Cangkul-cangkul pemikir pada mega
proyek filsafat menggali misteri Alam
Dari jaman
mitologi Yunani bahkan dari zaman manusia pertama bereksistensi sampai yang
kita sebut zaman kontemporer. Alam adalah objek yang paling misterius untuk di
gali, di ungkap dan menjadi pekerjaan rumah yang tidak akan membuat siapapun
akan lulus. Mulai dari zaman para nabi, filosof, ilmuwan, hingga subjek-subjek
yang mengaku merasakan Tuhan belum juga bisa mengungkap apa, bagaimana,
mengapa, kemana, dimana, kapan, dan dari mana alam ini sampai tuntas.
Misalnya sendiri
di bidang filsafat. Para filosof membuat sebuah mega proyek untuk menguak alam
ini. Berbagai bentuk kerifan mereka capai. Orang Yunani mitologi,
mengait-ngaitkan peristiwa yang terjadi di alam semesta dengan kehendak
dewa-dewi. Lalu datanglah Thales
misalnya mengajukan Tanya yang ingin merasionalkan mitologi. “Apa Arche dari
alam semesta ini?”. Air katanya. Lalu datanglah para filsuf Milesian yang
menanggapi pendahulunya, angin menurut aniximenes dan to aperion menurut
Anaximander. Lalu kemudian di Elea, dua filsuf lalu seolah terserang virus mega
proyek filsafat, meraka mengajukan Tanya. Bagaimana Alam ini bergerak.
Heraklitus mengatakan “segala sesuatunya berubah.” Lalu datang kemudian
Parmenides dengan membawa antitesa dari tesis Heraklitus. Parmenides yakin “
Segala sesuatunya tak berubah dia tetap.” Lalu datanglah dua sejoli yang
mensintesiskan pemikiran para filsuf Elea. Demokritus dan Leukippus mengajukan
pemikiran atomisme, bahwa segala sesuatunya di susun oleh Atom yang saling
bertubrukan dan membentuk suatu bentuk. Air, angin, api dan tanah semuanya
disusun oleh Atom. namun Kedatangan atomisme dua sejoli ini belum juga bisa
memuaskan hasrat manusia untuk mengungkap secret dari alam ini.
Mega proyek
Filsafat terus saja berjalan. Alam sudah di coba untuk di gali oleh para filsuf
dengan berbagai cangkul pemikiran. Namun semakin cangkul itu menggali.
Kedalaman Alam itu semakin dalam. Semakin filsuf mengemukakan jawabannya,
semakin pula timbul berjuta Tanya.
Kerja penggalian
ini kemudian berlanjut di zaman klasik. Dimana para filsuf menemukan Alam ini
terlalu luas dan dalam untuk di cangkul oleh akal. Maka muncullah kalimat “Gnauti
Seauto.” Kenali dirimu maka akan terungkap rahasia alam semesta ini. Mengapa
bisa?, karena Tuhan telah menggerakkan kebijaksanaannya untuk membuat alam mikrokosmos
pada manusia. Universum makrokosmos ada pada diri manusia. Matahari, bulan,
bintang, bahkan Galaksi semuanya ada pada diri mikrokosmos manusia. Alam yang
ada pada diri manusia memiliki luas yang sama dengan alam makrokosmos, bahkan
keluasan manusia itu dapat memberi ruang bagi kehadiran Tuhan. Maka dari
sinilah, Socrates mesti meminum racun kearifannya, Plato memilih untuk tidak
membagi cintanya pada Filsafat, Aristoteles mesti menghadapi kematian. Demi
memperjelas siapa manusia itu?. Siapa alam itu?.
Setelah mereka,
mega proyek Filsafat memiliki dua galian. Para Filsuf membagi dirinya bekerja
untuk menggali galian alam makrokosmos dan filsuf lainnya menggali galian alam
mikrokosmos. Belakangan para bijak yang menggali alam makrokosmos mengambil cangkul-cangkul
yang baru dan berbeda-beda. Ada filsuf yang memiliki cangkul sains, cangkul
astronomi, cangkul geologi, cangkul geografi, dan cangkul-cangkul yang lainnya.
Tak beda pula dengan para bijak di galian alam mikrokosmos. Mereka juga
memiliki cangkul baru, ada yang memakai cangkul psikologi, cangkul etika,
cangkul moralitas,cangkul ekonomi, cangkul politik, cangkul sastra, cangkul
estetika dan cangkul-cangkul yang lainnya. namun apapun nama cangkulnya, bentuk
cangkul itu tetap tidak berubah, cangkul itu tetap sama bentuknya dengan
cangkul filsafat, maka semakin bayak cangkul yang di di gunakan, maka akan
semakin dalam pula alam ini tergali. Maka peluang untuk mendapatkan kunci emas
alam semesta ini semakin besar.
Namun bagi kita
para pemula yang sedang baru memegang cangkul, dan baru akan terjun ke galian.
Sebelum kita mulai menggali ada baiknya kita menggali sesuatu yang belum di
gali oleh para filsosof. Sebagai mana Niatsche tak ingin di jadikan contoh oleh
siapapun. Ketika di Tanya mengapa?. Ia menjawab “jangan jadikan aku sebagai
contoh, tapi jadikanlah dirimu sendiri sebagai contoh untuk dirimu sendiri.”
Tak usah takut untuk mulai menggali galian baru. Apa lagi pemula harus berani
memiliki cangkul yang baru dan lebih canggih. Karena tak ada kebenaran yang
mutlak, alam ini masih terus pada kemisteriusannya. Maka setiap pemula bahkan
yang sudah lama menggali tetap memiliki peluang mendapatkan kebenaran. Bukankah
Socrates sudah berkata “ semakin bayak yang aku tahu, semakin aku tahu bahwa
aku tak tahu.” Semakin dalam kita menggali semakin kita tahu bahwa galian kita
masih belum dalam. Semakin kita menyingkap kebenaran, kita malah semakin
kebenaran itu menjauhi kita. Maka tak ada kebenaran yang dimiliki oleh seorang
pun atau sekelompok apapun dan siapapun. Namun perlu kita ketahui, para pemula
seperti kita harus pula berhati-hati di hadapan kebenaran, kenapa? Karena
Derrida pernah berkata “ wahai para filosof hati-hatilah kalian dengan
Kebenaran, karena kebenaran itu ibarat perempuan terhormat. Perempuan terhormat
tidak akan mudah memperlihatkan pantatnya”. Kita mesti berhati-hati dengan
kebenaran karena kebenaran tidak pernah menunjukkan dasar-dasar dirinya. Apa
yang kita angap kemudian kebenaran belum tentu benar, karena sekali lagi tidak
ada yang paling benar.
Dan
inilah pekerjaan besar mega proyek filsafat dengan cangkul-cangkul dari para
pemikir-pemikir yang tidak ada habisnya. Selama alam (makro dan mikrokosmos)
masih ada, maka selama itu pula mega proyek filsafat akan terus berjalan.