Membentuk Agama Modern
Dalam siklus kehidupan manusia yang
kolot dan konservatif hal yang sangat primordial adalah agama. Agama merupakan
salah satu aspek yang membuat manusia secara psikologis tak lebih dari seorang
balita yang selalu mengharap dan memohon. Manusia yang kadang kala didalam
kehidupannya selalu terobsesi atau mengharap kebahagian surgawi yang sifatnya
imajiner. Konsep eskatologisnya
yang hanya berupa fantasi belaka dan sugesti-sugesti yang sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup manusia.
Agama pada dasarnya adalah salah
satu aspek yang secara implisit menyiksa dan menkambing hitamkan manusia.
Terkadang manusia merasa hidup didalam kubangan rasa bersalah dan was-was
sehingga membuatnya bagai orang yang terserang penyakit jiwa. Hidup ini
hakikatnya adalah sebuah kebahagiaan, tetapi karena terkungkung oleh aturan
yang sejatinya hanya berlaku ribuan tahun yang lalu di tempat yang gersang dan
berpasir sehingga membuat kehidupan seakan sangat sempit dan kolot. Dogma yang
memandang manusia sebagai makhluk yang kotor akan dosa yang diperbuatnya dan
mesti dibersihkan sesuai dengan ketetapan agama. Mengiming-imingi manusia
dengan balasan berupa pahala atas
perbuatan baik yang dilakukannya dan menjadi kunci menuju surge. Keyakinan
teologis (tuhan) yang dipahami secara keliru, meyakini bahwa tuhan berada dalam
agama dengan segala ke-Maha-maha-Nya. Padahal tuhan tidak demikian karena Dia
tidak bertempat dan tidak berdaya didalam kesendirian-Nya.
Keyakinan yang keliru akan menjadi
pemicu lahirnya kelompok-kelompok fundamental yang secara inheren bersikap
ortodoks. Mengaku dekat dengan tuhan, ajaran yang dibawanya berasal dari tuhan
dan apa yang dilakukannya itu benar. Belakangan fundamentalisme ini memiliki
pengaruh yang sangat penting utamanya di awal abad 21 ini. Karen Armstrong
dalam Bukunya Berperang Demi Tuhan mengawali
tulisannya dengan penjelasan mengenai fundamentalisme tersebut. Utamanya ketika
peristiwa sebelas September. Menurut Armstrong yang bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut adalah fundamentalisme yang berusaha mengembalikan
eksistensi agama yang termarjinalkan dari panggung ke-modern-an.
Agama yang selalu berangkat dari
kata tuhan sampai kembali kepada tuhan merupakan putaran yang akan selalu hadir
dalam ajaran agama. Agama mengajarkan bahwa manusia berasal dari tuhan dan akan
kembali kepadanya. Tetapi untuk kembali
pada tuhan tubuh ini mesti di bersihkan dari dosa dengan memperbanyak amal
baik. Padahal keduanya –amal dan dosa- tidak menjadi pengaruh terhadap hubungan
personal dengan tuhan. Karena amal dan dosa hanya berupa argumentasi apologistik
agama yang lahir untuk membekukan pemikiran manusia demi eksisnya agama di
panggung dunia modern.
Peristiwa-peristiwa demikian terjadi
akibat dari produk pemikiran hitam putih
kaum agamawan. Sudut pandang pemikiran yang terlalu kaku, terpaku oleh aturan
yang hanya berlaku ribuan tahun yang lalu. Sudah selayaknya paradigma tersebut
harus ditanggalkan demi tercapainya harmonisasi kehidupan. Dogma yang terlalu
kolot mesti direkonstruksi.
Rekonstruksi terhadap aturan agama akan
menjadi tolak ukur lahirnya agama modern. Agama yang akan menjadi orientasi
kehidupan manuisa. Bukan agama yang hanya akan menimbulkan ketakutan,
kekhawtiran, intimidasi, resistensi, kekeraan, penganiayaan, moralitas yang
buruk, dan segala bentuk keburukan yang
menjadi fenomena keseharian. Melainkan suatu ketenangan dan kebahagiaan, hidup
berdampingan tanpa ada intimidasi dalam segala aktivitas bahkan dalam melakukan
suatu bentuk peribadatan. Inilah
kebahagiaan surgawi yang diharapkan manusia. Karena sesunggunya
kebahagian surgawi dan penderiaan neraka hanya ada didalam dunia yang fana.