Pada hakekatnya Universitas (Perguruan Tinggi) adalah masyarakat
ilmiah (para dosen, mahasiswa dan para pelaksana teknis dalam
lingkungan perguruan tinggi) yang bertugas memajukan martabat manusia
dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran dan pelayanan, yang
dapat diberikan kepada lingkungan setempat, nasional, regional dan
internasional. Agar tugas ini dapat dilaksanakan dengan baik, oleh
negara atau yayasan pendirinya kepada Universitas diberikan otonomi
kelembagaan dan kebebasan akademik. Otonomi kelembagaan itu
membuat Universitas dapat menjalankan tugas utamanya dengan bebas,
baik misalnya dalam penerimaan mahasiswa, pengolahan dan pengelolaan
program studi dan metode, pemilihan proyek penelitian, maupun dalam
pengelolaan anggaran. Tentulah kebebasan itu ada juga batasnya. Namun
pada azasnya, negara atau yayasan pendiri perlu menjamin tidak akan
melibatkan diri pelaksanaan tugas yang mulia itu.
Kebebasan akademik pada dasarnya bersumber pada martabat
manusia yang memiliki kebebasan dasar, katakanlah hak azasi, yaitu
kebebasannya dalam menentukan nasibnya sendiri, kecuali
keterbukaannya sendiri kepada Yang Transenden, Allah, sumber segala
sesuatu baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan. Keterbukaan
kepada Yang Transenden itu terungkap dalam kecenderungannya untuk
senantiasa mencari, menemukan dan mengkomunikasikan kebenaran dalam
setiap bidang pengetahuan, sampai kepada akarnya yang terdalam.
Kebebasan akademik dapat dirumuskan sebagai kebebasan para pengajar
dan peneliti dalam lembaga pendidikan tinggi untuk mengkaji dan
mendiskusikan masalah yang menyangkut ilmu pengetahuannya dan untuk
mengungkapkan kesimpulan-kesimpulannya melalui publikasi dalam forum
yang sesuai tanpa campur tangan atasannya, kecuali jika oleh lembaga
profesi yang berwewenang metodenya dinilai tidak memadai atau
bertentangan dengan etika profesi. Maka kompetensi ilmiah dan etika
profesi secara alami membatasi ruang gerak seorang pengajar atau
peneliti.
Kebebasan akademik terkait dengan hakekat universitas sebagai forum
untuk bertanya, termasuk mempertanyakan asumsi yang biasanya tidak
ditanyakan. Semua itu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran dan
memberi kepastian mengenai sumber dari mana pengetahuan diperoleh.
Dalam konteks itu kejujuran merupakan salah satu prinsip yang
harus ada bagi tegaknya kebebasan akademik dan kelangsungan hidup
universitas. Sekaligus juga harus dicatat bahwa hasil penelitian
seorang anggauta masyarakat akademis pada akhirnya tidak bisa lepas
sama sekali dari, dan sangat tergantung kepada, hasil penelitian
orang lain (sebelumnya) juga. Ilmu pengetahuan merupakan akumulasi
prestasi banyak pribadi yang secara langsung atau tidak langsung
telah membentuk kerjasama tak kunjung henti menuju kepada
pengungkapan kebenaran.
Sebenarnya, otonomi kelembagaan dan kebebasan akademik ini terkait
erat juga dengan otonomi ilmu pengetahuan. Kesadaran akan hal
ini, atau pengakuan akan otonomi itu, baru terbentuk sesudah melalui
proses yang yang panjang, khususnya dalam kaitannya dengan
(kekuasaan) keagamaan. Dalam sejarah dikenal, misalnya, peristiwa
Galileo yang ternyata harus dicacat sebagai konflik yang tidak perlu
terjadi antara ilmu pengetahuan dan agama. Otonomi ilmu pengetahun
pada akhirnya disadari merupakan konsekuensi logis dari otonomi
manusia yang memiliki akal-budi. Akal-budi, yang diakui sebagai
rahmat istimewa dari Yang Transenden kepada manusia, ternyata mampu
menemukan hukum-hukum alam dan hukum-hukum yang berlaku dalam
masyarakat manusia yang imanen. Lebih konkrit lagi, cabang-cabang
ilmu dalam ilmu pengetahuan ternyata memiliki metodenya
sendiri-sendiri, yang sifatnya khas apalagi dalam konteks cabang ilmu
yang bersangkutan. Oleh kemajuan ilmu pengetahuan, seakan-akan
dunia dibebaskan dari pengaruh agama, dalam arti agama dan apa yang
sakral tidak lagi menguasai masyarakat manusia dan pandangan tentang
manusia. Sebagai akibatnya muncul gerakan-gerakan yang berusaha
memberi warna agama (tertentu) kepada ilmu pengetahuan. Namun
pelajaran berharga dari peristiwa Galileo adalah, bahwa ilmu
pengetahuan berurusan dengan kebenaran yang hanya dapat diperoleh
melalui kegiatan penalaran yang sistematis dan koheren, sedang agama
berurusan dengan kebenaran iman, yang hanya dapat diperoleh dalam
sikap hati yang tulus membuka hati kepada Yang Transenden, Allah yang
maha gaib itu. Menurut Yohanes Paulus II, jika dilaksanakan dengan
cara yang sungguh-sungguh ilmiah dan sesuai dengan norma moral,
sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan iman.
Truth cannot contradict truth.
Setelah menguraikan prinsip-prinsip yang mendasari sebuah unversitas,
sekarang dapat dibahas misi universitas dan tantangannya pada zaman
ini.
Misi utama universitas adalah humanisasi (pemanusiaan). Bagi
setiap orang yang menggabungkan diri dalam masyarakat akademis itu
sebagai mahasiswa, misi humanisasi dialami sebagai proses
pendidikan, yaitu proses yang memungkinkan mahasiswa itu
membangun visi kehidupan, yaitu pandangan menyeluruh mengenai posisi
dan peranannya di masa depan dalam masyarakat dan bangsanya. Dengan
demikian ia dapat berharap akan menjadi manusia yang berkepribadian
utuh, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, serta
memiliki wawasan yang terbuka dan dewasa. Dalam konteks itu
pendidikan sekaligus berarti pembudidayaan dan pemberdayaan.
Bagi masyarakat dan bangsa yang dilayaninya, misi humanisasi terwujud
dalam keterlibatannya dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”,
dalam proses pewarisan nilai-nilai budaya yang luhur kepada generasi
penerus, serta dalam keikut-sertaannya dalam mewujudkan ketertiban
dunia. Semua itu dilakukan oleh Universitas antara lain melalui
dialog dan kajian antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dengan
mengembangkan dialog budaya dan mengkaji masalah-masalah manusia
dewasa ini, dan dengan mendorong dialog yang jujur antara iman dan
akal-budi. Itu semua merupakan tantangan konkret universitas zaman
ini.
Ditulis oleh : F Soesianto