi
bagaimana wujud datang dari “Yang Satu” itu? Wujud pertama yang muncul
dari “yang pertama” adalah akal. Akal memancar darinya karena ia adalah
gambaran dari “Yang Satu” itu. Atau bentuk tak berbeda darinya. Kemudian
dari akal muncul jiwa yang merupakan gambaran paling dekat dengannya.
Akan tetapi bagaimana manusia mengetahui bahwa ia merupakan satu bagian
dari jiwa universal? Dan bagaimana ia sampai pada pengetahuan tentang
akal dan tentang alam ilahi yang ada jauh di atas akal? Mari kita lihat
penjelasan Plotinus tentang pengetahuan ini, melalui cara “debat”. Ini
akan kita ketahui melalui terjemahan Arab kuno yang diperbaharui oleh
al-Kindi.
“Sesungguhnya
aku kadang-kadang menyendiri dengan jiwaku. Aku melepaskan badanku,
akupun masuk ke dalam zatku, kembali kepadanya seraya keluar dari
segalanya. Maka jadilah aku ilmu (pengetahuan), ‘âlim (yang mengetahui)
dan ma’lûm (yang diketahui). Maka aku pun melihat kebaikan, keindahan
dan sinar terang pada zatku, sesuatu yang aku kagumi. Aku pun tahu bahwa
aku merupakan bagian dari alam Ilahi utama dan mulia yang memiliki
kehidupan aktif. Ketika aku yakin terhadap semua itu, aku pun menaikkan
zatku dari alam itu ke alam ilahi, aku pun selalu menjadi jatuh ke
dalamnya, terikat dengannya. Aku berada di atas alam rasional
seluruhnya. Aku pun melihat seolah aku berada pada posisi keilahian yang
mulia itu. Di sana aku melihat sinar dan keagungan yang tidak dapat
dideskripsikan lisan dan tidak pernah didengar oleh telinga. Bila aku
tenggelam dalam cahaya dan keagungan itu, aku tidak mampu menanggungnya,
jatuhlah aku dari akal ke ide dan pandangan. Bila aku berada di alam
ide dan pandangan, aku pun terhalang–oleh ide itu–dari cahaya dan
keagungan tersebut. Aku pun menjadi heran bagaimana aku dapat terjatuh
dari kedudukan tinggi Ilahi dan menjadi berada pada posisi ide…”
Filsafat
Islam mengenal Plotinus dari buku ini. Akan tetapi kadang-kadang buku
tersebut disalah fahami penisbatannya kepada Aristoteles. Hal itu
disebabkan karena penyelarasan antara dua orang bijak, Plato dan
Aristoteles, yang dimulai dari al-Farabi sampai Ibnu Sina. Mereka ini
mengatakan tentang tingkatan-tingkatan wujud dan keberasalannya dari
yang pertama.
Tuhan
Sang
sumber segala sesuatu, yang dinamakannya “ Tuhan”, Yang Satu, adalah
sesuatu yang tidak terdefinisikan, mirip dengan Parabrahman, dalam
ajaran Hindhu. Ia adalah sesuatu yang tidak dapat dinamakan, tidak dapat
dibayangkan, sesuatu yang dapat dipahami dengan logika negatif (via
negativa).
Karena tidak bisa dinamakan maka” Tuhan”, pun sebenarnya bukan nama yang layak. Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak bisa menghindari pemakaian kata-kata.
Karena tidak bisa dinamakan maka” Tuhan”, pun sebenarnya bukan nama yang layak. Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak bisa menghindari pemakaian kata-kata.
Konsep”
Tuhan”, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam ajaran monoteisme, ”
Tuhan”, bukan sesuatu dengan daya kreatif yang menciptakan alam
semesta. Alam semesta mengalir, atau memancar darinya sebagai sebuah
keniscayaan. Ia adalah sumber dari segala sesuatu dan tidak membutuhkan
segala sesuatu. Ia mampu mencukupi dirinya sendiri. Segala sesuatu
memancar dari dirinya secara otomatis. Pandangan ini jangan dilihat
seperti materi penciptaan alam semesta ada pada dirinya, sehingga dari
“tubuhnya” ia menciptakan alam semesta, seperti yang dijelaskan oleh
mitologi Babilonia misalnya, yang mengatakan bahwa alam semesta dibentuk
dari Tiamat, naga raksasa yang mengandung semua dewa. Pandangan ini
lebih baik dijelaskan seperti hubungan antara penari (sang pencipta)
dengan tariannya (ciptaan). Atau bayangkan sang pencipta adalah seorang
pemain musik, dan musiknya adalah ciptaannya.
Kehendak
bebas dalam konsepsi Plotinus diletakkan bukan di ” Tuhan”, melainkan
di Nous, yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah.
Pandangan
ini juga bisa dilihat dari kacamata Panteisme. Panteisme Plotinus
kurang lebih sama dengan panteisme Spinoza. Panteisme tidak dilihat
dengan pandangan sempit bahwa alam adalah Allah. ” Tuhan”, ada dalam
setiap ciptaan, tetapi semua ciptaan bukanlah ” Tuhan”,. Ciptaan sebagai
pancaran dari ” Tuhan”,, seperti bayang-bayang dari dia, yang lebih
tidak sempurna darinya. Dan ketidak sempurnaan ini bertingkat-tingkat
sampai kepada hirarki yang paling bawah yaitu materi.
Emanasi
ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang berada di dalam ruang dan
waktu. Ruang dan waktu justru adalah hasil dari emanasi. Ruang dan waktu
adalah pengertian dari dunia materi yang merupakan emanasi terakhir.
Nous
Nous atau intelek atau akal adalah emanasi pertama dari ” Tuhan”, Sebagai emanasi yang paling dekat dengan ” Tuhan”. Ia
memiliki kemampuan untuk berkontemplasi tentang ” Tuhan”. Ia adalah
sesuatu yang bisa memikirkan tentang subjek, yaitu dirinya sendiri, yang
sedang berpikir, dan objek, sesuatu yang sedang dipikirkan.
Sebagai
emanasi dari ” Tuhan”, ia kurang sempurna dari ” Tuhan”,. Nous, tidak
lagi satu, melainkan telah mengalami keterpisahan satu sama lain. Ia
benar dalam dirinya sendiri, dan mutlak pada dirinya sendiri, seperti
yang terlihat dari fenomena suara hati. Keterpisahan inilah yang
melahirkan otonomi.
Nous
sebagai prinsip yang otonom, berdikari. Keotonoman ini melahirkan
kehendak bebas. Ia bisa berkontemplasi ke atas ke ” Tuhan”, namun ia
juga bisa “jatuh” ke bawah, menuruti psykhe. Terlihat di sini kalau
Plotinus mau memasukkan konsep jatuhnya Adam ke dalam dosa ke dalam
filsafatnya. Bedanya, ia tidak meletakkan label dosa pada proses
jatuhnya nous ke psykhe, melainkan sekedar sesuatu yang alami yang
merupakan keniscayaan kehidupan yang beremanasi dari ” Tuhan”,
Psykhe
Emanasi
yang pertama dari ” Tuhan”, adalah dasar yang pertama (arkhe) yaitu
nous, dan emanasi berikutnya adalah lokasi (topos), yaitu psykhe. Lokasi
memungkinkan emanasi berikutnya yaitu materi memiliki tempat. Psykhe
ini berfungsi seperti benih yang melahirkan materi, oleh karena itu ia
dinamai logoi spermatikoi.
Psykhe
adalah prinsip di pertengahan. Ia mampu berkontemplasi ke atas,
memberikan informasi dari dunia materi kepada nous, dan di lain pihak
secara aktif beremanasi ke bawah, menciptakan dunia materi.
Psykhe ini bisa dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri dengan dunia materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Psykhe ini bisa dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri dengan dunia materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Manusia
dijelaskan oleh Plotinus dengan menggunakan nous dan psykhe ini. Ia
memang bisa berkontemplasi ke ” Tuhan”, karena ia memiliki nous, tetapi
ia juga memiliki tarikan ke bawah ke materi karena ia memiliki psykhe.
Psykhe
(atau jiwa) di sini tidak sama dengan jiwa dalam pengertian Plato. Jika
Plato melihat bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh dan baru bisa
dibebaskan dengan kematian. Plotinus sebagai
seorang mistikus, melihat kemungkinan bahwa jiwa bisa melepaskan diri
dari tubuh. Psykhe secara hirarkis berada di atas materi, sehingga ia
mampu menguasai materi.
Materi
Materi
adalah emanasi terakhir yang paling jauh dari ” Tuhan”. Ia adalah
emanasi dari jiwa dunia (anima mundi). Materi yang berada di hirarki
terbawah sepenuhnya pasif, menerima pencurahan dari atas. Ia karena
sepenuhnya pasif, tunduk pada hukum deterministik.
Materi
tidak sepenuhnya jahat. Ia jahat kalau dilihat dari hubungannya dengan
prinsip di atasnya. Menurut Plotinus, sumber kejahatan adalah keinginan
psykhe untuk terus mencipta. Ini juga bukan sesuatu yang dikatakan dosa,
karena psykhe memang memiliki kecenderungan seperti itu. Karena
keterikatannya pada materilah psykhe lupa pada ikatannya di atas, kepada
nous. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh orang yang sudah terperangkap
oleh nafsu sehingga tidak bisa berpikir rasional.
Plotinus
dengan ajaran emanasinya tidak menjelaskan sumber kejahatan berasal
juga dari sang pencipta, seperti halnya ajaran Gnostik, yang melihat
alam ini jahat karena Demiurgos, sang pencipta alam semesta, adalah
jahat. Plotinus memotong akar kejahatan sampai pada psykhe saja. Pada
nous sendiri sudah tidak ada kejahatan, yang ada hanya keterpisahan.
Katharsis
Seperti
telah dikatakan sebelumnya, Plotinus juga adalah seorang mistikus dan
mengklaim mengalami pengalaman mistik di dalam hidupnya. Dengan demikian
ia tidak hanya tertarik untuk berfilsafat namun mencari jalan untuk
kembali ke” Tuhan” atau bisa disebut dengan proses pencerahan (katharsis).
Materi
sebagai bagian yang paling jauh dari ” Tuhan” adalah bagian yang paling
“gelap” atau jahat. Di sini terlihat pengaruh aliran Gnostik yang
melihat dunia sebagai dualisme yang mengatakan bahwa materi pada
dasarnya adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang menerima
penciptaan dari atas, dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di
atasnya (yaitu psykhe) ke bawah.
Dengan demikian, usaha katharsis
yang pertama adalah melawan materi, yang dalam prakteknya bisa
dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam bahasa Latin ini disebut
dengan purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan diri dari materi.
Hal
ini adalah persiapan untuk melakukan langkah kedua, yaitu pencerahan.
Pengaruh filsafat timur terlihat di sini. Pencerahan artinya melepaskan
diri dari persepsi indrawi, dan memenuhi diri dengan pengetahuan tentang
idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan Aristoteles, yaitu episteme.
Langkah
yang terakhir, adalah penyatuan diri dengan ” Tuhan”,, yang diberi nama
ekstasis oleh Plotinus. Ekstasis adalah sebuah upaya mengatasi
keterpisahan atau diferensiasi dari Nous, yang melihat diri sebagai
subjek. Jika ia bisa mengatasi batasan diri ini, dengan melihat bahwa
aku sama dengan dia, sama dengan semua, dengan demikian juga adalah ”
Tuhan”. Di sinilah terlihat bahwa Plotinus pada dasarnya adalah seorang
mistikus, dan ia menyusun keseluruhan filsafatnya untuk menuju ke sini.
Pada titik ini ajarannya sama dengan ajaran mistik yang lain, baik dari
tradisi Timur Hindu Buddha, tradisi Barat, atau pun yang di Kejawen
dikenal dengan manunggal ing kawulo gusti, menyatu dengan Allah.