Kamis, 01 Oktober 2015

Cangkul-cangkul Pemikir pada mega proyek Filsafat menggali misteri alam.

Cangkul-cangkul pemikir pada mega proyek filsafat menggali misteri Alam



Dari jaman mitologi Yunani bahkan dari zaman manusia pertama bereksistensi sampai yang kita sebut zaman kontemporer. Alam adalah objek yang paling misterius untuk di gali, di ungkap dan menjadi pekerjaan rumah yang tidak akan membuat siapapun akan lulus. Mulai dari zaman para nabi, filosof, ilmuwan, hingga subjek-subjek yang mengaku merasakan Tuhan belum juga bisa mengungkap apa, bagaimana, mengapa, kemana, dimana, kapan, dan dari mana alam ini sampai tuntas.

Misalnya sendiri di bidang filsafat. Para filosof membuat sebuah mega proyek untuk menguak alam ini. Berbagai bentuk kerifan mereka capai. Orang Yunani mitologi, mengait-ngaitkan peristiwa yang terjadi di alam semesta dengan kehendak dewa-dewi. Lalu datanglah  Thales misalnya mengajukan Tanya yang ingin merasionalkan mitologi. “Apa Arche dari alam semesta ini?”. Air katanya. Lalu datanglah para filsuf Milesian yang menanggapi pendahulunya, angin menurut aniximenes dan to aperion menurut Anaximander. Lalu kemudian di Elea, dua filsuf lalu seolah terserang virus mega proyek filsafat, meraka mengajukan Tanya. Bagaimana Alam ini bergerak. Heraklitus mengatakan “segala sesuatunya berubah.” Lalu datang kemudian Parmenides dengan membawa antitesa dari tesis Heraklitus. Parmenides yakin “ Segala sesuatunya tak berubah dia tetap.” Lalu datanglah dua sejoli yang mensintesiskan pemikiran para filsuf Elea. Demokritus dan Leukippus mengajukan pemikiran atomisme, bahwa segala sesuatunya di susun oleh Atom yang saling bertubrukan dan membentuk suatu bentuk. Air, angin, api dan tanah semuanya disusun oleh Atom. namun Kedatangan atomisme dua sejoli ini belum juga bisa memuaskan hasrat manusia untuk mengungkap secret dari alam ini.

Mega proyek Filsafat terus saja berjalan. Alam sudah di coba untuk di gali oleh para filsuf dengan berbagai cangkul pemikiran. Namun semakin cangkul itu menggali. Kedalaman Alam itu semakin dalam. Semakin filsuf mengemukakan jawabannya, semakin pula timbul berjuta Tanya.

Kerja penggalian ini kemudian berlanjut di zaman klasik. Dimana para filsuf menemukan Alam ini terlalu luas dan dalam untuk di cangkul oleh akal. Maka muncullah kalimat “Gnauti Seauto.” Kenali dirimu maka akan terungkap rahasia alam semesta ini. Mengapa bisa?, karena Tuhan telah menggerakkan kebijaksanaannya untuk membuat alam mikrokosmos pada manusia. Universum makrokosmos ada pada diri manusia. Matahari, bulan, bintang, bahkan Galaksi semuanya ada pada diri mikrokosmos manusia. Alam yang ada pada diri manusia memiliki luas yang sama dengan alam makrokosmos, bahkan keluasan manusia itu dapat memberi ruang bagi kehadiran Tuhan. Maka dari sinilah, Socrates mesti meminum racun kearifannya, Plato memilih untuk tidak membagi cintanya pada Filsafat, Aristoteles mesti menghadapi kematian. Demi memperjelas siapa manusia itu?. Siapa alam itu?.

Setelah mereka, mega proyek Filsafat memiliki dua galian. Para Filsuf membagi dirinya bekerja untuk menggali galian alam makrokosmos dan filsuf lainnya menggali galian alam mikrokosmos. Belakangan para bijak yang menggali alam makrokosmos mengambil cangkul-cangkul yang baru dan berbeda-beda. Ada filsuf yang memiliki cangkul sains, cangkul astronomi, cangkul geologi, cangkul geografi, dan cangkul-cangkul yang lainnya. Tak beda pula dengan para bijak di galian alam mikrokosmos. Mereka juga memiliki cangkul baru, ada yang memakai cangkul psikologi, cangkul etika, cangkul moralitas,cangkul ekonomi, cangkul politik, cangkul sastra, cangkul estetika dan cangkul-cangkul yang lainnya. namun apapun nama cangkulnya, bentuk cangkul itu tetap tidak berubah, cangkul itu tetap sama bentuknya dengan cangkul filsafat, maka semakin bayak cangkul yang di di gunakan, maka akan semakin dalam pula alam ini tergali. Maka peluang untuk mendapatkan kunci emas alam semesta ini semakin besar.

Namun bagi kita para pemula yang sedang baru memegang cangkul, dan baru akan terjun ke galian. Sebelum kita mulai menggali ada baiknya kita menggali sesuatu yang belum di gali oleh para filsosof. Sebagai mana Niatsche tak ingin di jadikan contoh oleh siapapun. Ketika di Tanya mengapa?. Ia menjawab “jangan jadikan aku sebagai contoh, tapi jadikanlah dirimu sendiri sebagai contoh untuk dirimu sendiri.” Tak usah takut untuk mulai menggali galian baru. Apa lagi pemula harus berani memiliki cangkul yang baru dan lebih canggih. Karena tak ada kebenaran yang mutlak, alam ini masih terus pada kemisteriusannya. Maka setiap pemula bahkan yang sudah lama menggali tetap memiliki peluang mendapatkan kebenaran. Bukankah Socrates sudah berkata “ semakin bayak yang aku tahu, semakin aku tahu bahwa aku tak tahu.” Semakin dalam kita menggali semakin kita tahu bahwa galian kita masih belum dalam. Semakin kita menyingkap kebenaran, kita malah semakin kebenaran itu menjauhi kita. Maka tak ada kebenaran yang dimiliki oleh seorang pun atau sekelompok apapun dan siapapun. Namun perlu kita ketahui, para pemula seperti kita harus pula berhati-hati di hadapan kebenaran, kenapa? Karena Derrida pernah berkata “ wahai para filosof hati-hatilah kalian dengan Kebenaran, karena kebenaran itu ibarat perempuan terhormat. Perempuan terhormat tidak akan mudah memperlihatkan pantatnya”. Kita mesti berhati-hati dengan kebenaran karena kebenaran tidak pernah menunjukkan dasar-dasar dirinya. Apa yang kita angap kemudian kebenaran belum tentu benar, karena sekali lagi tidak ada yang paling benar.

Dan inilah pekerjaan besar mega proyek filsafat dengan cangkul-cangkul dari para pemikir-pemikir yang tidak ada habisnya. Selama alam (makro dan mikrokosmos) masih ada, maka selama itu pula mega proyek filsafat akan terus berjalan.


Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon