Senin, 02 November 2015

Membentuk Agama Modern



Membentuk Agama Modern


Dalam siklus kehidupan manusia yang kolot dan konservatif hal yang sangat primordial adalah agama. Agama merupakan salah satu aspek yang membuat manusia secara psikologis tak lebih dari seorang balita yang selalu mengharap dan memohon. Manusia yang kadang kala didalam kehidupannya selalu terobsesi atau mengharap kebahagian surgawi yang sifatnya imajiner. Konsep eskatologisnya yang hanya berupa fantasi belaka dan sugesti-sugesti yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
Agama pada dasarnya adalah salah satu aspek yang secara implisit menyiksa dan menkambing hitamkan manusia. Terkadang manusia merasa hidup didalam kubangan rasa bersalah dan was-was sehingga membuatnya bagai orang yang terserang penyakit jiwa. Hidup ini hakikatnya adalah sebuah kebahagiaan, tetapi karena terkungkung oleh aturan yang sejatinya hanya berlaku ribuan tahun yang lalu di tempat yang gersang dan berpasir sehingga membuat kehidupan seakan sangat sempit dan kolot. Dogma yang memandang manusia sebagai makhluk yang kotor akan dosa yang diperbuatnya dan mesti dibersihkan sesuai dengan ketetapan agama. Mengiming-imingi manusia dengan balasan berupa pahala atas  perbuatan baik yang dilakukannya dan menjadi kunci menuju surge. Keyakinan teologis (tuhan) yang dipahami secara keliru, meyakini bahwa tuhan berada dalam agama dengan segala ke-Maha-maha-Nya. Padahal tuhan tidak demikian karena Dia tidak bertempat dan tidak berdaya didalam kesendirian-Nya.
Keyakinan yang keliru akan menjadi pemicu lahirnya kelompok-kelompok fundamental yang secara inheren bersikap ortodoks. Mengaku dekat dengan tuhan, ajaran yang dibawanya berasal dari tuhan dan apa yang dilakukannya itu benar. Belakangan fundamentalisme ini memiliki pengaruh yang sangat penting utamanya di awal abad 21 ini. Karen Armstrong dalam Bukunya Berperang Demi Tuhan  mengawali tulisannya dengan penjelasan mengenai fundamentalisme tersebut. Utamanya ketika peristiwa sebelas September. Menurut Armstrong yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah fundamentalisme yang berusaha mengembalikan eksistensi agama yang termarjinalkan dari panggung ke-modern-an.
Agama yang selalu berangkat dari kata tuhan sampai kembali kepada tuhan merupakan putaran yang akan selalu hadir dalam ajaran agama. Agama mengajarkan bahwa manusia berasal dari tuhan dan akan kembali kepadanya. Tetapi  untuk kembali pada tuhan tubuh ini mesti di bersihkan dari dosa dengan memperbanyak amal baik. Padahal keduanya –amal dan dosa- tidak menjadi pengaruh terhadap hubungan personal dengan tuhan. Karena amal dan dosa hanya berupa argumentasi apologistik agama yang lahir untuk membekukan pemikiran manusia demi eksisnya agama di panggung dunia modern.
Peristiwa-peristiwa demikian terjadi akibat dari produk  pemikiran hitam putih kaum agamawan. Sudut pandang pemikiran yang terlalu kaku, terpaku oleh aturan yang hanya berlaku ribuan tahun yang lalu. Sudah selayaknya paradigma tersebut harus ditanggalkan demi tercapainya harmonisasi kehidupan. Dogma yang terlalu kolot mesti direkonstruksi.
Rekonstruksi terhadap aturan agama akan menjadi tolak ukur lahirnya agama modern. Agama yang akan menjadi orientasi kehidupan manuisa. Bukan agama yang hanya akan menimbulkan ketakutan, kekhawtiran, intimidasi, resistensi, kekeraan, penganiayaan, moralitas yang buruk, dan segala  bentuk keburukan yang menjadi fenomena keseharian. Melainkan suatu ketenangan dan kebahagiaan, hidup berdampingan tanpa ada intimidasi dalam segala aktivitas bahkan dalam melakukan suatu bentuk peribadatan. Inilah  kebahagiaan surgawi yang diharapkan manusia. Karena sesunggunya kebahagian surgawi dan penderiaan neraka hanya ada didalam dunia yang fana.






Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon