Agama dan moralitas
seumber gambar coffin3.wordpress.com |
Dalam
sebuah diskusi mingguan yang di adakan hmj akidah filsafat uin alauddin
Makassar, agama seakan tak memiliki lubang lagi untuk bersembunyi. Agama seakan
kehilangan alasan akan keberadaanya. Ironis dan sadis mungkin terlalu naïf jika
saya tak mengakuinya demikian. Agama ditelanjangi dan diperkosa serta ternodai
kesucianya. Tanpa belas kasihan pakaian agama dirobek dan dibakar.
Kata pemateri waktu itu, adalah
sebuah kewajaran masa masa kami melakukan itu. Karena masa masa seperti sekarang
inilah kita senantiasa mencari jati diri keberagamaan kita. Berikut apa yang
sedikit penulis dapatkan dari diskusi tersebut.
Agama, selalu menjadi perdebatan
tematik, dilematik dan krusial. Mengapa? Karena memang demikian adanya. Sebagai
mahluk yang mengakui adanya Tuhan dan beragama, maka kita tak akan bbisa
menghindar dari permasalahan keagamaan.
Misalnya ketika kita mencoba
menelusuri asal usul agama, kita menemukan bahwa agama lahir dari sebuah
kekecewaan. Ketika kita mendekati agama secara definitive, “a” berarti tidak, “gama” berarti kacau, jadi agama adalah
tidak kacau. Namun dalam realita
banyak kekacaun kekacauan yang berkedok pada kepentingan agama. Justru
jangan sampai konsep agama berbalik menajadi
gama-gama yang merusak.
Agama hadir memberikan sebuah ajaran cinta kasih atas sesama dan menyembah Tuhan yang
satu. Tuhan semesta alam yang hanya Dia yang layak untuk disembah. Agama kemudian memberikan sebuah imbalan
unik untuk perbuatan manusia, hukum terhadap perilaku. Misalnya yang baik mendapat pahala dengan tropinya,
surga. Dan ketika melakukan perbuatan jahat dicap buruk berdosa dengan ganjaran
tur dineraka. Demikian setiap
tindak tanduk manusia diatur dengan sangat rapih dan tak terbantahkan. Apalagi jika itu sudah masuk ke
dalam tatanan moral, baik dan buruk.
Agama juga datang dengan wahyu untuk menjelaskan apa yang belum terjelaskan,
mendahului kemampuan rasio manusia dalam mengeksplorasi alam, memberikan
gambaran garis besar semesta. semakin ke depan, wahyu semakin relevan
dengan kehidupan modern. dengan berbagai bukti yang telah diungkapkan oleh para
pakar dibidangnya, utamanya sains.
Agama kemudian terlihat sangat sempurna memberikan dorongan kepada manusia
untuk berbuat baik dan menghindari yang
buruk. Ada sebuah aforisme begini, perilaku seseorang ditentukan oleh
penjiwaan keagamaan. Sehingga ada implikasi bahwa agama mengotoriter perilaku
manusia. dengan demikian perilaku manusia hanya merupakan refleksi tuntutan
agama. Jika penghayatan terhadap agama tidak baik-tidak memperhatikan tuntutan
agama dengan baik- maka perilaku manusia tidak akan baik. Jadi, manusia melakukan semua itu semata mata karena
ganjaran, baik karena surga dan buruk menghindari neraka, dengan jaminan bahwa
keduanya nyata diakhirat kelak.
Namun bagaimana jika penulis mencoba menawarkan sebauh solusi yakni dengan
menerapkan kaidah emas ala kant.
Agama kita gantikan dengan
moralitas. Lepaskan agama. Dikatakan
bahwa tanpa agama pun manusia sebenarnya bisa hidup bahagia, tanpa perlu
diimingi-imingi pahala dan
takut surga untuk berbuat baik dan menghindari yang jahat. Dan itu benar
adanya. Bahkan terkadang penganut agama justru menjadi radikal dan fundamentalisme. Bukan kah perbuatan tanpa pamrih itu lebih luhur.
Bagaimana caranya, berikut penjelasanya. Ketika berbuat sesuatu, kita harus
membuat kaidah sendiri, misalnya ketika saya mencuri, saya kembalikan lebih
dahulu kepada diri saya. Ketika saya kecurian apakah saya rela. Tanpa melihat secara umum terlebih dahulu, jika kecurian pasti
sangat tidak menyenangkan, menyakitkan dan menjengkelkan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa saya tidak
suka, maka jangan lakukan.
Dengan menetapkan suatu perbuatan demikian kita sudah menetapkan
sebuah kaidah bahwa, mencuri itu
tidak baik. Dan secara universal kaidah itu akan bisa diterima. Dengan demikian
kita melakukan hal itu atas dasar keinginan nurani terdalam tanpa pengaruh dari
dogmatisme agama. Tanpa agama kita dapat mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk dengan menggunakan kaidah diatas.
Silahkan anda memilih. Jika agama mengatakan. Penjiwaan terhadap agama berimbas perilaku.
Maka moralitas tak membutuhkan itu. Dengan menciptakan kaidah universal, kita
sudah mampu hidup dengan baik.